Home / Urban / Tergoda Pesona Ibu Mertua / Bab 6. Menolak dengan Tegas

Share

Bab 6. Menolak dengan Tegas

last update Last Updated: 2025-03-19 18:31:44

Mama Siska menatapku, ekspresinya sulit diartikan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang jelas tidak seharusnya ada.

Namun, saat aku hendak menciumnya lagi, tiba-tiba bayangan wajah Tiara muncul di kepalaku. Aku langsung menegakkan punggungku, menarik tanganku perlahan, lalu berbalik memunggungi Mama Siska lagi. "Ma, ini nggak benar."

Ia terdiam, lalu menunduk. Aku bisa melihat jemarinya mengepal di atas selimut. Ada rasa kecewa di sana, tapi juga kesadaran.

Aku menghela napas, lalu bangkit dari ranjang. Mata Mama Siska masih tertuju padaku, tapi kali ini berbeda—tidak lagi ada keinginan yang terselubung, hanya ada kelelahan dan sedikit rasa malu.

"Maaf, Raka…" katanya, suaranya nyaris berbisik.

Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Istirahatlah, Ma. Kalau ada apa-apa, panggil saja aku."

Tanpa menunggu jawaban, aku melangkah keluar kamar dan menutup pintu pelan-pelan.

Aku tidak ingin mengkhianati Tiara, aku berusaha tetap setia dan sabar menunggunya.

Di kamarku sendiri, aku duduk di tepi ranjang, merasakan napas yang masih sedikit berat. Semalaman pikiranku berputar-putar, dan ketika akhirnya aku bisa tidur, ternyata matahari hampir terbit.

Ketika alarm berbunyi, kepalaku terasa berat, tubuhku lemas. Aku bangkit dengan enggan, berusaha mengumpulkan energi untuk berangkat kerja.

Aku tidak melihat Mama Siska di ruang makan, juga di ruang tengah. Mungkin dia sengaja menghindar, atau mungkin memang masih tidur. Aku tidak terlalu memikirkannya.

Di kantor, aku langsung duduk di meja kerja dengan lesu. Mataku terasa panas karena kurang tidur. Aku menyandarkan kepala ke kursi, berharap bisa mengurangi pusing yang kurasakan.

"Lho, Raka, kamu sakit? Kamu kelihatan pucet gitu."

Aku mendongak dan melihat Liana berdiri di samping meja, ekspresi khawatir terpampang jelas di wajahnya.

"Nggak kok, cuma kurang tidur aja," jawabku singkat.

Tapi, Liana tidak percaya begitu saja. Tanpa peringatan, dia mendekat dan menempelkan telapak tangannya di keningku. Aku terkejut, tapi terlalu lemas untuk bereaksi.

"Kamu panas," katanya dengan nada cemas.

Aku berdeham pelan, mencoba mengabaikan sensasi aneh saat kulitnya menyentuh keningku. "Nggak apa-apa kok, Li."

Liana mengernyit.

"Tunggu sebentar," katanya sebelum berbalik dan berjalan ke meja kerjanya.

Tak lama kemudian, dia kembali dengan sekotak makanan dan meletakkannya di meja kerjaku.

 "Kamu pasti belum sarapan, kan? Nih kamu makan aja," katanya santai.

 Aku melirik makanan itu. "Loh, ini makanan kamu?"

 Liana mengangkat bahu. "Aku tadi masak kebanyakan. Buat kamu aja."

 Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Makasih, Li."

Namun, sebelum aku sempat membuka kotak makan itu, Reza, teman kerjaku, sudah menyahut dengan nada iri.

"Wih enak banget nih yang dibuatin makanan sama primadona kantor?" katanyanya sambil melirik ke arahku.

Aku menggeleng pelan, lalu menggaruk kepala belakangku yang sebenarnya tidak terasa gatal. “Liana masak kebanyakan.”

Reza mengerutkan dahinya dan memasukkan tangannya ke saku celana. “Masa sih? Setau gue, Liana malah jarang masak deh.”

Aku menatap Reza sejenak, lalu beralih ke Liana. Sejujurnya, aku tidak begitu tahu soal Liana, tapi kalau pun dia memang kebetulan memasak dan porsinya terlalu banyak, memangnya kenapa?

“Masih gak paham?” kata Reza lagi. Kali ini ia terlihat menahan senyumnya.

Liana mendengus, lalu pergi kembali ke mejanya. "Ah, udahlah."

Reza menatap Liana yang berlalu sambil terkekeh, lalu pandangannya beralih kepadaku. “Disuruh ke ruangan bos tuh.”

Aku mengangguk pelan. Namun, ketika aku bangkit dan bersiap untuk pergi ke ruang Bu Alicia, Reza justru masih menatapku dengan senyum anehnya. “Kenapa lagi?”

"Kayaknya, lu cowok paling spesial di kantor ini deh. Liana si primadona kantor aja bisa kepincut sama lu, bahkan bos kita yang killer juga kayaknya tertarik sama lu. Sebenarnya lu punya jimat apa sih? Gue juga mau di deketin banyak cewek kali," ucap Raka sambil menyilangkan kedua tangannya.

"Mana gue tahu. Mungkin gue emang cowok paling ganteng di kantor ini, makanya cewek-cewek pada suka sama gue," jawabku sambil tertawa kecil.

"Gantengan juga gue dari pada lu," Reza gak mau kalah.

Aku hanya tertawa, tidak menghiraukan candaannya.

Sesampainya di ruangan Alicia, aku mengetuk pintu dan masuk.

"Silakan duduk, Raka," katanya dengan senyum khasnya.

Aku duduk di kursi di hadapannya. "Ada yang perlu saya bantu, Bu?"

Alicia menautkan jari-jarinya di atas meja. "Tentang proyek iklan kita dengan produk minuman itu, aku ingin kamu ikut meeting dengan mereka hari ini. Kita akan bertemu mereka di luar kantor."

Aku mengangguk. "Baik, Bu. Jam berapa?"

"Jam tujuh malam. Kita akan pergi bersama."

Aku bisa merasakan energi tubuhku mulai habis, tapi tidak ada pilihan lain. Aku harus tetap profesional. Proyek ini adalah salah satu proyek besar di kantorku. Jika aku bisa menanganinya dengan baik, aku bisa mendapat bonus dan mungkin juga jaminan untuk naik jabatan. Bagaimanapun juga, saat ini aku memang sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah pribadi dengan Tiara agar tidak lagi tinggal di apartemen.

"Baik, Bu," jawabku mantab.

Alicia tersenyum puas. "Bagus. Persiapkan dokumen yang diperlukan, lalu temui saya di lobi nanti. Aku percaya kamu bisa menangani proyek ini dengan baik."

Aku mengangguk dan keluar dari ruangan.

Hari ini akan panjang, pikirku dalam hati.

Namun, aku sudah terbiasa dengan hari-hari panjang seperti ini. Setidaknya malam ini bisa menghindari Mama Siska lagi. Aku berharap nanti malam Mama Siska sudah tidur, aku canggung jika harus bertemu dengannya.

***

Meeting malam itu berjalan cukup panjang. Aku dan Bu Alicia bertemu dengan klien di sebuah restoran hotel bintang lima. Klien kami adalah pengusaha besar yang cukup berpengaruh, jadi Alicia benar-benar ingin memastikan semuanya berjalan lancar.

Saat jam menunjukkan pukul 11 malam, pertemuan akhirnya selesai. Klien berpamitan, tetapi Alicia yang sejak tadi menyesap wine terus-menerus kini terlihat mulai kehilangan kendali. 

"Raka, kita sukses besar malam ini!" serunya dengan tatapan yang mulai kabur, suaranya terdengar serak.

Aku mengangguk pelan, tetapi juga mulai merasa panik karena Alicia yang tampak semakin kehilangan kesadaran. "Ya, Bu, syukurlah. Tapi, sebaiknya kita segera pulang."

Alicia tertawa kecil, lalu meraih gelasnya lagi. "Ah, aku ingin minum sedikit lagi..."

Namun, sebelum sempat meneguk minumannya, tubuhnya oleng. Aku dengan refleks menangkapnya sebelum ia jatuh dari kursi.

"Bu Alicia, ayo saya antar pulang."

Alicia tersenyum miring. "Kamu ternyata memang sangat tampan Raka. Coba kalau aku lebih muda... mungkin aku sudah mengejarmu sejak lama..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tergoda Pesona Ibu Mertua   Bab 389. Hari terkahir di Pantai

    Fajar menyingsing di Pangandaran. Langit timur dihiasi warna-warna peach, ungu, dan emas, menciptakan pemandangan matahari terbit yang spektakuler. Tom, Nayla, George, Liam, Lila, Sam, Jack, dan Ethan sudah berkumpul di tepi pantai. Tom dan Nayla tampak segar, seolah sesi 'pertarungan' mereka menjelang subuh justru memberikan energi baru.Kejadian semalam (antara George dan Nayla) menjadi rahasia yang terbungkus rapi di balik senyum tipis George dan sorot mata Nayla yang berani. Hanya Lila, yang mendengar sedikit bocoran dari Nayla saat mandi pagi, yang tahu bahwa ada 'terapi' intens yang baru saja selesai.Semuanya mengenakan pakaian renang yang dilapisi kaus pantai tipis. George ikut bergabung, mengenakan celana pendek saja memamerkan bentuk tubuhnya yang atletis.“Gila, guys! Lihat sunrise-nya! Ini adalah penutup terbaik untuk adventure kita,” seru Tom, ia langsung mengeluarkan kamera kecilnya untuk merekam time-lapse.Tom berdiri di samping Nayla, merangkul pinggangnya. Nayla meny

  • Tergoda Pesona Ibu Mertua   Bab 388. Desahan menjelang pagi

    Keheningan malam di cottage Pangandaran perlahan mulai diusik oleh cahaya subuh yang samar. Jam menunjukkan pukul empat pagi. Tom terbangun, rasa lelahnya hilang, digantikan oleh gelombang hasrat yang kuat dan tertunda sejak semalam. Kehadiran Nayla di pelukannya, tubuh hangat yang hanya dilapisi selimut, terasa sangat menggoda.Tom membelai rambut Nayla, mengusap pipinya, turun ke lengan, hingga akhirnya tangannya mencapai buah dada Nayla. Hasrat Tom sudah tak terbendung, ia meremas buah dada Nayla dengan lembut, lalu menunduk.Tom mulai menghisap dan mengenyot puting Nayla, yang membuat Nayla mendesah pelan, matanya masih tetap terpejam. Tom melanjutkan penjelajahannya. Lidahnya menari-nari di tubuh Nayla, dari buah dada, turun ke perut, lalu naik ke leher, daun telinga, hingga akhirnya mencium bibir Nayla.Ciuman yang dalam dan intim itu perlahan membangunkan Nayla.Nayla membuka matanya. “Tom, sejak kapan kamu di sini?” tanyanya, suaranya sedikit parau.Tom tersenyum hangat. “Dari

  • Tergoda Pesona Ibu Mertua   Bab 387. Erangan Lila

    Tom pergi ke kamarnya Nayla, setelah memastikan semuanya sudah tidur. Ia mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban.“Nay? Sayang, kamu sudah tidur?” panggil Tom pelan.Tidak ada respons. Tom berpikir Nayla pasti sangat kelelahan setelah perjalanan panjang dan sesi kuliah yang padat. Ia membuka pintu perlahan. Kamar itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu tidur kecil di nakas.Tom melihat Nayla meringkuk nyaman di bawah selimut tebal, tubuhnya terbungkus rapat. Ia tampak damai, nafasnya teratur, menunjukkan ia benar-benar tertidur pulas.Tom mendekat, duduk di tepi ranjang. Ia menyentuh pipi Nayla, membelainya lembut. Tom mencium kening Nayla, ciuman itu penuh kasih sayang dan cinta.“Sepertinya kamu kecapean, Sayang. Maaf aku gak bisa nemenin kamu seharian ini,” gumam Tom pelan. Ia tidak menyadari bahwa kelelahan Nayla adalah hasil dari 'terapi' intens yang baru saja diberikan oleh George.Tom dengan hati-hati melepaskan pakaiannya, menyisakan celana pendek. Ia

  • Tergoda Pesona Ibu Mertua   Bab 386. Menjadi rahasia

    Di kamar cottage Nayla, George turun dari ranjang, tubuhnya yang berkeringat sudah dilap dengan handuk. Ia mulai mengenakan pakaiannya, mengembalikan citra paman yang berwibawa, sementara Nayla masih berada di dalam selimut, tubuhnya telanjang dan kelelahan, tetapi matanya penuh kepuasan.“Paman mau kembali ke kamar Paman?” tanya Nayla, suaranya parau karena gairah.“Iya, sebelum mereka pulang. Pokoknya hubungan kita ini jangan sampai ada yang tahu, Nayla,” kata George, kemeja T-shirt hitam ketatnya sudah kembali membingkai ototnya.Nayla menghela napas. Ia merasa perlu jujur tentang batas-batasnya, setidaknya kepada George, agar permainan ini tidak terlalu berbahaya baginya.“Tapi sebenarnya, aku sudah memberitahu Tom. Dia tahu aku punya kelainan sejak waktu itu, Paman. Tom menyanggupinya dan dia tidak keberatan jika aku bermain dengan yang lain, tapi harus sepengetahuan dia,” kata Nayla, matanya menatap George.George terdiam sejenak. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan, tetapi ia

  • Tergoda Pesona Ibu Mertua   Bab 385. Berapa ronde?

    "Gimana sayang, enak?" tanya George, sambil terus bergoyang tanpa henti.Dalam posisi nungging, rambut panjang Nayla menutupi wajahnya.Ia menoleh sedikit, "E-enak Paman, mmhhh sangat nikmat. Jangan berhenti, ahhhh..."George semakin kencang menarik tangan Nayla, "Ok sayang, rasakan ini!" kecepatan goyangan George semakin cepat.Suara hentakannya semakin keras, punggung Nayla basah oleh keringat. George menarik tubuh Nayla, mendekapnya erat kedua tangannya kini meremas buah dada Nayla. Kepala Nayla mendongak ke atas, George mengerti dan langsung mencium bibirnya.Setelah beberapa saat, George melepaskan ciumannya dan goyangan George semakin kencang. "Masih mau lagi, apa mau udahan?" tanya George, gerakannya pelan."Masih mau, enak banget. Entah sudah berapa kali aku keluar, makin lama rasanya makin enak." suara Nayla agak serak dan tersengal. George melepaskan benda pusakanya, ia menarik tubuh Nayla dari kasur dan membawanya ke depan jendela."Kita lanjutkan disini, biar tahu jika T

  • Tergoda Pesona Ibu Mertua   Bab 384. Desahan terlarang

    Saat Tom dan teman-temannya sedang asyik mendengarkan kisah-kisah nelayan di rumah Pak Rahmat, di cottage kayu yang hening, Nayla sudah menanti George dengan hati yang berdebar-debar. Ia sudah mandi dan membiarkan dirinya hanya mengenakan lingerie sutra tipis, yang terasa seperti kulit kedua.George mengetuk pintu kamar Nayla, ketukan pelan namun penuh janji.Nayla, yang sudah berdiri di balik pintu, langsung membukakannya. Matanya bertemu dengan mata biru keabu-abuan George yang kini memancarkan gairah murni, tanpa ada lagi aura paman yang berwibawa.“Cepat masuk, Paman,” bisik Nayla, suaranya serak.George melangkah masuk, tubuhnya yang tinggi dan berotot memenuhi ruangan. Nayla dengan cepat menutup dan mengunci pintu, seolah ingin mengunci mereka berdua dari dunia luar.George tersenyum kecil, ia tahu Nayla sangat mendambakan momen ini.“Jangan panggil Paman, di negaraku, saat kita begini, langsung panggil nama saja,” kata George, suaranya dalam dan penuh hasrat.Nayla menggeleng,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status