Share

4. Kunjungan Tidak Terduga

Alaric melintasi dapur untuk mencapai ruang makan, ketika mendengar suara putrinya dari ruangan itu.

“Hei, mau apa kau?”

Dia melihat Shima yang mundur beberapa langkah dari gerakan Jun yang semakin maju ke arah putri tunggalnya itu.

“Ada bulu mata jatuh di pipimu, Kakak ipar.” Jun bersikap tenang. Meski tidak tahu bahwa ayahnya Shima sedang mengintai kegiatan mereka. Dia memang butuh kepercayaan pria itu untuk bisa bebas bergerak di rumah ini. Meski itu, nanti. Belum sekarang. Pelan, tapi pasti.

“O-oh.” Shima gugup. Terbaca oleh Alaric sebagai sesuatu yang lucu.

“Kenapa putriku itu canggung sekali pada adik iparnya? Padahal Jun itu pria baik. Walau menantuku pun tidak kalah sopan dan tampan dari adiknya.” Setelah berspekulasi sendiri di dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Alaric pergi ke ruang makan.

Mereka makan malam bersama. Bahkan Alaric melarang Jun untuk pulang.

“Menginap saja. Kamar di rumahku banyak.” Alaric bukan pamer, dia benar-benar berharap rumahnya kembali seramai saat istrinya masih hidup.

Walau cuma ada tambahan dua orang dewasa, Alaric tetap merasa senang karena dia memiliki mereka untuk diajak bicara.

Selalu diakui olehnya, dia sulit menerima orang asing bergabung atau sekedar mencoba dekat dengannya, menjilat padanya.

Jun tidak. Pria ini sangat hangat. Luar biasa menyenangkan. Tidak memaksa Alaric untuk bisa menerimanya. Seperti hanya ingin berteman, tanpa memandang usia.

Kesan pertama yang tertangkap mata Alaric, pria muda yang hebat.

“Kenapa bukan anak ini saja yang jadi menantuku? Walau aku tidak keberatan dengan Kun, tapi aku lebih menyukai pria ini.” Menimang dan berharap dalam hati, Alaric terus terlibat obrolan seru bahkan saat mereka masih menyantap makan malam bersama-sama.

“Sesekali, pergi lah bermain golf denganku, Ayah.” Jun mengajak Alaric dengan menggunakan bahasa yang santun, tapi santai. Akrab. Kedengarannya seperti itu.

“Ide bagus, Nak.” Alaric berbinar. Senang sekali akhirnya ada seseorang yang bisa dia pamerkan pada teman-teman di klub para pemain golf-nya, walau Jun bukan menantu, tapi itu tidak masalah untuk saat ini.

Biasanya, para kekasih Shima selalu menolak berkenalan dengan Alaric Domina secara lebih mendalam. Selalu berhenti setelah perkenalan pertama. Bagaimana tidak? Alaric senang menggertak kekasih Shima, untuk melihat kesungguhan para pria itu yang akan bermertuakan dirinya.

Alaric si mantan preman. Malah masih bergabung—meski tidak terlalu aktif—dengan beberapa organisasi mafia. Putrinya saja yang bodoh. Selalu tidak tahu. Atau mungkin juga karena Alaric pintar menutupinya.

Yang Shima tahu, ayahnya menakutkan. Tidak ada pria yang mau menikahinya karena tahu seberapa mengerikan ayahnya. Malah pernah ada yang pingsan setelah seharian ditinggal oleh Shima bersama ayahnya. Tapi, setiap kali ditanya, pria itu menghindar dan memutuskan hubungan mereka sepekan setelahnya.

Tragis.

Sekarang, Shima sedang memperhatikan ayah dan adik iparnya. Menyembunyikan kekesalannya. Mengabaikan suara Jun di dalam kepalanya. Suara yang bahkan sangat melekat setelah malam pertamanya bersama pria itu.

“Aku benci mendengar suaramu, Jun.”

“Kak, Kakak mengatakan sesuatu?” Disela menyelesaikan sisa makanannya, Jun yang duduk di sisi kanan Shima bertanya.

“Oh, tidak. Aku tidak mengatakan apa pun.” Shima menggeleng canggung. Perasaannya mengatakan bahwa sekecil apa pun suara yang keluar dari mulutnya, Jun sepertinya bisa mendengarnya.

Alaric memperhatikan mereka berdua. Pura-pura mengajukan pertanyaan yang menjebak. Bukan bermaksud apa-apa. Dia memang senang bersikap seperti itu.

“Apa hubungan kalian secanggung itu? Apa putriku ini tidak bisa menerimamu sebagai adik iparnya?”

Shima baru akan meneguk air dari gelasnya, tapi dibatalkan. Sebelum tersedak minumnya sendiri, lebih baik dia menahan pinggir gelas agar tidak menyentuh bibirnya, ketika mendengar pertanyaan aneh sang ayah.

Pertanyaan itu bukan untuk Shima, tapi Jun.

Dengan senang hati, pria itu menjawab. “Awalnya, aku hanya merasa tidak enak karena aku ikut tinggal di rumah kakakku yang akan segera menikah. Tapi, setelah tahu bahwa kakak iparku ini adalah kak Shima, seseorang yang terlihat menyenangkan, aku merasa tidak perlu lagi mempermasalahkan hal itu.

Mungkin di sini, Ayah melihat Kak Shima seperti canggung padaku seolah tidak menerima diriku, tapi di rumah kami, dia bersikap ramah dan hangat.”

Alaric mengangguk-angguk mendengar jawaban adik dari menantunya. Mengherankan, hanya raut wajah putrinya yang sedikit memerah.

“Jadi, berapa umurmu, Jun?”

“Dua puluh delapan tahun, Ayah.”

Alaric mengangguk sambil tersenyum. Lalu mengubah topik pembicaraan mereka, karena Shima terlihat tidak nyaman.

“Kau sudah memiliki kekasih?” Pertanyaan Alaric semakin bersifat pribadi, walau tujuannya ingin mengubah topik.

Jun melirik Shima. Yang dilirik mengernyit kesal.

“Kenapa melihat ke arahku?” Batin Shima terus menerus heran, kesal dan cemas. Adik iparnya ini perlu diberi peringatan serius, agar tidak semakin menyimpang.

“Belum. Untuk saat ini belum, Ayah.” Senyum Jun semanis madu. Membuat Shima semakin kesal.

“Apa aku perlu menjodohkanmu dengan putrinya teman klub golf-ku?” Alaric bersemangat. Matanya berbinar.

Jun melirik Shima. Selalu itu yang dilakukannya lebih dulu. Membuat Shima mengernyit bingung.

“Tentu saja boleh, Ayah. Jika dia berkenan berkenalan dengan pria sepertiku.”

Cih.

Memangnya, Jun Hongli itu pria yang seperti apa? Seketika Shima begitu ingin memutar bola mata dan memajukan bibirnya untuk mencibir. Namun sebaiknya dia menahan diri atau ayahnya akan kembali menegurnya. Membela Jun. Orang yang baru pertama kali dikenalnya. Aneh.

Shima masuk ke kamarnya lebih dulu, setelah menolak ajakan Alaric untuk bergabung bersamanya dan Jun di ruang keluarga.

Shima sudah tidak tahan untuk berlama-lama di sisi Jun. Seruangan dengan ayahnya yang begitu berpihak pada adik iparnya. Dia merasakan itu sejak awal. Bahwa ayahnya begitu menyukai Jun dalam segala sisi.

Turun hujan deras ketika Shima terbangun ditengah tidurnya. Dia duduk ditepi ranjang untuk melihat ponsel dan menemukan pesan dari Kun. Suami yang hanya sebatas status untuknya.

Walau begitu, meski cuma status, jantung Shima berdebar kencang hanya karena beberapa baris pesan singkat dari Kun Yongli.

[Kau menginap di rumah ayahmu? Tolong sampaikan salamku padanya, sekaligus maaf karena tidak ikut datang bersamamu ke sana untuk mengunjungi. Jika kau butuh jemputan saat pulang, katakan saja padaku]

Shima tersenyum senang memandangi layar ponsel, tapi seketika menggerutu ketika benda itu mati karena kehabisan daya baterai.

Dia baru saja turun dari ranjang, ketika suara petir menggelegar bersamaan dengan padamnya listrik. Karena terkejut, ponselnya lepas dan terjatuh.

Dalam gelap gulita, Shima malah menendang ponselnya entah ke mana. Dia segera menyerah mencari benda itu karena perasaan gelisah menghantuinya. Sekilas, dari luar jendela, dia seperti melihat bayangan yang melintas.

Keluar dari kamar dengan susah payah, dia berhasil berada di luar walau keadaannya pun sama saja. Gelap gulita.

Berusaha mengingat sambil berjalan yakin bahwa dia sedang menuju ruang keluarga, tiba-tiba saja pinggangnya ditarik dari samping.

Itu Jun. Siapa lagi.

Meski begitu, Shima tetap berniat berteriak, karena merasa harus waspada jika ternyata itu adalah seorang pencuri.

Memang sudah yakin bahwa kakak iparnya akan menjerit histeris, Jun membekap mulut Shima sambil berbisik.

“Ini aku. Kumohon, jangan berteriak.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status