Share

9. Jerat tak kasat mata

Author: nana
last update Last Updated: 2025-09-20 10:24:58

Cahaya matahari pagi menyelinap masuk dari celah gorden, membelai wajah Lyra dengan hangat. Ia menggeliat pelan, sebelum matanya terbuka dan menatap langit-langit asing di atas kepalanya. Butuh beberapa detik bagi otaknya untuk menyadari sesuatu—ia tidak sedang duduk di kursi belajar, melainkan berbaring di atas kasur empuk dengan selimut tersampir rapi menutup tubuhnya.

Jantungnya berdetak kencang.

“Aku… kan semalam masih di meja?” pikir Lyra, buru-buru bangkit sambil memandang sekeliling kamar. Ingatan terakhirnya adalah ia menunduk di depan laptop, jari-jarinya masih sibuk mengetik, sampai kelelahan menyeretnya ke dunia mimpi.

Ia menepuk pipinya pelan, memastikan ini bukan mimpi lain. Tapi semakin jelas baginya—seseorang pasti telah memindahkannya ke kasur. Dan di apartemen ini, hanya ada satu orang selain dirinya.

Bintang.

Pikiran itu saja sudah cukup membuat pipinya terasa panas.

Namun belum selesai rasa gugupnya, ingatan lain menghantam kepalanya. Tugas! Ia melompat turun dari kasur, berlari kecil menuju meja. Laptop masih tergeletak di sana, terbuka seperti yang ia tinggalkan semalam. Dengan jantung berdebar ia menyalakan layar.

Matanya melebar.

Sebagian besar tugasnya sudah selesai. Barisan kode yang semalam membuatnya hampir menangis kini terisi rapi, tinggal beberapa program kecil yang perlu ditambahkan. Lyra terdiam, mulutnya sedikit terbuka tanpa sadar.

“Ini… bukan aku yang ngerjain.” Suaranya tercekat, hampir tidak terdengar.

Ia mencoba memutar otak. Tidak ada orang lain di apartemen ini selain dirinya dan Bintang. Pembantu memang datang, tapi hanya sampai sore, dan jelas bukan mereka yang menyentuh laptopnya di tengah malam.

Lyra menggigit bibir bawahnya.

“Jadi… Bintang?”

Ia masih sulit membayangkan pria itu—dengan aura dingin dan dominasi yang selalu menekan—duduk berjam-jam di depan laptopnya hanya untuk menyelesaikan sebagian tugas kuliahnya. Tapi bukti ada di depan mata.

Pikiran itu membuat dadanya bergejolak aneh. Ada rasa hangat, tapi juga ketidaknyamanan, seperti sesuatu yang tidak bisa ia definisikan.

Lyra menutup layar laptop pelan, lalu menunduk dalam-dalam.

“Apa sebenarnya yang kau mau dariku, Bintang…?” bisiknya lirih.

Setelah beberapa menit termenung, Lyra akhirnya menarik napas panjang. Ia duduk kembali di kursi, menyalakan layar laptop, dan mulai menyentuh tuts keyboard. Sisa program yang belum selesai segera ia kerjakan—tak banyak memang, hanya beberapa baris kode yang butuh penyempurnaan.

Jemarinya bergerak cepat kali ini. Mungkin karena sebagian besar sudah beres, atau mungkin karena ada rasa terdesak. Entah oleh waktu, atau oleh kenyataan bahwa ada seseorang yang diam-diam turun tangan untuknya.

“Sudah…” Lyra berbisik lega ketika akhirnya tugas itu rampung. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, lalu menutup laptop dengan hati-hati.

Namun begitu pandangannya terarah pada jam di dinding, ia tersentak kecil.

“Ya Tuhan, aku harus siap-siap!”

Tanpa banyak berpikir, Lyra beranjak, merapikan meja seadanya, lalu bergegas menuju kamar mandi. Tubuhnya masih terasa berat karena kurang tidur, tapi pikirannya sudah dipenuhi daftar kegiatan hari ini—kuliah, laporan, mungkin juga… bertemu Bintang lagi di meja makan.

Suara air mengalir, menenggelamkan sisa-sisa kegelisahan dari semalam. Tapi meski air membasuh wajahnya, bayangan tentang siapa yang mengerjakan sebagian besar tugasnya tetap tak bisa ia usir dari kepalanya.

Lyra keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah setengah kering. Ia buru-buru mengenakan pakaian sederhana: kemeja putih longgar dan celana jeans biru muda. Waktu di jam dinding membuatnya panik—jika ia tidak segera berangkat, ia bisa terlambat masuk kelas.

Ia meraih tas dan laptop, lalu berlari kecil ke arah pintu apartemen.

Namun tepat ketika pintu terbuka, tubuhnya nyaris bertabrakan dengan seseorang.

Bintang.

Pria itu berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang tergulung rapi. Di tangannya ada sebuah kotak bekal makan siang berwarna hitam elegan.

Lyra terhenti mendadak, nyaris kehilangan keseimbangan. Untungnya Bintang sedikit bergeser, menahan pintu dengan bahunya.

“Mau ke kampus?” suaranya dalam, tenang, namun ada nada mengintai yang membuat Lyra menunduk seketika.

“I-iya…” jawabnya terbata.

Mata Lyra sempat melirik kotak bekal di tangan Bintang. Ada sesuatu yang membuat dadanya berdebar aneh—bukan hanya karena isinya, melainkan karena ia sadar, pria itu benar-benar sudah siap dengan rutinitas lain… sementara ia masih merasa seperti tamu yang salah tempat.

Bintang menatapnya sesaat lebih lama dari yang Lyra sangka, lalu mengangkat sedikit kotak bekal itu. “Jangan lupa sarapan. Aku tidak suka kalau kau pingsan di kelas hanya karena lupa makan.”

Lyra tercekat, tak tahu harus menjawab apa. Bibirnya hanya membuka sedikit, namun kata-kata tak kunjung keluar.

Ia buru-buru menunduk, lalu berlari melewatinya sambil menggumam pelan, “Terima kasih…”

Bintang menoleh sekilas ke arah punggung Lyra yang semakin jauh, senyum samar nyaris tak terlihat muncul di bibirnya. Ia tidak memanggil, tidak menahan. Hanya menatap, dengan perasaan yang bahkan ia sendiri sulit namai.

Lyra berjalan cepat menuju halte, berusaha menetralkan debaran di dadanya. Namun, semakin ia mencoba mengalihkan pikiran, semakin jelas bayangan Bintang berdiri di depan pintu apartemen dengan kotak bekalnya tadi muncul di benaknya.

Kenapa aku jadi kepikiran hal sepele begitu? batinnya, sedikit kesal pada dirinya sendiri.

Bus datang, dan Lyra segera naik. Ia duduk di kursi dekat jendela, membuka laptop untuk memastikan kembali pekerjaannya.

~~~~

Sesampainya di kampus, Lyra berusaha menata diri. Ia melangkah menuju kelas dengan wajah sedikit pucat karena kurang tidur, tapi matanya tetap menyimpan cahaya semangat. Teman-temannya sempat menyapanya, tapi ia hanya membalas seadanya.

Ketika dosen meminta mahasiswa mengumpulkan tugas di depan kelas, Lyra maju dengan tangan agak gemetar. Saat flashdisk kecilnya diletakkan di meja dosen, ia menunduk lebih lama dari biasanya.

Ada rasa syukur yang menyesakkan dada. Jika bukan karena Bintang, mungkin ia takkan berdiri di sini dengan tugas yang hampir rampung.

Namun, bersama rasa syukur itu, hadir juga sebuah ketakutan samar. Bukan takut pada sosok Bintang semata, melainkan pada hutang budi yang semakin menumpuk di antara mereka. Hutang yang bukan sekadar materi, melainkan sesuatu yang lebih dalam—tak kasatmata, tapi menjerat perlahan.

Bintang adalah suaminya. Pernikahan itu mendadak, tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dan kini, setiap bantuan kecil maupun besar darinya terasa seperti lapisan tali yang melilit, membuat Lyra tak lagi bisa benar-benar bebas bernapas.

Di balik rasa terharunya, Lyra justru bertanya pada dirinya sendiri "Apakah aku sanggup menanggung semua ini? Atau justru aku akan semakin tenggelam dalam bayangannya?."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   11. Kartu hitam

    Di tengah riuh rendah suara dosen yang menjelaskan materi, Lyra duduk diam menatap buku catatan. Pena di tangannya bergerak pelan, tapi pikirannya melayang jauh. Pandangannya sesekali jatuh ke jari manisnya. Cincin itu berkilat samar di bawah cahaya lampu kelas, seakan sengaja mengingatkan siapa dirinya sekarang.Hatinya berdesir gelisah. Ia merasa cincin itu seperti tanda yang bisa dilihat semua orang, sesuatu yang mengekangnya setiap kali ia menyadari tatapan teman-temannya.Tiba-tiba, sebuah ide muncul.Kalau cincin ini jadi kalung…Ia membayangkan menggantungkannya di rantai tipis, tersembunyi di balik kerah bajunya. Masih ada di dekatnya, tapi tidak terus-menerus mengikat pandangan orang lain. Dengan begitu, ia bisa bernapas sedikit lebih lega.Namun seiring dengan munculnya rencana itu, rasa ragu langsung menyeruak. Membeli rantai kalung bukan perkara sulit—ia hanya perlu mampir ke toko perhiasan sepulang kuliah. Tapi pertanyaan yang lebih besar menghantam pikirannya.Haruskah a

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   10. Bekal pagi

    Di sisi lain, Bintang melangkah pelan menuju mobilnya yang terparkir rapi di basement apartemen. Tangannya membawa sebuah kotak bekal lain—identik dengan yang tadi ia berikan pada Lyra. Bedanya, kotak ini memang ia siapkan untuk dirinya sendiri.Pagi buta tadi, setelah menyelesaikan sebagian tugas Lyra, ia nyaris tidak memejamkan mata. Hanya satu jam ia beristirahat sebelum kembali bangun untuk menyiapkan sarapan praktis sekaligus bekal. Dua porsi yang sama persis—agar Lyra tidak merasa sendirian, agar ia tahu kalau apa yang dimakannya juga disantap Bintang.Bekal itu ia susun rapi: nasi hangat, lauk sederhana, dan sayuran yang dimasak ringan. Tidak mewah, tapi dibuat dengan perhatian penuh yang jarang sekali ia tunjukkan pada siapa pun.Ia teringat kembali bagaimana ia menunggu di ruang tamu, sengaja tidak berangkat terlalu pagi. Hanya untuk memastikan Lyra keluar dari kamarnya dan menerima bekal yang ia buat. Ada semacam rasa lega aneh saat kotak itu berpindah ke tangan gadis itu, m

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   9. Jerat tak kasat mata

    Cahaya matahari pagi menyelinap masuk dari celah gorden, membelai wajah Lyra dengan hangat. Ia menggeliat pelan, sebelum matanya terbuka dan menatap langit-langit asing di atas kepalanya. Butuh beberapa detik bagi otaknya untuk menyadari sesuatu—ia tidak sedang duduk di kursi belajar, melainkan berbaring di atas kasur empuk dengan selimut tersampir rapi menutup tubuhnya.Jantungnya berdetak kencang.“Aku… kan semalam masih di meja?” pikir Lyra, buru-buru bangkit sambil memandang sekeliling kamar. Ingatan terakhirnya adalah ia menunduk di depan laptop, jari-jarinya masih sibuk mengetik, sampai kelelahan menyeretnya ke dunia mimpi.Ia menepuk pipinya pelan, memastikan ini bukan mimpi lain. Tapi semakin jelas baginya—seseorang pasti telah memindahkannya ke kasur. Dan di apartemen ini, hanya ada satu orang selain dirinya.Bintang.Pikiran itu saja sudah cukup membuat pipinya terasa panas.Namun belum selesai rasa gugupnya, ingatan lain menghantam kepalanya. Tugas! Ia melompat turun dari k

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   8. Jejak malam itu

    Lampu meja menyala temaram, cahayanya jatuh hanya pada tumpukan dokumen yang tertata di atas meja kayu hitam. Bayangan samar tercetak di dinding, bergerak pelan mengikuti nyala bohlam yang bergetar halus. Di tengah keheningan itu, detik jam dinding terdengar nyaring, seolah setiap putarannya menegaskan betapa malam ini berjalan lambat.Bintang duduk bersandar di kursinya, punggung tegak namun kepalanya tertunduk, tatapannya kosong pada layar komputer yang tak beranjak dari halaman awal. Pekerjaan yang biasanya menuntut presisi dan ketelitian kini hanya tampak seperti gangguan. Ia bahkan tidak mencoba menyentuh keyboard.Pikirannya berada di tempat lain. Tepatnya, pada sosok yang kini terlelap di kamar tamu.Lyra.Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa berat. Bayangan wajah lelah gadis itu menempel jelas dalam ingatannya—alis tipis yang berkerut karena terlalu lama menatap layar, jemari yang memerah lantaran tak henti mengetik, napas berat yang akhirnya menyerah dalam tidur.

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   7. Sunyi di antara dinding

    Pintu apartemen terbuka dengan suara klik halus, disusul aroma khas ruangan yang dingin dan rapi. Lampu-lampu otomatis menyala, memantulkan cahaya lembut di lantai marmer putih yang mengilap.Lyra melangkah masuk lebih dulu, masih mengenakan jas hitam Bintang yang kebesaran di tubuhnya. Hela napasnya menggantung, tak berani menoleh. Ia bisa mendengar langkah Bintang di belakangnya—tenang, teratur, tapi menimbulkan tekanan tak kasatmata yang membuat punggungnya kaku.Suara pintu ditutup pelan, lalu hening kembali berkuasa. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak lambat, seakan mengejek betapa panjangnya setiap momen.Lyra menaruh laptop tuanya di meja tamu dengan hati-hati, seolah satu gerakan salah bisa memicu percikan ledakan. Jemarinya gemetar, tapi ia berusaha menutupi dengan mengusap-usap lengan jas yang masih membungkusnya. Hangat kain itu seakan masih menempel di kulit, tapi pikirannya justru semakin berisik.Tanpa sepatah kata, Bintang berjalan melewati Lyra. Suara lan

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   6. Hangat yang Membelenggu

    Pintu mobil tertutup rapat, menelan Lyra ke dalam ruang sempit beraroma kulit mahal dan parfum maskulin yang begitu asing tapi kini mulai menempel di inderanya. Suara jalanan di luar teredam, hanya tersisa dengung mesin yang stabil dan denyut jantungnya sendiri yang tak karuan.Bintang duduk di kursi pengemudi, diam. Tangannya mantap di setir, sorot matanya lurus menatap jalan. Mobil melaju stabil, setiap gerakan setirnya presisi, seakan ia mengendalikan bukan hanya arah mobil, tapi juga arah napas Lyra.Lyra menggenggam laptopnya erat di pangkuan, seolah benda tua itu satu-satunya pelindungnya dari badai yang siap meledak.Akhirnya, Bintang membuka suara. “Kau tahu berapa banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada seorang perempuan sendirian di jalan jam segini?”Nada suaranya tenang, tapi terlalu dingin, terlalu tajam.Lyra menelan ludah. “Aku… aku nggak punya pilihan lain. Kalau tugasnya nggak selesai, aku bisa kehilangan beasiswa. Itu berarti aku kehilangan segalanya.”Bintan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status