Home / Romansa / Terbuang Demi Anak Tiri / Bab 4 – Sorotan yang Salah Alamat

Share

Bab 4 – Sorotan yang Salah Alamat

Author: Kiara
last update Last Updated: 2025-06-04 16:51:27

Hari pengumuman seleksi paper nasional akhirnya tiba. Di ruang kelas yang sunyi, Nayla menatap layar ponselnya dengan jantung berdebar. Ia hampir tak percaya saat melihat namanya tertera sebagai salah satu dari 20 peserta terbaik dari seluruh Indonesia.

Namanya—Nayla Putri Wibisana—berdiri kokoh di deretan peserta terpilih.

Air mata tak sengaja menggenang di pelupuk matanya, namun bukan karena kesedihan. Kali ini, karena bahagia. Untuk pertama kalinya, hasil dari perjuangan sunyinya mendapat pengakuan.

Beberapa teman langsung menghampirinya.

“Gila, Nay! Kamu lolos seleksi nasional? Kamu keren banget!” seru Alin sambil memeluknya.

“Ini bukan lomba sembarangan, lho. Bisa lanjut magang di kementerian nanti!” sahut teman lain.

Nayla hanya tersenyum kecil, masih agak tak percaya. “Terima kasih, ya…”

---

Berita itu cepat menyebar di kampus. Bahkan dosen pembimbingnya memanggil Nayla secara khusus.

“Kamu bukan hanya membanggakan diri sendiri, tapi juga fakultas ini, Nayla. Saya bangga.”

Kata-kata itu menghujani hatinya yang selama ini kehausan akan pengakuan. Tapi di balik semua itu, ia tahu... kegembiraannya tidak akan disambut hangat di rumah.

---

Dan benar saja, malam itu saat makan malam, Nayla memberanikan diri menyampaikan kabar itu.

“Pak, Bu… saya lolos seleksi nasional. Bulan depan saya akan ke Jakarta untuk presentasi final.”

Pak Darmawan menatap Nayla sekilas. “Oh, bagus.”

Reaksinya datar. Bahkan sendoknya tidak berhenti mengaduk sup di piring.

Vania langsung menyahut sambil tersenyum manis, “Keren dong, Kak Nayla. Tapi jangan sampai ganggu tanggung jawab di rumah ya. Jangan egois.”

Nayla menoleh pelan, tak terkejut. Ia sudah menduga Vania akan menyisipkan racun di balik pujian.

Bu Rika menambahkan, “Kalau kamu ke Jakarta, siapa yang bantu bersih-bersih rumah? Jangan cuma mikir diri sendiri, Nay.”

Nayla mengatup bibirnya rapat. Rasanya sesak, seperti udara di dadanya dirampas paksa. Tapi ia tak ingin bertengkar. Ia tahu, orang seperti mereka tak akan mengerti betapa berharganya momen ini.

“Kalau Papa izinkan, Nayla bisa urus semuanya sendiri. Biayanya juga ditanggung penyelenggara,” jelas Nayla tenang.

Pak Darmawan hanya mengangguk, masih tanpa ekspresi. “Lihat nanti saja.”

---

Keesokan harinya di kampus, Reno menghampiri Nayla dengan wajah penuh semangat.

“Aku denger kamu lolos seleksi nasional? Keren banget, Nay! Aku salut sama kamu.”

Nayla tersenyum kaku. “Makasih…”

Reno tampak agak kikuk. “Aku… sebenarnya udah lama pengin ngomong. Aku ngerasa makin kagum sama kamu. Kamu beda dari cewek-cewek yang biasa aku kenal.”

Kalimat itu sempat membuat jantung Nayla berhenti sejenak, tapi ia cepat menarik diri.

“Jangan bilang itu di hadapan Vania,” ucapnya pelan.

“Lho? Kenapa?”

Nayla menatap Reno dalam-dalam. “Kamu tahu dia suka kamu. Dan dia bisa lakukan apa saja untuk dapetin apa yang dia mau. Termasuk menyakiti orang yang dia anggap saingan.”

Reno terdiam. Wajahnya serius.

“Aku nggak takut sama Vania,” katanya akhirnya.

“Tapi aku lelah jadi korban,” balas Nayla lirih. “Aku butuh seseorang yang bisa berdiri untukku, bukan sekadar datang saat kagum.”

Setelah itu Nayla berlalu, meninggalkan Reno yang termenung. Ia bukan menolak Reno, tapi ia sedang memilih—antara cinta yang belum pasti, atau masa depan yang bisa ia genggam sendiri.

---

Sementara itu, di rumah, Vania mulai menyusun siasat.

“Kita harus cari cara supaya Kak Nayla batal berangkat,” katanya pada Bu Rika. “Kalau dia jadi ke Jakarta, dia bakal punya banyak koneksi. Aku nggak mau dia lebih dari aku.”

“Tenang… Mama punya ide,” jawab Bu Rika sambil tersenyum licik.

Dan malam itu, di balik dinding rumah yang tampak tenang, strategi penghancuran karakter mulai disusun. Namun mereka tak tahu—yang mereka lawan bukan lagi Nayla yang dulu.

Ia kini tahu siapa dirinya, apa tujuannya, dan siapa yang perlu diperjuangkan.

Bukan cinta. Bukan orang tua.

Tapi dirinya sendiri.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terbuang Demi Anak Tiri   bab 17-Bayangan dari Masa Lalu

    Amanda duduk dengan anggun, menyilangkan kaki dan memainkan cangkir tehnya dengan jari-jari runcing yang berlapis kuteks nude. Ia terlihat nyaman, seolah rumah ini sudah dikenalnya lama. Bahkan, ketika Ibu Reno menyodorkan sepiring kudapan, Amanda tersenyum manja dan berkomentar, “Masih enak seperti dulu, Tante. Tante memang nggak pernah berubah.”Tawa ibu Reno terdengar renyah, membuat suasana mendadak lebih akrab... untuk Amanda. Nayla hanya mengamati dalam diam. Ia duduk tepat di sebelah Reno, tapi rasanya seperti orang asing.“Jadi, Nayla kerja di mana?” tanya Amanda dengan nada basa-basi.“Aku masih fokus bantu usaha kecil Ayah di rumah,” jawab Nayla tenang.Amanda mengangguk, matanya menyorot. “Keren ya. Perempuan mandiri yang mau mulai dari nol. Tapi... capek ya?”“Capek itu biasa. Yang penting halal dan dari hati,” Nayla membalas sambil tersenyum.Reno tersenyum kecil mendengar jawabannya, tapi Amanda tidak menyerah. Ia terus menggiring percakapan, menyisipkan masa lalu diriny

  • Terbuang Demi Anak Tiri   bab 16-Kedatangan yang Membuka Luka Lama

    Pagi itu, Nayla sudah terbangun sejak subuh. Ia berdiri lama di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang mulai tampak lebih dewasa. Lingkar mata yang dulu tampak gelap kini mulai memudar, digantikan sorot mata yang lebih hidup. Tapi pagi ini, ada keresahan di sana—perasaan asing yang menggigilkan jemari. “Nay,” suara Vania terdengar dari balik pintu. “Aku bantu nyiapin meja makan, ya.” Nayla membuka pintu, tersenyum tipis. “Iya, makasih ya.” Mereka berjalan ke dapur bersama, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tidak ada keheningan canggung di antara mereka. “Kamu deg-degan?” tanya Vania pelan sambil mengambil sendok dan garpu. “Banget,” jawab Nayla jujur. “Bukan karena Reno, tapi keluarganya.” Vania berhenti sejenak. “Kamu pantas buat dia, Nay. Kalau mereka nggak bisa lihat itu… mereka yang rugi.” Nayla menoleh, menatap Vania. Ada ketulusan di mata adik tirinya itu, dan itu membuat hatinya menghangat. “Terima kasih, Van.” “Anggap ini... pengganti semua luk

  • Terbuang Demi Anak Tiri   Bab 15 – Kembali Untuk Menyembuhkan

    Tiga belas jam perjalanan akhirnya membawa Nayla kembali menginjak tanah kelahirannya. Bandara Soekarno-Hatta terasa lebih hangat dari biasanya, mungkin karena kali ini ia pulang bukan sebagai anak yang terbuang, tapi sebagai perempuan yang sudah berdiri di atas kakinya sendiri. Reno menjemputnya di pintu kedatangan. Saat pandangan mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Mereka tidak langsung berpelukan. Hanya saling menatap, lalu tersenyum—penuh rindu yang tertahan. “Kamu berubah,” kata Reno pelan. “Jadi lebih dewasa?” “Jadi lebih kuat,” jawab Reno. “Tapi kamu tetap Nayla-ku.” Nayla menatap matanya lekat. Ia ingin percaya, tapi luka-luka kecil dalam hatinya belum sepenuhnya sembuh. --- Di rumah, suasana hening saat Nayla melangkah masuk. Bu Rika berdiri canggung di depan pintu, matanya berkaca-kaca. Sementara Vania duduk di kursi ruang tamu, terlihat berbeda dari terakhir kali Nayla melihatnya—lebih sederhana, lebih tenang. “Selamat datang di rumah, Nay,” kata Bu Rika lirih.

  • Terbuang Demi Anak Tiri   Bab 14 – Ujian dari Jarak dan Waktu

    Sudah hampir enam bulan sejak Nayla meninggalkan tanah air. Di Seoul, ia mulai terbiasa dengan dinginnya musim gugur, ritme belajar yang padat, dan kehidupan mandiri yang menantang sekaligus menyenangkan. Setiap hari, ia menyempatkan diri untuk menulis jurnal, mengabadikan kisahnya, dan tentu saja, menghubungi Reno lewat video call. “Aku baru aja presentasi di depan profesor dari tiga negara, Ren. Gemeteran banget, tapi lancar,” ucap Nayla antusias. Reno tersenyum lewat layar, meski ekspresinya tak secerah biasanya. “Aku bangga banget sama kamu, Nay.” Namun, di balik layar, Reno mulai merasa kesepian. Rutinitasnya tak lagi diwarnai tawa Nayla secara langsung. Kehangatan yang dulu selalu ia temukan dalam pelukan Nayla kini digantikan dengan layar datar dan sinyal kadang putus. --- Di kampus, Reno mulai dekat dengan Alika—mahasiswi baru di jurusan yang sama. Gadis itu ceria, ramah, dan punya cara bicara yang mengingatkannya pada Nayla… setidaknya secara permukaan. “Eh, Ren, besok

  • Terbuang Demi Anak Tiri   Bab 13 – Rahasia yang Tersimpan

    Pagi itu, matahari belum tinggi saat Nayla menerima email penting di ponselnya. Ia baru saja selesai membantu persiapan seminar fakultas ketika Reno memanggilnya. "Nayla! Coba buka email kamu sekarang juga!" Dengan jantung berdebar, Nayla membuka layar ponselnya. Matanya membesar saat membaca baris pertama: > Selamat! Anda lolos seleksi akhir beasiswa pertukaran pelajar ke Seoul University. Tangannya menutupi mulut, nyaris tak percaya. “Aku… lolos?” Reno mengangguk penuh bangga. “Kamu layak dapetin ini. Ini langkah besar.” Nayla merasa hatinya meluap—campuran bahagia dan gugup. Ini impiannya sejak SMA. Tapi kini, saat kesempatan itu datang, ia juga merasa tak ingin pergi dengan meninggalkan segalanya belum tuntas di rumah. “Aku belum tahu harus gimana, Ren… Masih banyak yang belum selesai di rumah.” “Kamu juga berhak bahagia, Nay. Rumahmu bisa sembuh, tapi kamu juga harus punya hidup sendiri.” --- Di rumah, Vania sedang merapikan lemari tua di ruang belakang ketika ia menemu

  • Terbuang Demi Anak Tiri   Bab 12 – Di Antara Penebusan dan Penolakan

    Dua minggu telah berlalu sejak malam itu—malam ketika kebenaran akhirnya muncul ke permukaan. Di rumah Bu Rika, keadaan memang jauh lebih tenang, tapi ketenangan itu belum berarti pulih sepenuhnya. Terutama bagi Vania. Ia mulai melakukan hal-hal kecil: merapikan rumah, membantu memasak, bahkan mencuci piring setelah makan malam. Tapi setiap gerakannya terasa canggung, seolah ada sekat tipis antara niat dan penerimaan. Bu Rika memperhatikan perubahan itu, tapi masih kesulitan bersikap biasa. “Aku bingung harus bilang apa kalau lihat Vania,” keluhnya pada Nayla di dapur. “Biarkan dia membuktikan sendiri, Bu,” jawab Nayla lembut. “Kalau dia berubah karena sadar, bukan karena terpaksa, Ibu pasti bisa lihat bedanya.” --- Di kampus, Vania justru menghadapi medan yang lebih berat. Teman-teman yang dulu memujanya kini menjauh. Gosip video rekayasa yang dulu ia sebar masih bergaung, bahkan setelah kebenarannya terbongkar. “Kamu punya nyali juga datang lagi ke sini,” sindir salah satu te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status