Share

Bab 6

"Selamat ya, Bu. Ibu hamil. Sudah tujuh minggu."

"Haa? Apa, Dok? Aku hamil?" Laras tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter yang memeriksa perutnya secara manual.

Iya, kita USG dulu, ya, Bu."

"Dokter serius? Istri saya benaran hamil?" Ibra ikut kaget, tapi ada bahagia tergugat dari wajahnya.

"Iya, Pak. Mana mungkin saya berbohong. Selamat ya, Pak."

Kinara ikut pun ikut bahagia mendengar bahwa dia akan jadi kakak.

Ibra memutuskan mengantar Laras ke rumah sakit selepas pingsan ketika memasak di dapur tadi pagi. Awalnya, Laras menolak, tapi Ibra terus memaksa. Apalagi wajah Laras terlihat begitu pucat.

"Saya pesan 'kan sama bapak dan ibu agar lebih menjaga kandungan kali ini, agak lemah. Untuk ibu jangan sampai banyak pikiran juga."

"Bapak juga bantu ibu agar dia tidak banyak pikiran. Kalau tidak kasihan sama calon bayi di kandungannya."

"Baik, Dok."

Dokter Irda pun meresepkan obat penguat serta vitamin tambahan untuk Laras.

"Aku tidak perlu di papah, Mas!" Laras berusaha melepaskan dirinya.

"Kenapa? Kamu itu masih lemas, Dik."

"Please, lepasin aku bilang!" Suara Laras sedikit meninggi, tatapannya pun tajam. Ibra tal bisa berbuat banyak selain menuruti keinginan Laras.

"Mama pegangan sama Nara aja, sini, Ma!" tawar Kinara tak lama Ibra melepaskan pegangannya.

"Makasih, Nak."

Di dalam perjalanan sesekali Ibra melirik ke arah spion atas, berharap beradu pandang dengan Laras meski lewat pantulan cermin. Namun, hasilnya nihil. Laras sama sekali tidak peduli dengan gerak-gerik Ibra. Dia hanya menatap arah luar jendela.

"Pa, papa jangan pergi-pergi lagi, ya. Lihat tuh, mama sekarang lagi sakit, ada dedek bayi. Nara tidak mau mama sakit," celetuk Kinara yang duduk di samping kursi kemudi.

"Iya, Nak. Papa akan siaga merawat kamu juga mama. Tapi, papa juga harus cari kerja di sini, kalau tidak kita makannya pakai apa?"

"Hmm ... iya juga, ya. Nara jadi bingung gimana ngerawat mama. Apalagi kalau Nara pergi sekolah, pasti mama sendirian di rumah."

"Kita doakan biar mama cepat sehat lagi, ya, Nak."

"Ya Allah, Nara mohon sembuhkan mama ya Allah." Kedua tangannya langsung menadah berdoa pada sang Pencipta.

Di kursi belakang, air mata Laras sudah luruh tanpa jeda mendengar doa yang dipanjatkan anak pertamanya.

***

"Mas, ibu 'kan tetap kekeuh tinggal di rumah tuanya, di sana juga ada mbok Ratih. Apa sebaiknya aku ikut kamu aja ya, apalagi ini sudah lima tahun kita seperti ini," pinta Laras kala dia mendengar bahwa Ibra sudah naik jabatan supervisor.

Posisi jabatan yang semakin bagus, Ibra pun membelikan Laras sebuah rumah di sebuah komplek setengah jam dari rumah ibunya Laras. Namun, Laras punya pendapat lain, ingin ikut Ibra ke Jakarta.

"Jangan dulu, Dik. Sekalipun kamu ikut, bakal sering mas tinggal juga. Soalnya kerjaan mas sering keluar kota follow up. Kamu tahun sendiri 'kan kerjaan mas di area, tidak seperti pegawai kantoran yang cuma stay dari pagi sampai sore di kantor dan tidak juga keluar kota."

"Tapi, aku sudah kesepian, Mas. Apalagi kita sudah lama jarak jauh seperti ini. Dulu, okelah, aku bisa maklumi karena masih di rumah ibu. Sekarang 'kan ada mbok Ratih. Percuma juga beli rumah, kalau yang tempati cuma aku sama Kinara berdua aja."

"Nantilah, ya, tunggu Kinara agak gedean dikit. Pas dia sudah sekolah, ya!"

Lamunan Laras dalam perjalanan rupanya mengingatkan kembali apa yang terjadi di lima tahun silam.

"Aku paham sekarang, kenapa kamu kekeuh melarang aku ikut, Mas," ucapnya dalam hati.

***

Tengah malam, kala Laras sudah tertidur dengan lelap, Ibra mengambil kesempatan untuk menelepon Annisa yang sejak tadi menghubunginya puluhan kali dan mengirim pesan tapi tidak digubris sama sekali oleh Ibra.

"Kamu ke mana aja sih, Mas? Daritadi telepon aku nggak di angkat, pesan aku nggak dibalas, jangan 'kan dibalas, dibaca pun nggak. Oh aku tahu, pasti kakak maduku itu yang melarang kamu 'kan. Ngaku kamu, Mas!" Rangkaian umpatan serta tuduhan diutarakan Annisa ketika telepon baru tersambung. Tak ada basa-basi sama sekali, atau sapaan manja seperti biasa dia lakukan.

"Udah ngomelnya, Sayang? Udah selesai nuduh akunya?"

"Nggak usah pakai sayang-sayangan lah, Mas. Kalau sekarang hati kamu cuma untuk mbak Laras. Aku bukan nuduh, kenyataannya memang seperti itu 'kan. Jujur aja lah kamu, Mas!" serang tak henti. Dadanya sudah naik-turun menahan emosi sejak tadi.

"Sayang, dengerin dulu. Aku punya alasan. Kamu jangan asal nuduh aja."

"Halah ... kamu pinter ngeles, Mas."

"Ya sudah, tenangin dulu diri kamu. Kalau udah baru aku jelasin."

Mendengar pernyataan demikian, Annisa pun tak bersikeras seperti di awal teleponan.

"Iya, iya, apa? Alasannya apa?"

"Begini, aku minta kamu jangan berkecil hati dulu. Ini hanya sementara, ingat, hanya sementara."

"Apa sih, Mas. Sebutin aja, nggak perlu ada kata-kata pembukaan segala!" ketus Annisa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status