LOGINSesaat napas Satria bak mau berhenti, dia bingung harus berkata apa! Ini benar - benar di luar kendalinya.
Ia makin tak sesak nafas, ketika tiba-tiba secara tak terduga Tante Vega menyentuh pundak hingga lehernya, dengan gerakan yang membuat napasnya seolah tersangkut di leher.
Gerakan ini bukan menampar ataupun pukulan, tapi malah elusan!
“Kamu tahu ya Tante tadi mau ngapain tadi dengan timun itu…?” bisiknya, mirip desahan.
Satria membeku, menyesali keberaniannya mengintip. “Apes dah…mati aku,” batinnya gelisah tak kepalang.
Tiba-tiba, tangan lentik Tante Vega mengalir lembut dari pinggang Satria, lalu turun ke pahanya, lalu…
Hap!
Tubuh Satria seketika menegang ketika melihat tante Vega tersenyum ke arahnya, sampai seketika…
“Sayang… kamu di mana? Kok lama banget sich!”
Ketika Vega hendak melanjutkan ucapannya, suara Om Brata terdengar memanggil dari jauh.
Tante Vega cepat menarik diri dan menutup keadaan yang sangat canggung, lalu kembali ke kamar sambil memberikan kerlingan yang membuat Satria makin merinding.
Kini Satria pun lega karena tidak kena marah. Namun dia bingung dengan kerlingan tajam tadi, juga sentuhan tantenya yang liar–yang bikin dia hampir semaput!
Namun bayangan tubuh Tante Vega dengan lingerie tipisnya sudah membuat otaknya konslet. Setelah bekas pecahan gelas ini bersih, Satria buru-buru balik ke kamarnya.
Sampai malam hari–bahkan Satria tidak ikut makan malam bersama om dan tantenya–Satria hanya terpekur di kamarnya, memikirkan kejadian tempo hari.
Rasa lapar itu hilang oleh rasa bersalahnya yang sangat besar dan terlalu nekat, berani ngintip aktivitas di kamar utama.
Tengah malam barulah Satria bisa memejamkan mata. Beragam kejadian sore ini membuatnya sulit memejamkan mata.
“Sial betul…ini akibat suka ngintip kala di desa, akhirnya kebawa sampai di rumah Om Brata, moga Tante Vega nggak laporin ke Om,” sesal Satria, mengutuk kelakuan nakalnya yang hobby ngintip ini.
Paginya saat bangun, kepala Satria masih berdenyut tak keruan.
Waktu sarapan, Satria baru sadar bahwa Om-nya sudah berangkat sejak subuh. Di meja makan, hanya ia dan Tante Vega yang tersisa.
Satria masuk kuliah pukul 9.30. Kekakuan sangat terasa. Rasa bersalah masih melanda batinnya.
Satria tentu saja tak berani menatap wajah Tante Vega. Satria yang biasa ceria dan selalu menyapa duluan, pagi ini bak anak udik yang baru nongol ke kota, kikuk, salting dan gugup berubah jadi takut, terkumpul di hatinya saat ini.
Si tante ini jadi gemas sendiri melihat keponakan suaminya jadi kikuk dan sama sekali tak berani menatap wajahnya.
Satria ini aslinya tampan, sayangnya tubuhnya terlalu kurus, di tambah lagi tubuhnya juga jangkung, sehingga ketampanannya berkurang.
Andai tubuhnya berisi, sudah bisa dipastikan Satria sangat tampan maksimal, apalagi brewok di kedua pipinya mulai tumbuh, sehingga kesan macho terlihat jelas.
Satria makin kikuk saat Tante Vega mengambil timun yang tersisa satu.
“Ehemm…!” Tante Vega memecah kesunyian sambil menyiapkan sandwich. Tiba-tiba dia berdiri ke sisi Satria, lalu menepuk pundaknya lembut.
“Biar kuat… nanti kalau sudah punya pacar sekaligus calon istrimu dia senang, makan ini,” katanya menyodorkan sandwich ke Satria dengan gaya yang memikat setengah menggoda.
Mau tak mau Satria pun menerimanya, tapi dengan otak penuh kebingungan.
Tiba–tiba, tanpa peringatan, Vega menembakkan pertanyaan mematikan, “Kamu ngintip Tante tadi malam, ya kan… ngaku saja? Mumpung hanya kita berdua di sini…!”
Walaupun ucapan dari bibir merah Tanta Vega terdengar sangat lembut, tapi karena Satria sudah terkejut duluan, bukannya menjawab, mulutnya malah kelu dan sulit bersuara.
Satria semakin tegang. Bahunya kaku, tangannya refleks meremas ujung kaus yang ia pakai seolah mencari pegangan. “E-nggak, Tante… sore itu kan Satria–” pemuda ini terpaksa juga keluarkan suara.
“Jujur saja, Sat. Tante nggak marah kok…jangan kayak ayam kalkun gitu, serba kikuk!”
Tiba-tiba Tante Vega berdiri sangat dekat, dan tangan lentiknya mengelus celana katun Satria, hingga membuat napas pemuda itu seakan berhenti.
Secara naluriah, sesuatu ada yang bangkit dan membuat celananya sesak. Alih-alih menikmati, Satria justru gemetaran!
"Kenapa, Sayang? Kok kaku begitu?" goda Tante Vega. Suaranya halus, kontras dengan seringai nakal yang kini menghiasi wajahnya. Matanya tertuju pada celana Satria yang makin sesak. Tanpa peringatan, tangan lentik wanita itu bergerak liar, memberikan sentuhan yang membuat jantung Satria seolah berhenti berdetak.
Belum sempat Satria bersuara, pintu utama terbuka dan seorang perempuan muda masuk.
“Loh, ada Mas Ganteng? Masih di sini, kok belum kuliah?!” kata perempuan cantik itu heran.
Tante Vega kontan menjauh ke tempat duduknya semula dan bersikap biasa lagi.
Acara pagi yang sempat berubah akibat ulah Tante Vega kini seketika buyar…!!!!
**
Makin penasaran...yuks lanjut!
Saat Tante Vega akan menarik celananya, tiba-tiba ada suara Ajeng yang memanggil nama Satria, kontan si tante ini berdiri dan…ngacir secepattnya dari kamar keponakan tirinya ini."Huhh sialan, ganggu kesenangan orang ajah!" masih terdengar gerutuan si tante ini.Tante Vea meninggalkan Satria yang hanya bisa terdiam, seakan masih terhipnotis dengan ulah nakal sang tante barusan.Ajeng sebenarnya tahu Tante Vega tadi diam - diam keluar dari kamar Satria, namun si ART ini pura-pura tak tahu saja, tapi senyum miterius terkembang di bibirnya.“Ehemm…ada yang nekat dengan si kurus tampan itu,” gumamnya tertawa sinis, hanya dia yang tahu arti tawa sinisnya itu.Jangankan Ajeng, Satria pun sampai lama termangu di kursi belajarnya, ini bak mimpi saja baginya, hampir saja miliknya di…lumat bibir merah tantenya, tapi di detik terakhir malah gagal maning.Tok..tok tok…!”Saat Satria menoleh, si denok Ajeng sudah berdiri di depan pintu kamarnya.“Maaf ganteng, nggak ganggu kan?” sapa Ajeng dengan
"Makasih yaa sudah mau nemenin aku ke supermarket..."Setelah mobil SUV kompak itu sampai di parkiran kampus kembali, Berlina pun akhirnya bersuara, tatapannya yang cantik terlihat lesu.Satria geram, tak habis pikir ada laki-laki bodoh yang menyia-nyiakan wanita sekelas Berlina."Kak, kamu pasti akan dapat yang lebih baik dari laki-laki berengsek itu..."Setelah tersenyum tipis, tiba-tiba di dalam mobil ber-AC, Berlina membuka jaketnya. Kini ia hanya mengenakan tanktop putih ketat.Leher jenjangnya dan dadanya yang putih seketika terlihat jelas, apalagi saat ia mengangkat tangan, memperlihatkan ketiaknya yang mulus tak bercela.Kalamenjing Satria sontak bergerak naik dan turun."Boleh aku peluk? Sebagai ucapan makasih dan tanda pertemanan...?"Tenggorokan Satria kering, pe–peluk katanya?!Belum sempat ia menjawab, Berlina sudah bergerak cepat.Bruk!Tubuh Satria yang kaku dipeluk erat. Campuran aroma parfum dan asam keringat tipis Berlina menghantam indranya. Apalagi sensasi gundukan
Satria makan dengan lahap, dia memang belum sarapan, karena tadi pagi langsung ke kampus. Sehingga selesai perkuliahan dia langsung ke kantin kampus isi perut.Saat akan membayar dan mencari-cari dompetnya di tas, bingung dan kagetlah Satria, dompetnya tak ada.“Aduuh di mana dompetku?” batinnya bingung sendiri.Paniklah Satria, bingung bagaimana bayar makanan dan pastinya surat – surat berharga miliknya, seperti SIM dan STNK di dompet itu, di tambah KTP dan kartu mahasiswa, pastinya uang miliknya ada di dompet yang hilang tersebut.Satria pun menyesali diri, kenapa dompet ia taruh di tas, harusnya di saku celana belakang miliknya.“Kamu cari ini ya…?” tiba – tiba di depannya sudah duduk seorang mahasiswa cantik berbody atletis dan di tangannya memegang dompet miliknya.“Eh iya, itu dompet aku, kok ada pada kamu??!” seru Satria terkejut.“Hemm…lupa yaa, pagi tadi kamu nabrak aku?” si wanita ini balik menembak Satria.“Astagaa…a-aku minta maaf, tadi pagi jalan sangat terburu – buru, ta
“Lagi belajar apa sih, serius amat…!”Entah disengaja atau tidak, Ajeng sengaja jongkok sambil melihat laptop Satria, sehingga dasternya yang agak longgar memperlihatkan isinya yang bikin mata Satria mau tak mau melirik juga. “Alamak…” batin pemuda ini, kalamenjingnya mulai bergerak tak beraturan.Dari pandangannya, ia melihat dengan utuh bagian atas tubuh molek milik Ajeng yang… Satria sendiri tak mampu berkata-kata!Walaupun selama ini sering bercengkrama, tapi gara – gara ngintip tadi sore, pikiran Satria mulai konslet juga.Dia pun mulai perhatikan tubuh Ajeng yang baginya sangatlah menggiurkan. Apalagi saat dekat begini, aroma Ajeng sungguhlah sangat menggoda.“La-lagi…nyangkul…eh maksudnya belajar, eh ngulang pelajaran tadi siang Ka?” jawaban Satria yang terbata-bata bikin Ajeng menahan tawa.“Kok gugup gitu sih, hayo mikir apa sih?” goda Ajeng, sampai dengus nafasnya terasa di pipi Satria.“A–anu…” lidah Satria kelu, bicara dekat begini, di tambah ngintip Ajeng dan Om Brata s
Tok…tok…tok!“Satria, kamu sudah pulang ya dari kampus?” terdengar suara dari Ajeng dari luar kamarnya, Satria dengan malas-malasan membuka dan si ART bertubuh penuh ini sudah berdiri di depan pintu kamarnya.“Baru bangun tidur yaa?”“Iya ka Ajeng, aku tadi di kampus kurang enak badan, makanya setelah pulang langsung bobok,” kata Satria berbohong pastinya.“Hmm…gitukah?” Ajeng yang masih basah rambutnya terlihat sangsi dengan jawaban anak muda kurus ini, tapi saat menatap mata Satria yang agak merah, Ajeng pun percaya.“Kamu….eee..ya..ya udahlah, aku mau beres-beres dulu,” sahut Ajeng lagi dan dengan lenggang kangkung perlihatkan pinggulnya yang tak kalah aduhainya dengan milik Tante Vega, si ART ini pun berlalu dari hadapan Satria.“Amboii…pinggul itulah yang goyang koplo Om aku,” batin Satria menahan tawa.Kini sebuah rahasia besar sudah dia ketahui di rumah ini, Om Brata sepupu ayahnya yang mantan tentara, tapi kini berkarir di pemerintahan, diam – diam memiliki skandal dengan…Ajen
“Ehemmm…!” tegur Tante Vega.“Aiiihhh…ada nyonyah besar, duehh sampe kagak lihat, gara-gara si mas ganteng bertubuh ceking ini he-he-he!” wanita muda cantik bertubuh penuh ini kontan merubah sikapnya, dia adalah Ajeng, ART di rumah ini.Sejak Satria tinggal di sini, dia memang sering berinteraksi dengan Ajeng dan mereka biasanya bercanda.Candaannya mereka malah kadang nakal, tapi hanya sebatas di mulut, Satria mana berani menjurus ke hal–hal yang aneh.Ia masih ingat pesan ayahnya, sebelum dia pamit kuliah di Jakarta agar jaga sikap dan kelakuan.“Ingat jangan nakal, ayah tahu kelakuanmu di desa ini, suka banget ngintip, apalagi kalau ada penganten baru dengan teman – temanmu itu, malah sampai pernah berurusan dengan RT segala, jangan ulangi kelakuan itu, memalukan bagi keluarga kita. Biarpun miskin begini kita ini keturunan darah biru Satria, makanya nama kamu itu Satria…!”Itulah pesan ayahnya yang tentu saja di ingat betul oleh Satria. Namun ia tak tahu, darah biru kerajaan mana,







