Alaric kembali ke rumahnya dengan keadaan ruang kerjanya yang berantakan.
Tidak peduli, yang ingin dia pastikan tentu saja keadaan putrinya.Alaric melihat Shima dan Jun berdiri di lorong. Sedang bicara dengan seorang pria asing. Yang jelas, bukan salah satu dari musuhnya.“Shima,” panggil Alaric. Dia berjalan menghampiri putrinya dengan tergesa.“Ayah!” Saat melihat Alaric, Shima berlari meski kedua lututnya masih lemas.Shima menumpahkan rasa takutnya dengan memeluk sang ayah.“Kau baik-baik saja. Tidak apa-apa. Semua sudah aman.” Alaric menenangkan. Dia punya firasat, bahwa kejadian ini akan terulang kembali dan membangkitkan kenangan menyakitkan untuk Shima.“Apa Ayah juga baik-baik saja?” Melepas pelukan, dia menatap Alaric yang berwajah pucat.“Tentu saja.” Sekarang, tatapan Alaric Domina tertuju pada Jun. “Nak, bisakah kau membawa pulang Shima bersamamu?”“Bisa, Ayah.” Jun mengangguk, lalu memberi isyarat agar temannya itu segera pergi dari hadapannya.“Ayah, kenapa aku harus pulang?” Shima protes. Bukan tidak takut jika harus bermalam di rumah ayahnya, tapi dia cemas jika meninggalkan Alaric seorang diri sementara keadaannya belum sepenuhnya aman.“Pulang saja bersama Jun. Kalian tidak akan aman di sini.”“Ayah—”“Jangan khawatir. Ayah juga tidak akan tinggal di rumah selama beberapa hari. Aku harus bertemu dengan teman-temanku untuk membahas hal ini.”“Teman Ayah yang mana?”Alaric terdiam sejenak. Shima-nya yang bodoh ternyata tidak bisa dibohongi.“Jangan berurusan dengan mereka lagi, Ayah. Sebaiknya, biarkan aku yang menghubungi polisi.” Shima langsung sadar, bahwa ayahnya masih berhubungan dengan teman-teman tidak jelas identitasnya itu. Dia berlari linglung ke tempat telepon rumah berada.“Jangan lakukan itu, Nak.” Alaric menahan tangan Shima yang gemetaran memegangi gagang telepon. “Jun, cepat bawa Shima pergi dari sini.”“Baik, Ayah.” Jun menyeret Shima dengan mencengkeram kedua pundak wanita itu agar menurut padanya.Diperjalanan, Shima menutup rapat mulutnya. Seperti baru kehilangan semangat, dia membeku dengan raut yang pucat.Jun tidak segera pulang. Dia membawa Shima ke sebuah restoran kecil dipinggir jalan.“Aku mau pulang, bukan makan.” Shima masih sempat protes, padahal sepertinya dia tampak tidak punya tenaga untuk hal itu.Jarang sekali ada yang berani memperlakukan Jun seperti itu. Jika pun ada, biasanya itu, beberapa mantan teman ranjang yang tidak suka karena telah dicampakkan secara sepihak olehnya.“Ayo, masuk. Kau perlu sesuatu untuk menghangatkan tubuhmu dan menenangkan perasaanmu.”Sumpah demi apa, Shima tidak membutuhkan hal itu saat ini.“Ayo,” desak Jun. Dia bahkan rela berdiri di luar dengan gerimis tipis yang masih bertahan sejak tadi, membujuk Shima setelah membukakan pintu mobil untuk kakak iparnya.Shima menurut setelah menyadari bahwa tubuh Jun jadi basah karena berusaha membujuknya. Mereka setengah berlari bergerak menuju ke dalam restoran.Setelah mendapat tempat yang nyaman, Jun menarik beberapa helai tisu dan menghapus bulir-bulir gerimis di rambut Shima.“Aku tidak apa-apa.” Shima berniat menepis tangan Jun dari rambutnya, tapi merasa tidak enak hati karena adik iparnya ini berperan penuh dalam menyelamatkan nyawanya.“Kau bisa terkena flu. Jangan remehkan hal itu.”Shima bukan meremehkan hal itu, tapi merasa tidak nyaman dengan sikap Jun yang terlalu baik padanya. Seakan ada niat tertentu.Ya, jelas niat tertentu. Malam pertamanya saja sudah berhasil diambil oleh Jun. Untuk hal lain mungkin akan lebih mudah.Namun rasanya, Shima tidak bisa membiarkan hal itu terus menerus terjadi.“Jun.”“Hmm?” Menggulung tisu dalam genggamannya, Jun menjauh dari Shima dan duduk tenang untuk mendengarkan. “Ada apa?”Shima meneguk air putih hangat yang baru saja diantarkan pelayan untuk mereka. Menatap Jun, lalu menyalin jari jemari di kedua tangannya di atas pangkuannya.“Bisakah kau bersikap sewajarnya saja padaku?”Kening Jun mengerut. Dia memperhatikan Shima dengan bingung. “Aku sudah bersikap sewajarnya padamu.”“Ya. Di depan ayahku dan kakakmu, kau bersikap sewajarnya sebagai seorang adik ipar, tapi tidak di depanku.”Jun menahan tawanya. Baru kali ini ada wanita yang memintanya bersikap sewajarnya saja, padahal sudah pernah tidur bersama.Biasanya, para wanita itu, setelah menghabiskan semalaman bersama dengannya, pasti akan bertingkah seolah mereka memiliki hubungan layaknya sepasang kekasih. Bahkan di beberapa kasus, ada yang terus berusaha menempel padanya seperti lintah.Apa mungkin karena Shima itu sudah memiliki pasangan? Tidak. Tidak juga.Justru, di beberapa kejadian lalu, ada lebih dari empat teman ranjangnya yang sudah memiliki kekasih, bahkan suami.Bisa dibayangkan, bukan? Mereka memohon dan bertekuk lutut agar bisa merasai tubuh Jun lagi untuk yang kedua kalinya.Jadi, Shima sudah menikah atau belum, tidak lah jadi tolak ukur untuk penilaian ini.“Sewajarnya yang bagaimana, Shima?” Jun bersabar. Bahkan bicara dengan suara yang lembut.Shima mengaduk-ngaduk sup kental hangat di depannya nyaris tanpa selera. Berhenti melakukan itu, hanya untuk menatap Jun dan mengungkapkan keinginannya. “Mau bagaimana? Ya, samakan saja antara sikapmu di depan mereka dengan saat hanya ada kita berdua saja seperti ini. Jangan dibedakan.”Untuk kali ini, Jun tidak bisa menahan tawanya. Hingga beberapa pasang mata melihat ke arah mereka dengan tatapan terganggu.“Berhenti tertawa.” Karena malu jadi bahan tontonan orang-orang di sekitar mereka, Shima menggeram. Bicara dibalik deretan gigi-giginya.“Oke, oke.” Untuk Shima, Jun bersedia patuh. Dia berhenti tertawa dan bicara sendiri, walau Shima sudah pasti bisa mendengarnya.“Untuk apa bersikap sewajarnya setelah apa yang terjadi di antara kami? Lucu sekali.”Shima mengernyit tidak senang. Kedua tangannya terkepal. “Aku bisa mendengarmu, Jun.”Shima memang mudah tersulut emosi, tapi pada Jun, entah kenapa rasanya seperti tertahan hingga membuatnya sesak.Jun mengangkat bahu. Tidak peduli. Apa pun bentuk rasa benci yang dilontarkan Shima ke hadapannya, dia akan menerimanya. Benar-benar menerimanya dengan baik.Ketika Shima dan Jun sudah selesai makan, berjalan beriringan menuju pintu keluar, mereka berpapasan dengan mantan calon kakak ipar Jun.Elia Eve.“Jun?” Eve mengerjapkan matanya dengan sendu. Wanita yang satu ini memang cantik dengan pesona lembut dan anggun dalam sekali waktu.Shima pun menyadari hal itu. Cantik. Mempesona.“Oh, hai, Eve.” Jun tidak terlihat salah tingkah tertangkap mata sedang bersama kakak iparnya.Lagipula, Eve tidak mengenal Shima sebagai istri dari Kun. Pria itu tidak memberitahukan siapa wanita yang menggantikan posisi Eve di hari pernikahan mereka.Eve tidak terlihat ingin tahu pada Shima yang bersanding di sisi Jun, justru dia terkesan terburu-buru.“Kau sudah selesai?” Meski bertanya pada Jun, tapi matanya mengarah ke dalam restoran.“Ya.” Jun mengangguk. Melirik pada Shima yang sesekali mencuri pandang pada Eve.“Oke, kalau begitu. Sampai jumpa lagi, Jun.” Melambai sambil tersenyum, Eve pamit dan langsung pergi meninggalkan mereka.“Dia lah yang seharusnya menjadi kakak iparku.”Shima berpura-pura tuli. Dia terus melangkah menuju mobil.“Kau sudah mengenalnya?”“Ya, aku mengenalnya.”“Di mana? Di mana pertama kali kau melihatnya?”Sebelum masuk ke dalam mobil, Shima menatap marah pada Jun. “Itu bukan urusanmu.”Eve menunggu sambil memeriksa ponselnya. Menanti dengan tidak tenang karena yang ditunggu belum kunjung tiba.[Kau sungguh tidak akan datang?]Berselang dua puluh menit, ketika Eve bahkan sudah lelah menanti, yang ditunggu sejak tadi akhirnya muncul juga.“Maaf. Sudah lama?”“Nyaris saja aku pergi.” Berwajah sedih, Eve menatap Kun dengan sepasang matanya yang berkaca-kaca.“Maafkan aku.”Eve menghela napas. “Jangan terus meminta maaf, Kun.”Kun bermaksud meraih tangan Eve untuk dia genggam seperti biasanya, tapi tiba-tiba hatinya menolak. Menolak agar jangan melakukan lagi hal seperti itu.Bukan karena kini Kun yang sudah menikah dengan wanita lain, tapi sungguh dia tidak ingin membuat Eve dalam keadaan yang sulit.Sulit dalam artian, jika sampai hal ini terendus oleh Mun Kamli—ayah Kun dan Jun—maka tamat lah riwayat mereka. Kun tidak ingin menyeret Eve ke dalam masalah yang lebih besar, apalagi jika itu melibatkan ayahnya.Mun Kamli adalah seorang kepala divisi di sebuah perusahaan te
Kun pulang ke rumah setelah mengantarkan Eve. Mun Kamli sudah menunggunya di ruang keluarga. Duduk tenang di sana, sambil membaca koran. Ada dua cangkir teh yang telah disiapkan Shima untuk mereka. Masih panas. Asap yang menguap dari permukaan cangkir-cangkir itu, terlihat dari jarak Kun berdiri saat ini di ambang pintu.Mun Kamli tahu ada mata yang menatapnya. Menurunkan koran, dia menatap sekilas putra sulungnya dan mengangguk, isyarat bahwa Kun boleh mengganggu waktu membacanya.“Ya, Ayah?” Sapaan, bukan. Itu langsung inti dari pembicaraan. Kun mengatakan itu karena tahu, tadi ayahnya memperpendek waktu pembicaraan mereka ditelepon.“Kenapa menantuku dijemput oleh adikmu?”Tersentak. Kun tidak tahu akan hal itu. Pikirannya langsung kosong setiap kali terjebak oleh pertanyaan Mun Kamli yang tidak ada jawaban di kepalanya.Mun tahu bahwa Kun tidak punya jawabannya. Dia meneliti wajah putranya yang kebingungan.“Sesuatu terjadi di rumah ayah mertuamu. Pencurian. Kebetulan sekali adikmu
Jun menyembunyikan kekesalannya lewat sikap yang seolah tidak peduli, saat melihat Shima dan Kun keluar kamar bersama sambil mengobrol santai.“Tingkah mereka seperti pasangan sungguhan saja,” gerutu Jun. Berharap semoga Shima mendengar sindirannya barusan.Tentu saja tidak. Jarak mereka cukup jauh. Bahkan Shima tidak berpaling sedikit pun dari tatapannya pada Kun. Membuat perasaan Jun kian memanas. “Jun.” Kun menyapa, ketika dia dan Shima sampai tepat di sisi Jun yang tengah bersantai. Ada senyum singkat yang serasa tak enak, melihat raut wajah sang adik. “Bisa bicara sebentar?”“Tidak bisa di sini saja?”Kun merasai keengganan Jun yang terdengar jelas lewat suaranya.“Tidak masalah, kalau kau tidak keberatan didengar oleh selain kita.” Tentu maksud Kun itu, Shima.Jun bangkit dengan malas. Mendorong perasaan hatinya yang masih memanas karena ulah Kun dan Shima yang keluar kamar dengan wajah seolah terpuaskan.Tidak ada seks. Jun paham benar siapa itu Kun Yongli. Bahkan dia sudah tah
Alasan konyol!Karenina membutuhkan masukan dan arahan untuk presentasi senin di kantor.Minggu adalah hari peringatan kematian ayahnya, sehingga hanya hari ini dia memiliki kesempatan untuk mempersiapkan diri dan segala keperluan lainnya.Jun tidak dapat berkata apa-apa lagi, karena mereka satu tim dan Karenina menggunakan alasan ‘peringatan kematian sepuluh tahun ayah’-nya sebagai niat terencananya ke rumah ini.“Tunggu aku di halaman belakang.” Jun meminta kedua rekan kerjanya itu pergi lebih dulu, karena dia harus mengambil laptop di kamarnya.Sepeninggal Jun, Nasco dan Karenina bergerak menuju ke arah samping.“Oh, aku lupa memberikan buah dan puding yang kubawa.” Karenina sengaja melupakannya tadi dan baru mengingatnya sekarang.“Ya sudah, ambil lah.” Nasco berkata sambil lalu. Dia sibuk mengetik pesan untuk teman-teman di obrolan grupnya. “Nanti letakkan saja di ruang tamu.”“Oke.” Karenina melangkah cepat menuju garasi, mengambil bungkusan buah dan kotak puding di mobil Nasco,
“Jun ....”“Oh, maaf!” Jun menarik tangannya menjauh dari wajah Shima.Shima merengut. “Jangan jadikan kebiasaan. Kakakmu ada di rumah.”“Dia sedang bicara ditelepon dengan Elia Eve. Sudah lebih dari tiga puluh menit.” Santainya Jun, seolah itu tidak berarti apa-apa untuk Shima yang mulai meradang.Shima memalingkan wajah. Melepas jari Jun. “Sudah selesai. Bagusnya, lukamu tidak terlalu dalam.”“Oke. Terima kasih, Kakak ipar.”Shima berhenti sejenak memasukkan barang-barang ke kotak obat. “Kau sedang mengejekku?” Rasanya seperti mendengar senandung hinaan dari Jun.“Tidak.” Jun menggeleng. “Sama sekali tidak.”Dengan kesal, Shima membanting tutup kotak obat. Membawa pergi benda itu keluar dapur. Suasana hatinya kian memburuk. Perkataan dan perilaku Jun selalu berhasil membuat perasaannya tidak menentu.Alih-alih salah tingkah, justru dia malah lebih nyaman bersikap marah.“Shima?”Langkah Shima terhenti. Melihat Kun sedang menutup pintu ruang kerjanya dan berjalan menuju ke arahnya.“
Canggung dan tidak nyaman.Selalu itu saja yang dirasakannya setiap kali bersama Jun, kecuali ketika mereka tengah bercinta. Eits! Lupakan, Shima. Lupakan!“Ayo, Sayang.” Jun membawa pergi Shima bersamanya untuk naik ke bus. Meninggalkan para bajingan mata keranjang yang melihat Shima dengan tatapan kurang ajar. Bahkan mata kotor mereka tetap mengikuti, meski Shima sudah dirangkul begitu mesra olehnya.Sebenarnya, mobil Jun sedang tidak dalam masalah apa pun. Dia cuma tidak mau menyetir dan fokus pada jalanan selama hampir tiga jam. Membuang percuma waktu selama itu tanpa menatap kakak iparnya. Dia sungguh tidak mau itu terjadi.Shima melepaskan diri dari Jun, tanpa perlu menepis tangan adik iparnya itu. Dia bergerak beda arah, hingga rangkulan Jun di pinggangnya terlepas dengan sendirinya.“Shima, sebelah sini.” Jun menunjuk dua bangku kosong dideretan dua sebelum akhir.“Oh, oke.” Shima mengangguk. Pura-pura bodoh. Dia tidak peduli andai Jun bisa menebak gerakan menghindarnya. Yang
Kamar hotel tempat acara pernikahan sepupu jauh Jun, terisi penuh. Jun sedang bicara dengan resepsionis, sementara Shima duduk menunggu di lobi.Sekitar tiga menit kemudian, seorang pria bertubuh atletis dengan kacamata hitam melintasi lobi, lalu berhenti saat melihat Shima. Dia menurunkan kacamatanya sedikit, untuk memastikan penglihatannya.“Shima Naomi?”Namanya dipanggil, spontan dia menoleh. Melihat seorang pria berambut nyaris gondrong itu berjalan mendekatinya.Oh! Semakin dekat, semakin dia tahu siapa pria itu. Apalagi saat pria itu tersenyum lebar ke arahnya.“Dido Joil?” Shima terpekik gembira. Pria itu mendekat dan mereka saling berpelukan tanpa canggung.Jun menoleh saat suara melengking Shima terdengar. Seketika rautnya menjadi tidak senang, begitu melihat Shima dan seorang pria tengah berpelukan.“Tidak ada ....” Resepsionis menggantung ucapannya, ketika Jun meninggalkan meja begitu saja. Tidak pamit, apalagi mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan.Ju
“Sedang apa, Shima? Menikmati keperkasaanku?” Jun terbangun. Ah, tidak. Sebenarnya, dia sudah terbangun sejak tadi. Ketika aroma sabun mandi menyebar cepat dalam ruangan.Dia hanya memejamkan mata dalam keadaan setengah sadar.“Ti-tidak. Aku—hei, Jun! Lepaskan!” Shima meronta ketika Jun dengan kurang ajar, memeluk erat tubuhnya yang cuma berbalut jubah mandi.“Semakin kau bergerak dan meronta, bagian milikmu dan milikku semakin tidak bisa menghindar dari gesekan.”Spontan Shima berhenti meronta. Memang benar. Sesuatu yang merangsang sedang berusaha semakin keras menaikkan level kenikmatannya dari masing-masing bagian.Bukan cuma milik Jun, kepunyaan Shima pun ikut berkedut nyeri.Wah, gawat.Shima sudah kehilangan keperawanannya karena Jun. Hampir menjadikan tubuh pria itu sebagai candu, tapi sekuat tenaga ditahannya selama ini dengan berpura-pura membenci. Ah, bukan. Lebih tepatnya, menghindar.Memangnya bisa?Tidak!Jun sudah lebih dulu mendaratkan ciuman ke leher Shima. Dia tahu ba