Di tengah riuh rendah suara dosen yang menjelaskan materi, Lyra duduk diam menatap buku catatan. Pena di tangannya bergerak pelan, tapi pikirannya melayang jauh. Pandangannya sesekali jatuh ke jari manisnya. Cincin itu berkilat samar di bawah cahaya lampu kelas, seakan sengaja mengingatkan siapa dirinya sekarang.
Hatinya berdesir gelisah. Ia merasa cincin itu seperti tanda yang bisa dilihat semua orang, sesuatu yang mengekangnya setiap kali ia menyadari tatapan teman-temannya.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul.
Kalau cincin ini jadi kalung…
Ia membayangkan menggantungkannya di rantai tipis, tersembunyi di balik kerah bajunya. Masih ada di dekatnya, tapi tidak terus-menerus mengikat pandangan orang lain. Dengan begitu, ia bisa bernapas sedikit lebih lega.
Namun seiring dengan munculnya rencana itu, rasa ragu langsung menyeruak. Membeli rantai kalung bukan perkara sulit—ia hanya perlu mampir ke toko perhiasan sepulang kuliah. Tapi pertanyaan yang lebih besar menghantam pikirannya.
Haruskah aku izin dulu ke Bintang?
Bayangan wajah dingin pria itu langsung muncul, membuat hatinya ciut. Bintang bisa saja menganggap hal itu sebagai bentuk penolakan. Atau lebih buruk lagi, ia bisa membaca niat Lyra untuk “menyembunyikan” statusnya.
Jari Lyra mengusap pelan cincin di tangannya. Napasnya terasa berat.
Matanya kembali tertuju pada dosen yang berdiri di depan kelas, tapi pikirannya tetap terbelah, antara keinginan kecil untuk merdeka, dan rasa takut pada konsekuensi yang mungkin datang dari pria yang kini mengikat hidupnya.
Lyra menatap cincin di jarinya sekali lagi, kali ini lebih lama dari biasanya. Cahaya lampu kelas membuatnya berkilat samar, seolah ikut menyoroti semua kegelisahan yang sejak tadi ia sembunyikan.
Semalam, ia sudah cukup membuat kesalahan—pergi sendirian hanya demi memperbaiki laptop. Dan Bintang… meski dengan cara yang keras, tetap menolongnya. Bahkan sampai membantu tugasnya, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Pikiran itu membuat dadanya sesak. Rasa takut bercampur dengan rasa bersalah.
Mungkin… aku terlalu sering menutup diri. Mungkin aku hanya membuat semuanya lebih sulit.
Tangannya mengusap pelan cincin itu, seolah berbicara dengan dirinya sendiri.
Ya, mungkin izin bukanlah kelemahan. Daripada menimbulkan masalah baru, lebih baik ia bicara. Bukankah pernikahan ini, seaneh apapun awalnya, tetap mengikat mereka berdua? Cepat atau lambat, ia harus belajar menerima itu.
Lyra menarik napas panjang, menegakkan duduknya. Ada ketakutan di dalam dirinya—ketakutan akan tatapan dingin Bintang jika ia salah bicara. Tapi kali ini, ia ingin mencoba. Bukan untuk tunduk, tapi untuk membuka sedikit ruang. Ruang bagi dirinya sendiri, dan ruang bagi pernikahan yang masih terasa asing.
Pelan-pelan… aku akan belajar menerima semua ini. Aku akan belajar terbuka padanya.
Pena di tangannya berhenti bergerak. Tapi di balik diamnya, Lyra sudah membuat keputusan kecil—keputusan yang bisa mengubah caranya menghadapi hari-hari ke depan.
Begitu dosen melangkah keluar dari kelas, suasana mendadak ramai oleh suara kursi yang bergeser dan obrolan teman-teman yang mulai bercampur. Lyra tetap duduk di bangkunya, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.
Perlahan ia meraih ponselnya dari dalam tas. Layar menyala, memantulkan bayangan wajahnya yang tegang. Jari-jarinya sempat gemetar saat membuka aplikasi pesan.
Haruskah aku benar-benar mengatakannya? Apa dia akan menganggap ini hal sepele? Atau justru marah karena aku repot-repot bertanya?
Ia mulai mengetik pelan:
"Mas… aku boleh beli rantai kalung nggak? Aku ingin pakai cincin kita di leher biar lebih aman."
Kalimat itu dibaca berulang-ulang. Terlalu kaku. Ia hapus.
Kali ini ia mencoba lebih sederhana:
"Aku pengin beli kalung rantai. Cincinnya mau aku taruh di situ, nggak apa-apa kan?"
Ia menggigit bibirnya. Masih ragu. Pikirannya penuh bayangan wajah Bintang yang dingin, tatapan datarnya yang sulit terbaca.
Beberapa kali ia hampir menekan tombol hapus, tapi entah darimana keberanian itu muncul. Aku sudah berutang banyak padanya. Kalau aku menutup diri lagi, aku hanya akan menambah jarak. Lebih baik aku jujur.
Dengan napas yang ditahan, Lyra akhirnya menekan tombol kirim.
Pesan itu meluncur pergi.
Sesaat ia terdiam, menatap layar yang kini hanya menampilkan tanda centang biru abu-abu. Degup jantungnya makin kencang, seperti menunggu vonis. Ada rasa takut, tapi juga sedikit lega. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar membuka suara pada suaminya—meski hanya lewat pesan singkat.
~~~
Di ruang kerjanya yang luas dan sunyi, hanya terdengar suara ketikan keyboard para staf di luar ruangan. Bintang duduk tegak di kursinya, wajahnya tetap dingin dan tak tersentuh emosi, seperti patung yang terbiasa mengawasi dari singgasananya.
Ponselnya yang tergeletak di samping dokumen bergetar sekali. Sebuah notifikasi muncul. Dengan gerakan singkat, ia meraihnya.
Begitu membaca nama pengirimnya, matanya sedikit menyipit. Lyra.
Ia membuka pesannya.
"Aku pengin beli kalung rantai. Cincinnya mau aku taruh di situ, nggak apa-apa kan?"
Sekilas, hanya ekspresi datar yang muncul di wajahnya. Dari balik kaca pintu, para karyawan yang sesekali melintas tetap melihat sosok bos mereka yang sama: dingin, kaku, tak tersentuh.
Namun di balik itu, ada sesuatu yang menggetarkan dadanya. Kata-kata Lyra terasa berbeda—bukan sekadar izin, tapi sebuah langkah kecil mendekat padanya. Sebuah pengakuan halus bahwa gadis itu mulai menganggap pernikahan mereka nyata.
Bintang meletakkan ponselnya perlahan di meja. Jari-jarinya mengetuk permukaan kayu sekali, dua kali. Seolah menahan sesuatu.
Dalam dirinya, ada rasa lega yang samar. Akhirnya… dia mencoba bicara padaku. Dia memilih untuk jujur, bukan bersembunyi.
Meski demikian, wajahnya tetap tanpa senyum, tetap dingin. Ia mengetik balasan singkat dengan cepat, seperti bos yang sibuk mengatur banyak urusan:
"Boleh. Pilih yang kamu suka."
Tak berhenti di situ, ia mengetik satu pesan tambahan.
"Ini PIN-nya: ****"
Pesan itu terkirim. Sederhana, dingin, tanpa emotikon. Namun bagi Bintang, itu adalah bentuk lain dari perlindungan. Cara dirinya mengatakan kau tidak sendiri. Semua yang kau butuhkan, aku sediakan.
Ia kembali menaruh ponselnya di meja, wajahnya tetap datar saat sekretaris masuk membawa tumpukan berkas. Seakan tidak ada yang berbeda.
Tapi jauh di dalam, ia tahu dirinya telah melepaskan sedikit kendali—membiarkan Lyra masuk lebih dalam ke dalam hidupnya.
Di tengah keramaian kelas yang baru saja bubar, Lyra menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Balasan dari Bintang hanya berisi sederet angka.
"Ini PIN-nya: ****"
Ia menggigit bibirnya, bingung. PIN? Untuk apa?
Dengan hati-hati, ia mengetik balasan.
"Maksudnya apa?"
Jawaban Bintang datang cepat, singkat, dan tetap dengan nada dingin khasnya.
"Coba periksa tasmu. Aku sudah masukkan kartunya."
Lyra langsung meraih tasnya dengan jantung berdebar. Jemarinya menyusuri tiap kantong hingga menemukan sebuah amplop tipis. Saat ia tarik keluar, napasnya tercekat.
Sebuah kartu ATM berwarna hitam.
Matanya membesar, jantungnya semakin tak terkendali. Ia tahu betul kartu hitam bukan sembarang kartu—tidak semua orang bisa memilikinya. Itu bukan sekadar alat transaksi, tapi simbol kekuatan finansial dan status yang jauh di luar jangkauannya.
Tangannya gemetar saat menyentuh permukaannya yang dingin. Rasanya berat, seakan kartu itu membawa beban dan tanggung jawab yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Kenapa dia memberiku ini? Apa maksudnya?
Lyra menggigit bibir, antara takut, kagum, sekaligus bingung. Rasa berhutang budi menekan dadanya semakin kuat.
Lyra masih menatap kartu hitam itu, jantungnya berdegup tak karuan. Ia belum sempat menulis balasan, ketika satu pesan baru masuk lagi dari Bintang.
"Gunakan kartu itu untuk keperluanmu."
Pesan singkat itu terasa menghantam lebih keras daripada dentuman apapun. Bukan karena panjang kata-katanya, tapi karena makna di baliknya.
Tangannya semakin bergetar. Ia menatap kartu itu lagi—kilau hitam elegannya seperti menegaskan jarak antara mereka. Bintang, dengan dingin, memberinya akses pada dunia yang bahkan tak pernah berani ia bayangkan.
Di tengah riuh rendah suara dosen yang menjelaskan materi, Lyra duduk diam menatap buku catatan. Pena di tangannya bergerak pelan, tapi pikirannya melayang jauh. Pandangannya sesekali jatuh ke jari manisnya. Cincin itu berkilat samar di bawah cahaya lampu kelas, seakan sengaja mengingatkan siapa dirinya sekarang.Hatinya berdesir gelisah. Ia merasa cincin itu seperti tanda yang bisa dilihat semua orang, sesuatu yang mengekangnya setiap kali ia menyadari tatapan teman-temannya.Tiba-tiba, sebuah ide muncul.Kalau cincin ini jadi kalung…Ia membayangkan menggantungkannya di rantai tipis, tersembunyi di balik kerah bajunya. Masih ada di dekatnya, tapi tidak terus-menerus mengikat pandangan orang lain. Dengan begitu, ia bisa bernapas sedikit lebih lega.Namun seiring dengan munculnya rencana itu, rasa ragu langsung menyeruak. Membeli rantai kalung bukan perkara sulit—ia hanya perlu mampir ke toko perhiasan sepulang kuliah. Tapi pertanyaan yang lebih besar menghantam pikirannya.Haruskah a
Di sisi lain, Bintang melangkah pelan menuju mobilnya yang terparkir rapi di basement apartemen. Tangannya membawa sebuah kotak bekal lain—identik dengan yang tadi ia berikan pada Lyra. Bedanya, kotak ini memang ia siapkan untuk dirinya sendiri.Pagi buta tadi, setelah menyelesaikan sebagian tugas Lyra, ia nyaris tidak memejamkan mata. Hanya satu jam ia beristirahat sebelum kembali bangun untuk menyiapkan sarapan praktis sekaligus bekal. Dua porsi yang sama persis—agar Lyra tidak merasa sendirian, agar ia tahu kalau apa yang dimakannya juga disantap Bintang.Bekal itu ia susun rapi: nasi hangat, lauk sederhana, dan sayuran yang dimasak ringan. Tidak mewah, tapi dibuat dengan perhatian penuh yang jarang sekali ia tunjukkan pada siapa pun.Ia teringat kembali bagaimana ia menunggu di ruang tamu, sengaja tidak berangkat terlalu pagi. Hanya untuk memastikan Lyra keluar dari kamarnya dan menerima bekal yang ia buat. Ada semacam rasa lega aneh saat kotak itu berpindah ke tangan gadis itu, m
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk dari celah gorden, membelai wajah Lyra dengan hangat. Ia menggeliat pelan, sebelum matanya terbuka dan menatap langit-langit asing di atas kepalanya. Butuh beberapa detik bagi otaknya untuk menyadari sesuatu—ia tidak sedang duduk di kursi belajar, melainkan berbaring di atas kasur empuk dengan selimut tersampir rapi menutup tubuhnya.Jantungnya berdetak kencang.“Aku… kan semalam masih di meja?” pikir Lyra, buru-buru bangkit sambil memandang sekeliling kamar. Ingatan terakhirnya adalah ia menunduk di depan laptop, jari-jarinya masih sibuk mengetik, sampai kelelahan menyeretnya ke dunia mimpi.Ia menepuk pipinya pelan, memastikan ini bukan mimpi lain. Tapi semakin jelas baginya—seseorang pasti telah memindahkannya ke kasur. Dan di apartemen ini, hanya ada satu orang selain dirinya.Bintang.Pikiran itu saja sudah cukup membuat pipinya terasa panas.Namun belum selesai rasa gugupnya, ingatan lain menghantam kepalanya. Tugas! Ia melompat turun dari k
Lampu meja menyala temaram, cahayanya jatuh hanya pada tumpukan dokumen yang tertata di atas meja kayu hitam. Bayangan samar tercetak di dinding, bergerak pelan mengikuti nyala bohlam yang bergetar halus. Di tengah keheningan itu, detik jam dinding terdengar nyaring, seolah setiap putarannya menegaskan betapa malam ini berjalan lambat.Bintang duduk bersandar di kursinya, punggung tegak namun kepalanya tertunduk, tatapannya kosong pada layar komputer yang tak beranjak dari halaman awal. Pekerjaan yang biasanya menuntut presisi dan ketelitian kini hanya tampak seperti gangguan. Ia bahkan tidak mencoba menyentuh keyboard.Pikirannya berada di tempat lain. Tepatnya, pada sosok yang kini terlelap di kamar tamu.Lyra.Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa berat. Bayangan wajah lelah gadis itu menempel jelas dalam ingatannya—alis tipis yang berkerut karena terlalu lama menatap layar, jemari yang memerah lantaran tak henti mengetik, napas berat yang akhirnya menyerah dalam tidur.
Pintu apartemen terbuka dengan suara klik halus, disusul aroma khas ruangan yang dingin dan rapi. Lampu-lampu otomatis menyala, memantulkan cahaya lembut di lantai marmer putih yang mengilap.Lyra melangkah masuk lebih dulu, masih mengenakan jas hitam Bintang yang kebesaran di tubuhnya. Hela napasnya menggantung, tak berani menoleh. Ia bisa mendengar langkah Bintang di belakangnya—tenang, teratur, tapi menimbulkan tekanan tak kasatmata yang membuat punggungnya kaku.Suara pintu ditutup pelan, lalu hening kembali berkuasa. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak lambat, seakan mengejek betapa panjangnya setiap momen.Lyra menaruh laptop tuanya di meja tamu dengan hati-hati, seolah satu gerakan salah bisa memicu percikan ledakan. Jemarinya gemetar, tapi ia berusaha menutupi dengan mengusap-usap lengan jas yang masih membungkusnya. Hangat kain itu seakan masih menempel di kulit, tapi pikirannya justru semakin berisik.Tanpa sepatah kata, Bintang berjalan melewati Lyra. Suara lan
Pintu mobil tertutup rapat, menelan Lyra ke dalam ruang sempit beraroma kulit mahal dan parfum maskulin yang begitu asing tapi kini mulai menempel di inderanya. Suara jalanan di luar teredam, hanya tersisa dengung mesin yang stabil dan denyut jantungnya sendiri yang tak karuan.Bintang duduk di kursi pengemudi, diam. Tangannya mantap di setir, sorot matanya lurus menatap jalan. Mobil melaju stabil, setiap gerakan setirnya presisi, seakan ia mengendalikan bukan hanya arah mobil, tapi juga arah napas Lyra.Lyra menggenggam laptopnya erat di pangkuan, seolah benda tua itu satu-satunya pelindungnya dari badai yang siap meledak.Akhirnya, Bintang membuka suara. “Kau tahu berapa banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada seorang perempuan sendirian di jalan jam segini?”Nada suaranya tenang, tapi terlalu dingin, terlalu tajam.Lyra menelan ludah. “Aku… aku nggak punya pilihan lain. Kalau tugasnya nggak selesai, aku bisa kehilangan beasiswa. Itu berarti aku kehilangan segalanya.”Bintan