Share

Satu Atap

Bab 6

Kehadirannya

Rini terlihat berjalan bolak-balik di dalam kamarnya. Hatinya gelisah dan takut. Dia terus berpikir bagaimana caranya agar masalahnya terselesaikan. Ia menelepon seseorang untuk menjemput dan mengantarnya ke terminal. Jarak antara desa Jenggot dengan rumah suaminya membutuhkan waktu enam jam perjalanan. 

Umi sedang pergi membantu tetangga yang hajatan. Biasanya umi membantu memasak hingga besok. Rini memasukkan pakaiannya ke dalam tas ransel. Dengan terburu-buru ia naik motor yang menjemputnya di depan rumah mertuanya. 

Rini turun di terminal dan menaiki bus besar antar kota lalu akan di sambung lagi menaiki angkot lain. Alamat rumah suaminya sudah ia tulis di kertas. Rute perjalanan sudah ia pahami. Jalan Mampang Raya no 70 Jakarta Selatan. Rini sudah mencatat alamat detailnya. 

***

Pov Eni

Tok ... tok suara pintu di ketuk keras. Kami sedang menikmati makan malam bersama. Aku membuka pintu rumahku. 

Seorang gadis imut mamakai kaos oblong dan levis seperempat berada di depan pintuku. Membawa tas ransel yang lumayan besar.

"Rini ... "

"Mba Eni ..." Memeluk tubuhku dan melingkarkan lengannya ke leherku.

Aku terdiam tak membalas pelukannya dan pertanyaannya. Seperti tuli mendadak entah apa yang ia bicarakan. Setelah tiga bulan berlalu ia tiba-tiba hadir di rumahku. Wanita yang membuat suamiku jatuh hati. Kang Udin muncul di belakangku. Rini langsung memeluk suamiku. Aku tak ingin melihat adegan itu. Aku memalingkan wajahku ketika maduku memeluk dan menciumi wajah suamiku. 

Cup ... cup ... cup... 

Suara ciuman berkali-kali terdengar di telingaku. Sekilas kulihat kang Udin membalas pelukannya dengan erat. 

Dunia seketika runtuh. Rini mengalungkan lengannya ke leher kang Udin. Kakinya bertumpu ke pinggang suamiku. Seperti anak kecil yang sedang di gendong. Mereka terlihat bahagia. Sudah tiga bulan tak bertemu. Mungkin rindunya sudah menggebu. Ya Allah kenapa mereka tak menghargaiku. Ada aku dan anakku yang melihat adegan mereka. Sungguh tak tahu malu. Mereka menodai mata anakku. Aku tak akan biarkan mereka menyakiti hatiku. 

Ku tarik tubuhnya yang menempel di tubuh suamiku. Aku memaksanya untuk turun dari gendongan suamiku. Kujambak rambutnya, kucakar wajahnya dan kuseret tubuhnya keluar rumahku. Aku memakinya hingga aku puas tak ada beban. Dasar pelakor kecil berani sekali kamu datang kemari merusak kebahagiaanku. Carilah laki-laki lain yang masih bujang jangan merebut milik orang. Aku masuk ke dalam mengambil bensin dan menuangkan ke tubuh maduku tanpa ampun dan kata maaf dariku akan ku bakar hidup-hidup. Aku membencinya berani sekali ia memeluk dan mencium suamiku di depanku. Wanita jal**g. Ingin rasanya aku berbuat seperti itu tapi aku hanya manusia biasa yang lemah dan berdosa. Semua yang ingin kulakukan hanya khayalan semata. Aku menahan emosiku. 

Prang ... 

Aku menenggok ke arah suara. Terlihat Lala memecahkan piring dengan sengaja. 

"Please deh Pak jangan main sinetron di sini. Ada Lala dan Ibu. Jaga sikap Pak!"ujarnya lantang.

Aku tidak menyangka anakku berani berbicara seperti itu. 

"Lala, kamu gak kangen sama teteh Rini," ujarnya merentangkan tangannya ke tubuh anakku. 

"Kangen! maaf Anda salah orang,"sinisnya. 

Lala menarik tanganku untuk masuk ke dalam kamarnya. Aku mengikuti langkah anakku. 

"Ibu jangan diam saja lakukan apa yang menurut Ibu lakukan. Lala mendukung Ibu. Lala gak suka pelakor itu. Kita harus bersatu merebut Bapak dari pelakor itu," hardiknya.

"Lala, gak usah khawatir Ibu pasti bisa mengatasi semuanya," jawabku lembut. 

"Lala tahu Ibu bisa mengatasinya. Tapi, Lala tidak mau Rini bertingkah semaunya kepada kita," ucapnya. 

"Masalah orang tua biar Ibu dan Bapak yang menyelesaikannya dan kamu belajar yang rajin," ujarku agar ia tidak ikut campur dalam rumah tangga orang tuanya.

Aku hendak melangkahkan kakiku keluar kamar Lala setelah ia tertidur. Aku membelai rambutnya. Umur anakku hampir 11 tahun, ia tumbuh dengan cepat. Wajah yang cantik mirip aku. Nilai di sekolah selalu bagus kecerdasannya tidak di ragukan lagi. Tenggorokanku terasa kering aku turun dari ranjang anakku. Kulangkahkan kakiku keluar kamar. Aku melihat pemandangan yang amat menyakitkan. Mereka sedang bergulat di atas sofa. Astaghfirullahaladzim tak tahu malu lirihku. Aku melewati mereka dan mereka tak sadar akan kehadiranku. Aku buka kulkas lalu aku meminumnya dengan cepat. Botol 500 ml habis kuteguk. Aku banting pintu kulkas. Mereka tak merespon dan tak berhenti. Bagaimana kalau anakku yang melihat kegilaan ini. Rongga dadaku terasa sesak inginku maki mereka. Aku hampiri mereka aku ambil gawaiku di saku celanaku aku rekam kegiatan mereka. 

Bo**h, mereka tak melihat kehadiranku. Darahku mengalir sangat panas. Tanganku gemetar merekam adegan menjijikan ini. Sepertinya mereka telah berhenti. Rini yang berada di atas tubuh kang Udin langsung lemas seketika. 

Plok ... plok ...

Tepuk tanganku mengema di ruang tamu. Mereka terperanjat melihat diriku yang berdiri tak jauh darinya.

"De, eh ...ii- tu ...,"ucap suamiku terpotong ketika melihat ekspresiku. 

"Maaf Mba, aku tak tahan sudah tiga bulan puasa." Memakai kaos dan celananya dengan terburu-buru. 

Aku jijik dan muak melihat mereka. Aku harus bertindak. Video yang kuambil akan kusimpan dan bisa kugunakan suatu hari.

****

Terima kasih sudah membaca karya saya. Jangan lupa kasih rate dan komentarnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status