Beberapa anak muda berseragam SMA masuk dengan semangat—Wira, Cessa, Dion, dan Arsy—teman sekelas Ezra dan Aruna dahulu. Mereka membawa poster, bunga plastik yang terlalu norak, dan boneka bebek kuning.“Masih ganteng, tapi lebih lemes, ya,” ujar Dion sambil menjitak bahu Ezra pelan.Ezra bengong.“Kita kenal?”Tawa kecil pecah. Tapi Arsy, yang paling lembut, menggenggam tangan Ezra.“Ezra, kamu salah satu siswa paling keras kepala dan paling… aneh. Tapi kamu juga paling berani. Dan kami semua kangen kamu.”Wira menambahkan dengan nada pelan,“Kami semua tahu soal… malam itu. Tapi nggak ada yang salah dari ingin memperbaiki diri. Kamu udah jadi pelindung buat banyak orang, Ezra.”Ezra diam. Matanya beralih ke Aruna yang kini berdiri di sudut ruangan, menunduk dan pura-pura sibuk mengikat rambutnya.Tiba-tiba suara Ezra lirih,“Apa... aku nyakitin dia?”Semua terdiam.Aruna menoleh. Dan
Di tempat lain, Ezra menatap atap rumah kecil tempat tinggal sementara yang ditawari pamannya.Ia tak menghubungi siapa pun sejak pergi. Bahkan tak memberitahu Narumi. Tapi dalam diam, ia hanya ingin…memberi ruang bagi Aruna. Meski hatinya menjerit rindu yang tak masuk akal.“Kau akan kembali?”tanya pamannya malam itu, sambil menyodorkan teh hangat.Ezra menatap kosong keluar jendela.“Aku gak tahu… kalau dia masih ingin aku ada.”Pamannya tersenyum pelan.“Terkadang, perempuan hanya butuh tahu bahwa laki-laki tak benar-benar pergi.”Ezra menggenggam cangkir itu lebih erat.Dan di rumah besar itu, Aruna akhirnya membuka lemari kecil di sudut kamarnya.Ada satu benda yang selama ini tak ia lihat dua kali: kemeja abu Ezra yang tertinggal.Ia menggenggamnya. Mengendus samar.Dan entah dari mana, air mata turun pelan-pelan."Ezra… kalau kau benar-benar tidak kembali…aku
Malam itu, langit dipenuhi suara jangkri dan lampu jalan yang berkedip lambat.Di kamar yang pernah jadi tempat aman Aruna, kini ada satu hal yang mengganggu:kehadiran Ezra.Ia duduk bersandar di kursi belajar Aruna, mengenakan kaus kelabu dan rambutnya basah habis mandi. Seperti anak laki-laki biasa. Tapi mereka berdua tahu—tak ada yang ‘biasa’ di antara mereka lagi.Aruna melempar buku ke kasurnya dengan keras.“Kau janji gak akan masuk kamarku. Sekarang kau nginjekin kakimu tanpa izin, dan kau tidur di ruang tamu kayak rumah ini milikmu!”Ezra hanya menatapnya. Lalu berdiri.“Aku minta izin tadi ke Bunda Narumi. Kau tidur terus. Kupikir…”“Kau pikir semua akan baik-baik saja hanya karena kau baik padaku?!”Nada suara Aruna meninggi. Bahunya naik-turun. Matanya berair, tapi ia menolak menangis.“Ezra… kau gak bisa berpura-pura jadi pahlawan setelah malam itu. Kau menyentuhku… bahkan kalau kau bilang ‘menyelamatkanku’—aku tetap tidak memilihmu!”Ezra menunduk. Lalu menatapnya lagi,
Di sanalah Aruna dan Ezra duduk berhadapan, di meja bundar marmer yang dingin, dengan secangkir teh yang tak disentuh.Tak ada gaun putih, tak ada jas pengantin. Hanya dua orang muda yang memandang satu sama lain dengan bekas luka baru di hati masing-masing.“Aku minta satu hal dulu,” ucap Aruna, membuka pembicaraan.“Kita gak akan bilang siapa-siapa soal pernikahan ini. Kecuali keluarga inti. Bahkan Kenzo dan Aurea pun belum perlu tahu.”Ezra menatapnya sebentar.“Aku setuju.”“Aku juga gak mau orang-orang menyangka aku menjebakmu. Karena aku gak pernah berniat begitu.”Aruna mengangguk pelan.“Jadi kita bikin batas. Hidup terpisah. Aku tetap sekolah. Kamu tetap kuliah dan kerja. Kita hanya akan terlihat bersama di depan orang tua.”“Dan gak ada intervensi satu sama lain,” tambah Ezra, datar.Aruna menggertakkan gigi, matanya berkaca-kaca.“Jangan ucapkan kata itu, Ezra. Aku bahkan gak mau
Sable, yang selama ini hanya menjadi bayangan di klub bawah tanah, ternyata menyimpan agenda gelap. Aruna yang mulai dekat dengannya karena urusan musik, tak sadar bahwa Polaris malam itu akan menjadi perangkap.Malam itu, Aruna diminta tampil di panggung tertutup untuk “sekelompok investor seni.” Tapi begitu tirai ditutup, yang muncul adalah pria-pria asing dengan wajah yang tidak menyukai seni—mereka menyukai kendali.Sable menawarinya minuman, yang entah kenapa membuat napas Aruna sesak, tubuhnya mulai berat, dan pandangannya buram. Tapi sebelum ia roboh, seseorang menerobos masuk — Ezra.“Aruna!”“Kamu nggak lihat tempat ini jebakan?!”Ezra memukul satu dari mereka, menarik Aruna keluar, dan membawanya ke tempat aman—tapi keadaan Aruna masih teler, setengah sadar, tubuhnya menggigil hebat.Ezra menjaganya semalaman. Di kamar hotel kecil yang dia sewa darurat, dia menutup jendela, menahan panik, dan mencoba membangunkan Aruna denga
Langit sore itu ditaburi warna jingga muda. Di sebuah taman kecil tak jauh dari pusat kota, dua pasang sepatu berjalan berdampingan di atas jalur kerikil.Aruna tertawa kecil. Raska berjalan di sampingnya, membawa dua cup es krim.“Jadi waktu kecil kamu beneran percaya kamu punya kekuatan menyembuhkan orang?”“Iya,” Aruna nyengir. “Soalnya aku suka bilang ‘jangan sedih’ ke orang, dan beberapa dari mereka langsung senyum. Jadi kupikir... aku penyembuh.”Raska tertawa, lalu menoleh ke arah gadis itu. “Kamu masih menyembuhkan orang. Tapi sekarang bukan cuma pakai kata.”Di balik pepohonan, berdiri seorang siswa lelaki. Kemejanya setengah terkeluar, rambutnya acak-acakan, tangan terkepal di dalam saku hoodie abu-abu.Ezra.Matanya menatap lurus ke arah pasangan itu, namun napasnya tidak teratur. Di balik wajah tenangnya, amukan hati tak bisa lagi disembunyikan."Aku lebih dulu tahu dia," gumamnya pelan."Tapi kenapa