Aku menarik napas lega. Tidak jadi ke apartemennya hari ini. Tapi, besok pasti sibuk di kantor. Setidaknya, aku bisa pulang lebih awal sekarang. Aku menghidupkan mesin motor, tapi saat hendak pergi, sebuah mobil mewah terparkir di depan. Aku merasa mengenali mobil itu. Liana berlari ke arah mobil, dan seorang pria turun. Mereka tampak mesra, berpelukan.Reza menepuk pundakku, membuatku tersentak. “Kirain lo udah pulang. Kok masih di sini?”Aku masih memandang Liana dan pria itu. “Za, cowok itu siapa?”“Itu yang gua ceritain sama lo. Pacarnya Liana, yang polisi itu,” jawab Reza.Aku terkejut. “Ah, yang bener? Kok gua rasanya pernah ketemu sama orang itu.”“Ketemu di mana? Menurut Sarah, dia polisi kaya raya,” kata Reza.Liana masuk ke mobil, dan mereka pergi. Tiba-tiba, aku teringat. Pria itu sama dengan pria yang bersama Tiara di pengadilan kemarin! Mobilnya sama, aku masih ingat plat nomornya, wajahnya juga sama. Bukannya dia pacarnya Tiara? Aku tidak mungkin salah lihat. Jadi, dia p
Aku mengangguk, tidak peduli. Aku justru lega bisa lepas dari Tiara. Tapi, aku curiga. Tiara sudah tidak bersama Alex, mungkin karena Alex sudah bangkrut. Entah kenapa aku merasa curiga pada pria itu, mungkin hanya perasaanku saja. Aku mengusir pikiran itu, fokus pada kebebasanku.“Terima kasih banyak, Pak Faisal. Dari awal sampai akhir, Bapak banyak membantuku,” kataku.“Sama-sama, Pak Raka. Saya senang bisa membantu, apalagi kita akhirnya bisa menang,” kata Pak Faisal. “Semoga Pak Raka segera dapat kebahagiaan dan jodoh yang tulus.”“Aamiin, Pak. Terima kasih,” jawabku.Aku harus ke kantor setelah ini, tapi aku ingin pulang dulu mengambil tas dan membawa motorku. Pak Herdi menawarkan untuk mengantarku, tapi aku menolak. Saat akan ke parkiran, aku panik karena Mama Siska tidak ada. Aku mencarinya, dan ternyata dia di parkiran, sedang berbicara dengan Tiara. Obrolan mereka tampak tegang. Aku buru-buru menghampiri mereka.“Ayo, Ma, kita pulang!” kataku, mengabaikan Tiara.Tiara menatap
Setelah siap, aku menunggu di ruang tamu, duduk di sofa sambil memeriksa ponsel. Jantungku masih berdegup kencang, memikirkan sidang perceraian yang akan menentukan langkah hidupku selanjutnya. Tak lama, Mama Siska muncul dari kamarnya. Dia tampak memukau, mengenakan blazer navy yang elegan dipadukan dengan rok midi berwarna krem, serta syal sutra tipis yang menambah kesan anggun. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul rendah, dan sedikit riasan wajah membuatnya terlihat segar namun tetap sopan.“Kamu cantik banget, Ma,” kataku, tidak bisa menyembunyikan kagum. “Jarang banget lihat kamu berdandan begini. Sekarang terlihat beda.”Mama Siska tersenyum malu, pipinya sedikit merona. “Kamu bisa saja, Raka. Pak Herdi belum datang?”“Katanya lagi di jalan, Ma. Tadi meneleponku, katanya sebentar lagi sampai,” jawabku.Tak lama, suara mobil terdengar di depan rumah. Pak Herdi tiba, memarkir mobilnya dengan rapi. Dia turun, membuka pintu belakang dengan sikap ramah.“Maaf, Tuan Raka, saya telat. S
Aku membantunya, aku gerakan pinggulku dengan kecepatan penuh. "Ahhhh aaaahhhhh," desahannya semakin keras ketika aku hentakan dengan sangat keras.Kerena takut di dengar Nayla, aku menutup mulutnya agar dia tidak berteriak keras. Aku pelankan, agar dia bisa mengatur nafasnya. Keringatku semakin bercucuran, aku peluk tubuhnya lalu mencium bibirnya. Aku kencangkan tanganku memegang tubuhnya. Aku mulai berdiri menggendongnya dari depan, kembali aku hentakan pinggulku dengan kecepatan penuh. Mama Siska semakin mendesah keras, aku takut Nayla akan mendengarnya. Aku berjalan menuju dapur, karena jika terus berada di ruang tengah ini jaraknya cukup dekat dengan kamar Nayla. Lampunya kembali di hidupkan, aku baringkan tubuhnya di atas meja makan. Kedua kakinya terbuka lebar, bagian intinya sampai memerah mungkin karena aku terlalu keras menumbuknya. Tapi justru membuatku ketagihan, kembali aku masukan bagian intiku yang masih sangat keras. Dalam sekali hentakan saja, semuanya telah amblas.
Ya Tuhan, sampai kapan aku harus berbohong? Aku masih terikat dengan Alicia karena bantuannya, tapi aku ingin setia pada Mama Siska. Tanpa Alicia, mungkin perceraianku dengan Tiara akan berlarut-larut. Tapi aku tidak bisa terus begini. Aku ingin hidup baru, bebas dari masa laluku dan tekanan Alicia.Makan malam berlangsung hangat, tapi pikiranku tidak bisa lepas dari foto di media sosial yang Reza tunjukkan. Siapa yang mengambilnya? Apa ini ulah Alex atau siapa? Atau memang ada seseorang yang tahu? Aku tahu, besok sidang perceraianku mungkin akan jadi penutup, tapi firasatku mengatakan masalah ini belum selesai. Aku harus waspada, untuk Mama Siska, Nayla, dan masa depanku sendiri.Setelah selesai makan malam, kami berkumpul di ruang tengah, suasana hangat dengan tawa dan obrolan ringan. Nayla bercerita tentang tugas kuliahnya, sementara Mama Siska sesekali menimpali dengan saran. Tak terasa, jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam.Nayla menguap lebar. “Aku tidur duluan, ya
Saat jam makan siang, Reza mengajakku ke kantin kantor. Seperti biasa, aku membawa bekal dari Mama Siska—nasi goreng dengan ayam goreng dan sambal yang selalu bikin kangen rumah. Kami duduk di sudut kantin, di meja kecil dekat jendela, ditemani suara riuh karyawan lain yang sedang makan dan mengobrol.“Oh ya, Bro, selama lo gak ada di kantor, suasana di kantor bener-bener tegang,” kata Reza sambil menyendok bakso dari mangkoknya. “Banyak yang kena omel Bu Alicia. Bahkan gua juga kena.”Aku membuka kotak bekalku, aroma nasi goreng langsung menguar. “Emangnya kalian buat salah apa sampai kena omel?”“Pekerjaan lo kan yang ngerjain kita-kita—gua, Liana, Sarah. Kita gak terlalu paham desain iklan yang lo buat,” kata Reza, wajahnya cemberut. “Eh, Bu Alicia malah ngomel-ngomel, bilang kita gak becus. Pokoknya, dia ngebanding-bandingin sama lo. Lo kan kesayangan Bu Alicia.”Aku tertawa kecil, pura-pura santai meski mendengar nama Alicia bikin dadaku sesak. “Bisa aja lo. Oh ya, kok semenjak g