Di kamar mandi, air segar membasahi tubuhku, membuatku lebih terjaga. Tiba-tiba, aku teringat rencana pindah rumah hari ini. Aku belum siap, baik secara fisik maupun mental. Aku juga belum berani mengatakan hal ini kepada Mama Siska, apalagi Nayla sedang tidak ada di rumah. Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku duduk di tepi kasur, memikirkan langkah selanjutnya.Aku memutuskan untuk menunda kepindahan. Hari ini jadwalku terlalu padat, dan mungkin aku harus lembur. Barang-barangku memang tidak banyak, jadi Pak Herdi bisa membantu mengangkutnya nanti. Tapi aku merasa hari Minggu adalah waktu yang lebih tepat, saat aku libur dan punya waktu untuk mempersiapkan diri, terutama untuk mengumpulkan keberanian memberitahu Mama Siska.Aku mengambil ponsel dan mengetik pesan untuk Ibu,[Bu, sepertinya aku belum bisa pindah ke penthouse hari ini. Jadwal kerja lumayan padat, mungkin aku juga akan lembur. Aku rencanain hari Minggu aja, biar libur dan punya waktu lebih banyak.]Karena perbedaan
Mama Siska menatapku dengan penuh perhatian. “Raka, kenapa kamu diam saja?”Aku tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Ma.”Sebenarnya, ada banyak hal yang berkecamuk di dalam pikiranku, tapi aku tidak sanggup mengatakannya. Aku tahu, Mama Siska pasti akan sedih jika mendengar apa yang aku pikirkan.Mama Siska masih menatapku, alisnya sedikit berkerut. “Raka, apa yang sedang kamu pikirkan?”“Nggak ada, kok,” jawabku cepat.Mama Siska menggeleng pelan. “Kamu nggak bisa bohongi aku. Aku tahu pasti ada sesuatu yang kamu pikirkan.”Aku menghela napas, mencoba mencari alasan yang masuk akal. “Nggak ada, Ma. Aku cuma mikirin kerjaan besok. Bu Alicia nggak masuk, jadi aku yang harus handle semua.”Mama Siska mengangguk, wajahnya sedikit rileks. “Semangat, Raka. Pasti besok kamu sibuk, ya. Tapi, bukannya kamu sebentar lagi akan menjalankan bisnis ayahmu? Berarti kamu akan berhenti dari kantor Bu Alicia, ya?”“Iya, mungkin,” jawabku singkat.Suasana tiba-tiba hening. Kami masih duduk berhadapan di r
Aku dan Mama Siska bersiap pergi. Dia tampak memukau dengan dress midi berwarna dusty pink yang lembut, dipadukan dengan cardigan tipis abu-abu dan sepatu flat yang elegan. Rambutnya digerai, bergelombang alami, membuatnya terlihat anggun sekaligus terlihat muda, seperti gadis seusia Nayla. Aku tidak bisa berhenti memandangnya saat kami naik motor.“Kamu cantik banget, Ma,” pikirku, tersenyum sendiri."Kamu bisa saja," mukanya memerah.Aku begitu senang, akhirnya bisa jalan berdua. Sesekali, aku melirik Mama Siska lewat kaca spion. Dia benar-benar terlihat seperti gadis 20 tahunan, tangannya melingkar erat di pinggangku. Aku ingin setiap hari seperti ini, hanya kami berdua, tanpa beban. Angin malam menyapa, membawa aroma wangi parfumnya yang lembut.Kami tiba di kafe di pinggir kota, tempat yang kusebutkan tadi. Aku memarkir motor, lalu kami mencari tempat duduk. Aku memilih meja di area outdoor, dekat balkon yang menghadap pemandangan kota. Dari sini, gemerlap lampu kota terlihat ind
Aku menarik napas lega. Tidak jadi ke apartemennya hari ini. Tapi, besok pasti sibuk di kantor. Setidaknya, aku bisa pulang lebih awal sekarang. Aku menghidupkan mesin motor, tapi saat hendak pergi, sebuah mobil mewah terparkir di depan. Aku merasa mengenali mobil itu. Liana berlari ke arah mobil, dan seorang pria turun. Mereka tampak mesra, berpelukan.Reza menepuk pundakku, membuatku tersentak. “Kirain lo udah pulang. Kok masih di sini?”Aku masih memandang Liana dan pria itu. “Za, cowok itu siapa?”“Itu yang gua ceritain sama lo. Pacarnya Liana, yang polisi itu,” jawab Reza.Aku terkejut. “Ah, yang bener? Kok gua rasanya pernah ketemu sama orang itu.”“Ketemu di mana? Menurut Sarah, dia polisi kaya raya,” kata Reza.Liana masuk ke mobil, dan mereka pergi. Tiba-tiba, aku teringat. Pria itu sama dengan pria yang bersama Tiara di pengadilan kemarin! Mobilnya sama, aku masih ingat plat nomornya, wajahnya juga sama. Bukannya dia pacarnya Tiara? Aku tidak mungkin salah lihat. Jadi, dia p
Aku mengangguk, tidak peduli. Aku justru lega bisa lepas dari Tiara. Tapi, aku curiga. Tiara sudah tidak bersama Alex, mungkin karena Alex sudah bangkrut. Entah kenapa aku merasa curiga pada pria itu, mungkin hanya perasaanku saja. Aku mengusir pikiran itu, fokus pada kebebasanku.“Terima kasih banyak, Pak Faisal. Dari awal sampai akhir, Bapak banyak membantuku,” kataku.“Sama-sama, Pak Raka. Saya senang bisa membantu, apalagi kita akhirnya bisa menang,” kata Pak Faisal. “Semoga Pak Raka segera dapat kebahagiaan dan jodoh yang tulus.”“Aamiin, Pak. Terima kasih,” jawabku.Aku harus ke kantor setelah ini, tapi aku ingin pulang dulu mengambil tas dan membawa motorku. Pak Herdi menawarkan untuk mengantarku, tapi aku menolak. Saat akan ke parkiran, aku panik karena Mama Siska tidak ada. Aku mencarinya, dan ternyata dia di parkiran, sedang berbicara dengan Tiara. Obrolan mereka tampak tegang. Aku buru-buru menghampiri mereka.“Ayo, Ma, kita pulang!” kataku, mengabaikan Tiara.Tiara menatap
Setelah siap, aku menunggu di ruang tamu, duduk di sofa sambil memeriksa ponsel. Jantungku masih berdegup kencang, memikirkan sidang perceraian yang akan menentukan langkah hidupku selanjutnya. Tak lama, Mama Siska muncul dari kamarnya. Dia tampak memukau, mengenakan blazer navy yang elegan dipadukan dengan rok midi berwarna krem, serta syal sutra tipis yang menambah kesan anggun. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul rendah, dan sedikit riasan wajah membuatnya terlihat segar namun tetap sopan.“Kamu cantik banget, Ma,” kataku, tidak bisa menyembunyikan kagum. “Jarang banget lihat kamu berdandan begini. Sekarang terlihat beda.”Mama Siska tersenyum malu, pipinya sedikit merona. “Kamu bisa saja, Raka. Pak Herdi belum datang?”“Katanya lagi di jalan, Ma. Tadi meneleponku, katanya sebentar lagi sampai,” jawabku.Tak lama, suara mobil terdengar di depan rumah. Pak Herdi tiba, memarkir mobilnya dengan rapi. Dia turun, membuka pintu belakang dengan sikap ramah.“Maaf, Tuan Raka, saya telat. S