Mama Siska menatapku, ekspresinya sulit diartikan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang jelas tidak seharusnya ada.
Namun, saat aku hendak menciumnya lagi, tiba-tiba bayangan wajah Tiara muncul di kepalaku. Aku langsung menegakkan punggungku, menarik tanganku perlahan, lalu berbalik memunggungi Mama Siska lagi. "Ma, ini nggak benar."
Ia terdiam, lalu menunduk. Aku bisa melihat jemarinya mengepal di atas selimut. Ada rasa kecewa di sana, tapi juga kesadaran.
Aku menghela napas, lalu bangkit dari ranjang. Mata Mama Siska masih tertuju padaku, tapi kali ini berbeda—tidak lagi ada keinginan yang terselubung, hanya ada kelelahan dan sedikit rasa malu.
"Maaf, Raka…" katanya, suaranya nyaris berbisik.
Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Istirahatlah, Ma. Kalau ada apa-apa, panggil saja aku."
Tanpa menunggu jawaban, aku melangkah keluar kamar dan menutup pintu pelan-pelan.
Aku tidak ingin mengkhianati Tiara, aku berusaha tetap setia dan sabar menunggunya.
Di kamarku sendiri, aku duduk di tepi ranjang, merasakan napas yang masih sedikit berat. Semalaman pikiranku berputar-putar, dan ketika akhirnya aku bisa tidur, ternyata matahari hampir terbit.
Ketika alarm berbunyi, kepalaku terasa berat, tubuhku lemas. Aku bangkit dengan enggan, berusaha mengumpulkan energi untuk berangkat kerja.
Aku tidak melihat Mama Siska di ruang makan, juga di ruang tengah. Mungkin dia sengaja menghindar, atau mungkin memang masih tidur. Aku tidak terlalu memikirkannya.
Di kantor, aku langsung duduk di meja kerja dengan lesu. Mataku terasa panas karena kurang tidur. Aku menyandarkan kepala ke kursi, berharap bisa mengurangi pusing yang kurasakan.
"Lho, Raka, kamu sakit? Kamu kelihatan pucet gitu."
Aku mendongak dan melihat Liana berdiri di samping meja, ekspresi khawatir terpampang jelas di wajahnya.
"Nggak kok, cuma kurang tidur aja," jawabku singkat.
Tapi, Liana tidak percaya begitu saja. Tanpa peringatan, dia mendekat dan menempelkan telapak tangannya di keningku. Aku terkejut, tapi terlalu lemas untuk bereaksi.
"Kamu panas," katanya dengan nada cemas.
Aku berdeham pelan, mencoba mengabaikan sensasi aneh saat kulitnya menyentuh keningku. "Nggak apa-apa kok, Li."
Liana mengernyit.
"Tunggu sebentar," katanya sebelum berbalik dan berjalan ke meja kerjanya.
Tak lama kemudian, dia kembali dengan sekotak makanan dan meletakkannya di meja kerjaku.
"Kamu pasti belum sarapan, kan? Nih kamu makan aja," katanya santai.
Aku melirik makanan itu. "Loh, ini makanan kamu?"
Liana mengangkat bahu. "Aku tadi masak kebanyakan. Buat kamu aja."
Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Makasih, Li."
Namun, sebelum aku sempat membuka kotak makan itu, Reza, teman kerjaku, sudah menyahut dengan nada iri.
"Wih enak banget nih yang dibuatin makanan sama primadona kantor?" katanyanya sambil melirik ke arahku.
Aku menggeleng pelan, lalu menggaruk kepala belakangku yang sebenarnya tidak terasa gatal. “Liana masak kebanyakan.”
Reza mengerutkan dahinya dan memasukkan tangannya ke saku celana. “Masa sih? Setau gue, Liana malah jarang masak deh.”
Aku menatap Reza sejenak, lalu beralih ke Liana. Sejujurnya, aku tidak begitu tahu soal Liana, tapi kalau pun dia memang kebetulan memasak dan porsinya terlalu banyak, memangnya kenapa?
“Masih gak paham?” kata Reza lagi. Kali ini ia terlihat menahan senyumnya.
Liana mendengus, lalu pergi kembali ke mejanya. "Ah, udahlah."
Reza menatap Liana yang berlalu sambil terkekeh, lalu pandangannya beralih kepadaku. “Disuruh ke ruangan bos tuh.”
Aku mengangguk pelan. Namun, ketika aku bangkit dan bersiap untuk pergi ke ruang Bu Alicia, Reza justru masih menatapku dengan senyum anehnya. “Kenapa lagi?”
"Kayaknya, lu cowok paling spesial di kantor ini deh. Liana si primadona kantor aja bisa kepincut sama lu, bahkan bos kita yang killer juga kayaknya tertarik sama lu. Sebenarnya lu punya jimat apa sih? Gue juga mau di deketin banyak cewek kali," ucap Raka sambil menyilangkan kedua tangannya.
"Mana gue tahu. Mungkin gue emang cowok paling ganteng di kantor ini, makanya cewek-cewek pada suka sama gue," jawabku sambil tertawa kecil.
"Gantengan juga gue dari pada lu," Reza gak mau kalah.
Aku hanya tertawa, tidak menghiraukan candaannya.
Sesampainya di ruangan Alicia, aku mengetuk pintu dan masuk.
"Silakan duduk, Raka," katanya dengan senyum khasnya.
Aku duduk di kursi di hadapannya. "Ada yang perlu saya bantu, Bu?"
Alicia menautkan jari-jarinya di atas meja. "Tentang proyek iklan kita dengan produk minuman itu, aku ingin kamu ikut meeting dengan mereka hari ini. Kita akan bertemu mereka di luar kantor."
Aku mengangguk. "Baik, Bu. Jam berapa?"
"Jam tujuh malam. Kita akan pergi bersama."
Aku bisa merasakan energi tubuhku mulai habis, tapi tidak ada pilihan lain. Aku harus tetap profesional. Proyek ini adalah salah satu proyek besar di kantorku. Jika aku bisa menanganinya dengan baik, aku bisa mendapat bonus dan mungkin juga jaminan untuk naik jabatan. Bagaimanapun juga, saat ini aku memang sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah pribadi dengan Tiara agar tidak lagi tinggal di apartemen.
"Baik, Bu," jawabku mantab.
Alicia tersenyum puas. "Bagus. Persiapkan dokumen yang diperlukan, lalu temui saya di lobi nanti. Aku percaya kamu bisa menangani proyek ini dengan baik."
Aku mengangguk dan keluar dari ruangan.
Hari ini akan panjang, pikirku dalam hati.
Namun, aku sudah terbiasa dengan hari-hari panjang seperti ini. Setidaknya malam ini bisa menghindari Mama Siska lagi. Aku berharap nanti malam Mama Siska sudah tidur, aku canggung jika harus bertemu dengannya.
***
Meeting malam itu berjalan cukup panjang. Aku dan Bu Alicia bertemu dengan klien di sebuah restoran hotel bintang lima. Klien kami adalah pengusaha besar yang cukup berpengaruh, jadi Alicia benar-benar ingin memastikan semuanya berjalan lancar.
Saat jam menunjukkan pukul 11 malam, pertemuan akhirnya selesai. Klien berpamitan, tetapi Alicia yang sejak tadi menyesap wine terus-menerus kini terlihat mulai kehilangan kendali.
"Raka, kita sukses besar malam ini!" serunya dengan tatapan yang mulai kabur, suaranya terdengar serak.
Aku mengangguk pelan, tetapi juga mulai merasa panik karena Alicia yang tampak semakin kehilangan kesadaran. "Ya, Bu, syukurlah. Tapi, sebaiknya kita segera pulang."
Alicia tertawa kecil, lalu meraih gelasnya lagi. "Ah, aku ingin minum sedikit lagi..."
Namun, sebelum sempat meneguk minumannya, tubuhnya oleng. Aku dengan refleks menangkapnya sebelum ia jatuh dari kursi.
"Bu Alicia, ayo saya antar pulang."
Alicia tersenyum miring. "Kamu ternyata memang sangat tampan Raka. Coba kalau aku lebih muda... mungkin aku sudah mengejarmu sejak lama..."
Ketika sedang tidur nyenyak, aku merasa ada seseorang yang mengelus kakiku. Dari kaki menuju ke bagian pahaku, elusannya itu sangat pelan dan berhati-hati. Karena aku sangat mengantuk, aku tidak menghiraukannya karena aku tahu pasti itu Mama Siska. Walaupun aku tertidur, tapi aku tetap merasakan kehangatan tangannya yang halus memegang tubuhku.Kaos ku di singkap ke atas, tangannya meraba perutku. Hingga secara perlahan, celanaku mulai di pelorotin sampai paha. Tangannya kembali meraba bagian intiku, yang masih terbungkus celana dalamku. Akibat elusan tangannya, membuat benda pusakaku hidup dan mengeras. Jika sudah mengeras, biasanya sampai keluar dari celana dalamnya karena ukuran benda pusakaku yang besar.Benar saja, aku merasakan bagian kepala benda pusakaku keluar dari celana dalamnya. Jari tangannya, memainkan lubang bagian intiku yang mulai mengeluarkan cairan bening. Sampai kemudian celana dalamku mulai di buka, hingga benda pusakaku kini bebas menjulang tinggi tegak seperti m
Mama Siska langsung menggeleng keras. “Jangan, dong. Mama nggak mau ninggalin Nayla di sini. Bali itu pergaulannya bebas, Ka. Mama nggak mau ada apa-apa sama dia. Kamu tahu sendiri, kita baru kenal Tom dan temen-temannya.”Aku menghela napas, merasakan dilema yang sama. “Jadi apa yang harus kita lakukan? Kalau kita paksa dia pulang ke Jakarta, aku nggak tega, Ma. Dia kan libur kuliah dua bulan, pasti pengen liburan lebih lama.”Tiba-tiba, aku teringat Pak Budi dan Pak Hendra, teman-teman ayahku yang punya banyak koneksi di seluruh Indonesia, termasuk Bali. Dulu, mereka pernah membantu mengawasi Tiara dan Alex saat berada di Bali.“Ma, aku coba hubungi Pak Budi atau Pak Hendra. Mungkin mereka punya kenalan orang Bali yang bisa membantu kita, siapa tahu bisa bantu jagain Nayla.” kataku, meraih ponselku.Mama Siska mengangguk, wajahnya sedikit lega. “Boleh, Ka. Itu lebih baik. Mama lebih merasa aman kalau ada yang jagain.”Aku langsung menghubungi Pak Budi."Hallo Pak, maaf menganggu wak
Perjalanan ke Pantai Pandawa memakan waktu sekitar 20 menit. Pemandangan sepanjang jalan masih memukau—tebing karang, sawah hijau, dan sesekali patung-patung batu besar khas Bali. GPS di ponsel Tom memandu kami melewati jalan kecil yang berkelok, hingga akhirnya kami tiba di area parkir Pantai Pandawa. Pantai ini terkenal dengan pasir putihnya yang lembut, tebing kapur yang menjulang, dan air laut biru kehijauan yang jernih. Di kejauhan, beberapa kano tradisional terlihat mengapung, menambah pesona pantai.Kami turun dari mobil, membawa tas kecil berisi kamera, sunscreen, dan botol air. Ethan langsung mengeluarkan kameranya, mulai merekam pemandangan pantai.“Guys, look at this place! Perfect for the vlog!” serunya, mengarahkan kamera ke tebing dan laut.Nayla, meskipun cemberut, tetap ikut berjalan bersama kami. Dia memakai topi lebar dan kacamata hitam, tapi ekspresinya jelas menunjukkan dia sedang tidak mood. Tom mencoba menghiburnya, menunjukkan spot foto yang bagus di dekat tebin
Pagi di Uluwatu menyapa dengan sinar matahari yang lembut, menyelinap melalui celah-celah jendela *Cliffside Guesthouse*. Jam di ponselku menunjukkan pukul 06.30 WITA, dan aroma bunga kamboja bercampur udara laut yang segar membuatku langsung bersemangat. Aku bangun dari ranjang, meregangkan tubuh, lalu menuju kamar mandi dan segera mandi. Air dingin membantuku menyegarkan diri setelah malam yang penuh petualangan. Setelah mengenakan kaus biru tua dan celana pendek, aku mulai membereskan barang-barangku. Koperku penuh dengan suvenir dari Kuta dan Uluwatu—topi jerami, udeng, dan beberapa patung kayu kecil yang kubeli kemarin.Aku mengetuk ranjang Nayla, yang masih terlelap dengan rambut acak-acakan menutupi wajahnya. “Nay, bangun! Kita akan check out pagi ini, lho. Kan mau ke tempat baru!” seruku, menggoyang pundaknya pelan.Nayla mengeluh pelan, mengucek mata. “Bang, lima menit lagi… Masih ngantuk nih,” gumamnya, tapi akhirnya bangkit juga. Dia berjalan gontai ke kamar mandi, membawa
“Bang, ini soto Balinya enak banget! Bumbunya nendang,” kata Nayla, melahap semangkuk soto dengan lahap.Jack, yang mencoba sambal, memicingkan mata. “Man, this sambal is killing me! But it’s so good!”Liam tertawa. “You’re such a drama queen, Jack. Nayla aja santai makan pedes.”Nayla terkikik, menunjuk Jack. “Iya, Jack, kalah sama aku, nih!”Mama Siska tersenyum, menyeruput kopinya. “Kalian ini, seru banget ya bikin suasana jadi rame. Raka, kamu nggak coba sambalnya?”“Udah cukup pedes hidupku, Ma,” candaku, membuat semua tertawa.Setelah sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Nayla dan Tom sibuk memotret pemandangan dari jendela mobil—sawah hijau, pohon kelapa, dan sesekali tebing karang yang terlihat di kejauhan. Perjalanan singkat, hanya 10 menit, dan kami tiba di area parkir Pura Luhur Uluwatu sekitar pukul 08.30 WITA.Sebelum menjelajahi pura, kami mencari penginapan baru di dekat Pura Luhur Uluwatu. Aku memilih *Cliffside Guesthouse*, sebuah penginapan sederhana dengan desain B
Hingga kita berdua sama-sama tidak berpakaian, karena takut Nayla datang jadi aku langsung memasukkan benda pusakaku yang sudah sangat keras."Ahhh mmmhh..." Mama Siska mendesah keras ketika aku memasukkan benda pusakaku dengan sekali hentakan.Aku eratkan tubuhku, agar semakin rapat. Mama Siska memelukku erat, kedua kakinya melingkar di pinggangku. Aku menggerakkan pinggulku dengan kencang, sampai kasurnya ikut berdecit. Gerakan yang begitu sangat agresif dan liar, aku cium bibirnya sambil memainkan lidah kami. Lalu aku bangkit, aku pegang kedua kakinya dan aku gerakan semakin cepat. Sampai keringatku mulai bercucuran, aku berharap agar segera berakhir. Aku rapatkan kedua kakinya agar semakin nikmat, pinggulku terus bergoyang sampai buah dadanya ikut bergoyang-goyang. Mama Siska memejamkan matanya, menikmati goyanganku yang semakin kencang. Aku tarik tubuhnya, kita dalam posisi duduk, aku peluk erat tubuhnya sambil mencium bibirnya. Tanganku kembali meremas buah dadanya, tubuhnya ter