เข้าสู่ระบบ
“Mas, kok melototin pengantin terus gak berkedip sih!”
Teguran dari sang istri membuat Nasrul tersentak. Pria berambut cepak berkemeja batik itu buru-buru mengalihkan pandangan dari pelaminan, jantungnya berdentum tak karuan.
“Eh, itu lho, Dek… suami si Arum kayak pernah lihat sebelumnya,” Jawab Nasrul sekenanya, coba memberi penjelasan kepada si istri yang tampak dilanda keheranan.
Ningsih, istrinya, yang masih menunjukkan raut penasaran pun langsung menimpali “Jelaslah, Mas. Waktu pacaran dulu dia rutin ke sini, lho. Sering banget apel ke rumah Arum, masa kamu lupa tow.”
“Oh, gitu ya…” Nasrul terkekeh canggung, meski matanya masih melirik sekilas ke arah pengantin wanita.
Ia mencoba terlihat biasa saja, tapi dalam hati kacau balau. Oh mai God, itu benar-benar Arum?
Bocah yang tumbuh kembangnya tak pernah ia perhatikan dengan seksama, kini berdiri anggun dengan gaun putih yang membalut tubuh semampainya. Senyum sumringah Arum seolah membuai seperti angin sepoi-sepoi.
Sehari-hari, penampilan Arum tergolong sederhana. Selalu berhijab saat keluar rumah, pakaian sopan, jarang sekali terlihat bermake up. Tak pernah sedikit pun Nasrul memandangi… hingga hari ini.
Di atas pelaminan, lekuk tubuh Arum tercetak jelas di balik gaun yang press body. Tinggi semampai, pinggang ramping, dan—Nasrul menelan ludah—aset di dadanya yang sulit diabaikan oleh semua mata kaum adam.
Seperti ini kah keindahan dirimu yang selama ini kau tutupi, Arum?, gumamnya dalam hati, sambil mengeratkan genggaman tangan di pahanya.
“Arum kelihatan cantik banget ya mas” Kata Ningsih sambil melirik wajah suaminya, “Eh iya, cuantik puol….mantaap!” Nasrul spontan menjawab.
“Dasar lelaki, lihat yang bening-bening pasti melotot” Arum mencubit pinggang suaminya.
“Apa karena melihat manten, jangan-jangan kepikiran mau kawin lagi kamu mas?” Ningsih menggoda
“Halah, satu aja nggak habis-habis lho” Nasrul mencubit pipi istrinya
Siang itu adalah resepsi pernikahan Arum. Nasrul dan Ningsih ikut menghadiri dan menyimak semua prosesi dari ijab qabul sampai foto-foto keluarga, mereka juga tengah antre untuk ambil bagian foto bersama mempelai.
Pucuk Dicinta Ulam Pun Tiba
“Mas, dicariin Arum nih!” teriak Ningsih dari arah dapur.
Suara itu samar terdengar di balik byar-byur guyuran air gayung. Nasrul berhenti sejenak, mencoba memastikan ia tak salah dengar.
Arum? Nyari aku? Nasrul bertanya-tanya dalam hati.
Ia buru-buru membilas tubuh dan keluar kamar mandi dengan jantung berdegup cepat.
“Siapa tadi, Dek yang nyariin?” tanyanya sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
“Si Arum. Katanya mau benerin HP. Dia nungguin di teras,” jawab Ningsih tanpa menoleh, sibuk memasukkan cucian ke mesin cuci.
Oh mai God… akhirya bisa ketemu wanita yang bayangnya berhari-hari ini menghantui, batin Nasrul.
Perasaan aneh menyergap. Salting, gugup, persis seperti jomblo karatan yang pertama kali mau ketemu gebetan.
Ia ganti baju secepat kilat dan segera melangkah ke teras.
“Masss, tolong benerin HPku dong!”
Suara itu terdengar antusias saat Arum setengah berlari menghampirinya. Rambutnya tertutup hijab sederhana, wajah polos tanpa makeup, tapi tetap saja Nasrul merasa dada berdebar tak karuan.
Arum menyodorkan ponselnya sambil merajuk. “WAnya tiba-tiba nggak bisa dipakai, Mas. Kayak nggak konek internet, tolong benerin dong.”
“Lho, awalnya bagaimana kok bisa gitu?” Nasrul melontarkan pertanyaan basa-basi meskipun sebenarnya hampir tak mampu berkata-kata dihadapkan pesona Arum yang membuatnya hampir gila.
“Nggak tahu mas, siang tadi masih normal kok” jawab Arum pasrah.
Nasrul hanya butuh sekali lirikan untuk tahu letak masalahnya. Ia teknisi HP yang sudah belasan tahun kerja di kota.
Tapi entah kenapa, lidahnya justru berkata, “Wah, ini mesti dicek lama, Arum. Mungkin ada sistem yang error. Taruh sini aja, nanti kalo udah beres HPmu biar dianterin Mbak Ning, aku baru pulang kerja soalnya”
Raut wajah Arum seketika berubah kecewa, tadinya ia berharap HP akan langsung bisa kembali normal dalam beberapa menit di tangan Nasrul.
“Ya udah…, PIN-nya angka lima, lima kali ya, Mas.”
“Oke,” jawab Nasrul sambil pura-pura sibuk tap-tap layar ponsel itu.
Saat Arum berbalik pergi, senyum tipis Nasrul terbit. Akhirnya bisa cari tahu lebih banyak tentangmu
Ia segera mengunci pintu ruang kerjanya, jantungnya dagdigdug seperti baru saja mendapat emas permata tergeletak di jalan.
Masalah HP itu sepele. Kurang dari lima menit bisa beres. Tapi Nasrul tak segera memperbaikinya. Ia lebih tertarik menjelajah isi galeri ponsel milik Arum.
Jantungnya makin berdegup ketika mulai menggulir foto-foto. Awalnya hanya gambar biasa… lalu, ia menemukan satu video yang membuat napasnya tercekat.
Klik.
“Arum……………” bisiknya lirih, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.
"Hari ini kuserahkan sepenuhnya tubuhku untukmu Mas, lakukan apapun semaumu, aku rela." Arum menatap dalam-dalam wajah Nasrul yang tampak menyiratkan sedikit keraguan yang bertarung dengan gairah."Tapi, Rum... aku takut nanti suamimu..."Belum sampai Nasrul menyelesaikan kalimatnya, Arum membungkam mulut pria itu dengan lumatan yang ganas, sebuah deklarasi kehendak yang tak terbantahkan. Itu adalah janji yang disegel oleh desahan dan keputusasaan.Sementara bibir mereka masih saling bertaut, Arum meraih tangan Nasrul, membimbingnya menuju benteng terakhir yang menutupi separuh tubuhnya. Ia memberikan isyarat, jelas dan tanpa kata, bahwa gerbang telah terbuka.Menganggap itu adalah persetujuan akhir, Nasrul bergegas melucuti satu-satunya pintu yang dipersilahkan untuk dimasuki. Jantung Nasrul berdentum kian kencang, menelan ludahnya yang terasa kering. Pandangannya tenggelam ke lembah misteri yang kini hanya tertutupi oleh tirai tipis berwarna putih."Aakkhh!!" Arum tersentak, seketik
Nasrul menatap ke luar jendela, mencoba membaca arah. “Lho, kok ke arah luar kota, Rum? Kita nggak langsung pulang saja?” tanyanya heran menatap Arum yang sibuk menyetir.Arum hanya tersenyum samar. “Nanti Mas juga tahu sendiri,” jawabnya pelan, matanya menatap lurus ke depan.Sepanjang jalan, hanya suara mesin dan desiran angin yang mengisi kabin.Ada sesuatu di udara—semacam getar yang tak bisa dijelaskan. Bukan canggung, tapi juga bukan nyaman.Hanya sunyi yang terasa terlalu dalam.Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah di kompleks perumahan yang cukup elit. Arum turun lebih dulu, menatap bangunan itu lama, seolah menatap masa lalu yang diam-diam memanggilnya.“Rumah siapa ini?” tanya Nasrul sambil menatap sekeliling.“Rumah ini dulunya aku kontrak sewaktu masih kuliah, buat aku tinggali sama dua temanku, mas. Lalu sekalian dibeli sama ayah katanya buat investasi,” jawab Arum perlahan.Pintu dibuka, aroma debu dan kenangan menyeruak, tapi cahaya senja yang menembus jendela
“Santai aja, Mas. Beliau orangnya baik, kok. Cuma ingin ngobrol dan tahu siapa yang nanti bantu tim.” ucap Arum menenangkan Nasrul yang tampak gugup saat mereka berdua melaju di dalam lift ke lantai paling atas.Nasrul mengangguk pelan, tapi dadanya makin sesak. Ia tahu dirinya hanya lulusan SMA, bekas teknisi ponsel yang sehari-hari berkutat dengan solder. Dunia yang akan ia datangi sekarang terasa seperti ruang asing — tempat orang-orang berjas bicara dengan istilah yang tak pernah ia pahami.Pertemuan diadakan di sebuah ruang rapat kecil di lantai tujuh gedung RSUD. Dindingnya penuh papan presentasi dan bagan proyek yang ia tak benar-benar mengerti. Seorang pria paruh baya berkacamata duduk di tengah, wajahnya teduh tapi berwibawa. Arum memperkenalkan, dengan suara yang sopan tapi mantap:“Mas, ini Pak Ridwan — kepala bidang digitalisasi pelayanan kesehatan daerah. Dulu saya sempat kerja di bawah beliau.”Pak Ridwan menatap Nasrul sekilas, lalu menyalami tangannya hangat. “Wah, ja
Sudah hampir sebulan berlalu sejak malam itu. Namun setiap kali Arum menatap langit-langit kamarnya, bayangan Nasrul masih menempel di sana — samar tapi nyata, seperti bekas cahaya lilin yang belum padam.Suaminya, Deni, kini jarang memberi kabar. Alasannya klasik, masih sibuk lembur di pabriknya. Pesannya selalu pendek, kering, dan dingin:“Aku lembur. Tidur duluan aja, Yang.” Lalu hilang berhari-hari. Tak pernah berkabar dulu kalau tak dichat Arum lebih dulu.Lelah, Arum mulai berhenti menunggu. Rumahnya makin sepi, dan di tengah kesunyian itu, justru sosok lain yang datang menyelinap dalam pikirannya — seseorang yang belakangan ini terasa sangat dekat, tapi kini pun hilang tanpa kabar, sama seperti suaminya.Ia masih ingat jelas — malam ketika Nasrul berbaik hati rela mengetuk pintunya dengan cemas. Hampir tengah malam waktu itu, dan Arum lupa menutup pintu depan karena ketiduran. Ketukan pelan disertai suara parau:“Rum, pintumu kebuka. Kunci dulu, nanti ada maling.” Suara
Sudah tiga minggu berlalu sejak hari pemecatan itu, tapi suasana rumah Nasrul belum juga kembali seperti dulu. Pagi-pagi, suara motor tetangga yang berangkat kerja hanya jadi pengingat betapa kini ia tak lagi punya tujuan pasti setiap hari.Kadang Nasrul keluar pagi dengan alasan “ada urusan”, kadang hanya rebahan di rumah sambil menatap langit-langit. Kalau tak begitu, sore hingga petang ia nongkrong di warkop ujung gang, duduk bersama beberapa kawannya sambil menyeruput kopi hitam dan mengisap rokok tanpa henti.“Masih nyari-nyari kerja, Rul?” tanya salah satu temannya.Nasrul hanya tersenyum hambar. “Iya, masih. Tapi susah, Bro. Sekarang saingan banyak, gaji kecil. Yang minta pengalaman malah nggak mau bayar sepadan.”Obrolan di warkop berakhir begitu saja, tapi di dada Nasrul, keresahan menumpuk seperti asap rokok yang menggantung di udara. Setiap hari ia berusaha terlihat tenang, padahal pikirannya penuh perhitungan dan jalan buntu.Di rumah, Ningsih mulai kehilangan sabar. Setia
Langit sore di atas atap rumah Nasrul berwarna kelabu. Awan menggantung berat, seolah tahu ada badai yang siap menghempas biduk kecil itu. Pintu depan berderit pelan saat Nasrul mendorongnya. Bau masakan sederhana menyambutnya, tapi hari itu aroma itu tak lagi menenangkan. Istrinya, Ningsih, menoleh dari dapur dengan senyum lelah. “Lho, kok cepat pulang, Mas? Ada apa di toko?” tanyanya ringan, belum sadar badai apa yang akan datang.Nasrul terdiam. Pandangannya kosong. Jemarinya gemetar saat meletakkan tas kerjanya di kursi. Ia mencoba membuka mulut, tapi suaranya serak. “Ningsih… aku—aku nggak kerja lagi di sana.”Senyum di wajah istrinya langsung pudar. “Lho? Maksudnya apa, Mas?”Nasrul menelan ludah. “Aku… dipecat, Dek.”Suara itu begitu pelan, tapi cukup untuk membuat dunia Ningsih seolah berhenti berputar. Panci di tangannya jatuh ke lantai, berdenting keras. “Dipecat?! Astaghfirullah, Mas… kenapa?”Ningsih mendekat, menatap suaminya tak percaya. Mata lembutnya kini beruba







