Share

Kehidupan Baru

Duduk tepat di hadapan seorang penghulu, Dhananjaya mengucapkan sumpah pernikahan dengan tegas tanpa adanya keraguan. Indah ada di sampingnya, berpakaian serba putih yang sederhana namun cantik. Kepalanya menunduk sejak kehadirannya, tak berani bertatap muka dengan siapa pun, termasuk dengan Dhananjaya yang kini sudah menjadi suaminya secara agama.

Semua keluarga yang hadir tampak biasa saja, tidak ada raut senang atas pernikahan yang terjadi. Bahkan, mengucapkan kata 'sah' saja terdengar sangat pelan dan terpaksa. Namun, Sanjaya yang juga hadir dan melihat sendiri proses ijab qabul yang dilakukan oleh cucu tersayangnya, tidak merasa keberatan dengan siapa cucunya itu menikah.

Pernikahan Dhananjaya dan Indah tidak dilakukan di sebuah masjid apalagi hotel mewah, melainkan di rumah Basuki Abraham. Hanya keluarga besar yang hadir, tidak ada satu pun orang luar kecuali penghulu dan satu rekannya. Ya, sesederhana itu pernikahan seorang pebisnis besar dari keluarga Abraham.

“Maria, apa kamu tidak bisa memilih perempuan lain selain dia? Jangan perempuan kampung seperti itu,” seru salah satu keluarga, mengejek Indah secara terang-terangan.

“Jujur, aku tidak menyangka Abraham akan memiliki menantu seperti istri Jay. Lihat dia, dia lebih pantas dari pada istri Jay.” Keluarga lainnya menimpali, bahkan menunjuk salah satu asisten rumah yang menurutnya lebih baik dari Indah.

“Itu semua keputusan Jay. Aku tidak bisa berpendapat.” Maria merasa sangat terhina. Hanya ia yang tahu, seberapa malunya ia saat ini.

“Anakmu itu memang aneh. Laki-laki tak normal itu menikah dengan perempuan asal-asalan, hanya untuk menguasai perusahaan.” Senyum ejekan muncul begitu saja di bibir salah satu Paman Abraham.

“Kata siapa Jay menikah karena ingin menguasai Abraham Group? Dia mampu membangun perusahaan baru atas namanya sendiri, tapi dia lebih mempedulikan perusahaan keluarga.” Sanjaya ikut bicara, tak sungkan menepis penilaian negatif atas pernikahan yang terjadi.

“Aku setuju, Kek. Jay memang harus dipaksa seperti ini agar dia mau menikah. Selain tetap menjadi pimpinan, aku harap dia bisa merubah kehidupannya.” Rega, kakak sepupu Dhananjaya menyahuti positif.

“Kehidupan Jay baik-baik saja tanpa menikah. Apa yang kamu harapkan, Rega?” Maria merasa ucapan Rega justru sedang menyinggung, karena istrinya sangatlah cantik dan berasal dari keluarga bangsawan.

“Tante, Jay itu sangat kaku. Dia sudah cukup untuk menikah, tapi apa? Kita semua tahu jika dia anti percintaan. Kalau dibiarkan, itu tidak baik, Tante.” Rega mencoba menjelaskan.

“Maria, terima saja.” Salah satu bibi Abraham mengusap lengan Maria, menenangkannya.

Selain Maria dan Basuki, keluarga besar Abraham tidak ada yang tahu, bahwa sebenarnya pernikahan Dhananjaya bersama Indah hanyalah pernikahan kontrak. Hal itu atas permintaan Dhananjaya agar orang tuanya tutup mulut. Alasan apalagi jika bukan karena Dhananjaya malas bersitegang dengan kakeknya sendiri?

Di lantai tiga rumah itu, kedua mempelai pengantin mengisi kamarnya masing-masing. Ya, Indah dan Dhananjaya tidak satu kamar. Kamar Indah terhalang empat kamar lainnya dari kamar Dhananjaya, masih bertempat di lantai tiga, lantai yang sudah dikuasai Dhananjaya. Bahkan, kedua orang tuanya hampir tak pernah menginjakkan kakinya di sana.

“Indah, sekarang kamu sudah resmi menjadi istri dari Pak Dhananjaya Abraham. Tapi, ada beberapa peraturan yang harus kamu ketahui.” Hendra ingin memberitahu suatu hal yang belum ia bicarakan.

“Kamu tidak boleh keluar dari kamar untuk hal yang tidak penting, apalagi sampai berkeliaran di lantai bawah. Ingat baik-baik, pernikahan yang terjadi adalah sebuah kontrak, bukan atas dasar cinta. Jadi, jangan pernah berharap kamu akan mendapatkan status sosial yang tinggi sebagai istri dari Pak Jay. Perlakukan beliau sebagai bosmu, bukan suami. Jangan pernah berani menentang apa pun di rumah ini.”

Indah terdiam, tidak merasa kaget sama sekali. Setidaknya, ia sudah dapat menduga-duga sebelumnya. Menikah dengan pria berstatus tinggi, bukan berarti ia akan mendapatkan penghormatan sebagai istrinya. Pernikahan terjadi secara mendadak tanpa mengundang siapa pun, jelas Dhananjaya tak mungkin membawanya ke hadapan publik. Namun, mengapa sampai tidak boleh keluar dari kamar, apa dirinya seorang tawanan.

“Bagaimana kondisi ayahku?” tanya Indah penasaran, matanya tampak berkaca-kaca.

“Ayahmu sudah melakukan operasi sejak kemarin, tapi sampai saat ini belum sadarkan diri. Kalau mau menjenguk, harus ada izin Pak Jay, tapi jangan sekarang-sekarang ini.” Hendra memberitahu.

“Baik, Pak.” Indah menghela napas lega.

“Saya harap kamu mengerti dengan ucapan saya tadi. Atau, apa ada pertanyaan?” Hendra ingin memastikan bahwa Indah mendengarkan apa yang diucapkannya tadi.

“Aku paham, Pak.” Indah mengangguk pelan.

“Bagus.” Hendra lalu keluar dari kamar tersebut.

Di kamar lain, Dhananjaya sedang mengganti pakaian pengantinnya dengan pakaian formal yang biasa ia pakai di kantor. Ada janji temu bersama seorang manager kantor cabang, jadwalnya sudah ditentukan sebelum pernikahan dilangsungkan. Ya, Dhananjaya akan segera pergi di hari pernikahannya.

“Hendra, atur perjalananku ke Yogyakarta jam empat sore,” pinta Dhananjaya ketika menyadari seseorang masuk ke dalam kamarnya.

Curiga karena orang itu hanya diam, Dhananjaya berbalik guna mengetahui siapa yang masuk ke dalam kamarnya. Ternyata Sanjaya, bukan Hendra.

“Kakek, selamat, Abraham memiliki menantu baru.” Dhananjaya tersenyum pilu, nadanya sungguh tidak enak didengar.

“Jay, jangan seperti ini.” Sanjaya memperingati.

“Harus seperti apa, Kek? Aku sudah turuti keinginan Kakek.” Lagi-lagi Dhananjaya tersenyum menyangjung.

“Kamu belum turuti keinginan Kakek.” Sanjaya menggelengkan kepalanya pelan.

“Aku harap Kakek cukup mengerti. Tidak mudah menerima kenyataan secepat ini, Kek.” Dhananjaya memohon, sulit baginya menerima kenyataan bahwa sekarang ini ia sudah memiliki istri.

“Kakek harap kamu cukup bijak, Jay. Ubah sikapmu itu. Ini adalah hari pernikahanmu, habiskan waktu bersama istrimu.” Sanjaya balik menyanjung dengan tenangnya.

Dhananjaya tak ingin membahas apa pun lagi, ia pun meninggalkan kakeknya seorang diri. Langkah lebar membawanya menuju kamar yang berada di ujung koridor, kamar Indah berada.

Benar, tujuan kakeknya dalam pernikahan ini adalah cicit. Kakeknya itu selalu menyinggung soal kenormalannya sebagai pria, dan hari ini Dhananjaya akan membuktikan bahwa ia adalah pria normal.

Pintu kamar Indah tidak dikunci sesuai perintah Hendra, dan Dhananjaya dapat masuk sesukanya tanpa permisi. Wanita yang masih berpakaian khas pengantin itu langsung terperangah menatapnya, kilatan takut tak terelakkan dari wajahnya. Dhananjaya terus mendekat, sedangkan Indah hanya mematung, tak tahu harus berbuat apa.

“Pa—pak Jay—”

Suara Indah tertelan saat Dhananjaya menyumpal mulut wanita itu dengan bibirnya. Indah ingin menolak, menjerit, atau bahkan berlari. Seumur hidupnya, ia tak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu. Namun, pria itu adalah suaminya sekarang. Bagaimana Indah bisa menolak.

Dhananjaya tidak memiliki pengalaman apa pun dalam sebuah hubungan yang terjalin antara pria dan wanita. Mengandalkan naluri yang menguasainya saat itu, ia dapat melakukan tugasnya sebagai seorang suami. Padahal, hari masih siang, bahkan keluarga besar masih berkumpul. Ucapan Sanjaya benar-benar membuatnya muak hingga melakukan hal yang seharusnya ia tahan, setidaknya sampai nanti malam.

Sebagai pengantin baru, seharusnya Dhananjaya membawa Indah ke suatu tempat untuk memadu kasih. Namun, hal itu tak mungkin dilakukannya. Selain pernikahannya sangat mendadak, ia juga tidak berniat untuk mengadakan bulan madu yang akan menyita waktunya. Sebaliknya, Dhananjaya pergi ke Kota Yogyakarta setelah melakukan hubungan suami istri, meninggalkan rumah serta keluarga besar Abraham.

***

Dhananjaya tak pernah melewatkan satu malam pun tanpa berhubungan suami istri. Hanya saja, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya baik itu sebelum ataupun sesudah melakukannya. Indah biasanya akan dipanggil ke kamar Dhananjaya, dan akan kembali ke kamarnya setelah selesai dengan 'pekerjaannya'.

Asing, hanya itu yang Indah rasakan terhadap pria yang sudah menjadi suaminya. Jangankan mengenal satu sama lain, bicara saja tidak pernah. Wajar saja, Indah menganggap pria itu adalah bosnya yang permintaannya wajib ia turuti, bukan suami yang seharusnya memberikan kata-kata manis sebagai rayuan.

Indah adalah wanita yang ceria, ramah, dan murah senyum. Meski kehidupannya serba kekurangan, ia tak pernah mengeluh. Kini ia sadar, harta bukanlah jaminan kebahagiaan. Kehidupannya sekarang memang tercukupi dengan sangat baik, tapi hatinya merasa kekosongan.

Tidak ada satu pun yang bisa Indah ajak bicara, keluarga Abraham bahkan seluruh pekerja rumah Abraham tidak menghormatinya seolah adanya di sana hanya untuk menumpang makan dan tidur. Para asisten rumah yang biasanya mengantarkan makanan ke kamarnya, selalu bersikap sinis dan tak menyenangkan.

“Indah, cepat bersiap-siap. Pak Jay memanggilmu.” Alda, ketua asisten rumah Basuki Abraham menyampaikan pesan dengan aksennya yang memerintah.

“Bisakah aku berlibur? Ma—maksudnya, a—aku lelah. Aku sedang tidak enak badan,” ujar Indah terbata-bata. Sebenarnya ia tak berani menolak, tapi saat ini tubuhnya terasa sangat tidak sehat.

“Terserah. Aku akan sampaikan alasanmu barusan,” jawab Alda sinis, mendelik sombong saat memutar tubuhnya untuk keluar dari kamar Indah.

Dhananjaya kesal mendengar Hendra mengatakan bahwa Alda ingin bertemu, bukan Indah yang seharusnya segera memasuki kamarnya. Namun karena penasaran, ia pun mengizinkan wanita itu untuk menghadapnya.

“Pak Jay, Indah bilang dia sedang tidak enak badan.” Alda menundukkan kepalanya dengan sopan, berdiri cukup jauh dari si pemilik ruangan.

“Lalu?” Dhananjaya tampak tidak peduli.

“Dia tidak bisa menemuimu, Pak.” Alda menyampaikan.

Tanpa mengatakan apa pun, Dhananjaya berjalan melewati Alda, keluar dari kamarnya. Langkahnya yang lebar, membawanya menuju kamar Indah.

Beberapa pria yang merupakan pengawal pribadinya menunduk dalam saat Dhananjaya melewati mereka. Ini bukan yang pertama kalinya, tapi sudah kesekian kalinya majikannya terlihat murka saat mendengar penolakan Indah.

Indah terperanjat saat Dhananjaya menendang pintu kamarnya sangat keras. Suaranya bahkan terdengar hingga ke lantai dasar. Ia menatap hazel sang suami yang mengerikan. Wajahnya yang terlihat sangat tidak bersahabat, membuatnya ketakutan.

Dhananjaya mendekatinya dengan langkah tak santai, tak sabar ingin melakukan sesuatu pada wanita yang sudah menjadi istrinya itu.

“Pak Jay,” lirih Indah takut, sedikit beranjak dari baringnya.

“Berani sekali kamu menolak! Dari mana keberanian itu, hah?!” Dhananjaya menjambak rambut Indah hingga kepalanya tertarik ke belakang.

“Ma—maaf, Pa—”

Plak!

Tamparan Dhananjaya di pipi kiri Indah membuatnya menghentikan ucapannya. Tangannya segera menyapa pipi yang terasa perih dan panas, hatinya lebih sakit lagi mendapat kekerasan yang sering Dhananjaya lakukan padanya.

“Kamu tidak berhak membantah perintahku. Apa kamu dengar itu?” Dhananjaya meraung, tak terima atas penolakan apa pun dari Indah.

“Ba—baik, Pak.” Indah manggut-manggut dengan cepat, tak berani menolak lagi.

“Aku beri kamu waktu sepuluh menit!” Dhananjaya berdecih, menghentakkan kakinya ke lantai saat berjalan keluar dari kamar Indah.

Dengan segera, Indah turun dari ranjangnya. Tubuhnya yang terasa lemah, tak dihiraukannya lagi. Ia tak ingin Dhananjaya menunggunya lama, atau bahkan kembali masuk ke dalam kamar lalu menyeretnya untuk ikut ke kamarnya.

Dhananjaya pernah melakukan itu, dan Indah tak ingin itu terjadi lagi. Sungguh, ia merasa tak memiliki siapa pun untuknya mengeluh atas apa yang ia alami setelah menikah bersama pria yang tak berperasaan itu.

Tuhan, tolong kabulkan permohonan Indah, yaitu menyelesaikan perjanjiannya untuk melahirkan keturunan Abraham. Dengan itu, ia bisa keluar dari rumah tersebut secepatnya dan memulai kehidupan baru bersama ayahnya. Tidak ada alasan yang membuatnya nyaman di sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status