Apakah aku harus tetap sabar menghadapi Tiara? Rasa sakit hatiku semakin besar, aku mencoba tetap tegar dan sabar walaupun begitu sangat menyakitkan. Ya Tuhan, kenapa begitu berat cobaan yang hamba hadapi? Apa dosaku pada-Mu, selama ini aku telah taat beribadah dan aku telah menjadi orang yang baik tapi kenapa hidupku begitu sulit? Sebelum pergi ke rumah, motorku berhenti di depan taman kota, aku duduk sendirian meratapi nasibku. Aku terlahir sebagai laki-laki, aku harus tetap kuat, aku tidak boleh cengeng. Aku yakin, kesabaranku akan membawakan hasil. Kabar baiknya, kini aku sudah menemukan keluargaku, setidaknya aku tidak sebatang kara lagi seperti dulu. Senyuman Ayah dan Ibuku membuatku kuat, aku yakin Tuhan maha adil, suatu saat nanti aku pasti bahagia.Aku memarkir motor di halaman rumah, hujan semalam masih meninggalkan udara sejuk. Aku tiba di rumah setengah tujuh malam, hari ini memang cukup telat karena aku ingin menenangkan pikiranku dulu. Pikiranku penuh dengan gambaran T
Aku duduk di kamar, pikiranku kacau setelah boneka rusak dan pesan ancaman kemarin. Tiara tertidur di sampingku, napasnya tenang, tapi wajahnya yang polos hanya mengingatkanku pada kemesraan dengan Alex di depan restoran. Amarah dan sakit hati bercampur, tapi aku harus menahan diri—rencanaku untuk membongkar perselingkuhannya di ulang tahunnya harus sempurna. Ponselku bergetar, sebuah pesan anonim masuk, membuat bulu kudukku merinding.[Jam 12 siang besok, di bangunan kosong dekat pertigaan Jalan Melati. Datang sendiri, atau orang-orang yang kamu sayang akan menderita. Jangan coba-coba main-main, Raka!]Kata-katanya dingin, penuh tekanan, dan bangunan kosong itu—tempat terpencil yang dikenal angker—membuatku yakin ini bukan iseng. *Alex,* pikirku. Aku menyimpan ponsel, jantungku berdegup kencang, tapi tekadku tidak goyah.Pagi di rumah berjalan seperti biasa. Mama Siska menyiapkan sarapan seperti biasanya.“Raka, jangan lupa bekalnya, ya,” katanya, tersenyum lembut.Aku memeluknya seb
Di rumah, suasana pagi berjalan seperti biasa. Aku lebih dulu menuju meja makan, sementara Tiara masih di kamarnya. Nayla juga belum terlihat, mungkin dia masih bersiap-siap. Mama Siska menyiapkan sarapan, senyumnya membantu bersemangat pagi ini.“Raka, pagi ini Mama bikin ayam goreng mentega, jangan lupa makanannya di habiskan,” katanya, menyerahkan kotak makan."Terima kasih Ma, bekalnya pasti aku makan habis." Dan Tiara datang, dia terlihat buru-buru. Akhir-akhir ini, dia memang sering pergi pagi-pagi sekali.“Mas, hari ini aku ada meeting pagi. aku duluan, ya,” kata Tiara, mencium pipiku, wajahnya penuh tersenyum penuh kebohongan.Aku tersenyum balik, pura-pura ceria, meski hati ini penuh luka karena kebohongannya. Aku ingin hadapi dia soal Alex, rencana balas dendamku nanti harus tetap berjalan apapun yang terjadi.Hingga tak berapa lama Nayla datang, dia memakai pakaian biasa dan katanya hari ini tidak ada jadwal kuliah. Setelah selesai sarapan, aku langsung pamitan pada Mama
"Nanti setelah tiba di apartemen, kamu jangan dulu masuk biar kita tidak sedang bersama." katanya.Aku mengangguk, "Baik, aku mengerti." Setelah mobil Alicia masuk apartemen, aku menunggunya dulu agar dia masuk ke dalam. Setelah dia masuk ke dalam, aku mulai masuk masuk dan memarkirkan motorku. Aku berjalan menuju apartemennya, aku sudah pernah ke apartemennya jadi aku sudah tahu. Ketika sudah di depan pintu, Alicia seakan tahu dan dia membuka pintunya. Aku duduk di sofa, memegang segelas jus mangga yang dia tawarkan.“Raka, makan dulu, aku punya pasta enak,” katanya, tersenyum, tapi aku menggeleng sopan.“Belum laper, Alicia. tadi aku sudah makan banyak cemilan di kantor,” kataku berbohong, tersenyum kecil, meski perutku sebenarnya keroncongan. Alicia mengangguk, duduk di sampingku, dan kami mulai mengobrol. Tapi Alicia tetap memberikan aku makanan kecil, dia terus memaksa dan akhirnya aku memakannya juga. Aku menceritakan rencana baru kami melawan Alex dan Tiara—menggunakan orang
Alicia duduk di sampingku, matanya berbinar. “Raka, sekarang posisimu jauh lebih tinggi dariku. Keluarga Dupont itu terkenal pengusaha sukses—kamu jauh lebih kaya dari aku! Alex juga mengenal Henri, dan dia akan terkejut kalau tahu kamu anaknya. Bukan hanya Alex, tapi dunia bisnis juga akan heboh,” katanya, nadanya antusias. “Identitasmu akan menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan Alex.”Aku mengangguk, merasa lebih tenang. Tapi malam semakin larut, dan suasana apartemen yang hangat, ditambah tatapan lembut Alicia, menciptakan momen yang sulit kuhindari. “Alicia, makasih sudah bantu. Aku nggak tahu apa jadinya tanpa kamu,” kataku, suaraku tulus.Dia tersenyum, tangannya menyentuh lenganku.“Raka, kita adalah tim. Aku selalu ada buat kamu,” katanya, nadanya lembut.Kehangatan itu membawa kami lebih dekat, dan kami berbagi momen intim, penuh kelembutan dan kasih. Entah bagaimana awalnya, bibir kita saling menyatu. Ciuman hangat yang awalnya lembut, kini semakin liar. Sentuhan ini mem
Pagi Jakarta terasa sibuk, udara sejuk setelah hujan semalam. Aku bersiap untuk meeting di luar kantor bersama Alicia, Claire, Laurent, dan Pierre, membahas proyek iklan dengan klien baru. Di rumah, Mama Siska menyerahkan bekal, senyumnya menghangatkan meski penampilan barunya masih membuatku mencuri pandang. “Raka, hati-hati di jalan,” katanya, tangannya menyentuh lenganku.“Makasih, Ma,” kataku.Tiara seperti biasa pergi duluan, wajahnya penuh senyum palsu. “Mas, aku pergi duluan, ya,” katanya, mencium pipiku.Aku tersenyum, pura-pura ceria, meski hati ini sebaliknya. Aku melaju ke kantor, pikiranku bercampur antara meeting pagi ini, ancaman Alex, dan kedatangan orangtuaku besok.Meeting di gedung klien di Sudirman berlangsung panjang. Kami mempresentasikan desain iklan, mendiskusikan detail dengan tim pemasaran mereka. Alicia memimpin dengan percaya diri, Claire menjelaskan data pasar, sementara Laurent dan Pierre menambahkan sentuhan teknis. Aku mencatat feedback, sesekali menimp
Aku duduk di meja makan, aroma rendang buatan Mama Siska menggoda, tapi suasana malam ini terasa berat. Mama Siska, yang biasanya ceria dan penuh cerita, kini pendiam, hanya menunduk menyendok nasi. Matanya menghindari pandanganku, dan setiap gerakannya terasa dingin, seperti dinding tak terlihat yang memisahkan kami. Tiara dan Nayla, sebaliknya, ngobrol ceria, tertawa tentang drama Korea yang mereka tonton tadi siang.“Bang, kamu harus lihat episode terbarunya, seru banget!” kata Nayla, matanya berbinar.Aku tersenyum kecil, menimpali seadanya, tapi pikiranku hanya pada Mama Siska. Aku kembali teringat kejadian tadi, dia berlari di pasar dengan wajah datar, melihatku memeluk Alicia, terus menghantui pikiranku. Salah paham itu pasti menyakitinya, dan aku benci diriku karena tidak langsung mengejar. Aku ingin menjelaskan, dan mengatakan jika aku dan Alicia tidak ada hubungan apa-apa, tapi Tiara dan Nayla di meja membuatku terkurung dalam diam.“Ma, rendangnya enak banget,” kataku, berh
"Ma, aku pamit dulu, kalau nanti Tiara tanya bilang saja aku sedang meeting bersama Reza." kataku berharap Mama Siska memaafkanku."Iya nanti di bilangin," katanya nadanya datar, tetap sibuk memasak.Nayla sedang ada di kamarnya, tapi tadi aku sudah memberitahunya jadi tidak perlu mengatakannya lagi. Akupun segera pergi, aku memanaskan mesin motorku dan pergi menuju apartemennya Claire yang sudah menunggu di tempat biasa. Ketika aku sudah sampai, dia sedang duduk menungguku tersenyum ketika aku datang. Aku memberikan helm padanya, kita segera pergi menuju bandara.Langit Jakarta malam ini berkilau, tapi hatiku tidak menentu bercampur, rasa haru menanti keluargaku, dan luka karena Mama Siska yang masih belum memaafkanku. Aku berdiri menunggu kedatangan orangtuaku di Bandara Soekarno-Hatta, di samping Claire, yang tidak bisa berhenti tersenyum.“Raka, sebentar lagi kamu bertemu dengan orangtuamu! Lila juga ikut, lho,” katanya, matanya berbinar.Aku mengangguk, tanganku menggenggam gant
Langit Jakarta sore itu berwarna jingga, dan aku melaju ke apartemen orangtuaku, hati penuh kehangatan setelah baikan dengan Mama Siska pagi tadi. Motor berhenti di menara kaca yang megah, sekuriti menyapa dengan sebutan “Tuan Muda Raka,” membuatku tersenyum canggung.Di penthouse, Lila menyambutku dengan pelukan ceria. “Kak Raka, akhirnya dateng! Ibu sama Ayah udah nunggu!” katanya, menarikku ke ruang tamu.Aroma kopi dan kue Prancis memenuhi udara, sofa kulit dan jendela panorama menambah kemewahan.Ayah duduk di kursi besar, kemeja linennya rapi, sementara Ibu menyapa dengan senyum lembut, memelukku erat.“Raka, kamu pasti capek kerja seharian,” katanya, tangannya membelai pipiku.Aku tersenyum, merasa seperti anak kecil yang dimanjakan. Lila asyik menunjukkan foto-foto vila kemarin di ponselnya, dan aku duduk, menikmati kebersamaan yang masih terasa seperti mimpi.Ayah menatapku, matanya serius tapi hangat. “Raka, mungkin kita disini hanya tiga hari saja di Indonesia. Bisnis di Pa
Seperti malam kemarin, aku sulit untuk tidur. Hatiku belum tenang sebelum meminta maaf pada Mama Siska, aku harus mencari waktu yang tepat agar bisa berduaan dengannya.Pagi ini aku bangun tidur lebih awal dari biasanya, pukul lima pagi aku segera keluar dari kamar dan berniat ingin berolahraga dulu sebentar. Aku melangkah keluar kamar, berharap menemukan momen untuk bicara. Di dapur, cahaya lampu temaram menyala, dan Mama Siska sudah bangun, mengaduk teh di cangkir, wajahnya lembut tapi penuh beban. Ini kesempatanku.“Ma, bisa bicara sebentar?” tanyaku, suaraku pelan, berdiri di ambang pintu.Dia menoleh, matanya ragu, tapi mengangguk, menunjuk kursi di depannya. Aku duduk, menarik napas dalam, dan mulai berbicara. “Ma, soal di pasar… aku tahu Mama lihat aku pelukan dengan seorang wanita. Itu Bu Alicia, bosku. Mama mungkin belum pernah bertemu dengan dia. Dia nggak lebih dari atasan dan temen biasa, Ma. Hari itu, dia lagi patah hati—pacarnya ketahuan selingkuh. Dia menangis, Ma, dan
Aku berdiri di penthouse apartemen keluarga Dupont, jas Armani biru tua membalut tubuhku, kemeja Gucci terasa lembut di kulit, dan aroma Creed Aventus masih menempel. Rolex di pergelangan tanganku berkilau, sepatu Ferragamo mengkilap, dan kacamata hitam Ray-Ban terselip di saku. Aku memandang cermin, nyaris tidak mengenali pria tampan di depan—bukan Raka dari panti asuhan, tapi seseorang yang seperti keluar dari majalah model.Lila bertepuk tangan, “Kak Raka, kayak aktor Hollywood!” katanya, matanya berbinar. Ayah dan ibu tersenyum bangga, dan aku hanya tersipu, masih canggung dengan kemewahan ini.“Ayo, kita jalan-jalan sekarang melihat bisnis keluarga,” kata Ayah, mengambil kunci mobil. Aku menarik napas dalam, berbisik padanya, “Ayah, tolong cuma tunjukan saja tempatnya, jangan mengenalkan aku pada orang lain. Identitas ini masih rahasia, aku takut nanti mereka akan tahu sebelum waktunya.” Ayah mengangguk, matanya penuh pengertian, dan kami turun ke lobi, di mana Rolls-Royce Pha
Hari Minggu pagi terasa berat, meski langit Jakarta cerah. Aku duduk di ruang makan, menyeruput kopi, pikiranku terpaku pada Mama Siska. Dia masih marah atas kejadian kemarin—dia melihatku memeluk Alicia—masih menghantui, dan sikapnya yang dingin membuatku gelisah. Aku ingin meminta maaf, menjelaskan bahwa itu bukan seperti yang dia pikir, tapi rumah terasa penuh hambatan. Tiara bersiap pergi, rambutnya diikat rapi, wajahnya penuh senyum palsu.“Mas, aku ada meeting sama klien, mungkin sampai sore,” katanya, mencium pipiku.Aku hanya mengangguk, tidak peduli lagi dengan kebohongannya. Aku tahu dia mungkin bertemu Alex.“Hati-hati, Ti,” kataku, suaraku datar.Nayla, yang libur kuliah, sibuk mengetik di ponsel, berkata akan mengundang teman-temannya ke rumah.“Bang, teman-temanku mau datang, loh! Kita mau bikin pizza bareng,” katanya, ceria."Wah pasti seru, nanti jangan lupa sisain buat Abang." kataku menggodanya."Tenang saja, gak bakal habis di makan semua juga ko."Aku melirik Mama
"Ma, aku pamit dulu, kalau nanti Tiara tanya bilang saja aku sedang meeting bersama Reza." kataku berharap Mama Siska memaafkanku."Iya nanti di bilangin," katanya nadanya datar, tetap sibuk memasak.Nayla sedang ada di kamarnya, tapi tadi aku sudah memberitahunya jadi tidak perlu mengatakannya lagi. Akupun segera pergi, aku memanaskan mesin motorku dan pergi menuju apartemennya Claire yang sudah menunggu di tempat biasa. Ketika aku sudah sampai, dia sedang duduk menungguku tersenyum ketika aku datang. Aku memberikan helm padanya, kita segera pergi menuju bandara.Langit Jakarta malam ini berkilau, tapi hatiku tidak menentu bercampur, rasa haru menanti keluargaku, dan luka karena Mama Siska yang masih belum memaafkanku. Aku berdiri menunggu kedatangan orangtuaku di Bandara Soekarno-Hatta, di samping Claire, yang tidak bisa berhenti tersenyum.“Raka, sebentar lagi kamu bertemu dengan orangtuamu! Lila juga ikut, lho,” katanya, matanya berbinar.Aku mengangguk, tanganku menggenggam gant
Aku duduk di meja makan, aroma rendang buatan Mama Siska menggoda, tapi suasana malam ini terasa berat. Mama Siska, yang biasanya ceria dan penuh cerita, kini pendiam, hanya menunduk menyendok nasi. Matanya menghindari pandanganku, dan setiap gerakannya terasa dingin, seperti dinding tak terlihat yang memisahkan kami. Tiara dan Nayla, sebaliknya, ngobrol ceria, tertawa tentang drama Korea yang mereka tonton tadi siang.“Bang, kamu harus lihat episode terbarunya, seru banget!” kata Nayla, matanya berbinar.Aku tersenyum kecil, menimpali seadanya, tapi pikiranku hanya pada Mama Siska. Aku kembali teringat kejadian tadi, dia berlari di pasar dengan wajah datar, melihatku memeluk Alicia, terus menghantui pikiranku. Salah paham itu pasti menyakitinya, dan aku benci diriku karena tidak langsung mengejar. Aku ingin menjelaskan, dan mengatakan jika aku dan Alicia tidak ada hubungan apa-apa, tapi Tiara dan Nayla di meja membuatku terkurung dalam diam.“Ma, rendangnya enak banget,” kataku, berh
Pagi Jakarta terasa sibuk, udara sejuk setelah hujan semalam. Aku bersiap untuk meeting di luar kantor bersama Alicia, Claire, Laurent, dan Pierre, membahas proyek iklan dengan klien baru. Di rumah, Mama Siska menyerahkan bekal, senyumnya menghangatkan meski penampilan barunya masih membuatku mencuri pandang. “Raka, hati-hati di jalan,” katanya, tangannya menyentuh lenganku.“Makasih, Ma,” kataku.Tiara seperti biasa pergi duluan, wajahnya penuh senyum palsu. “Mas, aku pergi duluan, ya,” katanya, mencium pipiku.Aku tersenyum, pura-pura ceria, meski hati ini sebaliknya. Aku melaju ke kantor, pikiranku bercampur antara meeting pagi ini, ancaman Alex, dan kedatangan orangtuaku besok.Meeting di gedung klien di Sudirman berlangsung panjang. Kami mempresentasikan desain iklan, mendiskusikan detail dengan tim pemasaran mereka. Alicia memimpin dengan percaya diri, Claire menjelaskan data pasar, sementara Laurent dan Pierre menambahkan sentuhan teknis. Aku mencatat feedback, sesekali menimp
Alicia duduk di sampingku, matanya berbinar. “Raka, sekarang posisimu jauh lebih tinggi dariku. Keluarga Dupont itu terkenal pengusaha sukses—kamu jauh lebih kaya dari aku! Alex juga mengenal Henri, dan dia akan terkejut kalau tahu kamu anaknya. Bukan hanya Alex, tapi dunia bisnis juga akan heboh,” katanya, nadanya antusias. “Identitasmu akan menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan Alex.”Aku mengangguk, merasa lebih tenang. Tapi malam semakin larut, dan suasana apartemen yang hangat, ditambah tatapan lembut Alicia, menciptakan momen yang sulit kuhindari. “Alicia, makasih sudah bantu. Aku nggak tahu apa jadinya tanpa kamu,” kataku, suaraku tulus.Dia tersenyum, tangannya menyentuh lenganku.“Raka, kita adalah tim. Aku selalu ada buat kamu,” katanya, nadanya lembut.Kehangatan itu membawa kami lebih dekat, dan kami berbagi momen intim, penuh kelembutan dan kasih. Entah bagaimana awalnya, bibir kita saling menyatu. Ciuman hangat yang awalnya lembut, kini semakin liar. Sentuhan ini mem
"Nanti setelah tiba di apartemen, kamu jangan dulu masuk biar kita tidak sedang bersama." katanya.Aku mengangguk, "Baik, aku mengerti." Setelah mobil Alicia masuk apartemen, aku menunggunya dulu agar dia masuk ke dalam. Setelah dia masuk ke dalam, aku mulai masuk masuk dan memarkirkan motorku. Aku berjalan menuju apartemennya, aku sudah pernah ke apartemennya jadi aku sudah tahu. Ketika sudah di depan pintu, Alicia seakan tahu dan dia membuka pintunya. Aku duduk di sofa, memegang segelas jus mangga yang dia tawarkan.“Raka, makan dulu, aku punya pasta enak,” katanya, tersenyum, tapi aku menggeleng sopan.“Belum laper, Alicia. tadi aku sudah makan banyak cemilan di kantor,” kataku berbohong, tersenyum kecil, meski perutku sebenarnya keroncongan. Alicia mengangguk, duduk di sampingku, dan kami mulai mengobrol. Tapi Alicia tetap memberikan aku makanan kecil, dia terus memaksa dan akhirnya aku memakannya juga. Aku menceritakan rencana baru kami melawan Alex dan Tiara—menggunakan orang