“Aku nggak pernah mengenalnya. Tapi tiba-tiba aku jadi istrinya.” Lyra Auristella, mahasiswi tingkat dua berusia 21 tahun, terbangun di apartemen mewah—dengan cincin berkilau di jari manis, sementara buku nikah resmi tergeletak di sampingnya Di hadapannya berdiri seorang pria, terlalu dewasa, terlalu berkuasa, dan terlalu asing baginya. Bintang Skylar, CEO muda dingin dengan jaringan bisnis internasional dan uang tanpa batas, hanya mengucapkan satu kalimat datar, “Aku tidak butuh cintamu, Lyra. Aku hanya butuh kau di sisiku.” __________________________________________________________________She falls first... but he falls harder!
View MoreLyra Auristella membuka mata dengan kepala berat dan tubuh lemas. Kelopak matanya seperti direkatkan lem, dan butuh tenaga ekstra hanya untuk menyingkap dunia di sekitarnya. Pandangannya berputar, kabur, sebelum akhirnya fokus pada ruangan asing yang sama sekali tidak dikenalnya.
Langit-langit tinggi berornamen klasik. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan. Tirai tebal warna marun menutup rapat jendela, menahan sinar matahari pagi. Seprei ranjang yang ia tempati begitu halus, wangi lavender samar bercampur dengan aroma kayu manis—terlalu mewah, terlalu asing, terlalu jauh dari kos kecilnya yang sempit. Dengan refleks, Lyra bangkit setengah duduk. Pandangannya jatuh pada meja samping ranjang: sebuah buku nikah bersampul hijau tua. Namanya tercetak jelas di situ, berdampingan dengan nama seorang pria yang sama sekali tidak ia kenal. Jari-jarinya bergetar ketika menyentuh permukaan buku itu. Dan yang membuatnya makin panik: di jari manisnya melingkar cincin sederhana, berkilau dingin di bawah cahaya lampu. Deg. Jantung Lyra berdetak kencang, kepalanya seakan ingin pecah. Otaknya mencari alasan logis. Buku itu mungkin palsu. Cincin ini mungkin hanya mainan. Semua ini mungkin sekadar mimpi buruk setelah ia mabuk semalam. Namun, kertas itu terlalu nyata. Cap resmi itu terlalu sah. Dan cincin di jarinya terlalu berat untuk sekadar mimpi. “Tidak… ini tidak mungkin…” bisiknya, hampir tanpa suara. Suara langkah tenang terdengar dari arah pintu. Lyra sontak mendongak. Seorang pria dewasa muncul di ambang pintu, mengenakan setelan hitam rapi. Tubuhnya tegap, sorot matanya tajam bagaikan bilah pedang. Wajahnya terlalu sempurna untuk sekadar manusia biasa, terlalu tenang untuk situasi yang seabsurd ini. Bibir Lyra bergetar. “Siapa… kamu?” Pria itu berjalan mendekat, langkahnya mantap dan terkendali, seolah ruangan ini adalah kerajaannya. Ia berhenti tepat di hadapan Lyra, menundukkan kepala sedikit, dan berkata dengan suara dalam yang nyaris tanpa emosi: “Aku tidak butuh persetujuanmu, Lyra. Aku hanya butuh keberadaanmu.” Malam sebelumnya… “Lyra, dengar baik-baik!” suara Tante Rarasati menggema di ruang tamu megah rumahnya. “Lelaki itu punya tanah, properti, bisnis batu bara! Kamu tinggal bilang iya, dan hidupmu terjamin. Kamu pikir kamu bisa dapat lebih baik dari itu?” Lyra berdiri kaku, masih mengenakan seragam kuliah yang kusut. Ransel berat menggantung di punggung. Tubuhnya lelah, kepalanya pusing, hatinya remuk. Ia hanya ingin masuk kamar kos, tidur, dan melupakan dunia. Namun tantenya tak pernah memberi kesempatan. “Tante…” suaranya lirih, bergetar. “Dia seumuran tante sendiri dan sudah punya dua istri.” “Dan apa salahnya?!” potong sang tante dengan nada tajam. “Dia mau sama kamu, Lyra. Gadis yatim piatu yang nggak punya apa-apa. Kamu harusnya bersyukur, bukan membantah!” Kalimat itu menusuk lebih tajam daripada pisau. Lyra menggigit bibirnya, menahan gemetar. Ia bukan tidak tahu diri—ia justru mati-matian berjuang. Sejak masuk universitas ternama, ia bertahan dengan beasiswa penuh di jurusan Teknik Informatika. Beasiswa itu syarat hidupnya; tanpa itu, ia tidak akan pernah bisa kuliah. Di sela-sela kelas, ia bekerja paruh waktu di kafe untuk sekadar membayar kos kecilnya. Tapi bagi tantenya, semua itu tak ada artinya. Lyra tetap dianggap beban. ~~~ Malam itu, Lyra duduk di kamar kos sempitnya—tempat yang ia sebut satu-satunya ruang bernapas. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel lama. Air mata menggenang tapi tak jatuh. Kalau aku tetap di sini, aku akan gila. Dengan dorongan terakhir, ia mengetik pesan. “Ray, temenin aku ke klub malam ini. Aku nggak pengen mabuk. Aku cuma butuh hiburan.” Balasan datang cepat. “Oke. Gue jemput.” ~~~~ Lampu neon berkelip liar saat Lyra melangkah masuk ke klub bersama Ray. Musik EDM menghentak keras, membuat lantai bergetar. Udara penuh dengan bau alkohol, parfum mahal, dan asap rokok. Lyra tampak kontras. Hoodie abu-abu kebesaran, jeans lusuh, sneakers putih yang sudah usang. Wajahnya polos tanpa riasan. Di tengah keramaian glamor itu, penampilannya justru mencolok—bukan karena kemewahan, tapi karena kesederhanaan. Ray menyodorkan segelas minuman bersoda bercampur alkohol ringan. “Kalau lo mabuk, gue yang gotong. Gue sih ngga nolak.” Lyra tertawa kecil, meneguk. Rasa getir menyebar di lidahnya. “Tenang aja. Aku cuma pengen lupa sebentar, Ray. Lupa kalau hidup aku udah kayak barang dagangan.” Ray menatapnya lama, lalu menghela napas. “Lo bisa kabur kapan aja, Ly. Lo cuma terlalu takut.” Lyra tak menjawab. Kata-kata itu terlalu benar untuk ia bantah. Di lantai atas, dari balik kaca balkon VIP, seorang pria berdiri dalam diam. Setelan gelap membalut tubuh tegapnya. Di dada jasnya tersemat pin perak berbentuk phoenix bermahkota—simbol eksklusif yang hanya dimiliki lingkaran bisnis elit. Mata emerald-nya menatap lurus ke arah Lyra di kerumunan. Sorotnya tenang, dingin, penuh perhitungan. Tanpa menoleh, ia berkata pada pengawal di belakangnya. Suaranya rendah, datar, namun tegas. “Aku menginginkan gadis itu. Pastikan tidak ada yang mendekat.” Kembali ke sekarang… Lyra menggenggam buku nikah itu erat, jari-jarinya gemetar. Potongan-potongan ingatan semalam berkelebat tak teratur. Suara musik, gelas kedua, rasa pusing yang tiba-tiba, langkah Ray yang menjauh… lalu semuanya gelap. Dan kini, ia terbangun di ruangan asing, cincin melingkar di jari, buku nikah sah di sampingnya. Matanya kembali menatap pria di hadapannya. Napasnya tercekat. Ia ingin berteriak bahwa semua ini salah. Ia ingin menolak kenyataan yang dipaksakan kepadanya. Tapi tatapan pria itu menusuk terlalu dalam, seolah berkata: semua ini sudah diatur. Kamu tak punya pilihan. Lyra menelan ludah, suaranya pecah. “Apa yang kamu lakukan padaku…?” Pria itu hanya tersenyum tipis. Senyum yang lebih menyeramkan daripada ancaman. “Selamat datang di pernikahanmu, Lyra.”Lampu meja menyala temaram, cahayanya jatuh hanya pada tumpukan dokumen yang tertata di atas meja kayu hitam. Bayangan samar tercetak di dinding, bergerak pelan mengikuti nyala bohlam yang bergetar halus. Di tengah keheningan itu, detik jam dinding terdengar nyaring, seolah setiap putarannya menegaskan betapa malam ini berjalan lambat.Bintang duduk bersandar di kursinya, punggung tegak namun kepalanya tertunduk, tatapannya kosong pada layar komputer yang tak beranjak dari halaman awal. Pekerjaan yang biasanya menuntut presisi dan ketelitian kini hanya tampak seperti gangguan. Ia bahkan tidak mencoba menyentuh keyboard.Pikirannya berada di tempat lain. Tepatnya, pada sosok yang kini terlelap di kamar tamu.Lyra.Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa berat. Bayangan wajah lelah gadis itu menempel jelas dalam ingatannya—alis tipis yang berkerut karena terlalu lama menatap layar, jemari yang memerah lantaran tak henti mengetik, napas berat yang akhirnya menyerah dalam tidur.
Pintu apartemen terbuka dengan suara klik halus, disusul aroma khas ruangan yang dingin dan rapi. Lampu-lampu otomatis menyala, memantulkan cahaya lembut di lantai marmer putih yang mengilap.Lyra melangkah masuk lebih dulu, masih mengenakan jas hitam Bintang yang kebesaran di tubuhnya. Hela napasnya menggantung, tak berani menoleh. Ia bisa mendengar langkah Bintang di belakangnya—tenang, teratur, tapi menimbulkan tekanan tak kasatmata yang membuat punggungnya kaku.Suara pintu ditutup pelan, lalu hening kembali berkuasa. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak lambat, seakan mengejek betapa panjangnya setiap momen.Lyra menaruh laptop tuanya di meja tamu dengan hati-hati, seolah satu gerakan salah bisa memicu percikan ledakan. Jemarinya gemetar, tapi ia berusaha menutupi dengan mengusap-usap lengan jas yang masih membungkusnya. Hangat kain itu seakan masih menempel di kulit, tapi pikirannya justru semakin berisik.Tanpa sepatah kata, Bintang berjalan melewati Lyra. Suara lan
Pintu mobil tertutup rapat, menelan Lyra ke dalam ruang sempit beraroma kulit mahal dan parfum maskulin yang begitu asing tapi kini mulai menempel di inderanya. Suara jalanan di luar teredam, hanya tersisa dengung mesin yang stabil dan denyut jantungnya sendiri yang tak karuan.Bintang duduk di kursi pengemudi, diam. Tangannya mantap di setir, sorot matanya lurus menatap jalan. Mobil melaju stabil, setiap gerakan setirnya presisi, seakan ia mengendalikan bukan hanya arah mobil, tapi juga arah napas Lyra.Lyra menggenggam laptopnya erat di pangkuan, seolah benda tua itu satu-satunya pelindungnya dari badai yang siap meledak.Akhirnya, Bintang membuka suara. “Kau tahu berapa banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada seorang perempuan sendirian di jalan jam segini?”Nada suaranya tenang, tapi terlalu dingin, terlalu tajam.Lyra menelan ludah. “Aku… aku nggak punya pilihan lain. Kalau tugasnya nggak selesai, aku bisa kehilangan beasiswa. Itu berarti aku kehilangan segalanya.”Bintan
Udara malam Jakarta menusuk kulit saat Lyra keluar dari taksi online di sebuah ruko sempit. Lampu neon bertuliskan “Servis Laptop & Komputer – Buka 24 Jam” berkelip-kelip, setengah mati. Jalanan lengang, hanya ada beberapa warung kopi kecil yang masih buka, dengan deretan motor parkir seadanya. Lyra menggenggam erat tas berisi laptopnya. Napasnya masih berat karena terburu-buru. Ia melirik papan jam digital di apotek seberang: 23:42. Masih ada waktu, semoga. Ia melangkah masuk. Bau solder dan debu elektronik langsung menyambut. Di balik meja kayu yang penuh obeng dan kabel, seorang pria paruh baya berkacamata menoleh. Rambutnya berantakan, kausnya lusuh bertuliskan “Teknisi Sejati”. “Servis, Mbak?” tanyanya datar, tapi matanya langsung tertuju pada tas Lyra. Lyra buru-buru mengeluarkan laptop tuanya, meletakkannya di atas meja. “Pak, tolong… laptop saya tiba-tiba mati. Nggak nyala sama sekali. Padahal tadi masih saya pakai.” Suaranya tergesa, nyaris panik. Teknisi itu mengangguk
Suasana di apartemen itu masih terasa asing bagi Lyra, seakan setiap sudutnya menegaskan bahwa ia tidak benar-benar pantas berada di sini. Dinding putih yang bersih sempurna, lantai marmer berkilau, perabotan mahal yang bahkan takut ia sentuh—semua seperti museum, bukan tempat tinggal.Sudah tiga hari sejak ia tinggal di apartemen Bintang Skylar. Tiga hari yang terasa lebih panjang daripada satu semester kuliah.Pagi itu, Lyra bangun lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena resah, mungkin karena rasa tidak nyaman yang masih menggantung. Ia terbiasa di rumah kontrakan kecil bersama tantenya, di mana suara ayam tetangga atau motor lewat menjadi alarm alami. Di sini, semuanya terlalu senyap. Terlalu steril.Dengan hati-hati, ia melangkah ke dapur. Niatnya sederhana: membuat sarapan sendiri. Tapi begitu membuka kulkas, matanya membelalak. Rak-rak penuh dengan bahan makanan impor, keju asing dengan nama yang tak bisa ia baca, daging berlabel premium, dan aneka minuman dalam botol kaca. Ti
Suara mesin espresso mendesis di kafe kecil depan kampus. Lyra berdiri di dekat etalase kaca, menunggu minumannya selesai. Hoodie abu-abu yang sama ia kenakan, rambut hitamnya diikat seadanya. Dari luar, ia tampak seperti Lyra yang dulu—mahasiswi tingkat dua jurusan Teknik Informatika, hidup sederhana dengan beasiswa penuh. Namun di balik itu semua, ada sesuatu yang sudah bergeser.Cincin di jarinya berkilau samar ketika cahaya matahari menembus kaca. Refleks, Lyra menyelipkan tangannya ke saku hoodie.Kalau ada yang lihat… aku harus jawab apa?“Lyra!”Suara familiar membuatnya menoleh. Ray berlari kecil dari arah gerbang, kemeja kotak-kotaknya kusut, tas selempang penuh coretan spidol bergoyang di bahu. Wajahnya campuran lega dan kesal.“Lo kemana aja kemarin? Seharian ngilang, nggak masuk kuliah, nggak ada kabar. Gue nyaris lapor polisi, Ly!”Lyra tercekat. Kata-kata yang ingin ia ucapkan tertahan di tenggorokan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dirinya belum menger
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments