LOGINGrup W******p RT biasanya bak kuburan, sunyi. Sesekali hanya ada info kerja bakti atau pengumuman iuran kas. Tapi malam itu, ponsel Nasrul tak berhenti bergetar. Pak RT menuliskan pesan panjang.
Assalamu’alaikum warga. Mohon lebih waspada. Di kampung sebelah sudah dua kali kemalingan seminggu ini, kejadiannya sekitar tengah malam. Harap pintu dan pagar rumah dikunci rapat. Kalau ada yang mencurigakan, segera lapor.
Balasan warga berderet masuk. “Siap, Pak RT.” “Waduh, serem juga.” “Semoga kampung kita aman.” Grup seketika riuh karena ancaman maling.
Nasrul membaca sambil duduk di ruang servis. Laptopnya menyala, aplikasi rahasia terbuka. Sudah dua minggu sejak malam ia memapah Arum ke sofa. Dua minggu pula bayangan itu tak pernah benar-benar pergi dari kepalanya.
“Sejak malam itu, rasanya semua berubah,” gumamnya lirih.
Satu klik, dan layar komputernya menampilkan dunia Arum lagi. Malam ini, Arum duduk di ranjang, wajah murung, rambut diikat asal, dan jemarinya sibuk mengetik. Nasrul menelan ludah saat melihat jelas pesan yang ia tuliskan untuk suaminya.
Arum:
Mas… sibuk lagi?Hening. Butuh beberapa menit sebelum balasan muncul.
Deni:
Iya. Masih ada lemburan.Nasrul mendesah berat. “Astaghfirullah… dingin sekali.”
Arum menggigit bibir, lalu mengetik cepat.
Arum:
Aku takut sendirian di rumah. Katanya ada maling…Deni:
Kunci pintu aja yang rapat, Yang.Nasrul memukul meja pelan. “Ya Allah, dia jelas butuh ditemani. Kok jawabannya seadanya begitu…”
Arum menunduk, wajahnya kian kecewa. Tapi ia mencoba lagi.
Arum:
Mas, aku kangen ngobrol. Sekarang jarang banget telponan. Dulu sebulan pertama kan sering…Beberapa detik ia terdiam, lalu mengetik tambahan dengan jari gemetar.
Arum:
Apalagi sekarang aku sering sendirian. Ayah sering keluar kota setor mebel atau tidur di mebel, Ibu juga hampir tiap malam nginap di rumah Mbak yang baru punya bayi. Jadi rumah benar-benar sepi, Mas…Sepuluh menit berlalu. Arum menunggu, tatapannya kosong.
Akhirnya, balasan singkat muncul.
Deni:
Besok kita telpon ya. Pulang lembur capek banget nanti, pasti langsung tidur.Air muka Arum jatuh. Ia rebah di bantal, menutup wajah dengan tangan. Nasrul merasakan dadanya ikut sesak.
“Dia benar-benar kesepian. Bahkan orangtuanya pun jarang ada di rumah. Bagaimana mungkin harus menghadapi semua ini sendirian?” batinnya.
Nasrul menoleh ke ponselnya sendiri. Grup RT masih ramai membahas maling. Jantungnya berdegup keras.
“Aku bisa pakai ini… sebagai alasan,” bisiknya. “Sekedar mengingatkan. Tidak lebih.”
Ia mengetik perlahan, lalu kirim.
Nasrul:
Rum, maaf ganggu. Kamu sudah masuk grup WA RT belum? Tadi ada info soal maling. Takutnya kamu belum tahu, soalnya biasanya yang dimasukkan ke grup itu kepala keluarga.Notifikasi muncul di layar Arum. Ia terkejut membaca nama pengirimnya. Senyumnya muncul samar, wajahnya sedikit berbinar.
Arum:
Oh… belum Mas. Aku memang belum masuk grup RT. Wah, terima kasih banget sudah diingatkan. Kalau nggak, mungkin aku nggak tahu apa-apa.Nasrul menambahkan cepat, agar tidak terkesan aneh.
Nasrul:
Iya, aku dapat nomor kamu dari HP Mbak Ning tadi. Aku cuma mikir… kamu sering sendirian di rumah, takutnya nggak tahu ada info penting begini.Arum membaca, lalu mengetik dengan cepat.
Arum:
Oh, begitu toh. Ya Allah, aku malah seneng banget diingatkan. Makasih banyak, Mas.Nasrul:
Iya, Rum. Nggak usah sungkan. Kalau ada apa-apa, bilang saja sama aku atau Mbak Ning.Arum:
Iya Mas… aku jadi agak tenang dengarnya. Rasanya nggak sendirian banget. Soalnya kadang aku sampai nggak bisa tidur mikirin sepi rumah ini.Nasrul menarik napas panjang, mencoba tetap terdengar wajar.
Nasrul:
Wajar, Rum. Apalagi malam-malam. Yang penting jangan takut. Kalau ada apa-apa, ketok rumahku aja. InsyaAllah aku siap bantu.Balasan masuk cepat, seakan Arum benar-benar lega.
Arum:
Mas, aku beneran berterima kasih. Apalagi waktu itu Mas sudah repot nolongin aku sampai hampir jatuh. Aku malu banget kalau ingat kejadian itu…Nasrul:
Ah, jangan dipikirkan, Rum. Aku justru minta maaf kalau malam itu aku sampai pegang kamu. Itu refleks saja, aku takut kamu jatuh.Arum membalas dengan emotikon wajah merah menunduk, lalu menambahkan:
Arum:
Justru aku yang malu, Mas… waktu itu aku cuma pakai baju tidur begitu. Rasanya… duh, nggak enak banget.Nasrul terdiam beberapa saat. Senyum getir muncul di bibirnya. “Ya Allah… ini semakin susah menjaga jarak…” batinnya.
Tiba-tiba notifikasi masuk lagi.
Arum:
Mas… ngomong-ngomong, hp-ku yang satu lagi itu masih rusak. Udah lama mati total. Aku jadi pengen bawa ke tempat servis. Tapi aku kepikiran… mungkin Mas bisa bantu lihat dulu? Siapa tahu masih bisa diperbaiki…Nasrul terhenyak, menatap layar cukup lama. Jantungnya berdetak kencang.
Nasrul:
Kalau cuma coba lihat sih, insyaAllah bisa, Rum. Nanti kalau memang berat, baru dibawa ke konter.Arum membalas dengan emotikon senyum lega.
Arum:
Ya ampun, makasih banget Mas. Kalau gitu, kapan-kapan aku bawa ke rumah Mas ya? Biar sekalian dicek…Nasrul menyandarkan tubuh, napasnya bergetar. Dalam hati, ia tahu kesempatan emas itu sudah ada di depan mata.
“Momen ini harus aku manfaatkan… tapi jangan sampai kelihatan salah niat,” gumamnya lirih.
Di layar komputer, wajah Arum terlihat lebih cerah. Chat sederhana itu sudah cukup membuatnya merasa ditemani. Sedangkan di hati Nasrul, rencana baru mulai terbentuk—sebuah langkah yang bisa membawa mereka makin dekat, atau justru makin dalam ke jurang yang berbahaya.
Nasrul merasa jantungnya deg-deg ser, bersiap presentasi di rapat perdana yang begitu penting baginya, sesuatu yang diharapkan membawa perubahan besar untuk hidupnya nanti. “Mas Nasrul, nanti paparkan saja apa yang ada dalam benak sampeyan, ceritakan semua pengalaman di lapangan berdasarkan latar Mas yang sudah belasan tahun bergelut dengan gawai dan para pengguna awam, tak usah gugup, nanti kalau ada yang mengkritik bahkan menyerang tak usah dimasukkan hati, dalam rapat adu argumen adalah hal yang biasa”. Pak Ridwan sedikit memberi arahan kepada Nasrul sesaat sebelum memasuki ruang rapat membahas proyek aplikasi layanan kesehatan daerah.Nasrul mengangguk mantap, sedikit melirik wajah Arum yang membalas dengan senyum tersungging di bibir dan tatapan penuh dukungan moril.“Bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat, perkenalkan: nama saya Nasrul, saya sangat tersanjung bisa berdiri di tengah-tengah kalian, para profesional terdidik di instansi sebesar ini”. Tangan Nasrul sedikit berge
“Mas, aku berangkat duluan, ya.” Ningsih muncul di ambang pintu kamar, sling tas sudah melintang di pundaknya.Nasrul menoleh… dan untuk sesaat pandangannya terpaku pada istrinya yang terlihat berbeda.Aroma kopi yang baru saja diaduknya memudar tenggelam oleh semerbak parfum dari wanita yang ditatapnya itu. Lipstik merah muda menyala, pipi bergradasi tajam, alis runcing oleh goresan celak. “Lho, Dek… kok wangi banget lho.., dandannya kayak mau ke kondangan?” Nasrul mencoba bercanda, tapi rasa tidak nyaman terlukis di nada suaranya.Ningsih menghela napas. “Mas, aku dapat tugas ikut meeting di luar hari ini. Sekretaris lagi cuti melahirkan. Katanya butuh yang ngerti data sama angka sekaligus bisa dampingi buat jelasin tagihan. Jadi… ya harus tampil rapi.”“Oh…” Nasrul mengangguk pelan, tapi matanya tetap mengamati wajah istrinya yang membuatnya tidak nyaman pagi itu. Terlalu mencolok riasannya.“Tapi ini… menor banget, lho dek... Ndak kamu banget.” Nada suaranya kini lebih lirih.N
Tiba-tiba, Arum menghentikan gerakannya, wajahnya mendongak ke atas, sorot matanya memancarkan hasrat yang mendesak. Ia meraih kedua sisi wajah Nasrul, menahannya untuk menatapnya. Semua rasa malu telah lenyap, digantikan oleh api yang membakar."Mas, sekarang aku ingin ngerasain sensasi bercinta yang sesungguhnya ," Arum memohon, napasnya tersengal. " merebahkan tubuhnya pasrah di hadapan nasrul yang masih setengah berdiri dengan kedua lututnya bertumpu di kasur."Rum, aku..." Nasrul tampak ragu menyadari permintaan Arum yang sepenuhnya ia pahami."Tolong, Mas," Arum memotong, suaranya lirih dan parau. "Aku ingin kau ambil semuanya. Aku ingin menyerahkan mahkotaku ini... hanya menjadi milikmu. Terima mas..!""Tapi, Rum! Bagaimana kalau nanti suamimu kecewa mendapati dia bukan yang pertama?" Arum merangkak mendekati Nasrul, memeluk pinggangnya dengan erat. "Aku hanya ingin kau, Mas. Kenapa aku harus memikirkan dia yang tega membiarkanku terus merana."Nasrul menatap mata Arum yang be
"Hari ini kuserahkan sepenuhnya tubuhku untukmu Mas, lakukan apapun semaumu, aku rela." Arum menatap dalam-dalam wajah Nasrul yang tampak menyiratkan sedikit keraguan yang bertarung dengan gairah."Tapi, Rum... aku takut nanti suamimu..."Belum sampai Nasrul menyelesaikan kalimatnya, Arum membungkam mulut pria itu dengan lumatan yang ganas, sebuah deklarasi kehendak yang tak terbantahkan. Itu adalah janji yang disegel oleh desahan dan keputusasaan.Sementara bibir mereka masih saling bertaut, Arum meraih tangan Nasrul, membimbingnya menuju benteng terakhir yang menutupi separuh tubuhnya. Ia memberikan isyarat, jelas dan tanpa kata, bahwa gerbang telah terbuka.Menganggap itu adalah persetujuan akhir, Nasrul bergegas melucuti satu-satunya pintu yang dipersilahkan untuk dimasuki. Jantung Nasrul berdentum kian kencang, menelan ludahnya yang terasa kering. Pandangannya tenggelam ke lembah misteri yang kini hanya tertutupi oleh tirai tipis berwarna putih."Aakkhh!!" Arum tersentak, seketik
Nasrul menatap ke luar jendela, mencoba membaca arah. “Lho, kok ke arah luar kota, Rum? Kita nggak langsung pulang saja?” tanyanya heran menatap Arum yang sibuk menyetir.Arum hanya tersenyum samar. “Nanti Mas juga tahu sendiri,” jawabnya pelan, matanya menatap lurus ke depan.Sepanjang jalan, hanya suara mesin dan desiran angin yang mengisi kabin.Ada sesuatu di udara—semacam getar yang tak bisa dijelaskan. Bukan canggung, tapi juga bukan nyaman.Hanya sunyi yang terasa terlalu dalam.Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah di kompleks perumahan yang cukup elit. Arum turun lebih dulu, menatap bangunan itu lama, seolah menatap masa lalu yang diam-diam memanggilnya.“Rumah siapa ini?” tanya Nasrul sambil menatap sekeliling.“Rumah ini dulunya aku kontrak sewaktu masih kuliah, buat aku tinggali sama dua temanku, mas. Lalu sekalian dibeli sama ayah katanya buat investasi,” jawab Arum perlahan.Pintu dibuka, aroma debu dan kenangan menyeruak, tapi cahaya senja yang menembus jendela
“Santai aja, Mas. Beliau orangnya baik, kok. Cuma ingin ngobrol dan tahu siapa yang nanti bantu tim.” ucap Arum menenangkan Nasrul yang tampak gugup saat mereka berdua melaju di dalam lift ke lantai paling atas.Nasrul mengangguk pelan, tapi dadanya makin sesak. Ia tahu dirinya hanya lulusan SMA, bekas teknisi ponsel yang sehari-hari berkutat dengan solder. Dunia yang akan ia datangi sekarang terasa seperti ruang asing — tempat orang-orang berjas bicara dengan istilah yang tak pernah ia pahami.Pertemuan diadakan di sebuah ruang rapat kecil di lantai tujuh gedung RSUD. Dindingnya penuh papan presentasi dan bagan proyek yang ia tak benar-benar mengerti. Seorang pria paruh baya berkacamata duduk di tengah, wajahnya teduh tapi berwibawa. Arum memperkenalkan, dengan suara yang sopan tapi mantap:“Mas, ini Pak Ridwan — kepala bidang digitalisasi pelayanan kesehatan daerah. Dulu saya sempat kerja di bawah beliau.”Pak Ridwan menatap Nasrul sekilas, lalu menyalami tangannya hangat. “Wah, ja







