เข้าสู่ระบบNasrul berdiri di depan rumah Arum, napasnya masih berat setelah berjalan cepat dari rumah sendiri. Pintu rumah tetangga itu terbuka setengah, tirai sedikit bergoyang diterpa angin malam. Hatinya berdebar.
“Astaghfirullah… ini salah… tapi aku harus…” gumamnya lirih.
Ia menatap ke dalam sebentar, melihat kamar Arum dari jauh. Tubuhnya yang tampak lelah masih terbaring di ranjang. Nasrul gamang. Langsung masuk? Tidak, itu terlalu jauh. Ia takut salah langkah, takut menimbulkan kesalahpahaman.
Akhirnya, ia mengetuk pintu pelan. Satu ketukan. Dua ketukan. Lalu berulang kali, sambil sesekali memanggil:
“Arum… Arum, kamu…?” suaranya bergetar.
Hening sejenak. Napasnya tertahan, tangan masih di ambang pintu.
“Arum… ini Mas Nasrul… pintu kamu… belum ditutup…”
Tidak ada respons. Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras, tapi masih sopan. Suara ketukan bergema di lorong.
Tiba-tiba, terdengar suara serak, setengah terbangun:
“Eh… siapa…?” gumam Arum, suaranya masih berat dan tersendat.Pintu kamar sedikit terbuka, sosok Arum muncul. Rambutnya acak-acakan, baju berantakan, terlihat jelas ia baru bangun tidur. Mata yang mengantuk bertemu dengan pandangan Nasrul.
“Oh… Mas Nasrul! Ada apa malam-malam ke sini?” suaranya terdengar tergesa, tangan menahan baju agar menutupi dirinya.
Nasrul sedikit grogi, bibirnya kaku, menelan ludah.
“Eh… iya… aku… aku cuma lewat dari beli rokok tadi, eh… lihat pintu rumahmu… terbuka setengah… takut ada maling masuk… jadi… ya… aku pikir harus… eh… memberitahumu,” ucapnya terbata, berusaha terdengar santai tapi jelas panik.Arum menunduk sebentar, wajahnya memerah.
“Oh… terima kasih banyak, Mas… kamu sampai harus repot membangunkanku,” gumamnya, suaranya pelan tapi terdengar tulus.Nasrul mengangguk cepat, mencoba meyakinkan diri bahwa kedatangannya memang untuk kepedulian, bukan hal lain.
“Ya… ya… aku cuma khawatir… makanya… eh… mengetuk pintu beberapa kali…”Arum menatapnya, masih sedikit malu dan canggung, sambil menarik baju tidur lebih rapi ke tubuhnya.
“Kamu… benar-benar perhatian… terima kasih, Mas. Maaf ya… bikin repot,” katanya, menunduk lagi.Suasana hening sejenak. Canggung. Tidak seperti biasanya mereka saling menyapa di pagar atau di halaman rumah. Napas malam, lampu taman, dan suara jangkrik menambah ketegangan yang aneh.
Nasrul akhirnya berusaha membuka basa-basi, menanyakan hal yang terasa wajar untuk situasi ini:
“Eh… Rum… kok rumah sepi malam ini? Ayah dan ibu kamu di mana? Kok pintu dibiarkan terbuka?”Arum tersenyum malu-malu, wajahnya masih memerah.
“Oh… mereka… ayah dan ibu menginap di mebel. Aku tadi… eh… aku kelelahan, Mas… ketiduran… jadi belum sempat menutup pintu,” jawabnya, suara pelan dan sedikit gugup.Nasrul mengangguk, mencoba tetap tenang.
“Ah… begitu ya… untung aku lewat. Kalau tidak, bisa bahaya kalau ada orang luar…”Arum tersenyum lemah, menunduk.
“Terima kasih banyak, Mas… benar-benar… aku nggak tahu harus bilang apa…”Nasrul hendak berpamitan, langkah mundur, tapi tiba-tiba Arum yang masih setengah sadar terhuyung hampir jatuh ke lantai.
“Eh… hati-hati!” serunya reflex.Tanpa sempat berpikir panjang, Nasrul segera menangkap tubuh Arum agar tidak jatuh. Tubuh mereka bersentuhan, dan Nasrul memapahnya ke sofa ruang tamu. Arum menempel di dadanya sejenak, terkejut tapi pasrah, napasnya masih berat karena ketiduran.
“Mas… aku… maaf… aku nggak sengaja…,” gumam Arum setengah memelas, menunduk malu.
Nasrul menahan napas, hatinya campur aduk antara gugup dan lega karena berhasil menahan dirinya tetap sopan.
“Tidak apa-apa…, kamu kenapa? Sakit, Rum,” Nasrul balik tanya, suaranya juga terdengar grogi.“Nggak tahu mas, sedikit pusing dan badan terasa lemas, mungkin masuk angin.” Arum sambil memegangi kepalanga mencoba mencerna apa yang barusan terjadi.
Mereka duduk sejenak, canggung. Kontak fisik pertama yang tidak disengaja itu meninggalkan perasaan aneh di hati masing-masing. Mata mereka saling bertemu, namun kata-kata sulit terucap. Malam itu, udara di ruang tamu terasa berat, penuh dengan ketegangan yang sebelumnya tidak pernah ada di antara mereka.
Lampu lorong berpendar di belakangnya saat Nasrul akhirnya berdiri, bersiap pergi. Tapi dalam hati, satu pertanyaan mengusik: seberapa jauh batas kepedulian dan godaan ini bisa bertahan sebelum semuanya berubah?
"Hari ini kuserahkan sepenuhnya tubuhku untukmu Mas, lakukan apapun semaumu, aku rela." Arum menatap dalam-dalam wajah Nasrul yang tampak menyiratkan sedikit keraguan yang bertarung dengan gairah."Tapi, Rum... aku takut nanti suamimu..."Belum sampai Nasrul menyelesaikan kalimatnya, Arum membungkam mulut pria itu dengan lumatan yang ganas, sebuah deklarasi kehendak yang tak terbantahkan. Itu adalah janji yang disegel oleh desahan dan keputusasaan.Sementara bibir mereka masih saling bertaut, Arum meraih tangan Nasrul, membimbingnya menuju benteng terakhir yang menutupi separuh tubuhnya. Ia memberikan isyarat, jelas dan tanpa kata, bahwa gerbang telah terbuka.Menganggap itu adalah persetujuan akhir, Nasrul bergegas melucuti satu-satunya pintu yang dipersilahkan untuk dimasuki. Jantung Nasrul berdentum kian kencang, menelan ludahnya yang terasa kering. Pandangannya tenggelam ke lembah misteri yang kini hanya tertutupi oleh tirai tipis berwarna putih."Aakkhh!!" Arum tersentak, seketik
Nasrul menatap ke luar jendela, mencoba membaca arah. “Lho, kok ke arah luar kota, Rum? Kita nggak langsung pulang saja?” tanyanya heran menatap Arum yang sibuk menyetir.Arum hanya tersenyum samar. “Nanti Mas juga tahu sendiri,” jawabnya pelan, matanya menatap lurus ke depan.Sepanjang jalan, hanya suara mesin dan desiran angin yang mengisi kabin.Ada sesuatu di udara—semacam getar yang tak bisa dijelaskan. Bukan canggung, tapi juga bukan nyaman.Hanya sunyi yang terasa terlalu dalam.Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah di kompleks perumahan yang cukup elit. Arum turun lebih dulu, menatap bangunan itu lama, seolah menatap masa lalu yang diam-diam memanggilnya.“Rumah siapa ini?” tanya Nasrul sambil menatap sekeliling.“Rumah ini dulunya aku kontrak sewaktu masih kuliah, buat aku tinggali sama dua temanku, mas. Lalu sekalian dibeli sama ayah katanya buat investasi,” jawab Arum perlahan.Pintu dibuka, aroma debu dan kenangan menyeruak, tapi cahaya senja yang menembus jendela
“Santai aja, Mas. Beliau orangnya baik, kok. Cuma ingin ngobrol dan tahu siapa yang nanti bantu tim.” ucap Arum menenangkan Nasrul yang tampak gugup saat mereka berdua melaju di dalam lift ke lantai paling atas.Nasrul mengangguk pelan, tapi dadanya makin sesak. Ia tahu dirinya hanya lulusan SMA, bekas teknisi ponsel yang sehari-hari berkutat dengan solder. Dunia yang akan ia datangi sekarang terasa seperti ruang asing — tempat orang-orang berjas bicara dengan istilah yang tak pernah ia pahami.Pertemuan diadakan di sebuah ruang rapat kecil di lantai tujuh gedung RSUD. Dindingnya penuh papan presentasi dan bagan proyek yang ia tak benar-benar mengerti. Seorang pria paruh baya berkacamata duduk di tengah, wajahnya teduh tapi berwibawa. Arum memperkenalkan, dengan suara yang sopan tapi mantap:“Mas, ini Pak Ridwan — kepala bidang digitalisasi pelayanan kesehatan daerah. Dulu saya sempat kerja di bawah beliau.”Pak Ridwan menatap Nasrul sekilas, lalu menyalami tangannya hangat. “Wah, ja
Sudah hampir sebulan berlalu sejak malam itu. Namun setiap kali Arum menatap langit-langit kamarnya, bayangan Nasrul masih menempel di sana — samar tapi nyata, seperti bekas cahaya lilin yang belum padam.Suaminya, Deni, kini jarang memberi kabar. Alasannya klasik, masih sibuk lembur di pabriknya. Pesannya selalu pendek, kering, dan dingin:“Aku lembur. Tidur duluan aja, Yang.” Lalu hilang berhari-hari. Tak pernah berkabar dulu kalau tak dichat Arum lebih dulu.Lelah, Arum mulai berhenti menunggu. Rumahnya makin sepi, dan di tengah kesunyian itu, justru sosok lain yang datang menyelinap dalam pikirannya — seseorang yang belakangan ini terasa sangat dekat, tapi kini pun hilang tanpa kabar, sama seperti suaminya.Ia masih ingat jelas — malam ketika Nasrul berbaik hati rela mengetuk pintunya dengan cemas. Hampir tengah malam waktu itu, dan Arum lupa menutup pintu depan karena ketiduran. Ketukan pelan disertai suara parau:“Rum, pintumu kebuka. Kunci dulu, nanti ada maling.” Suara
Sudah tiga minggu berlalu sejak hari pemecatan itu, tapi suasana rumah Nasrul belum juga kembali seperti dulu. Pagi-pagi, suara motor tetangga yang berangkat kerja hanya jadi pengingat betapa kini ia tak lagi punya tujuan pasti setiap hari.Kadang Nasrul keluar pagi dengan alasan “ada urusan”, kadang hanya rebahan di rumah sambil menatap langit-langit. Kalau tak begitu, sore hingga petang ia nongkrong di warkop ujung gang, duduk bersama beberapa kawannya sambil menyeruput kopi hitam dan mengisap rokok tanpa henti.“Masih nyari-nyari kerja, Rul?” tanya salah satu temannya.Nasrul hanya tersenyum hambar. “Iya, masih. Tapi susah, Bro. Sekarang saingan banyak, gaji kecil. Yang minta pengalaman malah nggak mau bayar sepadan.”Obrolan di warkop berakhir begitu saja, tapi di dada Nasrul, keresahan menumpuk seperti asap rokok yang menggantung di udara. Setiap hari ia berusaha terlihat tenang, padahal pikirannya penuh perhitungan dan jalan buntu.Di rumah, Ningsih mulai kehilangan sabar. Setia
Langit sore di atas atap rumah Nasrul berwarna kelabu. Awan menggantung berat, seolah tahu ada badai yang siap menghempas biduk kecil itu. Pintu depan berderit pelan saat Nasrul mendorongnya. Bau masakan sederhana menyambutnya, tapi hari itu aroma itu tak lagi menenangkan. Istrinya, Ningsih, menoleh dari dapur dengan senyum lelah. “Lho, kok cepat pulang, Mas? Ada apa di toko?” tanyanya ringan, belum sadar badai apa yang akan datang.Nasrul terdiam. Pandangannya kosong. Jemarinya gemetar saat meletakkan tas kerjanya di kursi. Ia mencoba membuka mulut, tapi suaranya serak. “Ningsih… aku—aku nggak kerja lagi di sana.”Senyum di wajah istrinya langsung pudar. “Lho? Maksudnya apa, Mas?”Nasrul menelan ludah. “Aku… dipecat, Dek.”Suara itu begitu pelan, tapi cukup untuk membuat dunia Ningsih seolah berhenti berputar. Panci di tangannya jatuh ke lantai, berdenting keras. “Dipecat?! Astaghfirullah, Mas… kenapa?”Ningsih mendekat, menatap suaminya tak percaya. Mata lembutnya kini beruba







