Jantungku berdegup keras.
"Temani bagaimana, Ma?" tanyaku, berusaha terdengar netral.
Dia menatapku, lalu tersenyum tipis. "Temani Mama tidur di kamar. Hanya sebentar sampai Mama tidur. Mama masih takut."
Aku menelan ludah. Sejujurnya, mimpi semalam masih membuatku merasa canggung untuk berhadapan dengan Mama Siska. Namun, sekarang kondisinya berbeda. Aku juga sedikit khawatir kalau Mama Siska sampai tidak bisa tidur karena ketakutan.
Namun, rasanya ini tidak benar. Bagaimana bisa aku menemani ibu mertuaku untuk tidur di kamarnya?
“Tapi, Ma …”
Mama Siska mengeratkan genggamannya, matanya menatapku dengan lembut. "Mama takut, Raka."
"Tapi......" Aku ragu.
"Di rumah ini hanya ada kita berdua, Nayla masih menginap di rumah temannya. Kalau saja dia ada, Mama akan meminta Nayla untuk menemani." Mama Siska menatapku dengan mata sedikit berair. Sepertinya, dia benar-benar sangat ketakutan.
Aku menghela napas pasrah. Sepertinya, pikiranku memang terlalu liar sampai-sampai hampir tega mengabaikan ibu mertuaku yang ketakutan seperti ini.
“Ya sudah. Aku temani sampai Mama tidur.”
Aku menuntun Mama Siska menuju kamarnya. Tubuhnya benar-benar masih terasa bergetar. Bahkan aku bisa melihat dadanya masih terus naik turun tidak stabil.
Begitu sampai di kamar Mama Siska, aku menuntunnya untuk berbaring di tempat tidur, sementara aku menarik kursi yang ada di depan meja rias untuk menunggu Mama Siska tertidur.
Aku melihat Mama Siska berbaring miring sambil menatapku sayu. Tubuhnya masih terlihat bergetar, napasnya juga terdengar tidak teratur, bahkan aku baru menyadari bahwa di dahinya banyak keringat bercucuran.
Tadinya, aku benar-benar berpikir jernih dan bersimpati pada ibu mertuaku. Namun, melihat tatapannya yang seperti itu dan dahi yang penuh dengan keringat, entah mengapa membuat pikiranku justru berkelana liar. Dan sekali lagi, membuatku teringat dengan mimpi panas yang seharusnya tidak ada itu.
“Raka,” panggil Mama Siska pelan, membuat lamunanku buyar.
“I-iya, kenapa, Ma?” jawabku dengan suara senormal mungkin.
Mama Siska menepuk pelan sisi kasur. Aku jelas paham apa maksudnya, tapi aku berusaha terlihat biasa saja. “Kenapa, Ma?”
“Duduk sini aja, Raka.” katanya pelan.
Sial.
Sekarang justru jantungku yang berdetak tidak karuan. Pikiran liar karena mimpi itu membuatku tidak waras.
“D–di sini aja, Ma. Mama tidur aja, aku gak kemana-mana, kok,” kataku berusaha terdengar normal.
“Raka, Mama gak bisa tidur kalau begini.” Mama Siska menarik pelan tanganku. “Gak apa-apa kamu duduk aja di sini, biar Mama bisa lebih tenang. Biasanya Mama bisa peluk Nayla atau Tiara, sekarang kan mereka gak ada. Jadi, paling gak Mama bisa pegang tangan kamu aja biar bisa tidur.”
Aku menelan ludahku dengan susah payah. Sekilas aku melihat wajah Mama Siska yang penuh dengan keringat, benar-benar terlihat lebih seksi. Selain itu, posisinya yang tidur dengan miring membuat kerah gaun tidurnya sedikit turun hingga belahan dadanya terlihat cukup jelas.
Apa harus sampai seperti ini?
Dengan sedikit ragu, aku bangun untuk pindah duduk di samping Mama Siska. Aku berusaha menjaga pandanganku agar tidak melihat yang seharusnya tidak aku lihat. Juga berusaha menjaga pikiranku agar tetap terkendali.
“Su–sudah, Mama tidur, ya.” Aku membiarkan Mama Siska menggenggam tanganku sementara dia mulai terlelap.
Aku mencoba duduk dengan tenang sambil menyandarkan punggungku ke sandaran kasur dengan kaki yang sejajar lurus di atas kasur.
Kondisi kamar yang remang-remang dan suhu AC yang sepertinya memang diatur cukup rendah membuatku merasa suasana ini menjadi lebih aneh.
Aku yang hanya memakai celana pendek mulai merasa dingin di ujung kakiku dan sesekali menggerakkannya pelan untuk mencari kehangatan. Ternyata, gerakan kecilku membuat Mama Siska tersadar.
“Kamu kedinginan, Raka?” tanya Mama Siska sambil menarik selimutnya untuk menutupi kakiku.
“E-eh, nggak kok, Ma.” Aku berusaha menolak.
Kalau selimut itu ditutup ke kakiku, bukankah ini berarti aku satu selimut dengan Mama Siska?
Namun, wanita itu tidak menggubris ucapanku. Aku lihat, dia kembali memejamkan matanya, dan kali ini sepertinya napasnya sudah lebih stabil.
Setelah beberasaat hening, Mama Siska bersuara, ternyata belum tidur.
“Raka, Mama jadi ingat dulu saat kamu pertama kali lihat Mama di rumah ini, kamu selalu menatap Mama dengan aneh.”
Perkataan Mama Siska membuat ingatanku kembali terlempar saat aku pertama kali melihat Mama Siska di rumah Tiara, sekitar 2 tahun yang lalu. Saat itu, aku baru menjalin hubungan dengan Tiara, dan itu adalah kali pertamaku datang ke rumah Tiara. Mama Siska menyambutku dengan baik, tapi entah kenapa aku merasa ada yang berbeda dari Mama Siska, itu mengapa aku selalu menatapnya dengan penuh tanda tanya.
“Itu karena aku baru tahu kalau ternyata Mama bukan ibu kandung Tiara,” jawabku beralasan.
“Selama kamu punya hubungan sama Tiara bahkan sampai menikah, Mama selalu berpikir bahwa Tiara beruntung punya lelaki seperti kamu yang perhatian dan hangat,” kata Mama Siska lagi.
Kali ini, aku bisa mendengar nada suaranya yang lebih lembut. Namun, aku masih belum paham ke mana arah pembicaraannya.
Aku menghela napas, lalu menurunkan kakiku dari ranjang dan duduk memunggungi Mama Siska.
“Bukannya Papa juga sangat sayang sama Mama?” tanyaku pelan.
Yang aku ingat, papa Tiara memang menyayangi Mama Siska, sebelum akhirnya pria itu menghilang.
“Asal kamu tahu, selama Mama menikah dengan papa Tiara, papa Tiara selalu sibuk dengan pekerjaannya. Mama gak pernah mendapatkan apa yang seharusnya Mama dapatkan dari suami Mama, dan justru lebih sering dapat tekanan. Bahkan, papa Tiara gak segan untuk mukul Mama kalau Mama berbeda pendapat sama dia.” Mama Siska terdiam sejenak.
Aku tidak pernah menyangka bahwa ternyata Mama Siska bahkan pernah mendapat kekerasan dari papa Tiara. Aku kembali berbalik dan menatap Mama Siska dengan dalam, ada rasa iba di dalam hatiku.
Setelah menikah dan ditinggal pergi dinas, meskipun baru beberapa hari saja aku sudah merindukan kehangatan istriku, bagaimana dengan Mama Siska yang justru malah disiksa seperti itu?
“Ma … aku bener-bener gak nyangka kalau ternyata Papa seperti itu. Sekarang, Mama gak perlu khawatir karena di rumah ini ada aku. Aku juga akan jagain Mama,” kataku pelan sambil terus menatapnya.
“Jujur, Mama iri sama Tiara karena bisa dapat laki-laki sebaik kamu,” ucap Mama Siska lirih. Dia menundukkan kepalanya, tangannya menggenggam erat selimut.
Dengan sedikit keraguan, aku meraih tangan Mama Siksa dan menggenggamnya. “Udah, Ma. Toh sekarang Papa udah gak ada di sini, gak akan ada yang mukul Mama lagi.”
Mama Siska menatapku balik. Tatapannya sendu, seperti sedang mencari sesuatu yang hilang.
Aku terus mengusap tangan Mama Siska agar membuatnya merasa lebih tenang dan nyaman. Tatapanku juga terus terkunci pada wajah Mama Siska. Keringat di dahinya mulai berkurang, tetapi wajahnya tetap terlihat layu.
Namun, ketika tatapan kami terus bertemu, entah kenapa seperti ada dorongan lain di dalam hatiku. Tanpa sadar aku mencondongkan tubuhku dan mencium bibir Mama Siska.
Aku memejamkan mataku, membiarkan bibirku menempel pada bibir Mama Siska yang ranum.
Setelah beberapa detik, Mama Siska sedikit menciptakan jarak di bibir kami.
“Raka …”
Suara itu terdengar lebih sensual di telingaku, membuatku semakin tergugah.
Aku membuka mataku dan menatap Mama Siska dengan dalam. Pandanganku meremang, tapi aku masih bisa menangkap jelas ekspresi mertuaku yang juga terlihat sangat menginginkannya.
Sial, aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi!
Cahaya lampu neon di gerbang apartemen keluarga Dupont berkedip pelan, menciptakan bayang-bayang di trotoar yang basah akibat gerimis sore tadi.Pak Bambang memarkir motornya di samping pos security, helmnya masih basah oleh embun malam. Jantungnya masih berdegup kencang setelah percakapan serius dengan Andi, kakak Rina, di gerobak martabak tadi pagi.Informasi tentang Alex dan rencana jahatnya terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Ia menghela napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum melangkah ke pos security.Di pos, Pak Jamal sedang duduk sambil memegang cangkir kopi, matanya fokus pada layar CCTV. Wajahnya yang biasanya ramah tampak sedikit lelah, tapi ia tersenyum kecil saat melihat Pak Bambang masuk.“Bang, cepet banget baliknya. Ko tumben-tumbennya? Katanya libur,” sapa Pak Jamal, nadanya ringan tapi ada rasa penasaran.Pak Bambang mengusap wajahnya, berusaha terlihat santai. “Iya, Mal. Tadi mampir dulu beli martabak dekat sini, buat makan siang. Eh, malah
"Hisap lagi sayang, kamu hebat! Tadi hampir masuk semua," katanya sambil mengurut benda pusakanya."Bentar Om, aku tersedak. Aku gak bisa nafas " suara Rina terengah-engah.Tapi Pak Bambang tidak peduli, kembali mengarahkan benda pusakanya pada mulut Rina."Sekali lagi aja sayang, setelah ini giliran apem mu Om masuki," katanya sambil memaksa memasukkan benda pusakanya.Rina mau tak mau nurut, ia membuka mulutnya lebar-lebar dan sekali lagi benda pusaka jumbo itu masuk kembali ke dalam mulutnya. Secara perlahan, Pak Bambang menekannya hingga benda pusakanya berhasil melesat masuk sampai ke kerongkongannya.Kali ini berhasil masuk semuanya, Rina terus berontak tangannya memukul-mukuli paha Pak Bambang agar benda pusakanya segera di keluarkan. Tapi Pak Bambang menekannya dengan kuat, kepala Rina di cengkram erat agar tidak terlepas."Tahan dulu sayang, ahhh .... enak banget, Om keluarkan ya, tapi susu kental Om kamu minum semua jangan ada yang keluar, kamu faham?" katanya, nada suara Pa
Rina tersenyum, seolah tak sadar telah mengatakan sebuah rahasia. "Iya, Om. Kakakku jualan martabak di dekat apartemen tempat Raka tinggal dulu. Raka sering beli, dulu pas masih pacaran sama Tiara yang katanya cantik tapi akhirnya cerai karena Tiara selingkuh sama Alex. Kakak cerita, Raka pernah kasih tips banyak, bahkan share di sosmed martabak kita sampe ramai pembeli. Tapi cerita tentang Raka, memang saat ini semua orang juga pasti tahu, apalagi mengenai kasus perceraiannya dulu dan ternyata Raka anak orang kaya. Dia itu baik banget orangnya, Om. Tapi kakak bilang, ada orang jahat yang lagi berusaha menyingkirkan Raka dan keluarganya."Pak Bambang meletakkan cangkirnya, tubuhnya menegang. "Orang jahat? Siapa maksudmu, Rin? Dan kenapa kamu tiba-tiba cerita ini?" Pikirannya langsung melayang ke pesan misterius yang ia dengar secara tak sengaja dari Pak Jamal kemarin pagi pesan yang membuat keluarga Dupont gelisah. Sebagai security, ia tahu sedikit rahasia apartemen, termasuk ancaman
Perjalanan ke Ancol memakan waktu sekitar 40 menit melewati tol yang ramai. Angin pagi membelai wajah mereka, dan Rina sengaja bersandar lebih dekat, dagunya hampir menyentuh pundak Pak Bambang. “Om, pernah nggak sih bawa istri ke pantai gini waktu pacaran dulu?” tanyanya tiba-tiba, suaranya lembut tapi ada nada penasaran.Pak Bambang tersentak, tak menyangka pertanyaan itu. “Dulu? Ya pernah, Rin. Tapi itu zaman Om masih muda, beda lah sama sekarang,” jawabnya singkat, berusaha mengalihkan topik. Rina hanya tersenyum, tapi di hatinya ia membayangkan dirinya sebagai sosok spesial yang bisa mengisi hari-hari Pak Bambang, menggantikan kenangan lama itu.Sesampainya di Pantai Ancol, mereka memarkir motor di dekat pintu masuk. Pantai pagi itu belum terlalu ramai, hanya beberapa keluarga dan pasangan yang berjalan di tepi air. Ombak kecil menghempas pasir, dan aroma laut bercampur dengan bau kelapa bakar dari warung-warung kecil. Rina menarik tangan Pak Bambang, “Om, ayo jalan di pinggir pa
“Om, makasih ya sudah ajak aku. Sinta pasti iri kalau tahu, dia lagi pengen skincare baru juga,” kata Rina, suaranya lembut dekat telinga Pak Bambang.Ia sengaja bernapas pelan, agar aroma parfumnya menyentuh hidung pria itu. Rina sudah lama diam-diam suka pada Pak Bambang, sejak pertama kali bertemu terutama karena Pak Bambang membuatnya puas.Bagi Rina, Pak Bambang adalah pria dewasa yang perkasa, berbeda dari cowok seumurannya yang childish. Meski tahu Pak Bambang sudah punya istri dan anak, Rina tak peduli; ia ingin mencuri hatinya, secara perlahan.Pak Bambang tertawa kecil, “Iya, Rin. Tenang aja, ini akan menjadi rahasia kita. Om cuma pengen bikin kamu bahagia, skincare kan murah.”Bagi dia, Rina hanyalah gadis muda, anak kecil yang seumuran dengan anaknya.Ia tak melihat Rina sebagai pasangan potensial; hanya teman bermain untuk malam-malam sepi. Tapi hari ini, ia merasa aneh Rina terlalu manja, tangannya sesekali mengusap punggungnya seolah memang di sengaja.Sesampainya di ma
Mr. Henri dan Mrs. Sariani juga ikut bergabung, membawa suasana keluarga yang semakin hangat.“Besok kalian istirahat dulu, ya. Soalnya lusa Raka sama Siska berangkat ke Swiss. Kami mau bikin makan malam keluarga sebelum mereka pergi,” kata Mrs. Sariani, matanya berbinar bahagia.Namun, di tengah obrolan hangat itu, Sam, yang selama ini lebih banyak diam, terlihat murung di sudut ruangan. Ia memegang ponselnya, scrolling tanpa tujuan, wajahnya menunjukkan beban yang tak diucapkannya. Nayla, yang peka dengan suasana, memperhatikan Sam dari kejauhan.“Sam, kamu kenapa? Kok diem aja?” tanyanya lembut, mendekati kakaknya.Sam mengangkat bahu, tersenyum kecil tapi tak meyakinkan. “Nggak apa-apa, Nay. Cuma capek aja. Besok aku ikut bantu persiapan buat makan malam keluarga, deh.”Namun, matanya tak bisa menyembunyikan perasaan yang lebih dalam perasaan yang masih terpaut pada Nayla dan kenangan yang tak bisa ia lupakan.Malam itu, setelah semua bubar ke kamar masing-masing, Pak Bambang masi