Raka menggeleng, “Terlalu berlebihan lu. Jadi, gimana ceritanya tentang pria misterius itu?”Reza menyeruput es kopinya, lalu menceritakan dengan serius, “Iya, dia orang aneh. Tiba-tiba muncul dan bilang kenal gua, katanya satu kampus dulu. Tapi dari mukanya, kayak seumuran sama bokap lu. Badannya tegap, rambutnya pendek cepak, kayak tentara. Matanya tajam, kulitnya sawo matang, dan dia pake jaket kulit hitam. Motornya Nmax warna hitam, helmnya juga hitam. Dia bilang namanya Ferdi.”Raka mengerutkan kening, “Gua juga nggak kenal. Kira-kira apa tujuannya?”Reza menghela napas, “Gua juga nggak tahu. Tapi gua curiga dia mau jahatin lu. Memang sih nggak ada bukti, tapi nama lu disebut bikin gua was-was.”Raka menatap Reza, “Tapi, kan, nama Raka itu banyak. Tapi kalau kebetulan gini, pas lagi di rumah lu, mungkin lu bener kalau orang yang dimaksud itu gua.”Reza mengangguk, “Justru itu, lu harus hati-hati. Bokap lu kan bukan orang sembarangan. Sebaiknya kasih tahu dia, apalagi lu sama Bu S
Sementara itu, di apartemen keluarga Dupont, Siska duduk sendirian di halaman belakang, menikmati suasana sore. Mrs. Sariani sedang berada di kamar Lila, sementara Nayla, Tom, Sam, dan yang lainnya masih belum pulang dari petualangan mereka di Jakarta. Halaman belakang apartemen itu asri, dengan pot-pot bunga anggrek dan mawar yang tersusun rapi, serta kursi-kursi kayu yang nyaman.George, yang kebetulan lewat, melihat Siska dan mendekatinya. “Kamu lagi apa di sini?” tanyanya, tersenyum.Siska tersenyum kecil, “Eh, aku cuma lagi santai aja, lihat bunga-bunga yang cantik.”George duduk di kursi sebelah Siska, hatinya berbunga-bunga bisa berduaan dengannya. “Kamu suka bunga?” tanyanya.“Suka. Dulu di rumahku, aku banyak menanam bunga. Aku suka mengoleksi bunga-bunga,” jawab Siska, matanya berbinar mengenang koleksi tanaman dan bunganya dulu di halaman depan.George memetik sebatang mawar merah dari pot di depan mereka dan memberikannya pada Siska. “Ini buat kamu,” katanya, tersenyum leb
Tiba-tiba, suara bel pintu terdengar.“Itu pasti ayamnya sudah datang,” kata Raden, berjalan ke lantai bawah untuk menemui pengantar paket.Tiara mengikutinya dari belakang, hatinya penuh keyakinan bahwa ia bisa menaklukkan Raden dan mendapatkan hartanya dengan sukarela.Di ruang makan, mereka duduk bersama. Ruang makan itu luas dan nyaman, dengan meja kayu jati besar yang dihiasi taplak putih elegan. Lampu gantung kristal memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana hangat.Di dinding, terpajang lukisan abstrak modern, dan sebuah lemari kaca memamerkan koleksi porselen antik. Jendela besar menampilkan pemandangan sawah yang sama indahnya dengan balkon, membuat ruangan terasa hidup.“Ayamnya enak, bumbunya meresap,” kata Tiara, mencoba memulai percakapan.“Iya, ini langgananku. Kebetulan pemiliknya temenku,” jawab Raden, tersenyum.Tiara hanya mengangguk, melanjutkan makannya, sembari memikirkan langkah berikutnya.Setelah selesai makan, Raden mengajak Tiara ke halaman belakang. Di
Tiara terdiam, ingatannya mulai merekam potongan-potongan kejadian. Ia memang sering merasa seperti ada yang mengawasinya, seperti ada bisikan di telinganya. “Sekarang aku percaya,” katanya pelan. “Aku memang merasa kayak ada orang yang berbisik di telingaku. Dari mana kamu punya kemampuan itu?”Raden tersenyum, “Menghipnotis orang itu cukup mudah dipelajari, siapa aja bisa. Aku berhasil mendekati temen Raka, dengan begitu aku bisa mengendalikannya.”Tiara mengerutkan kening, “Maksud kamu siapa?”“Reza,” jawab Raden. “Aku pura-pura mendekatinya. Aku kasih sebuah bros biar tahu ke mana dia pergi, dan aku yakin pasti Reza akan nemuin Raka.”Tiara tersentak, “Reza? Dia memang temen dekat Raka waktu di tempat kerjanya dulu. Jadi, apa rencanamu?”Raden berbisik, memaparkan rencananya dengan detail. Ia ingin menggunakan buku catatan Mr. Henri untuk membongkar rahasia bisnis keluarga Dupont, menciptakan skandal yang akan menghancurkan reputasi Raka dan Siska.“Kita akan buat mereka jatuh, Ti
Malam itu, di rumah Reza, kecurigaan terhadap Ferdi semakin kuat. Pria yang mengaku sebagai teman kuliah itu ternyata tak sepolos yang Reza kira. Tanpa sepengetahuan Reza, bros perak berbentuk burung Garuda yang diberikan Ferdi memiliki alat pelacak kecil yang tersembunyi di dalamnya. Dari jauh, Ferdi, yang kini berada di sebuah kafe kecil di pinggiran Jakarta, memantau lokasi Reza melalui aplikasi di ponselnya. Setiap langkah Reza terekam, membuat Ferdi tersenyum licik.“Langkah pertama berhasil,” gumamnya, menyeruput kopi hitamnya.**Saat jam makan siang di kantor, Reza memutuskan menghubungi Raka. Ia duduk di sudut kantin, jauh dari keramaian, sambil memegang ponselnya. Bros Garuda di kemejanya berkilau di bawah lampu kantin, tanpa ia sadari menjadi sumber bahaya.“Halo, Ka. Maaf, bro, ganggu. Lu lagi sibuk gak?” tanya Reza, suaranya sedikit ragu.Raka, yang sedang istirahat di sela kunjungan ke perusahaan keluarga Dupont, menjawab, “Nggak, Za. Memangnya ada apa?”Reza menarik nap
Lila dan Siska, yang kondisinya sudah jauh membaik, duduk di antara keluarga. Lila, meski masih sedikit pendiam, mulai tersenyum saat Nayla menyodorkan sepotong *croissant*. Siska, dengan wajah yang lebih cerah, menikmati *smoothie* sambil mengobrol dengan Mrs. Sariani. Raka, yang duduk di samping Siska, sesekali memastikan calon istrinya makan cukup.Di tengah sarapan, Mr. Henri membuka pembicaraan serius. “Raka, nanti setelah sarapan, kita ke salah satu perusahaan ayah. Sudah waktunya kamu memimpin. Nanti ayah jelaskan apa saja yang harus kamu lakukan.”Raka mengangguk, sedikit tegang namun antusias. “Siap, Yah. Aku belajar dari awal, ya”Mr. Henri tersenyum, “Tentu. Kamu sekarang pemimpin baru bisnis keluarga Dupont. Hari ini kita ke perusahaan yang dikelola Pak Hendra, terus ke yang dikelola Pak Budi. Ada tiga tempat yang harus kamu pahami, sebelumnya kita sudah mengunjungi kantor yang dikelola oleh Pak Budi dan Pak Hendra juga dan sekarang perusahaan yang lainnya."Mrs. Sariani m