Share

Pov Udin

Bab 4

Pov Akang Udin

Aku seorang perantau di ibukota. Pekerjaan hanya penjaga toko matrial, wajah pas-pasan tidak ganteng ataupun jelek. Setidaknya tidak malu-maluin hanya saja aku hanya orang miskin. 

Aku tipe lelaki yang tidak banyak gaya. Apa adanya karena memang penghasilanku pas-pasan. Karakterku sulit ditebak. 

Eni, gadis yang bekerja di kasir restoran seberang tokoku. Awalnya aku minder dan malu jika berdekatan dengannya. 

Eni gadis cantik dan bertubuh ramping, banyak pemuda yang mengejar cintanya, tapi entah mengapa ia sangat menyukaiku. 

Jujur aku tak punya rasa padanya. Sikapku pada gadis itu cuek dan dingin. 

Lima bulan kenal, kami janjian di taman kota, ia mengenggam tanganku. Baru pertama kali aku bersentuhan dengan wanita lain selain umi. 

"Kang, aku ingin mengatakan sesuatu," ucapnya. Wajah cantiknya terlihat gusar. 

"Ada apa?" 

"A-aku tahu. Aku hanya wanita biasa. Tapi, setidaknya izinkan aku mengungkapkannya. A-aku ...." Matanya menatapku dengan penuh harap. 

"Aku apa?" tanyaku heran. 

"Aku cinta sama Akang. Maafkan, kalau sudah lancang. Perasaan ini amat menyiksa. Sejak pertama melihatmu. Rasa itu sudah bergetar. Izinkan aku berada di sampingmu," ungkapnya. 

Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum. Ia memeluk tubuhku erat. Seakan tak ingin melepaskannya.

"Terima kasih, Kang. Sudah menerimaku." 

Kubelai rambutnya yang panjang dan harum. Aku juga belum pernah memiliki kekasih. 

Setiap hari kami selalu bertemu. Ia yang menghampiriku ke toko karena jam kerjaku bebas tak seperti dirinya. 

Ketika aku hendak pulang kampung, Eni ingin ikut dengan alasan bersilatuhrahmi, akhirnya menuruti permintaannya. 

Ia membawa oleh-oleh sangat banyak. Ini yang aku suka, ia sangat royal kepadaku dan keluarga.

"Udin, ini siapa?" tanya umi. Ketika Eni mencium tangannya takzim. 

"Ini, teman Udin dari Jakarta."

Tak berapa lama lagi. Dina keluar dengan wajah polosnya." Kang Udin bawa awewe uey," godanya.

Umi dan Dina menyukai Eni. Mereka terlihat kompak dan sangat akrab. Eni terlihat bahagian bisa bertemu dengan keluargaku. 

"Udin, cepat lamar Eni sebelum ada yang duluin. Pokoknya Umi maunya Eni jadi mantu Umi," bujuknya. 

Mereka terus membujukku untuk menikahinya. Akhirnya, aku menikahi  Eni demi umi.

Dua belas tahun menikah aku tak tahu, adakah cinta di hati ini. Kami dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik seperti ibunya. 

Setidaknya, aku masih punya keturunan, pikiranku selama ini. Mungkin hanya rasa sayang kepadanya. Bersyukur dia wanita mandiri tak pernah mengeluh dengan apa yang kuberi. 

Hari-hari kulalui bersama mereka. Apa aku bahagia. Tentu aku sangat bahagia. Memiliki mereka adalah anugerah.

Tapi, entah mengapa diriku masih belum merasakan rasa itu. Aku juga menikmati setiap permainan ranjang kami. Terkadang, aku meminta jatah double dan Eni melayaniku hingga tubuhnya terkapar lemas.

Godaan itu akhirnya datang juga mengetuk hati ini. Merubah semuanya. Tanpa aku sadari ini adalah kebodohan diri.

Aku jatuh cinta pada seorang gadis muda yang kukenal lewat online. Kami sering berchat ria, ternyata ia tinggal dekat dengan kampungku. Perasaanku padanya rasanya berbeda. Melihat fotonya saja jantung ini berdegup.

Wajah imut, kulit bersih dan terlihat polos. Kami juga sudah saling mendengar suara satu sama lain. Suaranya sangat manja dan mengemaskan. Seperti anak muda yang sedang kasmaran.

Aku meminta izin pulang kampung kepada istriku dengan alasan menjenguk umi. Padahal ingin bertemu pujaan hatiku.

Kami pun bertemu secara langsung. Gadis imut berumur tujuh belas tahun dengan pinggul yang kecil. Wajahnya manis dan bibir yang menggoda. Aku terpana melihat penampilannya jantungku berdetak dengan cepat bagaikan kupu-kupu yang bertebaran. Inikah cinta pada pandangan pertama. Foto dan aslinya sama persis.

Begitu juga Rini, ia membalas perasaanku. Aku sering ke rumah Rini dan bermalam di rumahnya. Sebagai seorang lelaki normal aku tak tahan untuk menyantapnya tanpa penolakan dari Rini, lampu hijau dinyalakan.

Kami menikmati segala pergumulan ranjang tanpa dosa dan beban yang kami pikirkan. Aku terus ketagihan dan tak berhenti menikmati setiap malam.

 Orang tua Rini terlihat cuek. Ia menyuruh kami tidur satu kamar. Dua kali aku menginap, mereka menyuruh kami untuk menikah siri. Aku menuruti kemauan orang tua Rini.

"Udin, sebaiknya kalian menikah siri saja tidak enak dengan tetangga. Lagian saya sudah tua, sudah lelah mengurus Rini. Sikap dan sifatnya yang keras kepala dan manja," ucap bapaknya sambil duduk dan minum kopi. 

"Tapi Pak, saya sudah menikah. Apa Rini mau menjadi istri kedua saya?" tanya aku.

"Udin, anaknya saya pasti mau, dia juga sudah tidur denganmu berkali-kali. Saya pun pernah muda," ungkapnya sambil terkekeh.

Aku hanya menggaruk kepalaku yang tak gatal. Wajahku memerah ternyata mereka mengetahuinya. Rini terlihat menutup wajahnya dengan tangannya. Mungkin suara desahan kami yang tak bisa dikendalikan.

Akhirnya aku menikahi Rini tanpa izin dari Eni. Ada rasa bersalah dalam diri ini ketika melihat Rini memakai kebaya putih. Wajah Eni selalu terlihat di mataku. 

Aku membawa Rini ke rumah umi. Umi terlihat terkejut, tapi aku yakin umi akan memberi restu kepadaku. 

"Umi, ini istri Udin," ucapku dengan lantang tanpa memikirkan perasaan wanita yang semakin tua. 

Keesok harinya, istri dan anakku datang menyusul. Rini terlihat gugup ia menggenggam jemariku. Tangannya dingin, aku menatap dan tersenyum padanya bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku yakin Eni mau di madu, karena ia begitu mencintaiku dan tak ingin melepaskanku. Aku yakin, semua akan baik- baik saja.

 Bersama dengan Rini aku merasakan di butuhkan. Rini selalu mengandalkanku dalam segala hal. Eni istri pertamaku yang mandiri ia jarang meminta apapun dariku karena ia mempunyai segalanya yang ia mau. 

Aku tidak bisa meninggalkan Eni ataupun Rini aku akan membuat mereka selalu berada di sampingku. Sikapku, berubah semanis mungkin, agar Eni tak pergi dariku. Egoiskah aku?  tentu tidak, karena kami saling membutuhkan. Aku membutuhkan Rini dan Eni membutuhkanku. 

**

"Akang, jangan pergi Rini ikut," ucapnya manja. Merengek seperti anak kecil.

"Akang harus balik ke kota nanti balik lagi ke sini," bujuk aku. Bagaimanapun juga aku harus bertanggung jawab kepada keluargaku di Jakarta.

"Akang, nanti Rini kangen boleh gak nyusul," tanyanya dengan mengandeng lenganku.

"Boleh dong, Sayang," jawabku mencuil hidungnya. Ia tersipu malu.

Aku mencium punggung tangan Umi takzim.  Rini memelukku erat dan terisak. Ada rasa tak tega meninggalkannya. Ongkos tak cukup untuk berdua.Aku memberi alasan kepada Rini hanya sebentar saja. 

Apakah aku egois. Tak ingin kehilangan Eni dan tak mau melepas Rini. Jauh dari istri pertama rasa rindu begitu membuncah.

Rini kembali terisak ketika kulambaikan tangan. Aku iba melihat wanita pujaanku menangis. Aku terpaksa pulang agar Eni tak pergi dariku.

Pov Udin End

***

Pov Author 

Setelah kang Udin pergi

Isakan tangis Rini tak kunjung reda. Ia sedih karena ditinggal suaminya. Hidupnya terasa hampa padahal baru beberapa jam Udin pergi.

"Hiks ... hiks ... Akang, Rini kangen." Ia menghapus air matanya kasar. Matanya sembab rambutnya acak-acakkan.

"Sudah jangan lebay, deh," sindir umi padanya. 

Rini menghapus air matanya dan mengusap perutnya. Ia melangkahkan kakinya ke dalam rumah dan mengangkat tudung nasi. 

"Yah, sambel lagi sambel lagi," ucapnya dengan kecewa.

Di dalam kamar, sang mertua terkekeh melihat mantunya di balik hordeng. Ia mengambil bungkus nasi yang berisi nasi padang. 

"Alhamdulillah, dapat transferan dari mantu kesayangan," ucapnya sambil menikmati makanannya. 

"Makan sambal sono biar moncrot."  Melahap makanannya.

Bersambung...

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status