Share

6. Bersikap Sewajarnya

Alaric kembali ke rumahnya dengan keadaan ruang kerjanya yang berantakan.

Tidak peduli, yang ingin dia pastikan tentu saja keadaan putrinya.

Alaric melihat Shima dan Jun berdiri di lorong. Sedang bicara dengan seorang pria asing. Yang jelas, bukan salah satu dari musuhnya.

“Shima,” panggil Alaric. Dia berjalan menghampiri putrinya dengan tergesa.

“Ayah!” Saat melihat Alaric, Shima berlari meski kedua lututnya masih lemas.

Shima menumpahkan rasa takutnya dengan memeluk sang ayah.

“Kau baik-baik saja. Tidak apa-apa. Semua sudah aman.” Alaric menenangkan. Dia punya firasat, bahwa kejadian ini akan terulang kembali dan membangkitkan kenangan menyakitkan untuk Shima.

“Apa Ayah juga baik-baik saja?” Melepas pelukan, dia menatap Alaric yang berwajah pucat.

“Tentu saja.” Sekarang, tatapan Alaric Domina tertuju pada Jun. “Nak, bisakah kau membawa pulang Shima bersamamu?”

“Bisa, Ayah.” Jun mengangguk, lalu memberi isyarat agar temannya itu segera pergi dari hadapannya.

“Ayah, kenapa aku harus pulang?” Shima protes. Bukan tidak takut jika harus bermalam di rumah ayahnya, tapi dia cemas jika meninggalkan Alaric seorang diri sementara keadaannya belum sepenuhnya aman.

“Pulang saja bersama Jun. Kalian tidak akan aman di sini.”

“Ayah—”

“Jangan khawatir. Ayah juga tidak akan tinggal di rumah selama beberapa hari. Aku harus bertemu dengan teman-temanku untuk membahas hal ini.”

“Teman Ayah yang mana?”

Alaric terdiam sejenak. Shima-nya yang bodoh ternyata tidak bisa dibohongi.

“Jangan berurusan dengan mereka lagi, Ayah. Sebaiknya, biarkan aku yang menghubungi polisi.” Shima langsung sadar, bahwa ayahnya masih berhubungan dengan teman-teman tidak jelas identitasnya itu. Dia berlari linglung ke tempat telepon rumah berada.

“Jangan lakukan itu, Nak.” Alaric menahan tangan Shima yang gemetaran memegangi gagang telepon. “Jun, cepat bawa Shima pergi dari sini.”

“Baik, Ayah.” Jun menyeret Shima dengan mencengkeram kedua pundak wanita itu agar menurut padanya.

Diperjalanan, Shima menutup rapat mulutnya. Seperti baru kehilangan semangat, dia membeku dengan raut yang pucat.

Jun tidak segera pulang. Dia membawa Shima ke sebuah restoran kecil dipinggir jalan.

“Aku mau pulang, bukan makan.” Shima masih sempat protes, padahal sepertinya dia tampak tidak punya tenaga untuk hal itu.

Jarang sekali ada yang berani memperlakukan Jun seperti itu. Jika pun ada, biasanya itu, beberapa mantan teman ranjang yang tidak suka karena telah dicampakkan secara sepihak olehnya.

“Ayo, masuk. Kau perlu sesuatu untuk menghangatkan tubuhmu dan menenangkan perasaanmu.”

Sumpah demi apa, Shima tidak membutuhkan hal itu saat ini.

“Ayo,” desak Jun. Dia bahkan rela berdiri di luar dengan gerimis tipis yang masih bertahan sejak tadi, membujuk Shima setelah membukakan pintu mobil untuk kakak iparnya.

Shima menurut setelah menyadari bahwa tubuh Jun jadi basah karena berusaha membujuknya. Mereka setengah berlari bergerak menuju ke dalam restoran.

Setelah mendapat tempat yang nyaman, Jun menarik beberapa helai tisu dan menghapus bulir-bulir gerimis di rambut Shima.

“Aku tidak apa-apa.” Shima berniat menepis tangan Jun dari rambutnya, tapi merasa tidak enak hati karena adik iparnya ini berperan penuh dalam menyelamatkan nyawanya.

“Kau bisa terkena flu. Jangan remehkan hal itu.”

Shima bukan meremehkan hal itu, tapi merasa tidak nyaman dengan sikap Jun yang terlalu baik padanya. Seakan ada niat tertentu.

Ya, jelas niat tertentu. Malam pertamanya saja sudah berhasil diambil oleh Jun. Untuk hal lain mungkin akan lebih mudah.

Namun rasanya, Shima tidak bisa membiarkan hal itu terus menerus terjadi.

“Jun.”

“Hmm?” Menggulung tisu dalam genggamannya, Jun menjauh dari Shima dan duduk tenang untuk mendengarkan. “Ada apa?”

Shima meneguk air putih hangat yang baru saja diantarkan pelayan untuk mereka. Menatap Jun, lalu menyalin jari jemari di kedua tangannya di atas pangkuannya.

“Bisakah kau bersikap sewajarnya saja padaku?”

Kening Jun mengerut. Dia memperhatikan Shima dengan bingung. “Aku sudah bersikap sewajarnya padamu.”

“Ya. Di depan ayahku dan kakakmu, kau bersikap sewajarnya sebagai seorang adik ipar, tapi tidak di depanku.”

Jun menahan tawanya. Baru kali ini ada wanita yang memintanya bersikap sewajarnya saja, padahal sudah pernah tidur bersama.

Biasanya, para wanita itu, setelah menghabiskan semalaman bersama dengannya, pasti akan bertingkah seolah mereka memiliki hubungan layaknya sepasang kekasih. Bahkan di beberapa kasus, ada yang terus berusaha menempel padanya seperti lintah.

Apa mungkin karena Shima itu sudah memiliki pasangan? Tidak. Tidak juga.

Justru, di beberapa kejadian lalu, ada lebih dari empat teman ranjangnya yang sudah memiliki kekasih, bahkan suami.

Bisa dibayangkan, bukan? Mereka memohon dan bertekuk lutut agar bisa merasai tubuh Jun lagi untuk yang kedua kalinya.

Jadi, Shima sudah menikah atau belum, tidak lah jadi tolak ukur untuk penilaian ini.

“Sewajarnya yang bagaimana, Shima?” Jun bersabar. Bahkan bicara dengan suara yang lembut.

Shima mengaduk-ngaduk sup kental hangat di depannya nyaris tanpa selera. Berhenti melakukan itu, hanya untuk menatap Jun dan mengungkapkan keinginannya. “Mau bagaimana? Ya, samakan saja antara sikapmu di depan mereka dengan saat hanya ada kita berdua saja seperti ini. Jangan dibedakan.”

Untuk kali ini, Jun tidak bisa menahan tawanya. Hingga beberapa pasang mata melihat ke arah mereka dengan tatapan terganggu.

“Berhenti tertawa.” Karena malu jadi bahan tontonan orang-orang di sekitar mereka, Shima menggeram. Bicara dibalik deretan gigi-giginya.

“Oke, oke.” Untuk Shima, Jun bersedia patuh. Dia berhenti tertawa dan bicara sendiri, walau Shima sudah pasti bisa mendengarnya.

“Untuk apa bersikap sewajarnya setelah apa yang terjadi di antara kami? Lucu sekali.”

Shima mengernyit tidak senang. Kedua tangannya terkepal. “Aku bisa mendengarmu, Jun.”

Shima memang mudah tersulut emosi, tapi pada Jun, entah kenapa rasanya seperti tertahan hingga membuatnya sesak.

Jun mengangkat bahu. Tidak peduli. Apa pun bentuk rasa benci yang dilontarkan Shima ke hadapannya, dia akan menerimanya. Benar-benar menerimanya dengan baik.

Ketika Shima dan Jun sudah selesai makan, berjalan beriringan menuju pintu keluar, mereka berpapasan dengan mantan calon kakak ipar Jun.

Elia Eve.

“Jun?” Eve mengerjapkan matanya dengan sendu. Wanita yang satu ini memang cantik dengan pesona lembut dan anggun dalam sekali waktu.

Shima pun menyadari hal itu. Cantik. Mempesona.

“Oh, hai, Eve.” Jun tidak terlihat salah tingkah tertangkap mata sedang bersama kakak iparnya.

Lagipula, Eve tidak mengenal Shima sebagai istri dari Kun. Pria itu tidak memberitahukan siapa wanita yang menggantikan posisi Eve di hari pernikahan mereka.

Eve tidak terlihat ingin tahu pada Shima yang bersanding di sisi Jun, justru dia terkesan terburu-buru.

“Kau sudah selesai?” Meski bertanya pada Jun, tapi matanya mengarah ke dalam restoran.

“Ya.” Jun mengangguk. Melirik pada Shima yang sesekali mencuri pandang pada Eve.

“Oke, kalau begitu. Sampai jumpa lagi, Jun.” Melambai sambil tersenyum, Eve pamit dan langsung pergi meninggalkan mereka.

“Dia lah yang seharusnya menjadi kakak iparku.”

Shima berpura-pura tuli. Dia terus melangkah menuju mobil.

“Kau sudah mengenalnya?”

“Ya, aku mengenalnya.”

“Di mana? Di mana pertama kali kau melihatnya?”

Sebelum masuk ke dalam mobil, Shima menatap marah pada Jun. “Itu bukan urusanmu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status