Pantai Kuta menyambut kami dengan pasir putih lembut, ombak yang bergulung pelan, dan langit biru cerah. Di kejauhan, peselancar beraksi di atas ombak, sementara pedagang asongan menawarkan gelang, kain pantai, dan kelapa muda. Aroma laut bercampur dengan wangi kelapa bakar dari warung-warung di pinggir pantai. Nayla langsung melepas sandalnya, berlari ke tepi air, dan berteriak kegirangan saat ombak kecil menyapu kakinya.“Bang, Ma, lihat ini! Keren banget!” serunya, memercikkan air ke arahku."Awas ya, Abang akan balas."Aku tertawa, melepas kausku dan bergabung dengannya. Mama Siska memilih duduk di bawah payung sewaan, menikmati angin sepoi-sepoi sambil mengawasi kami.“Kalian jangan jauh-jauh hati-hati, ya!” pesannya, tersenyum."Siap Ma, tenang aja." kata Nayla melambaikan tangan.Setelah puas bermain di pantai, kami memutuskan mencari tempat makan siang. Kami memilih warung makan tepi pantai bernama *Warung Merta*, dengan pemandangan langsung ke laut. Meja-meja kayu diletakkan
Pagi di penthouse terasa cerah, sinar matahari menyelinap melalui jendela kaca besar, menerangi ruang tamu dengan cahaya lembut. Aku bangun lebih awal, melakukan peregangan ringan di kamar untuk membangunkan tubuh. Setelah mandi di kamar mandi marmer dengan pancuran air hujan yang menyegarkan, aku mempersiapkan diri untuk liburan ke Bali. Aku memilih pakaian kasual: kaus putih, celana jeans, dan sepatu sneakers. Di kamar, aku memeriksa tas travel yang sudah kusiapkan semalam: beberapa pakaian, kamera, charger, dan dokumen penting seperti KTP dan tiket pesawat yang sudah kubeli secara online. Aku sengaja membawa barang secukupnya, ingin liburan ini terasa sederhana meski tabunganku cukup untuk gaya hidup mewah.Namun, alih-alih sarapan di penthouse dengan hidangan mewah dari pelayan, aku memutuskan untuk makan di apartemen Mama Siska. Aku ingin memulai hari ini bersama mereka, merasakan kehangatan keluarga sebelum perjalanan. Aku menghubungi Pak Herdi, memintanya menjemputku dan langsu
Reza, Sarah, karyawan lain termasuk Liana juga langsung terlihat terkejut. Sampai mata Reza membelalakkan."Ka, serius? Ko tiba-tiba banget! Apa ini gara-gara gue kemarin, ya? Maaf, bro, gue nggak maksud bikin lo kesel."Aku tertawa kecil, menggeleng. "Bukan, Za. Ini nggak ada hubungannya sama kemarin. Gue beneran butuh refreshing, tenangin pikiran. Gue udah minta izin sama Bu Alicia jauh-jauh hari. Jadi Aku mau minta maaf pada kalian semua, selama aku kerja disini, mungkin banyak kesalahan atau sesuatu yang tanpa sadar menyakiti hati kalian. Aku sangat senang bisa bekerja disini, bisa kenal dengan kalian yang sangat baik."Liana, yang selama ini dingin padaku, tetap diam, tapi matanya menunjukkan keterkejutan. Dia menunduk, menghindari kontak mata, tapi aku tahu dia mendengarkan.Sarah, yang lebih terbuka, angkat bicara. "Ka, kok kayak mau cuti selamanya? Apa lo mau resign?"Aku ragu sejenak, tidak ingin mengatakannya sekarang. "Nanti aku kabarin lagi pas selesai cuti nanti, ya. Buat
Aku harus segera pergi, Reza sudah gila. Aku pikir dapat kejutan apa, mungkin dia berfikir aku sering main perempuan."Ayo Raka, akan aku buat kamu puas." kata Anggun, mulai meremas bagian intiku.Aku tersentak dan langsung berdiri, "Sekali lagi maaf, aku bukan pria yang seperti kamu inginkan." Reza menghentikan aksinya, "Za, lu benar-benar gila, gue mau pergi saja."Reza berdiri merapikan celananya yang sudah di buka sebagian, "Padahal gue pengen pesta malam ini, kita bisa main berempat."Aku terkejut dengan jawabannya, "Lu udah gak waras Za, gue memang pernah main dengan Bu Alicia tapi kalau sampai kayak gini, gue lebih baik pulang saja Reza akhirnya menyerah, mengantarku ke luar."Lo nggak asik, Ka. Anggun kan cakep, kalau memang gak mau main rame-rame kan lu bisa main di kamar." bisiknya masih berusaha merayuku."Lo aja yang nikmatin, Za," balasku, merasa kesal. "Gue pulang dulu. Thanks buat... kejutannya." langsung pergi tanpa memperdulikannya.Reza masih berdiri di depan pintu,
Reza mengangguk pelan, tapi matanya masih menatap rumah Vina. "Gue kira Vina orang baik, eh ternyata sama aja. Ayo, Ka, pulang aja."Kami menyalakan motor dan meninggalkan kompleks itu tanpa suara. Dalam perjalanan, aku merasa campur aduk. Berkat Reza, aku tahu Alex masih di Jakarta, tapi itu juga merasa kasihan pada Reza. Aku tahu bagaimana rasanya di kecewakan, aku tidak ingin itu terjadi lagi.Di tengah perjalanan, Reza tiba-tiba memperlambat motornya dan menyamakan kecepatan denganku. "Ka, mampir ke rumah gue, yuk. Ada sesuatu yang spesial, nih!" katanya dengan senyum lebar, seolah kecewa soal Vina tadi sudah lenyap.Aku mengerutkan kening. "Udah malem, Za. Lagi pula, gue udah ke rumah lo beberapa hari yang lalu. Memangnya apa yang spesial?""Yaelah, Ka, ayo dong. Sekarang kita sama-sama single, bro! Lo duda, gue belum nikah. Kita bebas deket sama cewek mana aja, pulang jam berapa aja nggak ada yang larang," rayu Reza, suaranya penuh semangat. "Oh ya, lo udah nggak tinggal sama ma
Sebelum Alicia pergi, aku mengajaknya bicara empat mata di ruangannya. "Alicia, aku mau minta izin cuti selama beberapa hari ini. Rencananya mau ajak Nayla liburan. Kamu tahu kan apa yang terjadi sama Mama Siska dan Nayla akhir-akhir ini. Aku merasa kasihan pada mereka, apalagi sampai sekarang masih belum benar-benar tenang."Alicia mengangguk, ekspresinya sedikit melunak. "Iya, Raka. Aku ngerti. Ambil aja cuti, nggak masalah. Oh ya, orangtua kamu sebentar lagi datang, kan? Apa kabar mereka?""Baik, Alicia. Mereka akan datang seminggu lagi, masih ada urusan di luar negeri," jawabku.Alicia menatapku, ragu sejenak. "Raka, kalau nanti orangtua kamu datang... kamu bakal berhenti dari sini, kan?"Aku menghela napas. "Mungkin iya, Alicia. Aku harus siap menjalankan bisnis keluarga. Tapi belum tahu juga kapan itu terjadi, semuanya tergantung pada Ayah."Alicia mengangguk pelan. "Aku sudah tahu kamu tidak akan berkerja di sini lagi. Makanya aku bawa Erik. Nanti kamu bimbing dia, ya. Aku tahu