Share

Tergoda Gairah Pembantuku
Tergoda Gairah Pembantuku
Penulis: naranaluna

Bab 1.

Firly Syafieka, seorang wanita karir yang berusia 30 tahun. Profesinya adalah seorang fashion designer ternama di Jakarta. Ia telah menikah dan mempunyai seorang anak yang berusia 5 tahun. Firly menikah dengan Rendi Abizar, seorang pengusaha restoran ternama di Jakarta. Saat Firly lulus kuliah, ia menikah dengan Rendi.

Awalnya, Firly keberatan menikah dengan Rendi, karena ia ingin mengejar cita-citanya dulu. Namun, Rendi berniat akan meninggalkan Firly, jika ia lebih memilih karir daripada cintanya. Karena itulah, Firly menikah dengan Rendi. Rendi meyakinkan Firly, bahwa setelah menikah pun karir dan cita-cita masih bisa dikejar.

Satu tahun pertama, hubungan Firly dan Rendi masih terbilang manis. Tahun ke empat dan kelima, hubungannya mulai renggang, tak seromantis biasanya. Rendi dan Firly sama-sama menyadari kesibukannya masing-masing. Oleh karena itu, mereka berdua memahami kerenggangan yang terjadi dan tak menganggap itu masalah besar.

"Mas, besok aku ada acara workshop sama karyawan-karyawanku. Aku akan camping di puncak, Mas. Sesuai kesepakatan karyawanku. Maaf, aku harus ikut, karena ini acara butik-ku." ucap Firly pada Rendi.

"Jadi, kamu mau ninggalin aku dan Calief?" tanya Rendi.

"Maaf ya, Mas. Aku gak bisa nolak keinginan mereka, karena mereka semuanya ikut. Aku harus menyenangkan mereka." ujar Firly.

"Baiklah, jika kamu memaksa. Aku izinkan." jawab Rendi.

Firly mencium lengan Rendi, "Mas gak marah kan sama aku?"

"Enggak, itu pilihan yang kamu inginkan. Bukankah kamu bahagia menjadi seorang fashion designer? Tentu saja aku harus mendukungmu, sayang." Rendi memeluk Firly.

"Terima kasih, suamiku. Oh, iya Mas, bilang sama Mila, Calief hari minggu harus lari pagi, terus nanti video ya, kalau sudah selesai, nanti kirim ke aku ya, Mas. Gurunya suruh buat tugas lari pagi di hari minggu. Awalnya, aku senang bisa menemani Calief lari pagi, tapi ternyata aku tak bisa menemaninya, karena acara camping bersama karyawanku." ucap Firly.

"Kenapa kamu gak bilang sendiri sama Mila?"

"Aku takut lupa, akhir-akhir ini sangat sibuk dengan berbagai rancangan busana baru, maklum lah Mas, memoriku terbatas, jadi aku ingatkan Mas Rendi juga, takutnya aku lupa, kan ada Mas yang bakal ingetin ke Mila. Gitu lho, sayang." Firly tersenyum manis.

"Ya sudah, ayo berangkat. Aku anterin, aku gak ke restoran pagi ini. Mungkin siang nanti aku baru akan ke restoran." ujar Rendi.

"Iya, Mas. Ayo," Firly menenteng tas nya.

Firly berangkat diantar oleh Rendy seperti biasa. Restoran Rendi terbilang sudah cukup sukses dan terkenal. Ia memiliki beberapa cabang restoran. Salah satunya di Bandung dan juga Bogor, namun pusatnya tetap di Jakarta. Ia merintis restorannya dari awal. Sejak kuliah, ia meneruskan bisnis orang tuanya, hingga kini ia mampu mendulang kesuksesan.

"Semangat kerjanya ya sayang," Rendi mengecup kening Firly.

"Makasih, Mas. I love you,"

"Love u too, my wife!" Rendi segera masuk ke mobilnya dan berlalu.

Sesampainya di rumah, Rendi segera memarkirkan mobilnya, dan Rendi melihat Mila sang pembantu di rumahnya, sedang memakaikan sepatu Calief, karena pagi ini Calief harus sekolah. Calief sekarang sekolah di TK A. Mila yang selalu mengantar jemput Calief, karena kebetulan, sekolahnya tak terlalu jauh, naik satu kali angkutan umum pun, pasti akan cepat sampai di sekolah Calief.

"Papah ..." sapa Calief.

"Halo, Lief. Mau berangkat sekolah ya? Mau Papa antar?" ajak Rendi.

"Mau, Papa. Tapi Mbak Mila harus ikut." ujar Calief.

"Loh, kenapa ikut? Kan ada Papa," ucap Rendi.

"Papa pasti gak mau anterin Alief masuk ke dalam kelas, kalau Mbak Mila kan selalu anterin Alief sampai kedalam sekolah." ujar Calief.

"Baiklah, ayo kita berangkat." ajak Rendi.

Calief dan Mila duduk dibelakang kemudi. Rendi memang tahu, Calief dan Mila sangat dekat, karena sejak bayi, Calief diasuh oleh Mila karena Firly sibuk dengan butiknya. Mila sudah bekerja selama lima tahun di rumah Rendi. Mila masih gadis, ia adalah gadis sebatang kara yang tak punya keluarga. Kini usianya baru menginjak 24 tahun. Ia hanya seorang lulusan SMP, karena itulah ia bekerja menjadi pembantu di rumah Rendi dan Firly.

Rendi dan Firly sangat mempercayai Mila. Karena sejak usianya 19 tahun, Mila seperti diangkat menjadi bagian dari keluarga Rendi. Firly menemukan Mila saat Mila terkapar lemah di jalanan, ia di usir oleh Ibu tirinya, karena Ayahnya sudah meninggal. Mila begitu baik dan jujur, karena itulah Firly sangat menyayangi Mila. Begitu pun dengan Mila, ia sangat bahagia ada keluarga kaya yang mau mengangkatnya dan mempekerjakannya.

Calief sudah masuk kelas. Mila kembali ke parkiran dan menemui Rendi yang sedang menunggunya. Mila awalnya canggung sekali karena Rendi menunggunya, ini baru pertama kalinya Rendi berada di rumah, dan mau mengantar Calief ke sekolah.

"Pak, Calief sudah masuk kelas." ucap Mila dari luar mobil.

"Ya sudah, kamu pulang saja bersamaku. Kalau menunggu di sekolah, pasti lama. Nanti biar aku jemput Calief lagi." ujar Rendi.

"Baik Pak," Mila akan membuka pintu belakang mobil,

"Mil, didepan saja. Memangnya saya supir kamu apa, kamu duduk dibelakang," tukas Rendi.

"Ah, i-iya Pak. Maaf," Mila membuka pintu depan mobil dan segera masuk ke mobil Rendi.

Baru kali ini Rendi dan Mila berada satu mobil bersama. Biasanya, Rendi sangat sibuk dengan restorannya. Namun, kali ini entah mengapa ia mau meluangkan waktunya untuk berada di rumah dan mengantar Calief pergi ke sekolah.

"Mil, pakai sabuk pengamannya." perintah Rendi.

"Ba-baik, Pak." Mila memakaikan sabuk pengamannya.

Ia begitu kesulitan memakai sabuk pengaman. Berulang kali masih saja tak berhasil. Selama naik mobil Rendi, Mila tak pernah duduk didepan. Jika duduk dibelakang pun, jarang menggunakan sabuk pengaman karena Calief tak bisa diam jika dipakaikan sabuk pengaman.

"Bisa gak?" tanya Rendi.

"Bentar, Pak. Ini gak nyantol terus." ujar Mila.

"Sini saya bantuin," Rendi menawarkan diri untuk membantu Mila yang kesulitan memakai sabuk pengaman.

Mila terlihat keberatan, " Eh, Pak biar saya saja."

Rendi tak mendengarkan ucapan Mila. Mila mengelak pun percuma, karena ia tak bisa menggunakan sabuk pengaman dengan benar. Rendi mengambil sabuk pengaman yang berada di dada Mila, Rendi menarik sabuk pengaman itu, hingga Rendi sadar bahwa tangannya telah bersentuhan dengan dada Mila yang menonjol sangat menggoda. Tangannya terlalu kuat menarik sabuk pengaman, sehingga ia menyenggol dada Mila yang besar.

Jantung Rendi berdebar. Ia merasa, darahnya mengalir cepat seperti hantaran listrik. Baru kali ini, ia bersentuhan dengan dada pembantunya. Mila begitu kaget, ketika merasa bahwa tangan majikannya menyenggol buah dadanya. Sesegera mungkin Mila memalingkan wajah karena begitu malu. Rendi pun segera memasangkan sabuk pengaman dengan benar.

"Maaf, saya tak sengaja." ucap Rendi.

"I-iya, gak apa-apa Pak." Mila merasa tak enak hati.

Pikiran Rendi sangat kacau. Rendi tak bisa fokus menyetir. Ia terbayang-bayang saat tadi, tangannya yang menyentuh barang paling sensitif milik Mila. Rendi mencoba menghapus bayang-bayang nakal itu. Namun, pikiran itu selalu menghantui kepalanya.

Mila dan Rendi telah sampai di rumah. Mila kembali bekerja seperti biasa. Ia mencuci piring, karena ia belum mencuci piring bekas sarapan. Setelah sarapan, Mila langsung mengantar Calief ke sekolah, dan belum sempat mencuci piring.

Rendi meminum teh nya yang sudah dingin hingga habis. Ia melihat Mila sedang mencuci piring, karena ia telah selesai minum teh, ia pun berinisiatif pergi ke dapur untuk memberikan cangkir kotornya pada Mila. Dari belakang, Rendi sudah memperhatikan bentuk tubuh Mila yang melekuk indah bak gitar spanyol.

Rasanya, kini Mila sudah tumbuh dewasa. Semuanya telah matang, termasuk dada yang tadi aku senggol. Saat dia baru datang disini, aku tahu sekali, bagaimana kondisi tubuhnya saat itu. Mila sangat kurus dan tak berisi. Kini, tubuhnya sangat kencang dan padat. Mila yang dulu, bukanlah yang sekarang. Mila kini mampu menarik perhatian ku sebagai lelaki. Selain dia cantik, dia juga begitu menggoda. Batin Rendi.

"Mil, ini cangkir bekas teh ku," Rendi menyerahkan cangkirnya pada Mila.

"Baik, Pak. Akan saya cuci sekarang," ujar Mila.

Rendi menatap Mila. Entah kenapa, jika menatap Mila, pikiran Rendi menjadi semakin liar dan bergairah. Baru kali ini Rendi merasa hatinya sangat bahagia menatap seorang pembantu.

Mila merasa tak nyaman, karena ia tahu, bahwa Rendi sedang memperhatikannya dari belakang. Rendi tak meninggalkan dapur sedikit pun, ia malah fokus melihat Mila yang sedang mencuci piring.

Rendi perlahan mendekati Mila, Rendi sudah kalang kabut, dan ia tak bisa menoleransi lagi sifat nakalnya. Ia terus melangkah mendekati Mila, mencoba memperhatikan Mila dari belakang, dan dengan pelan tapi pasti, Rendi melingkarkan tangannya di pinggang Mila. Ya, Rendi memberanikan diri memeluk Mila dari belakang, saking tak kuatnya ia menahan gairahnya ketika melihat Mila.

Mila terperanjat kaget, "Eh, Eh Pak. Bapak ngapain? Le-lepasin, saya! Saya mohon, Pak. Lepasin saya,"

"Mila, maafkan saya. Saya tertarik dengan tubuh kamu. Izinkan saya memeluknya seperti ini," Rendi tetap memeluk Mila.

"Pa-Pak, saya mohon lepas, gak enak dilihat orang. Pak, saya mohon. Bapak jangan kurang ajar sama saya!" Mila hampir menangis karena ketakutan.

"Saya gak akan ngapa-ngapain kamu, saya cuma pengen meluk kamu aja! Gak lebih, Mil." Rendi mendekatkan kepalanya pada bahu Mila, membuat tubuh Mila merinding hebat karena sentuhannya.

Mil, Mila ... Kamu hangat sekali, berbeda jika aku memeluk Firly. Rasanya sudah tak ada gairah mendalam saat dengan Firly. Apalagi, Firly lebih mementingkan karirnya daripada aku. Kini, baru aku sadari, ternyata aku mempunyai seorang pembantu yang bisa membuatku kembali bergairah. Maafkan aku, Firly. Aku sungguh hanya ingin memeluknya saja, tak lebih.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Charlotte Lee
menarik ceritanya.. boleh tau akun medsosnya gaa biar bisa aku follow?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status