Layar ponsel Arum menyala cerah seolah memberi permisi agar mulai dijamah, dan Nasrul seakan kehilangan napas. Awalnya niat hanya mengecek kerusakan aplikasi, tapi jemarinya malah berlabuh pada ikon galeri.
“Buka sebentar saja nggak apa-apa, kan?” batinnya merayu pikirannya, atau malah sebaliknya batinnya yang justru digoda oleh pikiran nakalnya, ia mencoba bersikap tenang meski jantungnya sudah berpacu kencang.
Gambar di awal biasa saja—makanan, artis K-Pop, screenshot baju-baju di marketplace–khas isi galeri ponsel para wanita. Ia hendak menutup, tapi rasa penasaran lebih kuat. Jempolnya menggulir cepat menyelam lebih dalam dan dalam lagi entah berharap menemukan apa.
Lalu muncullah ratusan swafoto Arum. Senyum manis dengan jilbab rapi, gaya polos tanpa make-up. Hanya itu saja sudah cukup membuat dada Nasrul hangat. Namun makin digeser, foto-foto itu berubah. Arum tanpa jilbab, rambut hitamnya terurai panjang, kaos ketat membalut tubuh semampainya. Senyum tipis itu membuat Nasrul tak sadar menelan ludahnya sendiri beberapa kali.
“Ya Allah… kau benar-benar jelmaan bidadari, Arum” gumamnya lirih, kepalanya reflek menggeleng-geleng seolah tak percaya.
Ia mendekatkan layar ke wajah, seolah bisa merasakan kehadiran idola barunya itu. Padahal hanya foto, tapi debaran dadanya tak bisa ia kendalikan.
Tangannya gemetar ketika menemukan folder lain. Klik. Foto Arum dengan suaminya. Pipi Arum dicium, tubuhnya disandarkan manja di dada lelaki yang baru sepekan lalu resmi menikahinya.
“Harusnya aku yang ada di posisi itu, merengkuh setiap jengkal tubuh indahmu… gumam Nasrul dalam hati, wajahnya memanas menahan rasa iri bercampur nafsu.
Matanya lalu menangkap ikon tempat sampah. Ada file tersimpan di sana. Penasarannya tak terbendung. Klik.
Seketika, sebuah video singkat terbuka. Arum baru selesai mandi, tubuhnya hanya terbalut handuk. Dari angle, jelas suaminya yang merekam sebelum Arum merebut ponsel itu. Video terhenti hanya beberapa detik, tapi cukup untuk membuat Nasrul hampir kehilangan akal.
“Arum…” bisiknya, matanya tak berkedip. Ia mendekatkan layar seakan bisa menghirup aroma tubuh Arum yang menguap dari pori-pori kulitnya yang begitu halus.
Deg. Deg. Deg. Jantungnya berdentum lebih keras dari sebelumnya. Tangannya berkeringat, keringat dingin menetes dari pelipis.
Tiba-tiba—tok tok tok!
“Mas, makan dulu! Nasi gorengnya keburu dingin nanti,” suara Ningsih terdengar memanggil dari balik pintu.
Nasrul terlonjak kaget, ponsel hampir meluncur jatuh ke lantai karena sesaat terlepas dari genggamannya. Panik, ia buru-buru mengunci layar dan menyelipkan HP itu di bawah tumpukan buku servis.
“Iya, bentar dek!” sahutnya tergesa.
Ia menepuk dadanya, berusaha menenangkan diri. “Gila… aku benar-benar tenggelam dalam samudera pesona wanita itu, sesaat aku melupakan istriku yang sedari tadi sibuk menyiapkan makan untukku”.
Pelan-pelan ia buka pintu ruang servis. Ningsih berdiri sambil melipat tangan di dada, wajahnya sedikit curiga.
“Mas kok lama banget? Dari tadi aku panggil nggak ngrespon blas.”
Nasrul terkekeh canggung. “Hehe, fokus banget tadi dek nyervisnya. Pake headset untuk ngecek speaker HP yang mota-mati.”
“Ya udah, cepetan makan. Aku udah bikinin nasi goreng kesukaanmu.”
“Iya, iya.”Mereka duduk di meja makan. Ningsih menyendokkan nasi ke piringnya. “HP Arum itu kenapa sih?” tanyanya santai.
“Sepertinya sistem error. Paling 2 jam an lagi udah kelar, nanti biar kamu aja yang anterin balik,” jawab Nasrul cepat.
“Lho, kenapa nggak kamu aja? Nanti aku nggak paham kalau ditanya kenapa-kenapa”
“Aku mau bongkar hp lainnya masih numpuk. Bilang aja kalau update software nya”Ningsih mengangguk tanpa curiga. “Ya sudah, nanti aku yang anterin.”
Nasrul mengunyah nasi gorengnya, tapi pikirannya sudah melayang entah ke mana. Bayangan wajah Arum dalam foto-foto itu terus menari di pelupuk mata, apalagi video yang lumayan vulgar tadi terus menggelayuti pikirannya, membuat nasi goreng terasa hambar di lidahnya.
Ini baru permulaan, batinnya. Kalau aku bisa pegang HP ini lebih lama, aku bisa tahu lebih banyak tentang dia. Bahkan… mungkin bisa lebih dekat dengannya.
Ia menyeringai kecil, menahan tawa agar tidak mencurigakan.
“Arum kasihan banget ya mas, manten baru tapi harus pisah sama lama sama suaminya” Ningsih berbagi kabar aktual dengan suaminya.
“Lhoh! emang kemana suaminya?” Nasrul tercekat karena memang benar-benar tak tahu.
“Balik lagi merantau lah, kalau nggak salah ke Malaysia” terang Ningsih.
“Lhoh kok bisa gitu? Masa belum ada sebulan nikah mau pisah lagi?” Nasrul masih belum bisa mencerna kabar yang di luar dugaannya itu.
“Ya nggak tahu mas, mungkin mau nguber duit gede sampai rela mengorbankan masa-masa bulan madunya. Kalau aku sih ogah? Mending hidup ala kadarnya saja selama nggak jauh dari keluarga”. Jawab Ningsih sambil menggeser segalas teh hangat lebih dekat ke piring Nasrul.
“Betul dek, mas juga berfikir begitu, ngapaian berlimpah harta kalau tak bisa menikmati waktu bersama keluarga”. Nasrul memandangi wajah istrinya dengan perasaan campur aduk.
Selesai makan, Nasrul kembali ke ruang servis. Ia duduk, menatap ponsel Arum yang tergeletak di meja. Jemarinya gatal ingin mengulik lebih banyak lagi.
“Rencana harus disusun. Kalau hanya lihat-lihat, rasanya kurang. Aku harus punya alasan untuk lebih sering berhubungan dengan Arum. Suaminya lagu di tanah rantau, gerbang terbuka lebar di depan mata”.
Ia menarik napas panjang. Senyum licik kembali muncul.
“HP ini… tiketku,” gumamnya pelan sambil reflek mengangguk-angguk.Degup jantungnya meningkat, seakan malam nanti bukan sekadar mengembalikan HP Arum dalam keadaan normal, tapi awal dari sesuatu yang melewati batas-batas kenormalan.
Dan Nasrul tidak sabar mengeksekusinya, ia pun me….
Nasrul berdiri di depan rumah Arum, napasnya masih berat setelah berjalan cepat dari rumah sendiri. Pintu rumah tetangga itu terbuka setengah, tirai sedikit bergoyang diterpa angin malam. Hatinya berdebar.“Astaghfirullah… ini salah… tapi aku harus…” gumamnya lirih.Ia menatap ke dalam sebentar, melihat kamar Arum dari jauh. Tubuhnya yang tampak lelah masih terbaring di ranjang. Nasrul gamang. Langsung masuk? Tidak, itu terlalu jauh. Ia takut salah langkah, takut menimbulkan kesalahpahaman.Akhirnya, ia mengetuk pintu pelan. Satu ketukan. Dua ketukan. Lalu berulang kali, sambil sesekali memanggil:“Arum… Arum, kamu…?” suaranya bergetar.Hening sejenak. Napasnya tertahan, tangan masih di ambang pintu.“Arum… ini Mas Nasrul… pintu kamu… belum ditutup…”Tidak ada respons. Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras, tapi masih sopan. Suara ketukan bergema di lorong.Tiba-tiba, terdengar suara serak, setengah terbangun: “Eh… siapa…?” gumam Arum, suaranya masih berat dan tersendat.Pin
Malam ketiga datang lebih cepat dari yang dibayangkan Nasrul. Seharian ia sudah gelisah, bayangan Arum di layar komputer masih menari-nari di kepalanya.“Aku harus berhenti. Ini salah,” katanya berkali-kali sambil mengetuk-ngetuk meja kerja. Namun suara lain dalam dirinya justru membisik, “Sekali lagi saja… hanya melihat. Tidak lebih.”Begitu jam menunjukkan pukul sembilan malam, ia duduk di kursi kerjanya, menyalakan komputer. Aplikasi rahasia itu langsung terbuka, layar menyala dengan tampilan ponsel Arum.“Bismillah…” gumamnya, jemarinya bergetar menekan mouse.Ia membuka dashboard aplikasi, lalu matanya terbelalak. Ada menu baru yang sebelumnya belum pernah ia sentuh: akses CCTV. Rupanya dari ponsel Arum ia bisa menjebol akun keamanan rumah yang terhubung ke kamera-kamera.“Ya Allah… jadi bukan cuma HP-nya, tapi semua CCTV rumah juga bisa aku lihat?” suaranya tercekat. Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa bersalah. Namun rasa penasaran lebih kuat.Klik! Layar komputer berubah
Tangannya menggantung di atas mouse. Cling! Notifikasi baru muncul di layar komputer. Mata Nasrul langsung melebar. Pesan dari Arum ke suaminya terpampang jelas di hadapan mata.“Mas… aku sudah tak tahan lagi… ingin dijamah…”Tubuh Nasrul kaku. Jantungnya berdetak tak karuan. “Astaghfirullah… apa yang dia tulis ini?” gumamnya, tangan gemetar di atas mouse. Ia menatap layar seakan tak percaya.Bayangan malam sebelumnya kembali terlintas. Ia sempat membaca potongan pesan dari Arum, tapi waktu sudah lewat tengah malam sehingga ia buru-buru mematikan komputer. “Dan sekarang… semua semakin jelas,” batinnya, menelan ludah.Rasa penasaran semakin menguasai. Dengan napas berat, ia menggeser kursornya, membuka percakapan lengkap. Chat Arum penuh dengan keluhan tentang sepinya rumah, rindunya pada suami, dan godaan yang kian tak terbendung.“Aku bosan sendirian… kamar ini terlalu sepi…” “Mas, cepat pulanglah… aku butuh kamu malam ini…”“Kenapa aku harus melihat ini… ini bukan urusanku,” gumamn
Komputer di ruang servis sudah dimatikan, tapi detak jantung Nasrul masih memburu. Notifikasi terakhir dari HP Arum masih menari di benaknya, memicu rasa bersalah sekaligus gairah yang sulit dipadamkan.“Cukup untuk malam ini,” gumamnya lirih. Ia melirik pintu kayu di samping meja. Pintu tembusan menuju rumah. Tangannya ragu sejenak, lalu menarik gagang. “Semoga Ning tidak curiga kalau aku terlalu lama di sini.Pintu ruang servis berderit pelan ketika Nasrul mendorongnya. Jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul sebelas lewat lima menit. “Waduh, sudah jam sebelas lewat, jangan-jangan ibu negara ngambek nih” degup jantung Nasrul langsung mencelos. Ia tahu Ningsih hanya menoleransinya lembur sampai pukul sepuluh demi punya waktu untuk keluarga, karena seharian kerja di gerai hp besar yang ada di kota.Ia masuk kamar dengan langkah hati-hati. Ningsih sudah menunggu di ranjang, duduk dengan wajah setengah kesal, setengah manja. Rambut hitamnya tergerai menutupi pipi. “Mas, jam
Ruang servis sepi. Hanya suara kipas angin tua yang berderit, menemani Nasrul yang duduk terpaku menatap monitor komputer rakitannya. Aplikasi tersembunyi yang ditanam pada ponsel Arum berhasil menyadap percakapan pribadi sepasang pengantin baru itu. “Sekarang aku bisa memasuki kehidupan pribadimu, Arum”. Ayo mulailah bercakap dengan suamimu!”. Kaki nasrul menghentak-hentak pelan ke lantai tanda tak sabar.Jari-jarinya gemetar memegang mouse, tapi bukan karena takut ketahuan. Tapi perasaan yang tidak sederhana untuk dijelaskan. Merasa bersalah dengan Arum, Deni, lebih-lebih Ningsih istrinya, tapi nafsu terlanjur menguasai. “Seberapa besarkah dosaku melakukan ini?” batin Nasrul senang bercampur bimbang.Ia mulai menggulir dengan sabar, menelusuri semua riwayat percakapan yang pernah terjadi antara Arum dan suaminya, sejak masa pacaran-tunangan-sampai setelah sah menjadi pasangan suami istri. Ketika sampai di lini masa pascapernikahan, Nasrul membuka pesan suara dari Deni. Dengan napas
Layar ponsel Arum menyala cerah seolah memberi permisi agar mulai dijamah, dan Nasrul seakan kehilangan napas. Awalnya niat hanya mengecek kerusakan aplikasi, tapi jemarinya malah berlabuh pada ikon galeri.“Buka sebentar saja nggak apa-apa, kan?” batinnya merayu pikirannya, atau malah sebaliknya batinnya yang justru digoda oleh pikiran nakalnya, ia mencoba bersikap tenang meski jantungnya sudah berpacu kencang.Gambar di awal biasa saja—makanan, artis K-Pop, screenshot baju-baju di marketplace–khas isi galeri ponsel para wanita. Ia hendak menutup, tapi rasa penasaran lebih kuat. Jempolnya menggulir cepat menyelam lebih dalam dan dalam lagi entah berharap menemukan apa.Lalu muncullah ratusan swafoto Arum. Senyum manis dengan jilbab rapi, gaya polos tanpa make-up. Hanya itu saja sudah cukup membuat dada Nasrul hangat. Namun makin digeser, foto-foto itu berubah. Arum tanpa jilbab, rambut hitamnya terurai panjang, kaos ketat membalut tubuh semampainya. Senyum tipis itu membuat Nasrul ta