Raka menggeleng, “Itu bisa dibicarakan nanti. Sekarang kita bawa Lila ke rumah sakit, buruan, sebelum malam.”Mereka segera mencari mobil sewaan untuk membawa Lila ke rumah sakit di Waisai. Pak Made, sopir yang tadi membantu, kebetulan masih ada di dekat pintu masuk. Dengan cepat, mereka masuk ke mobil, Lila masih pingsan di pangkuan Liam. Perjalanan menuju rumah sakit penuh ketegangan. Raka terus memeriksa denyut nadi Lila, memastikan adiknya baik-baik saja.Di tengah jalan, Tom berkata, “Aku nggak nyangka Lila ternyata benar-benar suka sama aku. Harusnya aku jujur dari awal sama dia.”Raka menepuk bahunya, “Udah, Tom. Yang penting sekarang Lila selamat. Nanti kita jelaskan pelan-pelan sama dia.”Mobil melaju melewati jalanan berliku, matahari mulai tenggelam, mewarnai langit Raja Ampat dengan semburat oranye. Meski pemandangan indah, tak ada yang bisa menikmatinya. Pikiran mereka hanya tertuju pada Lila dan keluarga yang menunggu di rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, Raka, Tom
Siska dan Nayla masih berada di teras tempat ibadah, menunggu dengan cemas. Siska, meski masih lemas, berusaha tegar demi putrinya. Nayla memegang tangan ibunya erat, matanya sesekali menatap ke jalan, berharap seseorang segera datang menjemput mereka. Tak lama, sebuah mobil van tua berhenti di depan tempat ibadah. Dua pria kekar, mengenakan kemeja sederhana, turun dari mobil. Mereka memperkenalkan diri sebagai suruhan Mr. Henri.“Bu Siska, Nona Nayla, kami dari Bapak Henri. Kami diminta menjemput Ibu dan Nona ke rumah sakit di Waisai,” kata salah satu pria, yang bernama Pak Yanto, dengan suara tenang namun tegas.Siska mengangguk lemah, “Terima kasih, Pak. Ayo, Nayla, kita ke sana.”Nayla menuntun ibunya dengan penuh kasih sayang, membantu Siska masuk ke mobil. Wajah Nayla penuh kekhawatiran melihat kondisi ibunya yang masih pucat dan demam.“Ma, nanti di rumah sakit Mama harus diperiksa dokter, ya. Aku khawatir,” kata Nayla, suaranya lembut tapi tegas.“Iya, Nak. Mama cuma capek. Ya
Raka, Tom, Jack, Ethan, dan Liam bergegas mencari mobil sewaan di dermaga. Setelah bertanya pada warga lokal, mereka menemukan sebuah mobil tua yang disewakan oleh seorang sopir bernama Pak Made.“Ke warung kopi di jalan bawah? Bisa, tapi jalannya menanjak, agak jauh,” kata Pak Made."Gak apa-apa bli, yang penting sampai." kata Tom, untungnya ia masih menyimpan uang.Mereka setuju membayar tarif lebih, dan mobil melaju melewati jalan tanah berbatu, dikelilingi hutan mangrove dan bukit-bukit kecil.Di dalam mobil, suasana tegang bercampur harapan. Raka memandang keluar jendela, berdoa dalam hati agar Lila benar-benar masih hidup.Tom, yang duduk di depan, mencoba mencairkan suasana. “Kalau Lila beneran masih hidup dan berada di suatu tempat, pasti dia ngambek karena kita ninggalin dia,” candanya, tapi wajahnya tetap serius.Jack menimpali, “Aku berharap ini bukan jebakan. Kalau sampai ada yang manfaatin situasi,... ini parah.”Ethan, yang memeriksa ponselnya, berkata, “Sinyal ilang lag
Di rumah sakit Waisai, suasana duka perlahan bercampur dengan secercah harapan setelah pesan Raka masuk ke ponsel Mr. Henri dan Nayla. Pesan itu menyebutkan bahwa Lila masih hidup dan sedang mencari mereka di Pulau Arborek, berdasarkan pesan dari nomor tak dikenal yang mengaku sebagai Lila. Nayla, Tom, Jack, Ethan, dan Liam segera bersiap menuju tempat ibadah dekat dermaga, tempat yang disebutkan Raka dalam pesannya. Mereka ingin segera bertemu Raka dan Siska, sekaligus memastikan kabar tentang Lila.Nayla, dengan wajah penuh harap bercampur kekhawatiran, berkata pada Mr. Henri, “Pak, kalau begitu saya, Tom, dan yang lainnya akan pergi ke tempat ibadah itu seperti yang dikatakan Mama dan Bang Raka.”Mr. Henri, yang sedang memegang tangan Mrs. Sariani yang masih lemah, mengangguk. “Iya, Nay, kamu hati-hati. Jika ada apa-apa, hubungi saya. Nanti saya minta bantuan teman-teman saya untuk ikut mencari Raka dan Siska.”Mrs. Sariani, dengan mata merah dan suara parau, menambahkan, menatap T
Sementara itu di Raja Ampat, Raka dan Siska masih berjuang mencari Lila di Pulau Arborek. Setelah muter-muter tanpa hasil, mereka menyadari ponsel Raka hampir kehabisan baterai, sementara ponsel Siska sudah mati. Mereka harus menemukan tempat dengan sinyal untuk menghubungi keluarganya dan memberi tahu bahwa Lila masih hidup berdasarkan pesan yang diterima.“Kita harus cari tempat buat hubungi Ayah atau Ibu, kasih tahu mereka jika Lila masih hidup,” kata Raka, memeriksa ponselnya yang menunjukkan 5% baterai.“Iya, kita harus cepat kasih tahu mereka. Pasti mereka khawatir karena kita nggak menyusul mereka ke rumah sakit,” kata Siska, wajahnya pucat karena kelelahan.“Batrenya udah mau habis nih,” keluh Raka.“Malah ponselku udah mati dari tadi,” kata Siska. “Gini aja, kamu kirim pesan aja ke orangtuamu. Kasih tahu Lila mengirim pesan, dan dia lagi nyari kita.”“Benar, biar hemat baterai. Aku forward pesan dari Lila ke mereka,” kata Raka.“Masalahnya, kita harus cari sinyal. Apa kita ba
Mereka masih berdiri, Tiara terpaku melihat Robi dan Bella sedang bercinta di depannya. Hingga dalam sekejap, Bella sudah tidak memakai apapun. Gadis itu terlihat masih polos, mungkin lebih muda dari Nayla karena terlihat belum dewasa.Tiara hanya menonton mereka yang semakin agresif, gadis itu juga cukup liar dia mencium bibir Robi begitu sangat bernafsu. Hingga kemudian, mereka berhenti."Gimana menurutmu, dia hebat kan?" kata Robi pada Tiara, "dia hampir tiap hari datang ke sini hanya untuk menikmati benda pusakaku. Iya kak, sayang?"Gadis itu mengangguk, "Iya, aku ketagihan dengan benda pusakanya kak Robi. Kak Robi mainnya liar dan tahan lama, aku sampai keluar beberapa kali."Tiara merasa kesal, "Kalian memang gila, jadi aku hanya di suruh jadi penonton aja?"Robi mendekat, tangannya meremas bokong Tiara, "Nggak dong sayang, kamu juga akan aku kasih jatah. Nanti gantian ya, ayo kita main di kamar!" Robi menarik tangan mereka.Setelah berada di dalam kamar, kini giliran Tiara yang