Alaric melintasi dapur untuk mencapai ruang makan, ketika mendengar suara putrinya dari ruangan itu.
“Hei, mau apa kau?”
Dia melihat Shima yang mundur beberapa langkah dari gerakan Jun yang semakin maju ke arah putri tunggalnya itu.
“Ada bulu mata jatuh di pipimu, Kakak ipar.” Jun bersikap tenang. Meski tidak tahu bahwa ayahnya Shima sedang mengintai kegiatan mereka. Dia memang butuh kepercayaan pria itu untuk bisa bebas bergerak di rumah ini. Meski itu, nanti. Belum sekarang. Pelan, tapi pasti.
“O-oh.” Shima gugup. Terbaca oleh Alaric sebagai sesuatu yang lucu.
“Kenapa putriku itu canggung sekali pada adik iparnya? Padahal Jun itu pria baik. Walau menantuku pun tidak kalah sopan dan tampan dari adiknya.” Setelah berspekulasi sendiri di dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Alaric pergi ke ruang makan.
Mereka makan malam bersama. Bahkan Alaric melarang Jun untuk pulang.
“Menginap saja. Kamar di rumahku banyak.” Alaric bukan pamer, dia benar-benar berharap rumahnya kembali seramai saat istrinya masih hidup.
Walau cuma ada tambahan dua orang dewasa, Alaric tetap merasa senang karena dia memiliki mereka untuk diajak bicara.
Selalu diakui olehnya, dia sulit menerima orang asing bergabung atau sekedar mencoba dekat dengannya, menjilat padanya.
Jun tidak. Pria ini sangat hangat. Luar biasa menyenangkan. Tidak memaksa Alaric untuk bisa menerimanya. Seperti hanya ingin berteman, tanpa memandang usia.
Kesan pertama yang tertangkap mata Alaric, pria muda yang hebat.
“Kenapa bukan anak ini saja yang jadi menantuku? Walau aku tidak keberatan dengan Kun, tapi aku lebih menyukai pria ini.” Menimang dan berharap dalam hati, Alaric terus terlibat obrolan seru bahkan saat mereka masih menyantap makan malam bersama-sama.
“Sesekali, pergi lah bermain golf denganku, Ayah.” Jun mengajak Alaric dengan menggunakan bahasa yang santun, tapi santai. Akrab. Kedengarannya seperti itu.
“Ide bagus, Nak.” Alaric berbinar. Senang sekali akhirnya ada seseorang yang bisa dia pamerkan pada teman-teman di klub para pemain golf-nya, walau Jun bukan menantu, tapi itu tidak masalah untuk saat ini.
Biasanya, para kekasih Shima selalu menolak berkenalan dengan Alaric Domina secara lebih mendalam. Selalu berhenti setelah perkenalan pertama. Bagaimana tidak? Alaric senang menggertak kekasih Shima, untuk melihat kesungguhan para pria itu yang akan bermertuakan dirinya.
Alaric si mantan preman. Malah masih bergabung—meski tidak terlalu aktif—dengan beberapa organisasi mafia. Putrinya saja yang bodoh. Selalu tidak tahu. Atau mungkin juga karena Alaric pintar menutupinya.
Yang Shima tahu, ayahnya menakutkan. Tidak ada pria yang mau menikahinya karena tahu seberapa mengerikan ayahnya. Malah pernah ada yang pingsan setelah seharian ditinggal oleh Shima bersama ayahnya. Tapi, setiap kali ditanya, pria itu menghindar dan memutuskan hubungan mereka sepekan setelahnya.
Tragis.
Sekarang, Shima sedang memperhatikan ayah dan adik iparnya. Menyembunyikan kekesalannya. Mengabaikan suara Jun di dalam kepalanya. Suara yang bahkan sangat melekat setelah malam pertamanya bersama pria itu.
“Aku benci mendengar suaramu, Jun.”
“Kak, Kakak mengatakan sesuatu?” Disela menyelesaikan sisa makanannya, Jun yang duduk di sisi kanan Shima bertanya.
“Oh, tidak. Aku tidak mengatakan apa pun.” Shima menggeleng canggung. Perasaannya mengatakan bahwa sekecil apa pun suara yang keluar dari mulutnya, Jun sepertinya bisa mendengarnya.
Alaric memperhatikan mereka berdua. Pura-pura mengajukan pertanyaan yang menjebak. Bukan bermaksud apa-apa. Dia memang senang bersikap seperti itu.
“Apa hubungan kalian secanggung itu? Apa putriku ini tidak bisa menerimamu sebagai adik iparnya?”
Shima baru akan meneguk air dari gelasnya, tapi dibatalkan. Sebelum tersedak minumnya sendiri, lebih baik dia menahan pinggir gelas agar tidak menyentuh bibirnya, ketika mendengar pertanyaan aneh sang ayah.
Pertanyaan itu bukan untuk Shima, tapi Jun.
Dengan senang hati, pria itu menjawab. “Awalnya, aku hanya merasa tidak enak karena aku ikut tinggal di rumah kakakku yang akan segera menikah. Tapi, setelah tahu bahwa kakak iparku ini adalah kak Shima, seseorang yang terlihat menyenangkan, aku merasa tidak perlu lagi mempermasalahkan hal itu.
Mungkin di sini, Ayah melihat Kak Shima seperti canggung padaku seolah tidak menerima diriku, tapi di rumah kami, dia bersikap ramah dan hangat.”
Alaric mengangguk-angguk mendengar jawaban adik dari menantunya. Mengherankan, hanya raut wajah putrinya yang sedikit memerah.
“Jadi, berapa umurmu, Jun?”
“Dua puluh delapan tahun, Ayah.”
Alaric mengangguk sambil tersenyum. Lalu mengubah topik pembicaraan mereka, karena Shima terlihat tidak nyaman.
“Kau sudah memiliki kekasih?” Pertanyaan Alaric semakin bersifat pribadi, walau tujuannya ingin mengubah topik.
Jun melirik Shima. Yang dilirik mengernyit kesal.
“Kenapa melihat ke arahku?” Batin Shima terus menerus heran, kesal dan cemas. Adik iparnya ini perlu diberi peringatan serius, agar tidak semakin menyimpang.
“Belum. Untuk saat ini belum, Ayah.” Senyum Jun semanis madu. Membuat Shima semakin kesal.
“Apa aku perlu menjodohkanmu dengan putrinya teman klub golf-ku?” Alaric bersemangat. Matanya berbinar.
Jun melirik Shima. Selalu itu yang dilakukannya lebih dulu. Membuat Shima mengernyit bingung.
“Tentu saja boleh, Ayah. Jika dia berkenan berkenalan dengan pria sepertiku.”
Cih.
Memangnya, Jun Hongli itu pria yang seperti apa? Seketika Shima begitu ingin memutar bola mata dan memajukan bibirnya untuk mencibir. Namun sebaiknya dia menahan diri atau ayahnya akan kembali menegurnya. Membela Jun. Orang yang baru pertama kali dikenalnya. Aneh.
Shima masuk ke kamarnya lebih dulu, setelah menolak ajakan Alaric untuk bergabung bersamanya dan Jun di ruang keluarga.
Shima sudah tidak tahan untuk berlama-lama di sisi Jun. Seruangan dengan ayahnya yang begitu berpihak pada adik iparnya. Dia merasakan itu sejak awal. Bahwa ayahnya begitu menyukai Jun dalam segala sisi.
Turun hujan deras ketika Shima terbangun ditengah tidurnya. Dia duduk ditepi ranjang untuk melihat ponsel dan menemukan pesan dari Kun. Suami yang hanya sebatas status untuknya.
Walau begitu, meski cuma status, jantung Shima berdebar kencang hanya karena beberapa baris pesan singkat dari Kun Yongli.
[Kau menginap di rumah ayahmu? Tolong sampaikan salamku padanya, sekaligus maaf karena tidak ikut datang bersamamu ke sana untuk mengunjungi. Jika kau butuh jemputan saat pulang, katakan saja padaku]
Shima tersenyum senang memandangi layar ponsel, tapi seketika menggerutu ketika benda itu mati karena kehabisan daya baterai.
Dia baru saja turun dari ranjang, ketika suara petir menggelegar bersamaan dengan padamnya listrik. Karena terkejut, ponselnya lepas dan terjatuh.
Dalam gelap gulita, Shima malah menendang ponselnya entah ke mana. Dia segera menyerah mencari benda itu karena perasaan gelisah menghantuinya. Sekilas, dari luar jendela, dia seperti melihat bayangan yang melintas.
Keluar dari kamar dengan susah payah, dia berhasil berada di luar walau keadaannya pun sama saja. Gelap gulita.
Berusaha mengingat sambil berjalan yakin bahwa dia sedang menuju ruang keluarga, tiba-tiba saja pinggangnya ditarik dari samping.
Itu Jun. Siapa lagi.
Meski begitu, Shima tetap berniat berteriak, karena merasa harus waspada jika ternyata itu adalah seorang pencuri.
Memang sudah yakin bahwa kakak iparnya akan menjerit histeris, Jun membekap mulut Shima sambil berbisik.
“Ini aku. Kumohon, jangan berteriak.”
Shima mengangguk kuat-kuat, karena tahu Jun pasti tidak bisa melihatnya, tapi ada sedikit cahaya masuk dari jendela di ujung lorong. Melepas bekapan tangannya, Jun menyeret Shima ke kamarnya. “Kenapa ke sini?” “Ssst. Jangan berisik, Shima. Aku merasa ada orang yang berniat menyelinap masuk ke rumah ini.” Mata Shima membulat terkejut. Sebelumnya, walau sudah bertahun-tahun berlalu, kejadian serupa pernah terjadi. Tapi waktu itu, ibunya masih ada. Ibunya, yang melindunginya dari para penyusup yang tidak dikenal saat mereka masuk ke rumah, ditengah malam seperti ini. Saat itu, Alaric Domina tidak ada di tempat. Dia masih dalam perjalanan pulang dari melayat salah satu rekannya yang terkena tembakan salah sasaran. “Jangan bercanda.” Shima memasang raut marah dengan begitu serius. Untuk hal seperti ini, dia tidak bisa diajak main-main. Trauma atas kematian ibunya masih sangat jelas dirasakannya sampai detik ini. Bahkan kedua tangannya kembali bergetar karena begitu ketakutan. Jun men
Alaric kembali ke rumahnya dengan keadaan ruang kerjanya yang berantakan.Tidak peduli, yang ingin dia pastikan tentu saja keadaan putrinya.Alaric melihat Shima dan Jun berdiri di lorong. Sedang bicara dengan seorang pria asing. Yang jelas, bukan salah satu dari musuhnya.“Shima,” panggil Alaric. Dia berjalan menghampiri putrinya dengan tergesa.“Ayah!” Saat melihat Alaric, Shima berlari meski kedua lututnya masih lemas.Shima menumpahkan rasa takutnya dengan memeluk sang ayah.“Kau baik-baik saja. Tidak apa-apa. Semua sudah aman.” Alaric menenangkan. Dia punya firasat, bahwa kejadian ini akan terulang kembali dan membangkitkan kenangan menyakitkan untuk Shima.“Apa Ayah juga baik-baik saja?” Melepas pelukan, dia menatap Alaric yang berwajah pucat.“Tentu saja.” Sekarang, tatapan Alaric Domina tertuju pada Jun. “Nak, bisakah kau membawa pulang Shima bersamamu?”“Bisa, Ayah.” Jun mengangguk, lalu memberi isyarat agar temannya itu segera pergi dari hadapannya.“Ayah, kenapa aku harus p
Eve menunggu sambil memeriksa ponselnya. Menanti dengan tidak tenang karena yang ditunggu belum kunjung tiba.[Kau sungguh tidak akan datang?]Berselang dua puluh menit, ketika Eve bahkan sudah lelah menanti, yang ditunggu sejak tadi akhirnya muncul juga.“Maaf. Sudah lama?”“Nyaris saja aku pergi.” Berwajah sedih, Eve menatap Kun dengan sepasang matanya yang berkaca-kaca.“Maafkan aku.”Eve menghela napas. “Jangan terus meminta maaf, Kun.”Kun bermaksud meraih tangan Eve untuk dia genggam seperti biasanya, tapi tiba-tiba hatinya menolak. Menolak agar jangan melakukan lagi hal seperti itu.Bukan karena kini Kun yang sudah menikah dengan wanita lain, tapi sungguh dia tidak ingin membuat Eve dalam keadaan yang sulit.Sulit dalam artian, jika sampai hal ini terendus oleh Mun Kamli—ayah Kun dan Jun—maka tamat lah riwayat mereka. Kun tidak ingin menyeret Eve ke dalam masalah yang lebih besar, apalagi jika itu melibatkan ayahnya.Mun Kamli adalah seorang kepala divisi di sebuah perusahaan te
Kun pulang ke rumah setelah mengantarkan Eve. Mun Kamli sudah menunggunya di ruang keluarga. Duduk tenang di sana, sambil membaca koran. Ada dua cangkir teh yang telah disiapkan Shima untuk mereka. Masih panas. Asap yang menguap dari permukaan cangkir-cangkir itu, terlihat dari jarak Kun berdiri saat ini di ambang pintu.Mun Kamli tahu ada mata yang menatapnya. Menurunkan koran, dia menatap sekilas putra sulungnya dan mengangguk, isyarat bahwa Kun boleh mengganggu waktu membacanya.“Ya, Ayah?” Sapaan, bukan. Itu langsung inti dari pembicaraan. Kun mengatakan itu karena tahu, tadi ayahnya memperpendek waktu pembicaraan mereka ditelepon.“Kenapa menantuku dijemput oleh adikmu?”Tersentak. Kun tidak tahu akan hal itu. Pikirannya langsung kosong setiap kali terjebak oleh pertanyaan Mun Kamli yang tidak ada jawaban di kepalanya.Mun tahu bahwa Kun tidak punya jawabannya. Dia meneliti wajah putranya yang kebingungan.“Sesuatu terjadi di rumah ayah mertuamu. Pencurian. Kebetulan sekali adikmu
Jun menyembunyikan kekesalannya lewat sikap yang seolah tidak peduli, saat melihat Shima dan Kun keluar kamar bersama sambil mengobrol santai.“Tingkah mereka seperti pasangan sungguhan saja,” gerutu Jun. Berharap semoga Shima mendengar sindirannya barusan.Tentu saja tidak. Jarak mereka cukup jauh. Bahkan Shima tidak berpaling sedikit pun dari tatapannya pada Kun. Membuat perasaan Jun kian memanas. “Jun.” Kun menyapa, ketika dia dan Shima sampai tepat di sisi Jun yang tengah bersantai. Ada senyum singkat yang serasa tak enak, melihat raut wajah sang adik. “Bisa bicara sebentar?”“Tidak bisa di sini saja?”Kun merasai keengganan Jun yang terdengar jelas lewat suaranya.“Tidak masalah, kalau kau tidak keberatan didengar oleh selain kita.” Tentu maksud Kun itu, Shima.Jun bangkit dengan malas. Mendorong perasaan hatinya yang masih memanas karena ulah Kun dan Shima yang keluar kamar dengan wajah seolah terpuaskan.Tidak ada seks. Jun paham benar siapa itu Kun Yongli. Bahkan dia sudah tah
Alasan konyol!Karenina membutuhkan masukan dan arahan untuk presentasi senin di kantor.Minggu adalah hari peringatan kematian ayahnya, sehingga hanya hari ini dia memiliki kesempatan untuk mempersiapkan diri dan segala keperluan lainnya.Jun tidak dapat berkata apa-apa lagi, karena mereka satu tim dan Karenina menggunakan alasan ‘peringatan kematian sepuluh tahun ayah’-nya sebagai niat terencananya ke rumah ini.“Tunggu aku di halaman belakang.” Jun meminta kedua rekan kerjanya itu pergi lebih dulu, karena dia harus mengambil laptop di kamarnya.Sepeninggal Jun, Nasco dan Karenina bergerak menuju ke arah samping.“Oh, aku lupa memberikan buah dan puding yang kubawa.” Karenina sengaja melupakannya tadi dan baru mengingatnya sekarang.“Ya sudah, ambil lah.” Nasco berkata sambil lalu. Dia sibuk mengetik pesan untuk teman-teman di obrolan grupnya. “Nanti letakkan saja di ruang tamu.”“Oke.” Karenina melangkah cepat menuju garasi, mengambil bungkusan buah dan kotak puding di mobil Nasco,
“Jun ....”“Oh, maaf!” Jun menarik tangannya menjauh dari wajah Shima.Shima merengut. “Jangan jadikan kebiasaan. Kakakmu ada di rumah.”“Dia sedang bicara ditelepon dengan Elia Eve. Sudah lebih dari tiga puluh menit.” Santainya Jun, seolah itu tidak berarti apa-apa untuk Shima yang mulai meradang.Shima memalingkan wajah. Melepas jari Jun. “Sudah selesai. Bagusnya, lukamu tidak terlalu dalam.”“Oke. Terima kasih, Kakak ipar.”Shima berhenti sejenak memasukkan barang-barang ke kotak obat. “Kau sedang mengejekku?” Rasanya seperti mendengar senandung hinaan dari Jun.“Tidak.” Jun menggeleng. “Sama sekali tidak.”Dengan kesal, Shima membanting tutup kotak obat. Membawa pergi benda itu keluar dapur. Suasana hatinya kian memburuk. Perkataan dan perilaku Jun selalu berhasil membuat perasaannya tidak menentu.Alih-alih salah tingkah, justru dia malah lebih nyaman bersikap marah.“Shima?”Langkah Shima terhenti. Melihat Kun sedang menutup pintu ruang kerjanya dan berjalan menuju ke arahnya.“
Canggung dan tidak nyaman.Selalu itu saja yang dirasakannya setiap kali bersama Jun, kecuali ketika mereka tengah bercinta. Eits! Lupakan, Shima. Lupakan!“Ayo, Sayang.” Jun membawa pergi Shima bersamanya untuk naik ke bus. Meninggalkan para bajingan mata keranjang yang melihat Shima dengan tatapan kurang ajar. Bahkan mata kotor mereka tetap mengikuti, meski Shima sudah dirangkul begitu mesra olehnya.Sebenarnya, mobil Jun sedang tidak dalam masalah apa pun. Dia cuma tidak mau menyetir dan fokus pada jalanan selama hampir tiga jam. Membuang percuma waktu selama itu tanpa menatap kakak iparnya. Dia sungguh tidak mau itu terjadi.Shima melepaskan diri dari Jun, tanpa perlu menepis tangan adik iparnya itu. Dia bergerak beda arah, hingga rangkulan Jun di pinggangnya terlepas dengan sendirinya.“Shima, sebelah sini.” Jun menunjuk dua bangku kosong dideretan dua sebelum akhir.“Oh, oke.” Shima mengangguk. Pura-pura bodoh. Dia tidak peduli andai Jun bisa menebak gerakan menghindarnya. Yang