Share

Bab 3 ( Terungkapnya Sebuah Kebenaran)

'Bodoh sekali aku!'

Suci memukul kepalanya saat keluar dari ruangan Rangga. Wanita itu tampak begitu malu karena ucapannya yang tidak dapat dikontrol. Seharusnya ia tidak bertanya hal bodoh seperti itu. Sebagai orang berpangkat rendah, ia harus tahu diri bahwa Rangga bukanlah orang sembarangan yang akan meminjamkannya uang begitu saja. Terlebih saat keduanya telah mengalami insiden tak menyenangkan. Mungkin saat ini Rangga menanggapinya sebagai wanita murahan.

Rangga kembali menduduki kursi dan memanggil nama Anton agar masuk ke ruangannya. Anton sendiri diam-diam memperhatikan gerak-gerik Suci saat keluar dari ruangan Rangga.

"Kenapa kau menyuruh wanita itu untuk mengantarkan diriku pulang?"

Belum juga menduduki kursi, Anton sudah mendapati bahwa dirinya seperti tersangka yang harus menjawab pertanyaan Rangga.

"Nyonya Rahayu yang menginginkan hal itu. Kau tahu alasannya,"

"Karena aku belum menikah. Lagipula aku tidak butuh istri, Anton!"

Anton hanya menggeleng, malas untuk menanggapi perkataan Rangga. Biarlah anak dan ibu itu yang nantinya akan menyelesaikan masalah ini. Lagi pula, bukan hal baru Ibunya Rangga melakukan hal-hal yang berlebihan tentang kehidupan anaknya. Bagi Anton, itu tak masalah karena sebagai orang tua, pastinya Beliau sudah mengetahui desas-desus selama ini, bahwa Rangga digosipkan penyuka sejenis.

Anton hanya memberikan berkas yang diminta oleh Rangga. Ia tidak ingin banyak ikut campur masalah keluarga Rangga, walaupun pada akhirnya dirinya selalu dilibatkan dalam masalah ini.

"Ini berkas yang anda minta." Ucap Anton.

"Bagaimana bisa kau mengiyakan permintaan tidak masuk akal itu. Apa kau tahu, akibatnya?" Rangga sama sekali tidak mendengarkan ucapan Anton. Pikirannya melayang pada malam yang samar, tak dapat diingatnya.

Anton menggeleng tidak mengerti.

"Memangnya, apa yang terjadi, Pak? Saat itu saya benar-benar tidak dapat mengantar anda pulang dan kebetulan Suci ditugaskan untuk melayani para tamu undangan. Dan, saya tak tahu pastinya. Tapi, Ibu anda sendiri yang telah menawarkan Suci agar mengantarkan anda pulang."

Rangga menatap lekat wajah asisten pribadinya itu. Tapi, Rangga masih belum mendapatkan titik temu masalah ini. Ia merasa dirinya sedang dijebak oleh seseorang.

Saat akan mengatakan sesuatu, Rangga teringat bahwa dirinya memiliki kamera pengawas di rumahnya yang terhubung dengan ponselnya. Tak ingin membuang-buang waktu, Rangga segera melihat ke ponselnya dan melihat kamera pengawas rumahnya menangkap sosok tubuh wanita itu bersama dengan dirinya masuk ke dalam rumah dalam keadaan tubuh saling berpelukan. Lebih tepatnya, Wanita itulah yang memapah dirinya ke dalam rumah dan Rangga tanpa sadar mengalungkan tangannya pada leher wanita itu.

Rangga menjambak rambutnya, frustasi dengan hal yang dilihatnya. Wanita itu terlihat begitu kewalahan menghadapi tingkah laku Rangga yang tidak seperti biasanya.

Rangga tidak melanjutkannya, ia tidak ingin melihat adegan selanjutnya yang terekam jelas di dalam kamarnya. Ia tidak ingin mengetahui kebenarannya dan membuka peluang wanita itu masuk ke dalam kehidupannya.

***

Dua Minggu berlalu, Suci sudah tak mampu lagi untuk menahan diri agar tidak menangisi kehidupannya. Saat ini, wanita yang masih berusia dua puluh satu tahun itu terlihat terduduk lemas di ujung koridor rumah sakit. Hari ini, penyakit Ayahnya kembali kambuh dan harus dibawa ke rumah sakit.

Suci menghela nafas panjang berharap agar masalahnya ini teratasi dengan baik. Rumah sakit memberikan kelonggaran untuk Ayahnya agar bisa dirawat sementara di rumah sakit. Tapi, untuk biaya operasi Suci harus cepat mendapatkan itu semua agar penanganan Ayahnya dapat dilakukan secara maksimal.

Rangga menatap seorang pria muda yang beberapa terakhir mengantarkan kopi untuk dirinya.

"Kemana wanita yang biasa mengantarkan kopi untuk diriku?"

Sang pria mencoba untuk mengingat, siapa rekannya yang biasa menyiapkan kopi untuk atasannya itu.

"Oh, Suci? Katanya dia sudah mengundurkan diri, Pak. Ayahnya sakit keras dan kabar terakhir yang saya tahu, Ia habis dimarahi habis-habisan oleh Supervisor karena ingin berhutang pada Kantor."

Mendapati kabar Seperti itu, Rangga sama sekali tidak bereaksi dengan penjelasan pria itu. Tatapannya kembali pada berkas dokumen yang menumpuk di atas mejanya.

***

Suci menghela nafas berat saat keluar dari ruang pemeriksaan. Ia tak habis pikir, kenapa dunia begitu kejam padanya. Belum selesai satu masalah, kini kembali datang masalah baru lagi. Ingin rasanya berteriak dan berlari sekencang-kencangnya dari semua masalah ini. Karena tak ada satupun orang yang benar-benar peduli terhadap dirinya.

Tanpa Suci Sadari, sejak tadi ada seseorang yang memperhatikan gerak-geriknya.

"Apa dia hamil?"

Rangga menatap malas pada antrian panjang yang mengharuskan dirinya untuk ikut mengantri mengambil resep obat dari dokter. Ya, memang benar. Rumah sakit sebesar ini pasti akan memakan waktu lama untuk sekedar mengambil obat. Rangga mendudukkan tubuhnya di kursi besi panjang dan berharap agar semua ini cepat berakhir. Seandainya Ibunya tidak meminta pertolongan soal kontrol kesehatan ini, pastinya Rangga sudah berada di kantor menyelesaikan pekerjaannya.

Setelah selesai ikut mengantri mengambil obat, Rangga dikejutkan dengan kehadiran Suci. Wanita itu terlihat sedang duduk di kursi panjang rumah sakit yang berada di ruangan tempat rawat inap pasien.

Rangga hanya memperhatikan dari kejauhan tanpa ingin bertindak lebih jauh lagi dengan menemui Suci. Lagipula, saat ini Suci sudah bukanlah karyawannya lagi, jadi itu semua bukanlah masalah bagi Rangga dan Ia pun memutuskan langsung pergi meninggalkan rumah sakit tanpa ingin mengetahui lebih jauh lagi permasalahan wanita itu.

Setelah sampai di area parkir, Rangga kembali harus menunggu kedatangan Ibunya yang belum berada di area parkir rumah sakit. Wanita itu beralasan perutnya sakit dan harus kembali ke toilet terlebih dahulu. Hal ini membuat Rangga harus kembali menunggu lagi.

Suci kembali menatap secarik kertas yang saat ini berada ditangannya. Uang segitu banyaknya, harus Ia dapatkan dengan cara…

Suci menggeleng cepat berusaha menampik dirinya seorang wanita yang tak bermoral. Seharusnya ia bisa mencari jalan keluar untuk permasalahan ini. Tapi otaknya terasa begitu buntu dan tak dapat berpikir jernih. Bayangan suram masa depan dan batas kemampuan bertahan Ayahnya yang kian menepis terus menerus menggerus akal sehatnya. Suci kembali meneteskan air matanya, ia merasa matanya begitu perih, namun air matanya tak kunjung dapat ia tahan agar bisa lebih lama lagi bertahan didalam.

"Hapus air matamu," Suci mencoba mengangkat kepalanya dan menatap wajah seorang wanita paruh baya yang tersenyum hangat padanya. Suci takut jika ia salah lihat, jadi Ia mengusap matanya dan menatap ke sekelilingnya yang ternyata memang hanya ada dirinya di kursi itu. Ia hanya takut jika bukan dirinya yang disapa wanita ini.

"Siapa anda?" tanya Suci ragu melihat penampilan sang wanita pastilah bukan sembarang orang. Wanita itu tersenyum, lalu ikut duduk di samping Suci. Merasa tak nyaman duduk sedekat ini, Suci memutuskan untuk menggeser posisi duduknya sedikit menjauh dari wanita paruh baya itu.

"Apakah kau wanita yang tidur dengan anakku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status