Share

11. Kartu hitam

Penulis: nana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-20 10:40:46

Di tengah riuh rendah suara dosen yang menjelaskan materi, Lyra duduk diam menatap buku catatan. Pena di tangannya bergerak pelan, tapi pikirannya melayang jauh. Pandangannya sesekali jatuh ke jari manisnya. Cincin itu berkilat samar di bawah cahaya lampu kelas, seakan sengaja mengingatkan siapa dirinya sekarang.

Hatinya berdesir gelisah. Ia merasa cincin itu seperti tanda yang bisa dilihat semua orang, sesuatu yang mengekangnya setiap kali ia menyadari tatapan teman-temannya.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul.
Kalau cincin ini jadi kalung…

Ia membayangkan menggantungkannya di rantai tipis, tersembunyi di balik kerah bajunya. Masih ada di dekatnya, tapi tidak terus-menerus mengikat pandangan orang lain. Dengan begitu, ia bisa bernapas sedikit lebih lega.

Namun seiring dengan munculnya rencana itu, rasa ragu langsung menyeruak. Membeli rantai kalung bukan perkara sulit—ia hanya perlu mampir ke toko perhiasan sepulang kuliah. Tapi pertanyaan yang lebih besar menghantam pikirannya.

Haruskah aku izin dulu ke Bintang?

Bayangan wajah dingin pria itu langsung muncul, membuat hatinya ciut. Bintang bisa saja menganggap hal itu sebagai bentuk penolakan. Atau lebih buruk lagi, ia bisa membaca niat Lyra untuk “menyembunyikan” statusnya.

Jari Lyra mengusap pelan cincin di tangannya. Napasnya terasa berat.

“Kalau aku melakukannya diam-diam… apa itu salah?” bisiknya, hampir tak terdengar di antara suara papan tulis yang digores kapur.

Matanya kembali tertuju pada dosen yang berdiri di depan kelas, tapi pikirannya tetap terbelah, antara keinginan kecil untuk merdeka, dan rasa takut pada konsekuensi yang mungkin datang dari pria yang kini mengikat hidupnya.

Lyra menatap cincin di jarinya sekali lagi, kali ini lebih lama dari biasanya. Cahaya lampu kelas membuatnya berkilat samar, seolah ikut menyoroti semua kegelisahan yang sejak tadi ia sembunyikan.

Semalam, ia sudah cukup membuat kesalahan—pergi sendirian hanya demi memperbaiki laptop. Dan Bintang… meski dengan cara yang keras, tetap menolongnya. Bahkan sampai membantu tugasnya, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Pikiran itu membuat dadanya sesak. Rasa takut bercampur dengan rasa bersalah.
Mungkin… aku terlalu sering menutup diri. Mungkin aku hanya membuat semuanya lebih sulit.

Tangannya mengusap pelan cincin itu, seolah berbicara dengan dirinya sendiri.

“Kalau aku ingin mengubahnya jadi kalung… apa salahnya kalau aku bilang dulu padanya?” bisiknya pelan.

Ya, mungkin izin bukanlah kelemahan. Daripada menimbulkan masalah baru, lebih baik ia bicara. Bukankah pernikahan ini, seaneh apapun awalnya, tetap mengikat mereka berdua? Cepat atau lambat, ia harus belajar menerima itu.

Lyra menarik napas panjang, menegakkan duduknya. Ada ketakutan di dalam dirinya—ketakutan akan tatapan dingin Bintang jika ia salah bicara. Tapi kali ini, ia ingin mencoba. Bukan untuk tunduk, tapi untuk membuka sedikit ruang. Ruang bagi dirinya sendiri, dan ruang bagi pernikahan yang masih terasa asing.

Pelan-pelan… aku akan belajar menerima semua ini. Aku akan belajar terbuka padanya.

Pena di tangannya berhenti bergerak. Tapi di balik diamnya, Lyra sudah membuat keputusan kecil—keputusan yang bisa mengubah caranya menghadapi hari-hari ke depan.

Begitu dosen melangkah keluar dari kelas, suasana mendadak ramai oleh suara kursi yang bergeser dan obrolan teman-teman yang mulai bercampur. Lyra tetap duduk di bangkunya, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.

Perlahan ia meraih ponselnya dari dalam tas. Layar menyala, memantulkan bayangan wajahnya yang tegang. Jari-jarinya sempat gemetar saat membuka aplikasi pesan.

Haruskah aku benar-benar mengatakannya? Apa dia akan menganggap ini hal sepele? Atau justru marah karena aku repot-repot bertanya?

Ia mulai mengetik pelan:

"Mas… aku boleh beli rantai kalung nggak? Aku ingin pakai cincin kita di leher biar lebih aman."

Kalimat itu dibaca berulang-ulang. Terlalu kaku. Ia hapus.

Kali ini ia mencoba lebih sederhana:

"Aku pengin beli kalung rantai. Cincinnya mau aku taruh di situ, nggak apa-apa kan?"

Ia menggigit bibirnya. Masih ragu. Pikirannya penuh bayangan wajah Bintang yang dingin, tatapan datarnya yang sulit terbaca.

Beberapa kali ia hampir menekan tombol hapus, tapi entah darimana keberanian itu muncul. Aku sudah berutang banyak padanya. Kalau aku menutup diri lagi, aku hanya akan menambah jarak. Lebih baik aku jujur.

Dengan napas yang ditahan, Lyra akhirnya menekan tombol kirim.

Pesan itu meluncur pergi.

Sesaat ia terdiam, menatap layar yang kini hanya menampilkan tanda centang biru abu-abu. Degup jantungnya makin kencang, seperti menunggu vonis. Ada rasa takut, tapi juga sedikit lega. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar membuka suara pada suaminya—meski hanya lewat pesan singkat.

~~~

Di ruang kerjanya yang luas dan sunyi, hanya terdengar suara ketikan keyboard para staf di luar ruangan. Bintang duduk tegak di kursinya, wajahnya tetap dingin dan tak tersentuh emosi, seperti patung yang terbiasa mengawasi dari singgasananya.

Ponselnya yang tergeletak di samping dokumen bergetar sekali. Sebuah notifikasi muncul. Dengan gerakan singkat, ia meraihnya.

Begitu membaca nama pengirimnya, matanya sedikit menyipit. Lyra.

Ia membuka pesannya.

"Aku pengin beli kalung rantai. Cincinnya mau aku taruh di situ, nggak apa-apa kan?"

Sekilas, hanya ekspresi datar yang muncul di wajahnya. Dari balik kaca pintu, para karyawan yang sesekali melintas tetap melihat sosok bos mereka yang sama: dingin, kaku, tak tersentuh.

Namun di balik itu, ada sesuatu yang menggetarkan dadanya. Kata-kata Lyra terasa berbeda—bukan sekadar izin, tapi sebuah langkah kecil mendekat padanya. Sebuah pengakuan halus bahwa gadis itu mulai menganggap pernikahan mereka nyata.

Bintang meletakkan ponselnya perlahan di meja. Jari-jarinya mengetuk permukaan kayu sekali, dua kali. Seolah menahan sesuatu.

Dalam dirinya, ada rasa lega yang samar. Akhirnya… dia mencoba bicara padaku. Dia memilih untuk jujur, bukan bersembunyi.

Meski demikian, wajahnya tetap tanpa senyum, tetap dingin. Ia mengetik balasan singkat dengan cepat, seperti bos yang sibuk mengatur banyak urusan:

"Boleh. Pilih yang kamu suka."

Tak berhenti di situ, ia mengetik satu pesan tambahan.

"Ini PIN-nya: ****"

Pesan itu terkirim. Sederhana, dingin, tanpa emotikon. Namun bagi Bintang, itu adalah bentuk lain dari perlindungan. Cara dirinya mengatakan kau tidak sendiri. Semua yang kau butuhkan, aku sediakan.

Ia kembali menaruh ponselnya di meja, wajahnya tetap datar saat sekretaris masuk membawa tumpukan berkas. Seakan tidak ada yang berbeda.

Tapi jauh di dalam, ia tahu dirinya telah melepaskan sedikit kendali—membiarkan Lyra masuk lebih dalam ke dalam hidupnya.

Di tengah keramaian kelas yang baru saja bubar, Lyra menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Balasan dari Bintang hanya berisi sederet angka.

"Ini PIN-nya: ****"

Ia menggigit bibirnya, bingung. PIN? Untuk apa?

Dengan hati-hati, ia mengetik balasan.

"Maksudnya apa?"

Jawaban Bintang datang cepat, singkat, dan tetap dengan nada dingin khasnya.

"Coba periksa tasmu. Aku sudah masukkan kartunya."

Lyra langsung meraih tasnya dengan jantung berdebar. Jemarinya menyusuri tiap kantong hingga menemukan sebuah amplop tipis. Saat ia tarik keluar, napasnya tercekat.

Sebuah kartu ATM berwarna hitam.

Matanya membesar, jantungnya semakin tak terkendali. Ia tahu betul kartu hitam bukan sembarang kartu—tidak semua orang bisa memilikinya. Itu bukan sekadar alat transaksi, tapi simbol kekuatan finansial dan status yang jauh di luar jangkauannya.

Tangannya gemetar saat menyentuh permukaannya yang dingin. Rasanya berat, seakan kartu itu membawa beban dan tanggung jawab yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Kenapa dia memberiku ini? Apa maksudnya?

Lyra menggigit bibir, antara takut, kagum, sekaligus bingung. Rasa berhutang budi menekan dadanya semakin kuat.

Lyra masih menatap kartu hitam itu, jantungnya berdegup tak karuan. Ia belum sempat menulis balasan, ketika satu pesan baru masuk lagi dari Bintang.

"Gunakan kartu itu untuk keperluanmu."

Pesan singkat itu terasa menghantam lebih keras daripada dentuman apapun. Bukan karena panjang kata-katanya, tapi karena makna di baliknya.

Tangannya semakin bergetar. Ia menatap kartu itu lagi—kilau hitam elegannya seperti menegaskan jarak antara mereka. Bintang, dengan dingin, memberinya akses pada dunia yang bahkan tak pernah berani ia bayangkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   26. Kegelisahan Lyra

    Pagi itu, kampus Teknik terasa lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa lalu-lalang di halaman utama, membawa ransel tebal penuh buku dan laptop, sementara suara motor berdesakan di parkiran menciptakan hiruk-pikuk khas pagi hari. Udara segar bercampur aroma kopi dari kantin kecil, dan papan pengumuman dipenuhi poster seminar IT terbaru. Lyra melangkah masuk melalui gerbang utama, tas selempangnya bergoyang ringan di bahu. Setelah dua hari libur yang diisi piknik dan cerita masa lalu dengan Bintang, ia merasa sedikit lebih kuat—tapi bayangan penguntit masih sesekali muncul di benaknya, seperti kabut tipis yang sulit diusir.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan celana jeans biru, rambutnya diikat ponytail tinggi agar tidak mengganggu saat mengetik di kelas. Kalung cincin pernikahan bergoyang pelan di dadanya, tersembunyi di balik kerah, tapi sentuhannya memberi rasa aman. "Hari ini normal," gumamnya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan. Kuliah pagi ini adalah mata kuliah Algoritma

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   25. Kecurigaan Ray

    Sore itu, sinar matahari mulai condong, mewarnai langit Jakarta dengan gradasi oranye dan ungu yang lembut. Lyra duduk di bangku taman kecil dekat kampus, angin sepoi membelai rambutnya yang tergerai. Ia baru saja selesai kelas singkat—dosen memahami alasan liburnya kemarin, berkat pesan dari Bintang—dan memutuskan mampir ke sini sebelum pulang. Ponselnya bergetar di tangan, layar menampilkan nama yang sudah lama tidak ia dengar: Ray.Hatinya berdegup sedikit lebih cepat. Ray, sahabat setianya sejak SMA, orang yang selalu ada saat tante memaksa atau beasiswa hampir dicabut. Tapi sejak pernikahan mendadak itu, Lyra sengaja menjaga jarak—bukan karena tidak ingin, tapi karena tak tahu bagaimana menjelaskan. "Halo?" jawabnya pelan, suaranya berusaha santai."Ly! Akhirnya lo angkat juga. Gue nyari lo kemana-mana sejak kemarin. Lo hilang dua hari, nggak ada kabar. Lo baik-baik aja?" Suara Ray di seberang terdengar campur khawatir dan kesal, seperti biasa saat ia panik.Lyra tersenyum kecil,

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   24. Janji yang terkunci

    Cahaya pagi menyusup pelan melalui celah tirai kamar, membentuk garis-garis emas tipis di lantai marmer yang dingin. Lyra membuka mata dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin yang menempel lengket di kulitnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tak terlihat. Ia duduk setengah bangun, tangannya meraba-raba sisi ranjang di sebelahnya. Hangat. Bintang masih di sana, tidur dengan posisi tegap seperti biasa, napasnya teratur dan dalam.Namun, mimpi buruk itu masih melekat kuat di benaknya. Ia melihatnya lagi—pria berhoodie hitam itu, berdiri di ujung lorong gelap, senyum tipisnya menyeringai seperti pisau. "Kau tidak bisa lari selamanya," bisik suara serak itu di telinganya. Lalu, Bintang muncul, tapi bukannya melindunginya, ia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkannya sendirian. Lyra berlari, tapi kakinya seperti terikat, dan pria itu semakin dekat, tangannya hampir menyentuh bahunya..."Bin..." gumam Lyra lirih, suaranya berge

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   23. Dini hari

    Malam itu terasa begitu panjang bagi Lyra. Ia terbangun mendadak, tubuhnya berkeringat dingin, napasnya terengah seolah baru saja berlari jauh. Pandangannya langsung mengarah ke sisi ranjang yang seharusnya diisi oleh Bintang. Kosong. Bantal di sampingnya dingin, seolah sudah lama ditinggalkan.Dadanya bergemuruh. Rasa takut yang ia kira sudah mulai reda tiba-tiba kembali menyeruak, membuat tenggorokannya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati, namun semakin ia mencoba, semakin ia merasa hampa.“Bintang…” bisiknya lirih, suara nyaris patah.Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah. Tidak ada kehangatan di sisinya. Yang tersisa hanya keheningan yang terasa menyesakkan.Lyra turun dari ranjang, kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan dan televisi dengan volume rendah, sekadar untuk memecah kesunyian.Namun, meski suara samar dari TV terdengar, rasa takut tidak juga berkurang. Baya

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   22. Rahasia yang terkuak

    Suasana jalanan sore terasa berbeda bagi Lyra.Mobil melaju stabil di bawah kendali Bintang. Namun, alih-alih tenang, dadanya masih berdebar kencang. Bayangan pria berhoodie yang mendekatinya di bus tadi seolah terus mengikuti dalam pikirannya. Setiap kata yang dibisikkan pria itu menggema lagi, menusuk telinganya: “Tak peduli seberapa jauh kau sembunyi… aku tetap bisa menemukamu.”Lyra memeluk kedua tangannya sendiri, berusaha menahan gemetar. Ia menoleh ke samping. Bintang duduk di belakang kemudi, wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan mata dingin yang menatap lurus ke jalanan. Namun, genggaman tangannya di atas roda kemudi begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Keheningan terasa berat. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Hanya deru mesin mobil yang mengisi udara.“B-Bintang…” suara Lyra akhirnya pecah, lirih. “Siapa dia? Kenapa dia mengikuti aku?”Bintang menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Jawabannya singkat, nyaris berbisik, namun penuh tekanan. “Orang yang se

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   21. Benturan dalam Bayangan

    Bus yang biasanya ramai oleh obrolan kini mendadak sunyi. Hanya suara mesin yang menderu, roda berdecit di jalan aspal, dan detak jantung Lyra yang terasa terlalu keras di telinganya.Bintang berdiri tegap, tubuhnya menjadi tembok yang menghalangi Lyra dari pria berhoodie. Aura dingin yang memancar darinya membuat beberapa penumpang bergeser, memberi ruang.“Geser,” ulang Bintang dengan suara rendah, tajam.Pria berhoodie itu menoleh pelan, menatap balik dengan mata berkilat. Senyumnya tipis, sinis, seolah menikmati permainan ini.“Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa,” ucapnya datar, tapi tatapannya menusuk ke arah Lyra. “Kalau dia ketakutan, itu urusannya sendiri.”Lyra menegang, tubuhnya bergetar kecil. Ia ingin berkata sesuatu, membela diri, atau sekadar meminta pria itu menjauh. Tapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.Bintang meraih tiang besi bus dengan satu tangan, tubuhnya condong sedikit ke depan, nyaris menempel dengan pria itu. “Kau sudah cukup membuatnya takut. Tu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status