Share

Tak Boleh Lemah

Wanita Di Balik Pintu 

Bab 7

Aku mengunci kamarku agar kang Udin tak masuk ke dalam. Tubuhku merosot di depan pintu kamar. Kang Udin mengetuk pintu memanggil namaku. Aku menangis menutup mulutku agar tangisanku tak terdengar olehnya. Aku menahan nyeri di dadaku dan menekannya kuat. Tak ada suara suamiku memanggil namaku. Samar-samar terdengar suara Rini yang merajuk. Aku bangkit dan melayangkan tubuh ini ke ranjang tempat kami bergejolak asmara selama tiga bulan ini. Kebahagianku hanya sesaat. 

~~~

Aku membuka pintu kamarku menuju kamar mandi. Kami hanya mempunyai satu ruang kamar mandi. Jam lima pagi aku sudah bangun. Terlihat kang Udin dan maduku tidur di atas sofa tempat memadu kasih mereka semalam. Ingin aku buang dan kubakar sofa itu. Mereka tidur saling berpelukkan. Tubuh Rini yang kecil di peluk oleh suamiku. 

Aku membersihkan diri dan mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajibanku sebagai umat muslim. Setelah sholat aku tertidur karena mata ini sembab menangis semalam. 

Sinar matahari masuk di cela jendelaku. Lala duduk di samping tubuhku. 

"Bu, sudah jam setengah tujuh, bangun Bu kita sarapan,"ajak anakku sambil membantuku bangun dari tidurku. 

Lala menatapku iba ia tersenyum kepadaku. "Ibu habis menangis matanya sembab?" tanyanya memandangku dan kemudian memelukku. 

Terlihat kang Udin di depan pintu. Ia menghampiriku dengan kikuk. Aku segera bangkit dan tak mau menyapanya. Di meja makan sudah ada maduku. Tanpa malu ia tersenyum dan menawariku sarapan. Aku tak menjawab karena muak. 

Aku tak berselera makan. Lala memaksaku untuk makan. Mie goreng makanan favoritku kini terasa hambar. Mie ini dimasak oleh suami tercintaku. Aku memaksa makanan tersebut ke dalam mulutku. Kang Udin masih diam tak menyapa. Rini terlihat bahagia dengan rambutnya yang setengah basah. Aku berangkat kerja lebih awal bareng anakku karena aku tak mau melihat adegan lain di rumah ini. Aku lelah hatiku hancur.

"De, tunggu. Akang mau bicara sebentar."panggilnya ketika aku sudah sampai depan pintu. 

"Ada apa Kang?" jawabku acuh.

"Untuk sementar Rini tinggal di sini dulu ya. Kamar Lala dipakai Rini. Lala tidur sama kamu." Menatap mataku memohon.

"Gak ... Lala gak mau!" pekik anakku yang tiba-tiba memotong pembicaraan kami. 

"Bapak, Lala sudah besar umurku hampir sebelas tahun. Aku gak bisa tidur bersama Ibu. Kamarku privasi gak boleh sembarangan orang masuk."  

"Terus Teteh tidur di mana?" potong Rini yang tiba-tiba muncul di belakang kang Udin. 

"Ngontrak," jawab anakku judes.

"Lala kok kamu begitu. Rumah ini rumah Bapak juga. Rini istri Bapak juga." Menghampiri Lala dan merangkul bahunya. 

"Mana ada sih Pak satu atap dua istri," hardik anakku.

"Nanti kalau Bapak punya duit, Rini akan ngontrak," rayu kang Udin

"Sudah ... masih pagi sudah ribut aja," lerai aku memisahkan mereka.

"Akang, masa aku tidur di sofa lagi, aku tidur di mana?" rengeknya manja.

"Gudang," jawabku lantang tanpa mempedulikannya.

Aku meninggalkan mereka yang berdebat. Aku berjalan ke jalan raya untuk naik angkot umum. Aku menghela napas dan mengusap air mataku yang hampir jatuh. 

"Ibu ...," panggil anakku. Ia tersenyum dan menggenggam tanganku. Memberiku kekuatan agar tetap bertahan. Hanya Lala yang mengetahui kesedihanku. 

Aku turun mengantar Lala sampai gerbang sekolah. Sekarang masih pukul tujuh kurang lima belas menit. Aku masuk kerja jam sepuluh. Aku duduk di dekat sekolah Lala. Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh wajahku ke arah orang itu. 

"Amir ...," panggilku dengan nada keras.

"Eni, sang primadona," panggilnya. 

"Hai  apa kabar Mir?" tanya aku sambil menyodorkan tanganku.

"Baik, kamu tambah dewasa dan juga cantik." Menatapku dari atas sampai bawah. 

Aku tertawa sambil menutup mulutku dengan tanganku. 

"Kamu ngapain di sini?" tanyanya.

"Aku habis antar anakku."

"Anakmu sekolah di sini. Siapa nama anakmu?"

"Lala Komalasari kelas 7.3," jawabku.

"Lala ketua kelas yang bijak dan cerdas itu," tanyanya lagi.

Aku menganggukkan kepala. 

"Lala murid aku, aku wali kelas 7.3," ucapnya. 

"Kamu guru?" Aku terkejut ketika ia bilang wali kelas. Selama ini yang aku tahu wali kelasnya bukan dia.

"Iya, aku seorang guru di sekolah ini," jawabnya.

"Astaga aku gak nyangka, Mir," jawabku terkejut. Dulu ia bercita-cita menjadi pemain bola. 

Tak terasa aku dan Amir saling melepas rindu sudah sepuluh tahun kami tak bertemu. Aku berangkat bekerja dengan di antar Amir karena hari ini jam mengajarnya pukul 11 siang, sedangkan sekarang pukul setengah sembilan.

Di lampu merah aku bertemu dengan kang Udin dan maduku mengendarai motor. Kang Udin menatapku tapi aku pura-pura tak melihatnya. Jalur kami berbeda. Aku berbelok dan mereka lurus. Hatiku terasa nyeri melihat kemesraan mereka. Tangannya merangkul mesra tubuh suamiku. Haruskah kubertahan atau kuakhiri saja. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status