Puluhan panggilan tak terjawab membuat dada Ezra berdegup kencang.
“Ra…” suara Raska tercekat begitu ia juga menyalakan ponselnya dan menemukan hal yang sama. Wajahnya pucat. “Ini… Aruna sadar?!”Ezra menatap layar beberapa detik, lalu mendongak pada sahabatnya. “Kita harus ke rumah sakit. Sekarang.”Tanpa banyak bicara, mereka berdua segera berlari kecil keluar gedung. Ezra menekan kunci mobilnya, lampu hazard menyala, dan mereka cepat masuk ke dalam.Namun sebelum Ezra sempat menyalakan mesin, suara seseorang memanggil dari luar.“Ezra! Tunggu!”Julia muncul, berlari kecil sambil menahan tasnya yang hampir terjatuh. Wajahnya sedikit panik, tapi tetap dihiasi senyum memohon. Tanpa izin, ia langsung membuka pintu belakang mobil dan duduk.“Boleh aku ikut menumpang? Aku kebetulan searah, Ezra. Lagipula sudah malam, agak susah cari transportasi…” ucapnya cepat, khawatir ditolak.Ezra sempat ingin menegur, namun waAruna berjalan pelan di antara kerumunan mahasiswa, membawa tas di pundaknya.Meski wajahnya tampak tenang, setiap langkah terasa berat karena bisik-bisik yang terus mengikuti.“Eh, Aruna kan ya? Katanya kemarin absen dua kali, tapi tetap masuk bimbingan Ezra.”“Iya, sama. Aku denger juga dia kedeketan banget sama pembimbingnya, gak pantas gitu.”Aruna menunduk, meremas tali tasnya.Jantungnya berdebar kencang, dada terasa sesak.Ia mencoba mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis ke teman sekelompoknya, tapi tatapan dingin dan komentar setengah bergosip terus menyusul dari belakangnya.Di dalam hatinya, ia menahan air mata, berusaha tetap kuat.Tapi tekanan sosial itu terasa seperti beban berat yang menekan kepala dan dadanya sekaligus.Sementara itu, Ezra duduk di meja kerja, memandangi layar laptop.Raska berdiri di dekat papan putih, menulis beberapa catatan. Nadia duduk di samping Ezra dengan ponsel di tangan, siap meng
Hujan baru saja berhenti. Bau tanah basah masih tercium tajam di udara. Lampu taman redup, menyoroti tiga sosok yang berdiri di bawah atap kaca kecil di sisi belakang gedung kampus.Ezra, dengan wajah tegang, berdiri menatap tanah; Raska menyalakan rokok tapi tak menyalakannya; sementara Nadia datang tergesa membawa jas hujan yang masih meneteskan air.“Rapatnya kacau banget,” ucap Nadia begitu tiba, suaranya terengah tapi penuh kekesalan. “Aku denger dari panitia dokumentasi — Julia beneran nyebarin laporan itu ke semua divisi?”Ezra menatapnya sekilas, rahangnya mengeras.“Ya. Dia bikin seolah-olah Aruna ngelanggar peraturan. Sekarang semua panitia percaya Aruna absen dua kali tanpa izin.”Raska menyandarkan tubuh ke tiang, suaranya dalam tapi terkendali.“Padahal satu kali Aruna pingsan, satu lagi disuruh istirahat sama dokter UKS. Kita semua tahu itu.”Ezra mengangguk pelan.“Tapi Julia hapus semua data medis Aruna di sistem. A
Ruang rapat lantai tiga kampus itu dipenuhi cahaya lampu putih yang dingin. Suasana tegang.Di dinding tergantung papan besar bertuliskan “Evaluasi Kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru”.Di meja panjang, semua anggota inti BEM duduk berjajar, termasuk Ezra, Raska, dan Julia yang kali ini tampak begitu tenang — bahkan terlalu tenang.Laptop-laptop terbuka, berkas-berkas disusun rapi. Namun ketenangan itu seperti hanya lapisan tipis yang menutupi arus besar di bawah permukaan.Julia mengetik sesuatu di laptopnya sebelum menatap ke arah ketua rapat.“Baik,” ucapnya dengan suara manis namun penuh percaya diri. “Sebelum kita lanjut ke evaluasi umum, izinkan aku mempresentasikan satu hal penting. Ada kasus pelanggaran disiplin dari salah satu calon mahasiswa baru yang perlu kita bahas.”Ruang rapat mendadak hening.Ezra yang sedang menunduk menulis, langsung berhenti. Kepalanya terangkat perlahan, pandangannya menajam.Julia berdiri, menyal
Ruang itu masih setengah kosong.Beberapa panitia baru datang, menyalakan laptop dan menata berkas.Ezra berjalan masuk tanpa banyak bicara. Ia langsung menuju meja administrasi panitia — tempat biasanya semua laporan kegiatan dan daftar kehadiran dikumpulkan.Raska, yang sedang duduk di dekat pintu, mengangkat alis.“Pagi-pagi udah kayak detektif, Bro.”Ezra hanya melirik sekilas sambil membuka tumpukan map berlabel Laporan Harian Maba.“Aku cuma mau cek sesuatu.”Raska menutup laptopnya, berdiri, lalu mendekat.“Ini tentang Aruna lagi, ya?”Ezra menatapnya sebentar, lalu mengangguk.“Semua gosip yang nyebar itu terlalu rapi, Ras. Ada waktu dan alur yang jelas. Gosip muncul setelah laporan kedisiplinan Aruna dicatat bermasalah.Dan laporan itu cuma bisa diakses panitia inti.”Raska bersiul pelan. “Artinya…”“Ya,” potong Ezra, matanya menajam. “Julia gak kerja sendirian.”Ia membalik beberapa lemba
Malam itu langit tampak sunyi.Bulan separuh menggantung di antara awan tipis, dan suara jangkrik terdengar lirih di halaman rumah keluarga Kaisar.Lampu teras menyala lembut, memberi cahaya kekuningan yang menenangkan—tapi tidak bagi Ezra.Mobil hitamnya berhenti perlahan di depan pagar rumah itu.Ia duduk sejenak, menggenggam setir erat-erat.Dalam dadanya, perasaan campur aduk: marah, khawatir, dan sedikit takut.Bukan takut pada apa yang akan dia hadapi, tapi pada kemungkinan bahwa Aruna benar-benar terluka oleh sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan.Ia menarik napas panjang, lalu turun dari mobil.Langkahnya berat tapi pasti.Pintu dibuka oleh Aurea.Wajah kakak perempuan Aruna itu tampak lelah, tapi tetap sopan.“Oh, Ezra.” Suaranya lembut namun kaget. “Kamu datang malam-malam begini?”Ezra menunduk sedikit sebagai bentuk sopan santun.“Maaf ganggu, Kak. Aku cuma mau pastiin Aruna baik-baik aja. Aku dengar
Matahari mulai meredup di ufuk barat.Langit jingga menyelimuti atap kampus, menandakan kegiatan hari itu hampir berakhir.Namun, suasana di ruang BEM masih sibuk suara ketikan laptop, percakapan ringan, dan langkah para panitia yang bolak-balik membawa berkas.Ezra duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop tanpa benar-benar membaca apa pun.Kepalanya penuh oleh satu hal: Aruna.Sejak tadi siang ia tak melihat gadis itu lagi.Padahal biasanya, setelah sesi kegiatan selesai, Aruna akan menunggu sebentar bersama Nadia dan Raska untuk sekadar berbicara ringan.Tapi kali ini, tak ada bayangan Aruna sama sekali.Ia menoleh ke arah Raska yang sedang merapikan file kegiatan.“Ras, kamu lihat Aruna gak?” tanyanya pelan, tapi terdengar cemas.Raska menatap sebentar, lalu menggeleng. “Tadi pagi sempat lihat di aula, tapi siang… gak lagi. Emangnya kenapa?”Ezra menatap layar laptopnya kosong.“Tadi aku denger dari pani