MasukDi sisi lain, Bintang melangkah pelan menuju mobilnya yang terparkir rapi di basement apartemen. Tangannya membawa sebuah kotak bekal lain—identik dengan yang tadi ia berikan pada Lyra. Bedanya, kotak ini memang ia siapkan untuk dirinya sendiri.
Pagi buta tadi, setelah menyelesaikan sebagian tugas Lyra, ia nyaris tidak memejamkan mata. Hanya satu jam ia beristirahat sebelum kembali bangun untuk menyiapkan sarapan praktis sekaligus bekal. Dua porsi yang sama persis—agar Lyra tidak merasa sendirian, agar ia tahu kalau apa yang dimakannya juga disantap Bintang.
Bekal itu ia susun rapi: nasi hangat, lauk sederhana, dan sayuran yang dimasak ringan. Tidak mewah, tapi dibuat dengan perhatian penuh yang jarang sekali ia tunjukkan pada siapa pun.
Ia teringat kembali bagaimana ia menunggu di ruang tamu, sengaja tidak berangkat terlalu pagi. Hanya untuk memastikan Lyra keluar dari kamarnya dan menerima bekal yang ia buat. Ada semacam rasa lega aneh saat kotak itu berpindah ke tangan gadis itu, meski reaksi Lyra tampak datar dan penuh ragu.
Sekarang, ketika memasukkan bekal untuk dirinya sendiri ke dalam mobil, Bintang menarik napas panjang. Tubuhnya terasa berat, kelopak matanya masih menuntut tidur yang hilang. Tapi hatinya sedikit ringan.
Ia menatap sebentar ke arah gedung apartemen dari balik kaca mobil. Senyum tipis, yang hanya muncul sepersekian detik, terukir di wajahnya.
Dengan itu, ia menutup pintu mobil dan bersiap berangkat ke kantor, membawa serta rahasia kecilnya pagi ini.
~~~~
Ruang kerja Bintang di lantai teratas gedung itu menjulang seperti menara kaca. Dari balik jendela besar, kota terhampar luas, sibuk, penuh gerak—kontras dengan suasana sunyi yang menyelimuti ruangan itu.
Bintang duduk di balik meja hitam panjang, tubuh tegak, sorot mata datar. Di luar pintu, semua karyawan mengenalnya sebagai sosok yang tak tersentuh: dingin, nyaris tak pernah tersenyum, dan kata-katanya selalu terdengar seperti keputusan akhir. Mereka tidak tahu bahwa di balik wajah beku itu, ada sesuatu yang terus mengusik pikirannya.
Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan singkat muncul.
Sekilas, matanya berubah. Ada kelembutan tipis yang muncul, cepat sekali, lalu segera tertutup lagi oleh datarnya ekspresi. Ia mengetik singkat: “Tetap awasi dari jauh. Jangan biarkan ia tahu.”
Hening kembali merayap. Bintang menyandarkan tubuh ke kursi, memejamkan mata sejenak. Ingatannya kembali pada pagi tadi—wajah Lyra yang masih sembab karena lelah, tapi tetap berterima kasih dengan suara terbata saat menerima bekalnya. Sebuah bekal sederhana, namun cukup untuk membuat hatinya bergetar halus.
“Kalau aku bisa melindunginya…” gumamnya lirih, “mungkin aku tidak akan mengulang kesalahan masa lalu.”
Tatapannya kemudian jatuh ke pigura kecil yang tersembunyi di sisi rak buku. Foto lama—kedua orangtuanya tersenyum, diambil sebelum tragedi itu merenggut mereka dalam kecelakaan pesawat. Senyum yang tak akan pernah ia lihat lagi. Kehilangan itu membentuk dirinya yang sekarang: keras, dingin, tak percaya pada kelembutan.
Namun sejak Lyra hadir, retakan kecil mulai terbentuk di dinding yang ia bangun bertahun-tahun.
Ia mengembuskan napas panjang, menegakkan tubuh kembali. Jari-jarinya mengetuk meja, irama pelan tapi tegas, seakan meneguhkan satu hal: ia tidak akan membiarkan sejarah terulang.
Apapun yang terjadi, ia akan menjaga Lyra. Meski caranya membuat gadis itu merasa terikat. Meski dunia melihatnya hanya sebagai pengendali dingin tanpa hati.
Karena bagi Bintang, Lyra bukan sekadar seseorang yang kebetulan masuk ke dalam hidupnya. Gadis itu telah menjadi titik pusat baru—dan ia tidak pernah terbiasa kehilangan sesuatu yang sudah ia anggap miliknya.
~~~~
Ruang kerja Bintang kembali tenggelam dalam keheningan. Ia duduk tegak, wajahnya datar, kembali memandang layar komputer yang penuh angka dan laporan. Namun pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Sesekali, bayangan Lyra menyusup, membuat ketukan jarinya di meja terdengar lebih berat daripada biasanya.
Di luar sana, ia tahu gadis itu sedang berusaha menjalani harinya. Bintang menahan napas sesaat sebelum kembali memusatkan perhatian pada dokumen. Wajahnya tak berubah, tetap dingin, tetap tegas—seperti yang selalu dikenali oleh seluruh karyawannya.
Pagi itu, kampus Teknik terasa lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa lalu-lalang di halaman utama, membawa ransel tebal penuh buku dan laptop, sementara suara motor berdesakan di parkiran menciptakan hiruk-pikuk khas pagi hari. Udara segar bercampur aroma kopi dari kantin kecil, dan papan pengumuman dipenuhi poster seminar IT terbaru. Lyra melangkah masuk melalui gerbang utama, tas selempangnya bergoyang ringan di bahu. Setelah dua hari libur yang diisi piknik dan cerita masa lalu dengan Bintang, ia merasa sedikit lebih kuat—tapi bayangan penguntit masih sesekali muncul di benaknya, seperti kabut tipis yang sulit diusir.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan celana jeans biru, rambutnya diikat ponytail tinggi agar tidak mengganggu saat mengetik di kelas. Kalung cincin pernikahan bergoyang pelan di dadanya, tersembunyi di balik kerah, tapi sentuhannya memberi rasa aman. "Hari ini normal," gumamnya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan. Kuliah pagi ini adalah mata kuliah Algoritma
Sore itu, sinar matahari mulai condong, mewarnai langit Jakarta dengan gradasi oranye dan ungu yang lembut. Lyra duduk di bangku taman kecil dekat kampus, angin sepoi membelai rambutnya yang tergerai. Ia baru saja selesai kelas singkat—dosen memahami alasan liburnya kemarin, berkat pesan dari Bintang—dan memutuskan mampir ke sini sebelum pulang. Ponselnya bergetar di tangan, layar menampilkan nama yang sudah lama tidak ia dengar: Ray.Hatinya berdegup sedikit lebih cepat. Ray, sahabat setianya sejak SMA, orang yang selalu ada saat tante memaksa atau beasiswa hampir dicabut. Tapi sejak pernikahan mendadak itu, Lyra sengaja menjaga jarak—bukan karena tidak ingin, tapi karena tak tahu bagaimana menjelaskan. "Halo?" jawabnya pelan, suaranya berusaha santai."Ly! Akhirnya lo angkat juga. Gue nyari lo kemana-mana sejak kemarin. Lo hilang dua hari, nggak ada kabar. Lo baik-baik aja?" Suara Ray di seberang terdengar campur khawatir dan kesal, seperti biasa saat ia panik.Lyra tersenyum kecil,
Cahaya pagi menyusup pelan melalui celah tirai kamar, membentuk garis-garis emas tipis di lantai marmer yang dingin. Lyra membuka mata dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin yang menempel lengket di kulitnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tak terlihat. Ia duduk setengah bangun, tangannya meraba-raba sisi ranjang di sebelahnya. Hangat. Bintang masih di sana, tidur dengan posisi tegap seperti biasa, napasnya teratur dan dalam.Namun, mimpi buruk itu masih melekat kuat di benaknya. Ia melihatnya lagi—pria berhoodie hitam itu, berdiri di ujung lorong gelap, senyum tipisnya menyeringai seperti pisau. "Kau tidak bisa lari selamanya," bisik suara serak itu di telinganya. Lalu, Bintang muncul, tapi bukannya melindunginya, ia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkannya sendirian. Lyra berlari, tapi kakinya seperti terikat, dan pria itu semakin dekat, tangannya hampir menyentuh bahunya..."Bin..." gumam Lyra lirih, suaranya berge
Malam itu terasa begitu panjang bagi Lyra. Ia terbangun mendadak, tubuhnya berkeringat dingin, napasnya terengah seolah baru saja berlari jauh. Pandangannya langsung mengarah ke sisi ranjang yang seharusnya diisi oleh Bintang. Kosong. Bantal di sampingnya dingin, seolah sudah lama ditinggalkan.Dadanya bergemuruh. Rasa takut yang ia kira sudah mulai reda tiba-tiba kembali menyeruak, membuat tenggorokannya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati, namun semakin ia mencoba, semakin ia merasa hampa.“Bintang…” bisiknya lirih, suara nyaris patah.Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah. Tidak ada kehangatan di sisinya. Yang tersisa hanya keheningan yang terasa menyesakkan.Lyra turun dari ranjang, kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan dan televisi dengan volume rendah, sekadar untuk memecah kesunyian.Namun, meski suara samar dari TV terdengar, rasa takut tidak juga berkurang. Baya
Suasana jalanan sore terasa berbeda bagi Lyra.Mobil melaju stabil di bawah kendali Bintang. Namun, alih-alih tenang, dadanya masih berdebar kencang. Bayangan pria berhoodie yang mendekatinya di bus tadi seolah terus mengikuti dalam pikirannya. Setiap kata yang dibisikkan pria itu menggema lagi, menusuk telinganya: “Tak peduli seberapa jauh kau sembunyi… aku tetap bisa menemukamu.”Lyra memeluk kedua tangannya sendiri, berusaha menahan gemetar. Ia menoleh ke samping. Bintang duduk di belakang kemudi, wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan mata dingin yang menatap lurus ke jalanan. Namun, genggaman tangannya di atas roda kemudi begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Keheningan terasa berat. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Hanya deru mesin mobil yang mengisi udara.“B-Bintang…” suara Lyra akhirnya pecah, lirih. “Siapa dia? Kenapa dia mengikuti aku?”Bintang menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Jawabannya singkat, nyaris berbisik, namun penuh tekanan. “Orang yang se
Bus yang biasanya ramai oleh obrolan kini mendadak sunyi. Hanya suara mesin yang menderu, roda berdecit di jalan aspal, dan detak jantung Lyra yang terasa terlalu keras di telinganya.Bintang berdiri tegap, tubuhnya menjadi tembok yang menghalangi Lyra dari pria berhoodie. Aura dingin yang memancar darinya membuat beberapa penumpang bergeser, memberi ruang.“Geser,” ulang Bintang dengan suara rendah, tajam.Pria berhoodie itu menoleh pelan, menatap balik dengan mata berkilat. Senyumnya tipis, sinis, seolah menikmati permainan ini.“Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa,” ucapnya datar, tapi tatapannya menusuk ke arah Lyra. “Kalau dia ketakutan, itu urusannya sendiri.”Lyra menegang, tubuhnya bergetar kecil. Ia ingin berkata sesuatu, membela diri, atau sekadar meminta pria itu menjauh. Tapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.Bintang meraih tiang besi bus dengan satu tangan, tubuhnya condong sedikit ke depan, nyaris menempel dengan pria itu. “Kau sudah cukup membuatnya takut. Tu







