INICIAR SESIÓNRuang kerja itu dipenuhi cahaya temaram dari lampu meja ketika Klara berdiri di ambang pintu.Langkahnya terhenti begitu matanya menangkap satu pemandangan yang membuat jantungnya seakan jatuh ke perut.Adrian sedang berdiri di depan meja kerjanya dengan laci terbuka, dan di tangannya sebuah pistol hitam mengilap yang selama ini tak pernah ia lihat dikeluarkan.Klara menelan salivanya. Tenggorokannya terasa kering.Adrian memiringkan badan sedikit, fokusnya tertuju pada pistol itu. Dengan gerakan tenang namun penuh presisi, ia mengisi amunisi satu per satu. Bunyi logam beradu terdengar jelas di ruangan yang sunyi, terdengar jauh lebih keras di telinga Klara.“Adrian …,” panggilnya dengan suara yang terdengar lirih dan nyaris bergetar. Ia melangkah mendekat, meski setiap langkah terasa berat. “Kau mau pergi ke mana?” tanyanya ingin tahu.Adrian menoleh sekilas ke arahnya, wajahnya dingin, rahangnya mengeras. Tangannya tetap sibuk dengan pistol itu. “Menemui James.”Jawaban itu seperti
“Argghh! Sial! Berengsek!” teriak James.Ruangan sempit itu bergema oleh suara benda-benda yang dibanting dengan brutal. Sebuah televisi tua terlempar ke lantai, pecahannya berserakan.Kursi kayu dibalikkan, meja kecil dihantam hingga bergeser kasar. James berdiri di tengah ruangan dengan napas memburu, dadanya naik turun tajam, matanya merah oleh amarah yang tak lagi bisa ia kendalikan.Di layar ponsel yang kini tergeletak di lantai, berita itu masih terbuka.PATRYK ANDREAS DIHUKUM PENJARA SEUMUR HIDUP.James menggeram. Tangannya mengepal keras hingga buku-buku jarinya memutih. “Sialan kau, Adrian Wijck!” bentaknya penuh kebencian, seolah pria itu berdiri tepat di hadapannya.Ia meraih botol kosong dan melemparkannya ke dinding. Botol itu pecah dan membuat cairan sisa di dalamnya mengalir di lantai. James tidak peduli. Amarahnya terlalu besar untuk diwadahi oleh ruang sekecil ini.“Bodoh!” teriaknya lagi, kali ini bukan hanya pada Adrian, tetapi juga pada Patryk. “Kau seharusnya lebi
Dua minggu berlalu sejak penangkapan Patryk, dan pagi itu gedung pengadilan tampak lebih ramai dari biasanya.Wartawan berkumpul di luar, kamera berderet, sorot lampu kilat sesekali menyala.Nama keluarga Wijck kembali menjadi pusat perhatian, kali ini bukan karena bisnis atau pernikahan mewah, melainkan karena sidang yang sejak awal sudah menyedot atensi publik.Adrian datang tepat waktu, mengenakan setelan hitam sederhana. Wajahnya tenang, namun sorot matanya tajam.Di sampingnya, Alex berjalan dengan langkah mantap, sesekali melirik ke sekeliling memastikan tidak ada hal mencurigakan.Adrian tidak membawa Klara, sebuah keputusan yang ia buat dengan tegas. Ia tidak ingin istrinya berada di ruang sidang apalagi mendengar kembali detail-detail kejam yang pernah hampir merenggut nyawa dan masa depan mereka.Mereka masuk ke ruang sidang dan duduk di bangku pengunjung. Adrian menyerahkan seluruh urusan hukum pada kuasa hukumnya.Hari ini, ia hanya perlu hadir menyaksikan keadilan bekerja
Malam kian larut ketika Klara melangkah pelan menuju ruang kerja Adrian. Lampu di dalam ruangan itu masih menyala, memantulkan cahaya hangat ke lorong yang sepi.Dari balik pintu yang setengah terbuka, ia melihat suaminya masih duduk di balik meja kerja, dikelilingi berkas-berkas dan layar laptop yang menyala.Wajah Adrian tampak serius, rahangnya mengeras, alisnya sedikit berkerut, tanda bahwa pikirannya masih tenggelam dalam urusan yang belum selesai.“Kau belum tidur?” tanya Adrian tanpa menoleh, seolah sudah tahu siapa yang datang.Klara tersenyum kecil. “Kau juga belum,” balasnya sambil melangkah masuk.Adrian menghela napas dan akhirnya menatap istrinya. “Tidurlah dulu. Jangan menungguku. Aku masih harus menyelesaikan ini, Sayang.”Alih-alih menuruti, Klara justru mendekat. Tanpa banyak kata, ia duduk di pangkuan Adrian hingga membuat pria itu refleks menghentikan gerakan tangannya di atas keyboard.Klara melingkarkan kedua lengannya di leher Adrian, dan wajah mereka kini berjar
Waktu sudah menunjuk angka sebelas malam ketika rumah itu kembali sunyi. Lampu-lampu di lantai bawah telah dipadamkan, hanya menyisakan cahaya redup dari ruang kerja Adrian di lantai dua.Di ruangan itu, suasana terasa dingin dan tegang, kontras dengan ketenangan malam di luar jendela.Adrian berdiri menghadap meja kerjanya, jas sudah dilepas, kemeja bagian atas terbuka satu kancing. Wajahnya keras, sorot matanya tajam.Di layar laptop yang terbuka, tertera berkas-berkas lama—nama, foto, dan potongan informasi yang tersisa tentang satu orang yang belum juga tertangkap.James Andreas.Adrian mengangkat ponselnya, menekan satu nomor yang hanya ia gunakan dalam keadaan mendesak. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya diangkat.“Kalau ini bukan urusan besar, kau akan menyesal menghubungiku jam segini,” suara di seberang terdengar serak dan santai, seolah waktu tidak pernah berarti baginya.“Hunter,” sapa Adrian datar. “Aku butuh jasamu.”Terdengar dengusan kecil. “Kau tahu
Sore itu, ruang kerja Adrian terasa sunyi meski hiruk-pikuk kota terlihat jelas dari balik dinding kaca besar yang membentang dari lantai hingga langit-langit.Di meja kerjanya yang rapi, sebuah map hitam terbuka. Di dalamnya tergeletak akta perusahaan yang baru saja selesai direvisi, sebuah dokumen legal yang menandai berakhirnya satu babak panjang dalam konflik keluarga Wijck.Adrian menatap lembar demi lembar akta itu dengan saksama. Namanya tercetak tegas sebagai pemegang kendali penuh. Tidak ada lagi nama Patryk. Tidak ada jejak keluarga Andreas di sana. Semua sudah bersih.Setidaknya di atas kertas.Jemarinya mengetuk pelan permukaan meja, kebiasaan kecil yang muncul setiap kali ia berpikir terlalu dalam.Ia menghembuskan napas panjang, lalu menyandarkan punggung ke kursi. Perasaan lega sempat menyelinap, namun tidak pernah benar-benar menetap. Adrian tahu, kemenangan ini belum utuh.“Akhirnya,” ucap Alex dari seberang meja, memecah keheningan. “Secara hukum, mereka sudah tidak







