Aku pura-pura tidak mendengar ucapannya dan langsung membantunya berdiri.
"Ayo saya antar.” Akhirnya aku menggandeng tubuhnya yang lemas, kita berjalan menuju pintu keluar.
Namun, ada satu masalah.
Aku tidak tahu di mana rumah Alicia.
“Bu, di mana alamat rumahmu?” Aku berusaha bertanya padanya.
Namun, seperti dugaanku, percuma bertanya kepadanya karena kondisinya yang sudah terlalu mabuk untuk memberi tahu alamat rumahnya. Aku akhirnya memutuskan untuk menyewa satu kamar agar Alicia bisa beristirahat.
Sesampainya di kamar, aku menuntun Alicia untuk berbaring di ranjang. Ia menatapku dengan mata setengah sadar.
"Raka..." panggilnya dengan suara serak, ia menahan lenganku hingga membuatku tetap menunduk di atasnya
"Ada apa, Bu?" tanyaku dengan berusaha tetap biasa saja.
Alicia tersenyum miring dan dengan gerakan pelan, satu tangannya mulai membuka kancing blazernya satu persatu.
"Apa kamu benar-benar tidak tertarik padaku?" tanyanya, suaranya menggoda. Satu tangannya yang lain mulai membelai dadaku.
Aku menghela napas panjang, lalu segera menepis tangan Alicia. Aku berdiri tegak dan melangkah mundur. "Bu Alicia, Anda mabuk. Anda perlu istirahat."
Namun, Alicia justru berdiri dan berjalan ke arahku, nyaris kehilangan keseimbangan.
"Raka... malam ini biarkan aku jadi perempuan biasa. Tanpa jabatan, tanpa aturan," bisiknya.
Namun, aku tidak bergerak. Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan diri. Aku tuntun dia untuk kembali berbaring di kasur. Aku buka sepatunya, dan ketika aku hendak bangun, tiba-tiba dia menarik tubuhku hingga aku terjatuh di atas tubuhnya.
"Ayo Raka malam ini kita bersenang-senang, puaskan aku!" ajaknya, nada bicaranya berat semakin tidak jelas.
"Anda sebaiknya istirahat Bu, Anda mabuk berat."
Aku berusaha bangun dan menjauhinya. Aku tidak ingin terkena masalah lagi, masalahku sudah cukup banyak.
Akhirnya Bu Alicia tidak meracau lagi, sepertinya dia sudah benar-benar tertidur. Aku menyelimutinya, sebelum aku meninggalkannya.
Tanpa menunggu reaksi lebih jauh, aku langsung keluar dari kamar dan menutup pintu dengan cepat. Aku menghembuskan napas panjang.
"Gila. Nyaris saja."
Namun, saat aku berjalan melewati lorong hotel, mataku tiba-tiba menangkap sosok yang sangat aku kenal.
Tiara.
Aku berhenti di tempat.
Aku melihat Tiara berjalan di samping seorang pria yang jelas-jelas itu adalah bosnya, tapi keduanya tampak sangat akrab. Bahkan, Tiara terus memeluk lengan bosnya itu.
Mereka berhenti di depan sebuah kamar, dan tanpa ragu, pria itu membuka pintu dan menggandeng Tiara masuk ke dalam.
Jantungku berdetak kencang.
"Tidak mungkin."
Tanganku mengepal. Tiara bilang ia sedang dinas di luar kota. Tidak mungkin ia ada di sini, apalagi bersama pria lain.
Namun, aku juga tidak mungkin salah mengenali istriku sendiri.
Aku butuh kepastian. Aku ingin meyakinkan diri, aku takut jika aku salah lihat. Aku berjalan ke depan pintu kamar mereka. Aku bisa mendengar samar-samar suara tawa Tiara di dalam sana.
Aku segera mengambil ponsel dan menekan nomor Tiara. Dari luar pintu kamar itu, ternyata aku mendengar suara dering ponselnya.
Mataku membelalak.
Tidak mungkin.
"Halo, Mas..." kata Tiara dari sambungan telepon. Namun, aku juga bisa mendengar dengan samar suara itu berasal dari dalam kamar ini.
Aku menggertakkan gigi.
"Kamu di mana? Aku kangen sama kamu,” kataku berusaha menahan emosi.
"Aku di apartemen. Baru pulang kerja, capek banget hari ini, Mas."
Aku merasakan kemarahan yang semakin membakar dadaku. Aku hampir tertawa miris. “Oh begitu ya?"
Tiara mendesah kecil. "Iya, Mas. Aku capek banget, mau mandi terus langsung tidur. Nanti aku telepon lagi ya."
Tanpa menunggu jawaban, Tiara menutup panggilannya.
Aku berdiri kaku di depan pintu kamar itu.
Hatiku terasa hancur.
Selama ini, aku menahan godaan dari Mama Siska. Aku menolak perhatian lebih dari Liana. Bahkan aku tidak tergoda oleh Alicia yang jelas-jelas ingin tidur denganku.
Namun, di saat aku menjaga kesetiaanku…
Tiara justru mengkhianatiku.
“Suamimu, Tiara?”
Belum sempat aku melangkah pergi, aku kembali mendengar suara pria itu di dalam kamar. Meskipun hanya samar, tetapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas ia menyebut nama Tiara.
“Iya, Mas.”
Mas?
Tiara memanggilnya Mas?
“Kenapa kamu sampai mau menikah dengannya padahal dia bukan orang kaya. Kamu gak akan bahagia kalau hidup sama dia. Kalian menikah belum ada satu bulan, batalkan saja janji pernikahan kalian.”
“Aku cuma ngerasa gak enak dan kasihan sama dia. Semua orang tahu kalau dia cinta mati sama aku, dia selalu kejar aku, dan mau lakuin semua yang aku minta. Jadi, ya menurutku gak ada ruginya juga aku menikah sama dia karena dia bisa aku suruh-suruh. Lagipula, hubungan kita juga gak tahu bisa bertahan sampai kapan, kan?”
“Ini alasan aku suka sama kamu. Karena kamu tahu batas main kita dan kamu juga paling bisa mempermainkan pria, haha.”
“Ahh, Mas. Hahaha pelan-pelan.”
Tanganku mengepal dengan kuat. Semua ucapan Tiara dan bosnya benar-benar bisa terdengar jelas di telingaku. Tawa dan desahan Tiara membuatku semakin terbakar emosi dan rasa jijik.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berbalik. Aku berjalan keluar hotel dengan langkah berat.
Rasanya ingin ku berteriak sekeras mungkin. Aku tidak menyangka, Tiara tega bermain di belakangku, bahkan memanfaatkanku. Padahal aku sangat mencintainya, aku berusaha menjadi pasangan yang baik untuknya.
Saat dia pergi meninggalkanku demi karirnya, aku menjaga diri untuk tidak tergoda perempuan lain. Tapi nyatanya, justru dia tega mengkhianatiku, padahal pernikahan ini baru berjalan 3 minggu.
Aku tersenyum getir. Aku benar-benar tidak menyangka, Tiara yang aku yakini sebagai perempuan paling tepat, perempuan paling baik dan sempurna untukku, ternyata malah merusak semuanya. Ia mencabik-cabik hatiku sampai hancur.
Begitu aku tiba di rumah, aku melihat lampu ruang tamu masih menyala. Aku menemukan Mama Siska masih terjaga di ruang tamu.
"Raka? Kamu baru pulang?" tanyanya lembut.
Aku hanya mengangguk, lalu duduk di sofa dengan tatapan kosong.
Mama Siska menatapku, menyadari ada sesuatu yang tidak beres. "Kamu kenapa?"
Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap ke depan, mencoba menenangkan amarah dan sakit hatiku.
Malam itu, aku sadar. Terkadang, kesetiaan tidak cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan.
"Raka, coba cerita sama Mama. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Aku menatap wajahnya, malam ini Mama Siska memakai gaun tidurnya yang sangat seksi. Aku memperhatikan belahan dadanya yang begitu menggoda. Pahanya juga sangat mulus dan putih, hingga aku menatap wajahnya dalam-dalam. Ia begitu cantik, seketika gairahku naik.
“Aku gak apa-apa, Ma,” jawabku pelan. Pandanganku beralih menyusuri rumah yang terasa sepi. “Nayla belum pulang, Ma?”
Mama Siska menggelengkan kepalanya. “Belum, katanya besok siang dia baru pulang.”
Aku mengangguk pelan.
Aku akan membalasmu malam ini, Tiara!
Kuletakkan tanganku di atas paha Mama Siska dan merabanya, bukan hanya meraba biasa, tapi lebih intens.
“R–Raka …”
Mama Siska menatapku dengan sedikit kebingungan, tapi aku bisa melihat bahwa dia juga tidak menolak sentuhanku.
Mungkin malam ini aku harus melampiaskannya, percuma saja terus menahan diri, jika Tiara sudah tidak peduli lagi padaku.
“Mama bilang, kalau aku butuh apa-apa, aku bisa kasih tahu Mama dan Mama akan berikan, kan?” Aku menatapnya dengan intens dan tanganku bergerak semakin berani.
“I–iya …” Mama Siska tampak kebingungan, tetapi wajahnya semakin memerah.
Aku tersenyum samar. “Kalau aku bilang malam ini aku butuh kehangatan Mama, Mama bersedia kasih itu ke aku?”
"Ahhh enak banget Pak, terus Pak!" desah Nayla, meremas lengan Pak Bambang.Akibat aktivitas yang penuh gairah ini, membuat Pak Bambang kegerahan. Keringat mulai menetes dari dahinya, hingga Pak Bambang bangkit dan membuka kaos t-shirt nya. Ia membersihkan keringat di wajahnya dengan kaosnya sendiri. Setelah itu, kembali menyantap buah dada Nayla.Cukup lama Pak Bambang memainkan buah dada Nayla, hingga ia beralih ke bawah. Pak Bambang begitu sangat bernafsu melihat tubuh Nayla yang putih dan mulus. Bagian inti Nayla sangat bersih, ludahnya mendarat di bagian inti Nayla."Tubuhmu benar-benar wangi dan seksi non, malam ini akan Bapak buat kamu puas. Kamu sekarang jadi hiper kan? kalau gitu kita main sampai pagi." kata Pak Bambang sambil membuka celana panjang seragam security-nya hingga celana dalamnya.Nayla melotot, melihat benda pusaka Pak Bambang yang berukuran jumbo."Waw sangat besar sekali Pak, pasti lebih enak."Pak Bambang tersenyum mesum, "Pasti non, sekali coba pasti terus k
Tengah malam, seperti biasa Tom masuk kedalam kamar Nayla untuk memberikan susu kentalnya. Begitu juga dengan Lila, Liam masuk ke kamarnya. Selama satu jam lamanya permainan berlangsung, Liam lebih dulu ke kamarnya dan selang dua puluh menit kemudian, giliran Tom yang kembali ke kamarnya.Sebelum kembali, Tom mengecup kening Nayla, "Sekarang kamu tidur ya sayang, mimpi indah!" pesan Tom beranjak turun dari ranjang."Iya Tom, kamu juga ya. Sampai jumpa besok!" jawab Nayla, melambaikan tangannya."Iya sayang, langsung tidur ya!" Tom berjalan menuju pintu, tersenyum hingga menghilang dibalik pintu.Nayla pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, dia memang merasa puas tapi masih penasaran dengan Pak Bambang. Setelah selesai mandi, Nayla segera tidur karena besok ada kuliah pagi. Tapi ternyata, Nayla tidak bisa tidur, dia terus berguling-guling hingga dia bangkit dan meraih ponsel di atas laci."Sudah pukul dua belas malam, apa aku chat Pak Bambang aja? Kemarin malam aku sudah ngasih
Sam, yang masih agak pendiam, mengangguk. “Siap. Aku juga bawa kamera mirrorless buat candid shots.”Setelah sarapan, mereka bersiap. Nayla memakai kaus oversize putih, celana pendek denim, dan sepatu sneakers, rambutnya dikuncir ponytail tinggi. Lila memilih dress floral pendek yang flowy, cocok untuk foto Instagramable.Mereka naik dua mobil: Tom, Nayla, dan Ethan di SUV hitam yang dikemudikan Pak Hardi, sementara Liam, Lila, Jack, dan Sam di van putih yang dikendarai Pak Jamal.Perjalanan ke Karawang memakan waktu sekitar dua jam lewat tol Cikampek, suasana di mobil penuh tawa dan playlist pop upbeat.Di mobil SUV, Nayla duduk di samping Tom, tangannya digenggam erat. Tom memahami kegelisahan samar di wajah Nayla.“Kamu baik-baik aja, Sayang? Kelihatan agak… lemas,” tanyanya lembut, matanya penuh perhatian.Nayla tersenyum kecil, “Cuma kurang tidur, Tom. Tapi aku sangat bersemangat buat hari ini. Karawang kedengerannya seru!”Tom mencium keningnya, “Pasti seru. Kalau capek, bilang
Tom, Liam, Jack, Ethan, George, dan Sam menyeret langkah lelah mereka ke dalam apartemen penthouse Dupont yang megah. Bau asap dari kebakaran SCBD masih menempel di baju mereka, meski wajah mereka penuh kepuasan setelah liputan live mereka sukses besar dengan puluhan ribu penonton.Lift membawa mereka ke lantai atas, suara dengung mesin lift bercampur dengan tawa pelan Ethan yang masih antusias membahas klip drone-nya.“Bro, drone shot tadi keren banget! Api oranye kontras sama asap hitam, kayak film Hollywood!” seru Ethan, matanya berbinar meski kantung matanya mulai terlihat.Jack menyikutnya sambil tertawa, “Iya, tapi muka lo di live tadi kayak reporter amatiran yang keabisan kopi. Besok kita edit ulang, biar lebih fresh.”Tom dan Liam saling pandang, senyum lelah tapi hangat. “Gue cuma mikirin Nayla sekarang. Dia pasti gelisah nunggu,” kata Tom, tangannya menggosok tengkuknya.“Sama, bro. Lila pasti udah tidur, tapi gue mau cek dulu,” balas Liam, suaranya lembut penuh perhatian.M
Nayla begitu sangat menikmati pemandangan hasrat liar Pak Bambang. Hingga secara tidak sengaja, kakinya tersandung karpet yang menimbulkan suara yang membuat Pak Bambang berhenti."Siapa di sana?" serunya, berdiri telanjang bulat lalu memakai celana dalamnya.Nayla terkejut, ia bersembunyi di balik tembok. Entah kenapa kakinya terasa berat untuk melangkah, hingga pintu terbuka Pak Bambang keluar dari kamar dan begitu terkejut melihat Nayla berdiri di balik tembok.Wajah Pak Bambang pucat, ia merasa bersalah karena telah ceroboh. Selama ini aksinya tidak pernah diketahui oleh siapapun, ia merasa hidupnya berakhir."No-non Nayla, sa-saya," suara Pak Bambang tergagap, ia menundukkan kepalanya, kedua tangannya menutupi benda pusakanya.Nayla merasa ini kesempatan bagus, Pak Bambang pasti sangat ketakutan karena aksinya telah tertangkap basah. "Pak Bambang lagi ngapain sama Bi Mawar?" tanya Nayla dengan nada mengintimidasi."Sa-saya, maafkan saya non, tolong jangan beritahu Tuan Henri," k
Nayla menambahkan, "Kami ke mall, membeli buku dan es krim. Kuliah hari ini makin banyak tugas, untungnya ada temen-temen."Lila dan Liam juga gak mau kalah, "Kalau kami ke La Riviera PIK 2 mirip seperti di Amsterdam mini! Naik perahu, syuting konten, beli stroopwafel ini. Ethan hampir jatuh ke kanal!"Ethan putar video blooper di ponselnya, semua tertawa penuh kebahagiaanJack yang sedang fokus pada ponselnya, matanya berbinar dan berkata, "Lihat viewersnya udah ribuan, guys!"Sam mengangguk, "Spot fotonya memang keren, vibes Eropa nya sangat berasa."Mr. Henri dan Mrs. Sariani bercerita ketika berada di kebun, "Kalau kami selama seharian ini menanam mawar baru di atap!"Mereka saling bercerita tentang keseharian masing-masing, suara mereka bergema di ruang makan, piring-piring kosong, gelas air tinggal setengah. Malam itu seperti pesta kecil, penuh kehangatan yang menyembuhkan luka masa lalu.Tapi kedamaian itu terganggu saat malam semakin larut. Sekitar pukul 9 malam, Pak Bambang m