Dua hari sebelum keberangkatan Nayla ke Jakarta, semua dokumen sudah ia siapkan rapi. Surat rekomendasi dari dosen, tiket pesawat dari panitia, hingga surat izin dari kampus. Tapi satu dokumen penting masih belum lengkap: fotokopi kartu keluarga yang harus ditandatangani orang tua sebagai syarat legalitas.
Ia menyerahkan formulir itu ke Bu Rika saat di ruang tengah. “Bu, ini perlu tanda tangan orang tua. Boleh minta tolong tanda tangan di sini?” Bu Rika menatap sekilas, lalu meletakkannya begitu saja di atas meja. “Nanti Mama lihat.” Hari berlalu. Formulir itu tak kunjung ditandatangani. Nayla mulai gelisah. Besok adalah batas terakhir pengumpulan berkas via email. Jika telat, otomatis gugur. Malam itu, saat Pak Darmawan pulang, Nayla memberanikan diri bicara. “Pak, bisa bantu tanda tangan dokumen ini? Saya harus kumpulin besok.” Pak Darmawan baru saja duduk, wajahnya letih. Tapi sebelum ia menjawab, Bu Rika sudah lebih dulu memotong. “Sudah Mama cek tadi. Ternyata butuh surat domisili juga, dan Nayla belum urus. Jadi belum bisa ditandatangani sekarang.” Nayla tercengang. “Surat domisili? Di syarat nggak ada, Bu.” Bu Rika menyipitkan mata. “Kamu pikir Mama bohong?” Pak Darmawan menghela napas panjang. “Kamu urus dulu semua dokumen lengkap, Nay. Kalau semua sudah benar, Papa tanda tangan.” “Pak, ini sudah lengkap. Panitia nggak minta surat domisili—” “Kamu jangan ngotot!” sergah Bu Rika tajam. “Nggak semua hal bisa kamu paksakan.” Malam itu Nayla kembali ke kamar dengan dada sesak. Ia duduk di tepi ranjang, menatap berkas yang belum ditandatangani. Jam menunjukkan pukul 22.45. Ia menangis diam-diam, bukan karena kalah, tapi karena lelah. Tapi kemudian ia bangkit. Ia membuka laptop, mencari solusi. Ia menelepon dosennya, menjelaskan situasi. Untungnya, sang dosen memahami dan bersedia menjadi penjamin sementara. “Kalau sampai dokumenmu batal karena masalah ini, saya pribadi akan kirim surat keterangan kampus,” kata dosennya. “Kamu layak dapat kesempatan ini, Nayla.” Nayla terharu. Untuk pertama kalinya, ada orang dewasa yang berdiri di pihaknya tanpa syarat. --- Besok paginya, Nayla memutuskan mengirim dokumen tanpa tanda tangan orang tua. Ia sertakan surat dari dosen pembimbing sebagai pengganti, dan menjelaskan kondisinya dengan jujur. Dalam hatinya, ia siap jika harus menerima risiko. Namun malam itu, ia mendapat email balasan dari panitia: > “Kami menerima dokumen Anda. Dengan surat pengganti dari pihak kampus, Anda tetap berhak mengikuti seleksi tahap akhir. Selamat!” Tangis Nayla pecah. Kali ini bukan karena terluka, tapi karena berhasil menyalamatkan mimpinya sendiri—tanpa bantuan siapa pun di rumah ini. --- Keesokan harinya, Bu Rika dan Vania tampak kaget ketika Nayla berkata, “Saya jadi ke Jakarta, Bu. Kampus bantu saya.” Wajah Vania langsung berubah. “Kok bisa?” “Karena ada orang-orang yang percaya saya layak.” Vania mendesis pelan, lalu bangkit dari meja makan. Bu Rika hanya diam, tampak tak senang. --- Di kampus, dua hari kemudian, Nayla sibuk mempersiapkan keberangkatan. Saat keluar dari ruang dosen, ia bertemu Reno di koridor. “Jadi bener kamu berangkat?” tanyanya. Nayla mengangguk. “Iya. Akhirnya bisa juga.” Reno tersenyum. “Kamu tahu… kamu kelihatan beda sekarang.” “Beda gimana?” “Kamu lebih kuat. Dulu aku kira kamu lemah karena selalu diam. Tapi ternyata, diam kamu itu mengalahkan banyak suara.” Nayla hanya tersenyum. Ia ingin berkata banyak, tapi tak tahu harus mulai dari mana. “Dan soal Vania,” lanjut Reno, “aku tahu ada yang nggak beres. Dia berubah sejak kamu mulai bersinar.” Nayla menatap Reno dengan serius. “Reno, aku nggak minta kamu berpihak padaku. Aku cuma minta satu hal…” “Apa?” “Jangan biarkan dirimu jadi alat buat menghancurkan orang lain.” Reno terdiam. Tapi kali ini, tatapannya penuh keyakinan. “Aku janji, Nay. Aku bukan tipe yang tunduk karena tekanan.” --- Hari keberangkatan Nayla tiba. Di pagi yang mendung itu, ia berdiri di depan gerbang rumah, menatap bangunan tempat ia tumbuh tapi tak pernah benar-benar dianggap. Pak Darmawan keluar. Hanya berdiri sebentar. “Hati-hati di jalan.” “Terima kasih, Pak.” Tak ada pelukan. Tak ada restu hangat. Tapi Nayla tak lagi menunggu. Ia melangkah ke mobil jemputan kampus dengan kepala tegak. Dalam hati, ia berkata pada dirinya sendiri: "Aku tidak pergi untuk lari. Aku pergi untuk kembali dengan lebih kuat. Dan saat aku kembali, aku bukan lagi anak yang bisa dibungkam." ---Amanda duduk dengan anggun, menyilangkan kaki dan memainkan cangkir tehnya dengan jari-jari runcing yang berlapis kuteks nude. Ia terlihat nyaman, seolah rumah ini sudah dikenalnya lama. Bahkan, ketika Ibu Reno menyodorkan sepiring kudapan, Amanda tersenyum manja dan berkomentar, “Masih enak seperti dulu, Tante. Tante memang nggak pernah berubah.”Tawa ibu Reno terdengar renyah, membuat suasana mendadak lebih akrab... untuk Amanda. Nayla hanya mengamati dalam diam. Ia duduk tepat di sebelah Reno, tapi rasanya seperti orang asing.“Jadi, Nayla kerja di mana?” tanya Amanda dengan nada basa-basi.“Aku masih fokus bantu usaha kecil Ayah di rumah,” jawab Nayla tenang.Amanda mengangguk, matanya menyorot. “Keren ya. Perempuan mandiri yang mau mulai dari nol. Tapi... capek ya?”“Capek itu biasa. Yang penting halal dan dari hati,” Nayla membalas sambil tersenyum.Reno tersenyum kecil mendengar jawabannya, tapi Amanda tidak menyerah. Ia terus menggiring percakapan, menyisipkan masa lalu diriny
Pagi itu, Nayla sudah terbangun sejak subuh. Ia berdiri lama di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang mulai tampak lebih dewasa. Lingkar mata yang dulu tampak gelap kini mulai memudar, digantikan sorot mata yang lebih hidup. Tapi pagi ini, ada keresahan di sana—perasaan asing yang menggigilkan jemari. “Nay,” suara Vania terdengar dari balik pintu. “Aku bantu nyiapin meja makan, ya.” Nayla membuka pintu, tersenyum tipis. “Iya, makasih ya.” Mereka berjalan ke dapur bersama, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tidak ada keheningan canggung di antara mereka. “Kamu deg-degan?” tanya Vania pelan sambil mengambil sendok dan garpu. “Banget,” jawab Nayla jujur. “Bukan karena Reno, tapi keluarganya.” Vania berhenti sejenak. “Kamu pantas buat dia, Nay. Kalau mereka nggak bisa lihat itu… mereka yang rugi.” Nayla menoleh, menatap Vania. Ada ketulusan di mata adik tirinya itu, dan itu membuat hatinya menghangat. “Terima kasih, Van.” “Anggap ini... pengganti semua luk
Tiga belas jam perjalanan akhirnya membawa Nayla kembali menginjak tanah kelahirannya. Bandara Soekarno-Hatta terasa lebih hangat dari biasanya, mungkin karena kali ini ia pulang bukan sebagai anak yang terbuang, tapi sebagai perempuan yang sudah berdiri di atas kakinya sendiri. Reno menjemputnya di pintu kedatangan. Saat pandangan mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Mereka tidak langsung berpelukan. Hanya saling menatap, lalu tersenyum—penuh rindu yang tertahan. “Kamu berubah,” kata Reno pelan. “Jadi lebih dewasa?” “Jadi lebih kuat,” jawab Reno. “Tapi kamu tetap Nayla-ku.” Nayla menatap matanya lekat. Ia ingin percaya, tapi luka-luka kecil dalam hatinya belum sepenuhnya sembuh. --- Di rumah, suasana hening saat Nayla melangkah masuk. Bu Rika berdiri canggung di depan pintu, matanya berkaca-kaca. Sementara Vania duduk di kursi ruang tamu, terlihat berbeda dari terakhir kali Nayla melihatnya—lebih sederhana, lebih tenang. “Selamat datang di rumah, Nay,” kata Bu Rika lirih.
Sudah hampir enam bulan sejak Nayla meninggalkan tanah air. Di Seoul, ia mulai terbiasa dengan dinginnya musim gugur, ritme belajar yang padat, dan kehidupan mandiri yang menantang sekaligus menyenangkan. Setiap hari, ia menyempatkan diri untuk menulis jurnal, mengabadikan kisahnya, dan tentu saja, menghubungi Reno lewat video call. “Aku baru aja presentasi di depan profesor dari tiga negara, Ren. Gemeteran banget, tapi lancar,” ucap Nayla antusias. Reno tersenyum lewat layar, meski ekspresinya tak secerah biasanya. “Aku bangga banget sama kamu, Nay.” Namun, di balik layar, Reno mulai merasa kesepian. Rutinitasnya tak lagi diwarnai tawa Nayla secara langsung. Kehangatan yang dulu selalu ia temukan dalam pelukan Nayla kini digantikan dengan layar datar dan sinyal kadang putus. --- Di kampus, Reno mulai dekat dengan Alika—mahasiswi baru di jurusan yang sama. Gadis itu ceria, ramah, dan punya cara bicara yang mengingatkannya pada Nayla… setidaknya secara permukaan. “Eh, Ren, besok
Pagi itu, matahari belum tinggi saat Nayla menerima email penting di ponselnya. Ia baru saja selesai membantu persiapan seminar fakultas ketika Reno memanggilnya. "Nayla! Coba buka email kamu sekarang juga!" Dengan jantung berdebar, Nayla membuka layar ponselnya. Matanya membesar saat membaca baris pertama: > Selamat! Anda lolos seleksi akhir beasiswa pertukaran pelajar ke Seoul University. Tangannya menutupi mulut, nyaris tak percaya. “Aku… lolos?” Reno mengangguk penuh bangga. “Kamu layak dapetin ini. Ini langkah besar.” Nayla merasa hatinya meluap—campuran bahagia dan gugup. Ini impiannya sejak SMA. Tapi kini, saat kesempatan itu datang, ia juga merasa tak ingin pergi dengan meninggalkan segalanya belum tuntas di rumah. “Aku belum tahu harus gimana, Ren… Masih banyak yang belum selesai di rumah.” “Kamu juga berhak bahagia, Nay. Rumahmu bisa sembuh, tapi kamu juga harus punya hidup sendiri.” --- Di rumah, Vania sedang merapikan lemari tua di ruang belakang ketika ia menemu
Dua minggu telah berlalu sejak malam itu—malam ketika kebenaran akhirnya muncul ke permukaan. Di rumah Bu Rika, keadaan memang jauh lebih tenang, tapi ketenangan itu belum berarti pulih sepenuhnya. Terutama bagi Vania. Ia mulai melakukan hal-hal kecil: merapikan rumah, membantu memasak, bahkan mencuci piring setelah makan malam. Tapi setiap gerakannya terasa canggung, seolah ada sekat tipis antara niat dan penerimaan. Bu Rika memperhatikan perubahan itu, tapi masih kesulitan bersikap biasa. “Aku bingung harus bilang apa kalau lihat Vania,” keluhnya pada Nayla di dapur. “Biarkan dia membuktikan sendiri, Bu,” jawab Nayla lembut. “Kalau dia berubah karena sadar, bukan karena terpaksa, Ibu pasti bisa lihat bedanya.” --- Di kampus, Vania justru menghadapi medan yang lebih berat. Teman-teman yang dulu memujanya kini menjauh. Gosip video rekayasa yang dulu ia sebar masih bergaung, bahkan setelah kebenarannya terbongkar. “Kamu punya nyali juga datang lagi ke sini,” sindir salah satu te