Di kamarnya yang sempit, Nayla menonton video saat Kaisar membantu Narumi turun dari pelaminan. Senyum itu… senyum yang dulu pernah ia anggap miliknya. Tapi sekarang? Ia bahkan tak lagi memiliki ruang dalam hidup Narumi.
“Aku yang dulu berdiri di sampingmu… kenapa kamu yang dapat semua sekarang?” desisnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Tangannya bergerak cepat—mematikan layar ponsel, melemparnya ke kasur.Ia bangkit, berdiri menghadap cermin retak di sudut ruangan, menatap bayangan dirinya."Kamu gak pantas kalah, Nayla. Kamu harus buktikan, kamu bukan sekadar bayangan Narumi…”Apakah Nayla akan muncul di kehidupan Kaisar dan Narumi lagi? Apakah ia hanya ingin menuntut keadilan atas luka batin yang belum sembuh? Atau ada tujuan tersembunyi lain di balik kembalinya Nayla ke dunia luar?Dan bagaimana jika Tryan, yang kini juga merasa bersalah, kembali masuk dalam konflik ini?Di sebuah vila mewah di pinggir danau diSemua mata tertuju padanya. Kaisar menegang. Narumi tampak terkejut tapi tetap tenang. “Wanita itu Narumi bukan siapa-siapa! Dia memalsukan identitasnya! Dia memalsukan tes DNA demi bisa masuk ke keluarga Dewangga dan menikahi Kaisar!” Kejutan menyapu seluruh ruangan. Beberapa tamu bergumam. Tapi sebelum Nayla melangkah lebih jauh... Dewa maju ke depan. Suaranya dingin, namun mengandung ketegasan yang membuat ruangan terdiam. “Cukup, Nayla.” Ia melambaikan tangan, dan layar LED utama memutar rekaman CCTV saat Nayla mendekati rumah sakit dan menyuap salah satu staf medis, serta bukti digital hasil forensik yang menunjukkan upaya peretasan data DNA Narumi. “Semua yang kau tuduhkan adalah hasil rekayasa—dari pihakmu,” tegas Dewa. Bu Hermina, dengan suara tajam, berkata, “Kau tidak hanya mencemarkan nama Narumi, tapi mencemarkan nilai keluarga kami. Kau akan bertanggung jawab.”
Setelah gagal menyusup dan menggoyahkan hubungan Narumi dan Kaisar selama honeymoon, Nayla tidak menyerah. Justru, kekalahan itu membakar api baru dalam dirinya.Ia duduk di sebuah kamar hotel kelas atas di Bali, menatap layar ponselnya yang penuh dengan pemberitaan tentang pernikahan Narumi. Gambar-gambar bahagia, wajah Narumi yang bersinar dalam balutan kebaya pengantin, Kaisar yang memeluknya dengan tatapan penuh cinta — semua itu menusuk matanya."Narumi..." bibir Nayla menggumam penuh kebencian. "Kenapa semua kebahagiaan itu milikmu? Padahal akulah yang punya semuanya lebih dulu..."Kepalanya dipenuhi dengan masa lalu — ketika ia masih menjadi pusat perhatian di kampus, sahabat dekat Narumi, lalu… secara licik, merebut Tryan hanya karena tidak tahan melihat Narumi dicintai.Namun yang dia dapatkan? Tryan yang hampa dan hubungan yang hancur.Kini, Narumi bahkan menjadi anggota keluarga Dewangga, istri pewaris Kaisar Gumilar, dan hidupnya viral sebagai "gadis yatim piatu yang terny
Di kamarnya yang sempit, Nayla menonton video saat Kaisar membantu Narumi turun dari pelaminan. Senyum itu… senyum yang dulu pernah ia anggap miliknya. Tapi sekarang? Ia bahkan tak lagi memiliki ruang dalam hidup Narumi.“Aku yang dulu berdiri di sampingmu… kenapa kamu yang dapat semua sekarang?” desisnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Tangannya bergerak cepat—mematikan layar ponsel, melemparnya ke kasur.Ia bangkit, berdiri menghadap cermin retak di sudut ruangan, menatap bayangan dirinya."Kamu gak pantas kalah, Nayla. Kamu harus buktikan, kamu bukan sekadar bayangan Narumi…”Apakah Nayla akan muncul di kehidupan Kaisar dan Narumi lagi? Apakah ia hanya ingin menuntut keadilan atas luka batin yang belum sembuh? Atau ada tujuan tersembunyi lain di balik kembalinya Nayla ke dunia luar?Dan bagaimana jika Tryan, yang kini juga merasa bersalah, kembali masuk dalam konflik ini?Di sebuah vila mewah di pinggir danau di
Dan malam itu, bunga-bunga bahagia tumbuh tak hanya untuk Kaisar dan Narumi — tapi mulai merekah di hati Senja dan Jingga juga.Suasana hangat menyelimuti pelataran tempat resepsi ketika sesi foto bersama dimulai. Latar belakang dihiasi bunga berwarna putih gading dan hijau zamrud—simbol ketulusan dan harapan baru. Narumi berdiri di samping Kaisar, tersenyum sambil menahan genangan haru yang tak henti mengalir dari matanya sejak akad.Bu Prasasti dan Pak Bagus, berdiri di sisi kiri Narumi, masing-masing memegang tangan anak perempuan yang dulu sempat hilang dari pelukan mereka. Dewa, dengan setelan abu muda, berdiri tegap di belakang mereka, meletakkan tangan di pundak Narumi sebagai tanda pengakuan dan proteksi seorang kakak.Bu Hermina dan Pak Wiyoko, meski sempat terluka oleh kenyataan bahwa Narumi bukan anak kandung mereka, kini ikut tersenyum tulus. Mereka tahu, cinta tak selalu datang dari darah—tapi dari waktu yang mereka habiskan bersama Narumi sel
“Yaaaah! Natayaaa!”“Wah, jodohmu deket, Nay!”Sorakan itu mengalir di antara tawa. Tapi di antara semua keramaian itu, hanya satu tatapan yang membuat waktu terasa melambat.Wala.Dari tepi kerumunan, ia memandang Nataya. Tidak ada senyum menggoda. Tidak juga cemburu. Hanya sebuah tatapan yang tenang... dan terbuka. Nataya menangkap tatapan itu, lalu — seperti mendapat keberanian dari bunga di tangannya — ia melangkah perlahan menghampiri.Wala menunggu.Saat mereka berdiri berhadapan, bunga itu masih di tangan Nataya. Dengan suara pelan, ia bertanya:“Kamu percaya pada tanda?”Wala menatap bunga itu, lalu mengangkat bahu ringan.“Kadang tanda cuma jadi tanda... Tapi bisa juga jadi awal.”Nataya tersenyum. Tak manis, tapi hangat.“Mau nemenin aku mulai awal itu?”Wala tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mengulurkan tangan. Nataya meletakkan bunga itu di tangan Wala, lalu merek
Narumi mengangguk. “Dan sekarang, aku tahu… rumah itu bukan bangunan. Tapi kamu.”Pelataran pesta malam itu diterangi lampu temaram dan irama gamelan modern yang lembut mengalun. Semua tamu mengenakan busana elegan berwarna pastel — satu harmoni yang membingkai keindahan penyatuan dua keluarga besar.Nataya berdiri di dekat meja minuman, gelas mocktail di tangannya, matanya memandangi keramaian dengan wajah datar. Di balik senyumnya yang ditarik ringan, ada gelisah yang belum tuntas.Di kejauhan, Wala baru saja selesai berbincang dengan Pak Nusantara dan Bu Naomi. Ia mengenakan batik biru tua dengan garis emas, wajahnya tenang namun matanya menyapu pelataran, seolah mencari seseorang… atau sesuatu.Dan saat itu—Tatapan mereka bertemu.Nataya sedikit mengangkat alis, ragu apakah akan berbalik atau bertahan. Tapi langkah Wala sudah lebih dulu bergerak, mantap, tak terburu-buru. Ada jeda panjang saat keduanya berdiri berhadapan, su