LOGINSetelah pertanyaan itu meluncur dari bibir Bricia, tak ada jawaban yang datang. Justru tekanan di pinggangnya semakin jelas. Benda tumpul itu sedikit mendorong, dan memaksanya melangkah maju. Napas Bricia berantakan. Kakinya gemetar, tapi ia menurut. Setiap langkah terasa berat, seolah lantai apartemen itu ikut menelan keberaniannya. Di dalam hati, penyesalan bermunculan satu per satu. Kenapa dulu ia lebih memilih tidur siang daripada ikut taekwondo? Kenapa ia tak pernah benar-benar belajar bela diri apa pun? Kalau saja dari dulu ia belajar, setidaknya ia punya kesempatan melawan. Sayangnya, semua itu terlambat. Langkahnya berhenti tepat di dekat dinding. Ia bisa merasakan hawa dingin di sekitarnya, dan firasat buruk yang makin menekan dadanya. Lalu—Klik. Lampu menyala bersamaan dengan suara letupan kecil di samping telinganya. DUARR!Konfeti berhamburan di udara. Bricia menjerit histeris, refleks ia menutup kedua telinganya. Namun jeritan itu terputus saat sebuah tangan men
Saat senja mulai turun, Bricia dan Feli berpamitan. Alasan resminya ingin merayakan wisuda berdua. Meski kenyataannya, Bricia hendak menepati janji makan malam dengan Andrew, dan lagi-lagi nama Feli dijadikan tameng paling aman. “Bri sama Feli ke kosan Feli dulu, ya, Pa,” ucap Bricia santai. “Papa jaga Louisa. Tapi ingat…” ia menaikkan telunjuknya, wajahnya mendadak garang, “tetap jaga jarak. Jangan dekat-dekat. Aku nggak mau adikku kenapa-kenapa.” Eric hanya mengangguk patuh. Cari aman jelas pilihan terbaik. Selain itu, ia tahu tubuh Louisa memang sedang sensitif. Meski begitu, ia berjanji dalam hati akan selalu siaga kapan pun Louisa butuh bantuannya. “Siap, Sayang,” jawabnya ringan. “Kamu juga selamat bersenang-senang. Papa sudah transfer buat kalian berdua.” Senyum Bricia langsung melebar. Bagian itu selalu jadi favoritnya. “Oke, makasih, Pa. Kalau gitu, kami jalan dulu. Bye, Papa… bye, Loui. And bye, baby,” ujarnya sambil melambaikan tangan. Bricia dan Feli masuk ke mobil H
Louisa memejamkan mata erat. Mungkin sudah lima menit ia menunggu, dengan test pack masih digenggam di tangannya. Jujur saja, ada ketakutan yang bercampur dengan harapan, dan keduanya sama-sama tak bisa ia abaikan. Di luar kamar mandi, Bricia dan Feli menunggu dengan gelisah. Pintu sengaja ditutup rapat. Louisa tak mengizinkan siapa pun masuk. "Kalau hasilnya positif, berarti aku memang ditakdirkan sepenuhnya untuk Eric," ucapnya pasrah. Beberapa detik berlalu. Louisa menarik napas panjang, lalu membuka matanya perlahan. Ia menyipit, seolah menunda kenyataan agar tak langsung menabraknya. Namun saat matanya terbuka sempurna, Louisa refleks menutup mulutnya. Matanya membelalak, dan tubuhnya membeku oleh rasa syok. “Briciaaa!!” teriaknya kencang. Pintu kamar mandi langsung terbuka. Bricia berlari masuk, napasnya memburu, lalu berhenti tepat di depan Louisa yang masih duduk di atas closet dengan tangan gemetar dan wajah yang tak mampu menyembunyikan apa pun lagi. “Gima
“Loui… kamu nggak apa-apa?” Eric refleks mengurut tengkuk Louisa. Gerakannya pelan dan hati-hati, berharap bisa meredakan mual yang masih membuat tubuh Louisa gemetar. Mendengar suara muntah, Bricia dan Feli langsung berlari mendekat. Wajah keduanya sama-sama pucat oleh rasa khawatir. “Kenapa, Pa?” tanya Bricia cepat. Ia langsung menggantikan tangan Eric di tengkuk Louisa, dan mengusapnya perlahan. “Papa juga nggak tahu,” jawab Eric jujur. “Tiba-tiba Louisa mual, terus muntah.” Bricia tak menanggapi lagi. Fokusnya hanya satu, terus mengurut tengkuk Louisa dengan gerakan lembut dan menenangkan. Napas Louisa masih terengah. Ia membilas mulutnya dengan air, lalu menegakkan tubuh perlahan. Namun begitu pandangannya bertemu dengan Eric, gelombang mual itu kembali datang begitu saja. Entahlah. Tadi rasanya tidak seperti ini. Semua datang terlalu tiba-tiba. “Hhmp…” Louisa kembali menutup mulutnya saat matanya bertabrakan dengan mata Eric. Ia mencondongkan tubuh sedikit, lalu
Dengan langkah lemah, Eric maju. Ia bahkan tak memedulikan tabung infus yang terseret di lantai, menimbulkan suara lirih yang mengganggu pendengaran. Tujuannya hanya satu, ia ingin mendekat pada Louisa.“Loui…” panggilnya pelan. Entah suaranya sampai atau tidak. Eric terus melangkah, dengan satu harapan sederhana Louisa akan berlari menghampirinya, memeluknya erat, seperti dulu.Namun Louisa tetap berdiri di tempatnya. Dadanya naik turun perlahan. Sesekali ia menelan ludah, jelas ragu, antara ingin mendekat atau justru melangkah mundur.Bricia menangkap momen itu. Tanpa berkata apa-apa, ia menoleh ke Feli dan Harry. Tatapannya memberi isyarat, mereka harus menyingkir. Feli mengangguk pelan. Harry pun paham.Ketiga orang itu segera menjauh tanpa suara, meninggalkan Eric dan Louisa berdua saja dengan jarak yang tinggal beberapa langkah. Namun terasa seperti berkilo-kilo meter. Langkah Eric akhirnya terhenti di saat jarak makin mengikis. Ia menatap Louisa dengan sorot sendu, penuh rind
Pelan, Eric membuka matanya. Ia kembali memejam, menyesuaikan cahaya yang menyusup ke retinanya.Namun saat satu ingatan menghantam, Eric mendadak membuka mata lebar dan langsung terduduk. Dadanya naik turun. Pandangannya menyapu sekeliling, mencari satu sosok yang tadi sempat ia lihat.“Louisa…” gumamnya.Tapi, ruangan di sekitar kosong. Tak ada siapapun. Hanya selang infus yang kembali tertancap di tangannya.Eric menghela napas berat. “Jadi tadi cuma halusinasi… atau Louisa benar-benar pulang?”Ia berusaha turun dari ranjang, berniat keluar memastikan sendiri. Tapi rasa pusing kembali menghantam, membuat kepalanya berdenyut dan langkahnya tertahan.Suara pintu terbuka terdengar, Bricia masuk membawa semangkuk sop hangat. Ia mendekat ke ranjang lalu meletakkannya di meja kecil di samping Eric.“Makan dulu, Pa,” ucapnya tenang.Sebelum menerima mangkuk itu, Eric menatap putrinya. “Tadi… kamu lihat Louisa?”Bricia mengerutkan kening, berpura-pura bingung. “Louisa? Bukannya dia sudah







