Tiga puluh menit setelah Karenina pergi, Jun keluar kamar dan turun menuju dapur.Tidak melihat Shima ada di sana, dia sama sekali tidak berniat mencari, apalagi menemui wanita itu.“Sudah lebih baik?”Jun sengaja tidak berbalik, ketika tiba-tiba suara Shima terdengar dari balik punggungnya. Dia tidak segera menjawab. Cuma diam menunggu.“Sepertinya, suaramu juga hilang, ya?” ejek Shima. Sekarang dia tidak peduli jika harus terlihat mengesalkan dengan langsung menempelkan telapak tangannya ke kening Jun.“Ya. Sudah lebih baik.” Daripada menepis tangan Shima, Jun memilih untuk memiringkan kepala. Menghindari tangan Shima yang masih berada di udara.“Makan siang apa yang kau inginkan?” Pura-pura tidak tersinggung atas sikap Jun, Shima berjalan menuju lemari es.“Kau.” Hasrat Jun masih sama, meski dia sedang tidak ingin bersikap lunak pada kakak iparnya.Tangan Shima masih mencengkeram pintu lemari es yang sudah dibuka. Berbalik dengan tatapan penuh selidik. “Bukannya kau sudah mendapatk
Bercinta ketika salah satu dari mereka sedang mengalami demam, terasa sedikit asing, tapi ada sesuatu yang membara dalam dua tubuh yang menyatu.Ketika diri Jun berada di dalam diri Shima, di situ lah ada kehangatan yang terasa dua kali lipat mengendap dan mengikat.Jun mendesah dengan suara berat dan panas. Denyut di kepalanya semakin menjadi, ketika dia memaksa menghentak agar penyatuan kian dalam.“Jun ....” Shima bergetar. Getar yang menghantarkan nikmat. Menempelnya kulit mereka dalam ketelanjangan, justru membuatnya candu. Ini tidak wajar.“Sakiti aku, Shima.” Tidak pernah meminta hal seperti itu ketika bercinta dengan lawan jenis, Jun tahu bahwa Shima berbeda. Dalam tingkatan yang mungkin bisa dia percayai atau karena deman menjadikannya ingin merasakan banyak rasa sakit.“Sakiti? Bagaimana ....” Shima bingung, tapi Jun segera memberi akses padanya.“Cakar punggungku. Benamkan kuku-kukumu lebih dalam lebih dari yang pernah kau lakukan padaku.”Sejenak, mungkin cuma sedetik, ada
Kun!Dia akhirnya yang memulai. Mencium bibir Shima sekilas, ketika mata mereka tetap saling menatap.Ciuman terlepas, tapi Shima mendatangkan gairah baru dengan memberikan kecupan kedua yang membelit satu sama lain.Kun berjalan maju, Shima mundur. Bibir mereka tidak terlepas. Kun menuntun langkah mereka berdua ke kamarnya.Terlepas.Mengambil napas dalam suasana terselimuti hasrat satu sama lain.Kembali menyatu, tanpa pikir panjang. Setelah tidak begitu terengah-engah. Sayangnya, Kun tidak berani meraba tubuh istrinya yang adalah hak sepenuhnya milik dirinya.Shima menunggu dalam ketidakpastian. Menunggu Kun bertindak. Gila memang. Dia baru saja bercinta dengan adiknya, tapi berharap bisa disentuh oleh kakaknya.Tidak. Mana mungkin ini salahnya? Dia tidak sepenuhnya salah. Jun yang memikat dan menggodanya lebih dulu. Dia bisa apa?Tentu saja kau bisa menolak, Shima Naomi!Ah, entah lah!“Rencananya, aku ingin mengajakmu lari keliling perumahan.” Jadi sangat canggung, Kun menyadari
“Tentu sa—”“Kak!”Shima dan Kun spontan terlonjak. Di luar, Jun menggedor pintu, bukannya mengetuk.Kun merasa tidak enak hati pada Shima atas kelakuan adiknya. Cepat-cepat dia berdiri sambil berkata. “Sebentar, ya?”Shima mengangguk, jadi ikut tidak enak hati. Dalam ketelanjangan itu, dia meraih selimut untuk menyembunyikan diri.Pintu terbuka. Kun keluar dan menutup pintu dibelakangnya.“Ada apa, Jun?”Wajah tidak bersahabat Jun, sama dengan suaranya yang kemudian bertanya. “Di mana kakak ipar?”“Dia ... di dalam. Ada apa?” Kun penasaran. Jika kemarin-kemarin tidak, maka sekarang dia akan pasang antena kecurigaan di dua sisi kepalanya.“Suruh dia menyelesaikan janjinya padaku.”“Janji? Janji apa?”“Shima berjanji akan membuatkanku sup kacang merah. Aku sudah menunggu sejak tadi. Saat aku turun untuk memeriksa, di meja makan malah tidak ada apa pun.”Kun salah tingkah. Itu sikap merasa bersalah karena saat Shima sedang berada di dapur, dia malah menggoda istrinya hingga akhirnya mer
“Dia hampir pingsan.” Meski aura gelap itu menguasai Jun, dia bisa tetap berkata santai, seolah tanpa penguasaan amarah yang sudah sejak tadi mempengaruhinya.Shima menutup mulutnya rapat-rapat. Memutuskan untuk tidak ikut mengiyakan, menyela, apalagi bicara jujur mengenai apa yang terjadi antara dirinya dan Jun. Sama sekali tidak perlu.“Sayang, ayo kubantu kau ke kamar.” Kun mendekat pada Shima yang langsung duduk tegak. “Aku sudah baik-baik saja. Tadi itu cuma gelap sedetik.” Langsung berdiri, Shima tidak ingin Kun mencurigai apa pun. Tidak mau juga dianggap murahan oleh Jun. Walau ya, benar. Dia wanita murahan. Bergerak cepat untuk menyelesaikan sup kacang merahnya yang akan matang beberapa menit lagi.“Apa yang perlu kubantu?” Kun mendekat. Sangat dekat, hingga dia bisa mengendus aroma khas tubuh istrinya. Sangat menenangkan. Sejak kapan dia merasa begitu?“Duduk lah. Aku hampir selesai. Tidak ada lagi yang perlu kau lakukan, Sayang.” Shima memberanikan diri untuk membalas sebu
Empat puluh lima menit setelah kepergian Kun, Shima terbangun dengan mata bengkak dan hidung berair, bahkan kepalanya ikut berdenyut.Sama sekali tidak menyangka bahwa dia bisa menangis dengan sepenuh hati seperti ini, hanya karena seorang pria.Bukan termasuk yang mudah menangis, bukan juga sulit meneteskan air mata, Shima cuma jarang menangis apalagi sampai berlama-lama seperti yang baru saja terjadi padanya.Ditambah lagi, itu semua terjadi karena seorang pria. Tidak. Shima bukan seseorang yang menangis tanpa sebuah alasan yang kuat dan pasti.Semenjak menerima status diri sudah menikahi pria seperti Kun atas dasar saling menguntungkan, dia seakan kehilangan dirinya sendiri.Lupakan!Jika sudah mengalaminya lebih dari satu kali, maka hal seperti itu pasti akan terulang lagi.Kun pasti kembali menemui Elia Eve dengan berbagai macam alasan.Membolak-balik posisi tubuh di atas kasur yang sudah berantakan, karena percintaannya tadi dengan Kun yang setengah jalan, justru semakin membuat
Beberapa jam sebelumnya, Jun dan Kun berpisah setelah Jun mengaku butuh tidur panjang untuk hari ini.Jun memeriksa tiap kamar yang ada di lantai bawah dan menemukan Shima di kamar dekat dapur.“Kak, Shima di kamar itu.” Jun memberitahu, ketika Kun justru membuka pintu kamar adiknya.Entah Shima sengaja tidak mengunci pintunya atau memang lupa, Jun pikir, sebaiknya dia tidak berbuat nekat karena Kun ada bersama mereka di sini.Situasi yang tidak tepat pun mempengaruhi suasana.Tapi, siapa yang menyangka bahwa Shima masuk ke kamarnya ketika pagi datang, sebelum matahari muncul? Jun adalah orang yang paling tidak menyangka hal itu bisa terjadi.Membiarkan Shima terisak, Jun tidak bergerak sama sekali. Sampai tangis kakak iparnya semakin kencang dan tidak terkendali, baru lah dia memutuskan untuk berbalik perlahan dengan memegangi kedua lengan Shima yang sedari tadi memeluknya dari belakang.Seperti sengaja membangunkan Jun lewat tangisnya, kini Shima nyaris hampir berhenti menangis. Sua
Pagi panas mereka berakhir, ketika ponsel Jun berdering. Panggilan dari Mun Kamli.Diam-diam Shima permisi. Dia tidak ingin semakin berdosa dengan membiarkan Jun menjawab telepon ayahnya, sementara dia ada di sana bersama putra kedua Mun Kamli.“Ya, Ayah?” Jun tidak mencegah Shima yang meninggalkannya. Telepon ayahnya jauh lebih penting, karena sangat tidak biasa mendapat panggilan dari ayahnya, apa lagi di pagi hari begini.“Tidak ada yang berniat memberitahu apa yang terjadi?” Mun Kamli bertanya dengan nada yang penuh penekanan. Jun tidak memberitahu, apalagi Kun. Dia menduga bahwa kedua putranya sama saja. Selalu bersikap seolah mampu menyelesaikan semua masalah, tanpa bantuan darinya.Benar memang. Itu bukan tindakan yang salah, tapi tetap saja, ada hal-hal di luar dari itu yang wajib diketahui oleh kedua orang tua, selagi mereka masih hidup di dunia yang sama dengan para anak.“Maaf, Ayah. Aku menghargai kakak. Karena dia memilih untuk diam, aku mengikuti caranya.”“Lalu, di mana