Share

5. Aku Di Sini Untukmu

Shima mengangguk kuat-kuat, karena tahu Jun pasti tidak bisa melihatnya, tapi ada sedikit cahaya masuk dari jendela di ujung lorong.

Melepas bekapan tangannya, Jun menyeret Shima ke kamarnya.

“Kenapa ke sini?”

“Ssst. Jangan berisik, Shima. Aku merasa ada orang yang berniat menyelinap masuk ke rumah ini.”

Mata Shima membulat terkejut. Sebelumnya, walau sudah bertahun-tahun berlalu, kejadian serupa pernah terjadi. Tapi waktu itu, ibunya masih ada. Ibunya, yang melindunginya dari para penyusup yang tidak dikenal saat mereka masuk ke rumah, ditengah malam seperti ini.

Saat itu, Alaric Domina tidak ada di tempat. Dia masih dalam perjalanan pulang dari melayat salah satu rekannya yang terkena tembakan salah sasaran.

“Jangan bercanda.” Shima memasang raut marah dengan begitu serius. Untuk hal seperti ini, dia tidak bisa diajak main-main. Trauma atas kematian ibunya masih sangat jelas dirasakannya sampai detik ini. Bahkan kedua tangannya kembali bergetar karena begitu ketakutan.

Jun mendekati Shima dengan tenang, walau hatinya pun sebenarnya sangat gelisah andai sesuatu terjadi, ketika Alaric Domina sedang tidak ada di rumah.

Tadi, setelah mereka selesai berbincang di ruang keluarga, Alaric mendapat panggilan telepon. Ayah Shima itu buru-buru pergi, sambil menitipkan putrinya pada Jun.

Sedikit berprasangka, Jun berjaga malam ini karena merasa ada sesuatu yang tidak seharusnya terjadi di sini. Kepergian Alaric saja sudah sangat mencurigakan baginya. Jun senang menduga-duga. Walau tidak selalu bagus memiliki pikiran seperti itu, tapi kali ini dia merasa beruntung karena kenyataannya hal itu mendatangkan kewaspadaan pada dirinya.

“Aku tidak bercanda. Mereka sudah tiga kali mengelilingi rumah ini untuk mencoba masuk, tapi sepertinya belum menemukan cara sampai saat ini.” Mencoba menenangkan, Jun sendiri sedikit merasa cemas. Dia tidak membawa ponsel bersamanya. Benda itu ditinggalkannya di dalam mobil, karena terlalu terburu-buru dan bersemangat saat tiba di sini untuk bertemu dengan ayahnya Shima.

Shima semakin gemetar karena kali ini dia percaya. Sepasang kakinya sudah tidak lagi kuat menahan tubuhnya sendiri.

Jun menyadari itu. Peka lebih cepat untuk Shima.

Dia yang biasanya tidak peduli atau memilih pura-pura bodoh pada para wanita di sekitarnya, hanya ingin lebih perasa untuk kakak iparnya seorang.

Mendekap dan menenangkan Shima layaknya bertukar peran dengan Kun, yang seharusnya menjadi suami sempurna untuk Shima, dia mengambil kesempatan dari wanita berambut cokelat terang itu dengan mencium keningnya.

“Tidak apa-apa. Aku di sini untukmu.”

Setelahnya, suara seperti benda dibanting, membuat kedua insan itu terperanjat. Tidak lama, listrik menyala. Semua kembali terang benderang.

Shima mencengkeram lengan Jun. membenamkan kuku-kuku jarinya di kulit pria itu. Ketakutan, sampai menggigil. Hawa dingin dari hujan yang masih turun dengan deras, meski tidak lagi ada suara petir, menambah rasa nyaris beku menembus tulang-tulangnya.

“Tetap di sini. Kunci pintunya. Jangan pernah keluar dari kamar ini, paham?” Setelah mencoba bicara pada Shima yang diam bagai patung, Jun bersiap pergi.

“Jun.” Shima menahan lengan Jun. Menatap pria berambut hitam pekat itu dengan penuh rasa gelisah. “Tolong, berhati-hati lah.” Bayangan tentang bagaimana ibunya melindungi dirinya hingga tertikam pisau orang tidak dikenal lima tahun lalu itu, membuatnya benar-benar takut hal serupa mungkin bisa saja terjadi pada adik iparnya itu.

Jun tersenyum. Mungkin setelahnya ini, Shima setuju untuk tidur bersama dengannya. Pikiran gila masih sempat melintas di kepala pria itu.

“Tentu saja. Aku pasti akan berhati-hati.” Setelah mengusap pipi kanan Shima, Jun membuka pintu. Menutupnya kembali dan mendengar Shima menguncinya.

Bagus. Shima harus aman. Dia merasa wajib jadi pahlawan malam ini, agar kakak iparnya segera jatuh ke dalam pelukannya. Lalu yang terpenting, merasa berhutang budi padanya.

Tidak peduli jika ternyata itu bukan lah cara yang tepat, tapi Jun tetap saja sangat bersemangat memenangkan keadaan ini.

Bergerak ke asal suara sesuai tebakan dan naluri, Jun melihat pintu samping rumah terbuka, walau tidak lebar. Pegangannya rusak. Saat dia mencoba memeriksa keadaan dibalik luar pintu, terlihat seorang pria jangkung sedang berdiri tegak mengawasi keadaan.

Jun kembali ke dalam sebelum pria itu menyadari keberadaannya. Dia bergerak ke lorong lain di dalam rumah. Menemukan dua orang pria sedang berusaha membuka kunci sebuah ruangan yang diyakininya sebagai ruang kerja Alaric Domina.

Dia tidak ingin mencari masalah. Dua lawan satu. Bukan keputusan yang bijak. Belum lagi jika pria yang di luar ikut bergabung andai mendengar suara keributan dari dalam sini.

Sekarang, dia hanya harus membuat Shima merasa aman. Biarkan saja para penyusup itu melakukan apa pun yang mereka inginkan atau mengambil apa saja yang mereka butuhkan, asal tidak mengusik kakak iparnya.

Sangat waspada dan berhati-hati, Jun bergerak menuju ke garasi. Membuat langkahnya sedemikian rupa agar tidak mengundang perhatian kedua pria yang masih belum bisa membobol pintu ruang kerja Alaric Domina.

Jun mencapai pintu mobilnya dan berhasil menggapai ponsel di atas dashboard. Matanya tetap fokus menatap lurus ke depan, khawatir ada yang memperhatikan.

Berjongkok di bagian belakang mobil, Jun mulai memanggil bantuan dengan mengirim pesan pada beberapa teman terbaiknya. Bukan pihak berwajib, tapi memang teman yang berada dalam organisasi dunia bawah dan gelap yang bisa diajak bekerjasama, walau tidak masalah ketika dia harus mengeluarkan sedikit uang untuk mereka.

Tidak lupa untuk mengembalikan ponselnya ke dashboard, sebelum dia pergi. Baginya, ponsel sama sekali tidak diperlukan di mana dia bisa bersama berduaan dengan Shima sepanjang malam seperti ini.

Jun hanya perlu menjaga agar keadaan tetap aman sampai teman-temannya tiba. Dia juga harus kembali ke kamar tempat Shima berada.

Saat sudah merasa aman, Jun bergerak melintasi lorong dan melihat bahwa pintu ruang kerja Alaric Domina sudah berhasil dibuka.

Bergegas, dengan setengah berlari, Jun mendarat di depan pintu dan memanggil Shima. Suaranya pelan, nyaris tidak terdengar.

“Shima. Shima, buka pintunya.”

Namun karena Shima terus mondar-mandir dibalik pintu, dia bisa mendengar panggilan adik iparnya.

“Jun? Kaukah itu?”

“Ya. Ini aku.”

Pintu terbuka. Shima melihat Jun baik-baik saja. Dia menghela napas lega dan masih saja pucat pasi, ketika melihat lurus melewati Jun. Cemas andai ada orang asing yang tiba-tiba mengikuti Jun dari belakang, lalu mengambil kesempatan untuk memukul kepala pria itu.

Jun menutup pintu dan menguncinya. Dia tidak akan peduli pada keadaan di luar sana, selama dirinya dan Shima baik-baik saja bersama di sini.

“Ayahku. Bagaimana dengan ayahku? Apa mereka menyakiti ayahku?”

“Tidak. Ayahmu sudah pergi sebelum aku masuk ke kamarku. Sepertinya, dia memiliki keperluan mendesak.”

“Lalu, bagaimana dengan keadaan di luar sana?” Masih secemas tadi, Shima mencengkeram lagi lengan Jun.

“Tenang lah. Semua aman. Baik-baik saja.” Untuk kebaikan, Jun merasa perlu berbohong. Membohongi Shima dengan caranya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status