Share

Back again

#Nannys0903 

Wanita di balik pintu

Part 3

Pov Eni 

Back to work, setelah masa cuti habis aku kembali berkutit pada berkas laporan yang harus kukerjakan.

Aku menatap tumpukan kertas di atas meja. Bekerja di posisi finance di salah satu perusahan restoran bintang empat. Kerja dari jam delapan pagi sampai jam empat sore. Sebelum berangkat aku menyiapkan keperluan Lala. Memasak, mencuci baju, dan membersihkan rumah. 

Aku menghitung pengeluran uang dan pemasukannya. Seminggu tak bekerja tumpukan kertas bon belanja dan pemasukkan yang di dapat dari restoran menumpuk.

Sudah empat tahun aku bekerja sebagai finance. Sebelumnya aku hanya seorang kasir di salah satu restoran kecil dengan gaji dua jutaan. 

Alhamdulillah posisi sekarang mencapai lima jutaan. Akang Udin hanya bekerja serabutan bisnis kecil dan besar pernah ia menangkan. Uang yang didapat membeli rumah dan perabotan yang aku tempati. 

 Sebagai seorang istri tak banyak menuntut masalah keuangan kepada suamiku. Aku menerima apa adanya dirinya. 

Tiap hari ia memberikan uang 50 ribu untuk keperluan harian terkadang 100 ribu. Untuk jajan Lala, bapaknya yang memberikannya. 

Hasil gaji  kupakai untuk keperluan mertua  dan  untuk keperluan diriku sisanya aku tabung sebagai modal pendidikan Lala sampai perguruan tinggi. Kedua orang tuaku sudah tak ada. 

Jika, aku bercerai dengan kang Udin aku tak perlu takut karena tabungan yang kumiliki lumayan banyak.

Tapi, hati ini enggan melepaskan kang Udin. Hatiku meringis mengingat kemesraan kang Udin dengan istri barunya. 

"Cie yang habis jemput akangnya kok ngelamun aja dari tadi," ledek Susi teman dekatku. 

Susi teman aku sejak SMA dengan bantuan dia aku bisa bekerja di sini.

Posisi yang aku tempati adalah posisinya. Sekarang dia menjabat sebagai manager operasional di restoran ini.

Kantor terletak di lantai dua sedangkan restoran berada di lantai satu dan lantai dasar sebagai gudang penyimpanan makanan frozen dan makanan kering. 

"Apaan sih Ibu Manager kita," jawab aku meledeknya lagi. 

" Ibu Eni kenapa melamun? gak dapat jatah dari akang." Sambil mencolek pipiku. Aku hanya menatapnya. 

"Jatah apa sih, Bu?" tanya aku.

"Jatah bagian istri tua," ucapnya sambil tertawa. 

Aku diam tak menjawab. Aku tua, mungkinkah? Kang Udin belum menjelaskan mengapa ia menikah lagi. 

"Loh, kok bengong lagi, sorry aku bergurau," ungkapnya sambil tersenyum. 

"Kayaknya lagi ada masalah? Jangan-jangan kang Udin ...," ucap Susi terpotong. 

"Apaan sih, Sus!" hardikku. 

"Enggak mungkin kalau kang Udin menyukai wanita lain. Apalagi suamimu paling susah di taklukan," ungkapnya kepadaku. Bagai petir di siang bolong, ucapannya menusuk hatiku.

"Seandainya kamu tahu kalau suamiku telah menikah dengan gadis yang masih belia kamu pasti akan kaget bisa jadi kena serangan jantung," bathinku berkata. 

"Sudahlah, Sus kita kerja lagi!" ucapku mengalihkan pembicaraannya.

Aku melihat gawaiku di aplikasi hijau terdapat pesan yang masuk dari kang Udin. 

[De, lagi ngapain?] 

[De, Akang kangen]

[De, video call yuk]

[Ada apa kang? aku lagi kerja] pesan yang kukirim.

[Gak ada apa-apa. Akang kangen sama Lala dan kamu. Masa enggak boleh kangen sama istri sendiri] dengan emot love.

Aku tak membalas chat dari kang Udin. Aku sibuk bekerja. Nanti saja kalau sudah selesai pekerjaannya, aku juga lagi malas meladeninya.

**

Pov Author 

Di kampung Udin, desa Jenggot, Banten, Jawa Barat. Sekelompok ibu-ibu sedang menonton sinetron ikan terbang. 

"Ih ... pelakor bikin geram saja! Suaminya juga bukannya setia sama bininya malah main di belakang bini. Dasar orang kaya!" maki ibu berdaster biru. Tatapannya masih melihat sinetron itu.

"Emangnya orang kaya aja yang suka selingkuh yang miskin aja ada," sindir ibu berbaju putih. 

" Udin gelo  bini cantik, baik, dan sayang sama mertua malah kawin lagi. Burung sia**n itu gak cukup satu," geram mereka. Dengan suara tawa khas mereka.

"Pelakornya juga seneng banget rebut suami orang, kalau jalan berdua pegangan aja tuh tangan," geram ibu berbadan gemuk. 

"Kita mesti hati-hati nanti kalau Udin balik ke bini pertama bisa-bisa dia godain suami kita," ucap Ibu berdaster coklat. 

"Eh, bener juga ya." 

Kebencian ibu-ibu kampung semakin menjadi. Rini sang pelakor julukan di kampung Udin. 

"Akang, Rini lapar," ungkapnya sambil mengelus perutnya.

" Tadi sudah makan," jawab suaminya. 

"Umi masak daun singkong sama sambal, mana kenyang!" 

"Kamu mau makan apa? Ini sudah malam," tanya akang Udin. 

"Beli mie rebus soto, Akang."

Suaminya mengeluarkan uang 5000 untuk membeli mie di warung. 

"Akang lagi chat siapa, sih?" tanyanya penasaran. Melihat layar handphone suaminya. 

Terlihat nama chat tersebut istriku. 

"Akang, ngapain chat Mba Eni?" tanyanya merajuk.

"Kenapa? Eni juga istriku," hardiknya.

"Enggak boleh, Akang lagi sama aku. Jangan chat sama wanita lain," omelnya. 

Udin mengalah kalau urusan berdebat dengan istri keduanya enggak akan kelar. Berbeda dengan Eni, ia sangat patuh dan pengertian.

"Sudah sana beli mie, nanti tutup warungnya," usirnya halus.

Udin melihat istri mudanya berjalan keluar rumah. Ia kembali berkirim pesan kepada istri pertamanya. Bagaikan pasangan yang di mabuk cinta mereka saling berchat layaknya sepasang kekasih yang sedang LDR. 

Udin tersenyum menatap layar gawainya begitu juga Eni yang di sana tersipu-sipu membaca rayuan gombal dari suaminya. Eni menjadi dilema antara mempertahankan atau meninggalkan.

"Bi! beli mie soto," teriak Rini di depan warung sembako.

"Beli apa Rin?" tanya lelaki paruh baya kepadanya. 

"Mie soto satu, Kang," jawab Rini. 

Akang pedagang sembako memberikan mie kepada Rini. Rini menyodorkan uang 5000.

"Waduh, enggak ada receh Rin. Ambil aja dulu," ucap akang penjaga warung. 

Rini baru berbalik badan tiba-tiba sang istri pemilik warung dengan tubuh besar dan berisi keluar rumah.

"Hey, sini uangnya!" Menadahkan tangannya ke wajah Rini. 

Rini memberikan uang tersebut. Ibu tersebut masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan kata. 

"Bi ... bibi kembalian Rini mana?" tanya Rini melipat keningnya.

"Kamu minta kembali?" tanya pemilik warung sambil mendelik matanya. 

"Mie harganya 3000 uangnya 5000 kembali 2000, Bi." ucap Rini menjelaskannya.

"Pas, gak kembali," ujarnya dengan nada jutek. 

Rini meninggalkan warung tersebut heran "Mengapa harga mie mahal banget?" gumamnya dalam hati.

 

"Dasar pelakor! Biar tahu rasa, cuma bisa merusak rumah tangga orang. Kayak gak ada yang singel aja," cibirnya. Menatap punggung Rini.

**

Umi terpaksa menyuruh Rini membelikan keperluan rumah tangga, hari ini badannya kurang sehat. 

"Rin, belikan keperluan rumah di pasar Tanjung," perintah umi kepada mantunya. Umi menyodorkan kertas yang berisi keperluan yang dibutuhkan dan memberikan uang 150 ribu. 

"Umi, buat beli bakso di pasar mana?" Sambil menautkan jarinya berharap ibu mertua membelikan bakso makanan kegemarannya. 

Umi menyodorkan uang dua puluh ribu kepadanya. Umi malas berdebat dengan mantunya itu. Mantu barunya sangat pintar berbicara ia selalu kesal jika berhadapan dengannya. 

Rini ke pasar mengunakan becak. Suaminya saat ini sedang membantu pade Lamin menperbaiki genteng yang bocor.

Setiap orang yang melihat Rini selalu mengumpatnya. 

"Mantu durhaka," 

"Pelakor miskin,"

Banyak sekali ibu-ibu yang memusuhinya. Entah dari mana mereka tahu, Rini mendadak tenar karena gelarnya. 

"Bibi, beli cabe setengah kilo," ucap Rini kepada penjual cabe. 

Sang penjual memberikan cabe yang sudah ia timbang.

"Bibi kenapa cabenya sedikit biasanya banyak kurang pedes nanti," tanyanya heran. 

"Jangan pedes-pedes liat pelakor aja sudah hot!" jawab pedagang cabe sambil melirik malas.

Rini mengerucutkan bibirnya ia meninggalkan pedagang itu dengan hati yang kesal. 

"Dasar tukang cabe, mulutnya pedes kayak dagangannya," lirihnya.

Ia membeli sabun mandi, odol, sabun pencuci piring, gula, kopi dan shampo. 

"Masih sisa banyak uangnya," bathinnya berkata.

"Beli apa lagi, ya? Masih ada 100 ribu lumayan rezeki pelakor soleha eh anak soleha," hatinya berkata.

Ia memilih pakaian di toko baju. Baju daster selutut berenda menjadi pusat perhatiannya.

"Ibu ini berapa?" tanyanya

"Lima puluh ribu," jawabnya. 

Rini membeli daster, baju dan sandal untuk dirinya. Ia keluar pasar mencari tukang bakso wajahnya melihat kiri dan kanan. Terlihat tukang bakso dari seberang jalan.

Seorang ibu-ibu sekampung dengan Udin sedang duduk di belakang Rini. Mereka saling berbisik-bisik. 

"Pelakor," desisnya. 

Rini membeli satu bungkus bakso untuk dirinya. 

"Assalamualaikum," sapa Rini.

"Waalaikumsalam," jawab mertuanya tanpa menatap mantunya. 

Rini menaruh plastik kresek belanjaannya di atas meja makan. Umi mengambil plastik kresek tersebut.

"Rini!" panggil mertuanya. 

Rini yang sedang menuangkan bakso ke mangkuk terperajat mendengar panggilan mertuanya yang begitu keras.

" Iya Umi," jawabnya. Ia bergegas menghampiri mertuanya. 

"Mana belanjaannya?" tanya umi dengan geram.

"Itu belanjaannya." Menunjuk telunjuknya kearah sabun, odol, dan sabun cuci yang sudah di buka oleh mertuanya. 

"Kenapa kamu beli satu bungkus semua, Rin?" tanya umi menahan marahnya.

"Tulisannya di kertas satu Umi," jawabnya datar tanpa rasa bersalah.

"Maksud Umi beli sekalian banyak satu renceng," hardiknya.

Umi menghembuskan napas kasar.

"Mana kembalinya," tanyanya sambil melototkan matanya.

"E-enggak ada Umi," ucapnya lirih. 

"Apa?! Beli perlengkapan seperti ini gak mungkin habis 150 ribu pasti kembali 100 ribu. Mana kembalinya?" 

"E-enggak ada Umi, aku sudah beliin baju," lirihnya sambil menundukkan kepala. 

"Astaghfirullahaladzim." Mengelus-elus dadanya yang terasa panas. 

"Kamu tuh wanita bo**h, hanya tahu urusan ranjang. Masak enggak bisa cuma bisa merebut suami orang. Pakai otakmu jangan pakai dengkul. Kamu dari wajah masih cantikkan Eni dan kepintaran dia mengurus rumah dan suami saya kasih nilai 100. Kamu pantas dapat julukan orang kampung pelakor bo**h," makinya menunjuk jarinya ke mata Rini. 

"Umi kenapa marah-marah terus sama Rini?" ucapnya dengan suara manja.

"Karena kamu nyebelin, kalau saya diposisi Eni saya goreng kamu di minyak yang panas," jawab umi dengan tatapan yang emosi.

Rini bergeming hatinya terluka dengan perkataan mertuanya.

"Mba Eni lagi dia lagi. Kalau Mba Eni lebih baik dari aku enggak mungkin kang Udin kawin lagi. Cuma percitraan saja," sindirnya dalam hati. 

Bersambung ... 

****

Tiap bab ada dua Pov agar kalian memahami aku beri keterangannya. Terima kasih banyak. Jangan lupa vote dan komentarnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sendy Zulkarnain
hadeuhh ko c enie nrimo aja laki nya kawin lagi... bucin x yah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status