Share

13. Hidangan pertama

Penulis: nana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-21 09:06:22

Malam itu apartemen terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu dapur menyala terang, aroma bawang putih yang ditumis di atas wajan menyebar ke seluruh ruangan. Lyra berdiri di depan kompor, rambutnya ia ikat seadanya agar tidak jatuh ke wajah. Kemeja santai yang ia kenakan sudah sedikit terkena cipratan minyak, tapi ia tidak peduli.

Di meja dapur, sayuran segar yang tadi ia beli sudah rapi tertata—ada bayam, wortel, dan sedikit brokoli yang siap dimasukkan ke dalam sup. Sementara itu, potongan ayam direbus dengan kaldu yang ia tambahkan jahe agar lebih harum.

“Semoga… dia suka,” bisiknya pelan sambil mengaduk sup yang mendidih pelan.

Setiap gerakan Lyra penuh kehati-hatian. Ia berulang kali mencicipi kuah, menambahkan garam sedikit demi sedikit. Di sisi lain, wajan kedua menggoreng tempe dan tahu yang ia balur dengan tepung tipis. Sederhana, tapi itulah makanan yang ia kenal sejak kecil—makanan rumah, makanan keluarga.

Sesekali Lyra melirik ke arah pintu apartemen, jantungnya berdebar lebih cepat setiap kali ia membayangkan Bintang akan masuk dan melihat dirinya di dapur. Namun meski ada rasa takut, ada juga semangat kecil yang tak pernah ia rasakan sebelumnya: semangat ingin memberi, bukan hanya menerima.

Meja makan perlahan ia rapikan. Taplak putih yang biasanya hanya dibiarkan kosong, kini ia tata dengan piring, mangkuk, dan sendok yang mengkilap.

~~~~

Lyra sibuk di dapur, matanya serius menatap sup ayam yang mulai mengeluarkan aroma gurih. Ia meraih sendok, mencicipi kuah, lalu menambahkan sedikit garam. Wajahnya mengernyit sebentar, lalu mengangguk kecil, puas dengan rasanya.

Di tangannya, wajan lain berisi tempe goreng baru saja ia angkat. Bunyi kriuknya masih terdengar jelas ketika Lyra menaruhnya di atas piring. Gerakannya luwes, namun tetap canggung—seperti seseorang yang berusaha keras memberi yang terbaik, meski penuh keterbatasan.

Ia terlalu tenggelam dalam aktivitasnya hingga tidak menyadari pintu apartemen sudah terbuka sejak beberapa menit lalu.

Bintang berdiri di ambang pintu, bahunya masih kaku dengan jas kerja yang belum ia lepaskan. Pandangannya langsung tertuju pada sosok gadis itu di dapur. Lyra. Dengan rambut yang diikat seadanya, wajahnya sedikit memerah karena panas kompor, bibirnya menggumam pelan sambil fokus pada masakannya.

Bintang terdiam lama, tidak segera mengumumkan kehadirannya. Matanya dalam, menelusuri setiap detail: caranya mengaduk kuah, menepuk-nepuk panci agar tidak tumpah, bahkan cara Lyra meniup tangannya ketika terkena cipratan minyak.

Ada sesuatu yang menghantam dadanya. Rasa asing yang sulit ia kenali—hangat, tenang, sekaligus menusuk.

Sosok gadis itu, yang awalnya hadir dalam hidupnya dengan cara begitu mendadak, kini seperti memenuhi ruangan dengan cahaya yang berbeda.

Bintang menyandarkan tubuhnya sebentar ke dinding, membiarkan dirinya larut dalam pemandangan sederhana itu.

Untuk sesaat, ia melupakan dunia luar. Melupakan dinginnya kantor, wajah kaku yang selalu ia pakai di hadapan orang lain, dan luka masa lalu yang terus ia simpan rapat.

Yang tersisa hanyalah Lyra… dan suara riuh kecil dari dapur, yang entah bagaimana, terasa lebih menenangkan dari musik manapun.

“Lagi apa?”

Suara berat itu tiba-tiba terdengar di belakang Lyra.

Lyra terlonjak, hampir saja sendok kayu di tangannya terjatuh ke dalam panci. Ia menoleh cepat, wajahnya memerah karena kaget sekaligus malu. “A-astaga! Kamu sejak kapan ada di situ?”

Bintang berjalan pelan ke arahnya, menaruh jas kerjanya di sandaran kursi ruang makan tanpa mengalihkan pandangannya. “Sejak cukup lama untuk melihatmu hampir membakar dapur.”

Lyra cemberut, matanya melebar. “Aku tidak membakar apa-apa! Ini semua baik-baik saja kok.” Ia buru-buru menutup panci, seolah ingin menyembunyikan hasil masakannya.

Tapi Bintang sudah terlalu dekat. Ia mencondongkan tubuh, mengintip isi panci dengan wajah datar namun ada kilatan yang berbeda di matanya. “Sup ayam?”

“Mm… iya,” jawab Lyra lirih, menunduk, seakan takut dinilai. “Aku… aku cuma ingin mencoba masak untukmu. Jadi aku tadi belanja sedikit setelah kuliah.”

Keheningan sejenak. Hanya suara mendidih pelan dari panci yang terdengar.

Lalu, tanpa peringatan, sudut bibir Bintang sedikit terangkat. Hampir tak terlihat, tapi cukup untuk membuat Lyra tertegun.

“Kalau begitu,” ujarnya tenang, “aku tunggu hasilnya.”

Jantung Lyra berdetak lebih cepat, tangannya refleks kembali mengaduk kuah, berusaha menutupi rasa gugupnya. “Baik… tapi jangan kaget kalau rasanya tidak seenak yang biasanya.”

Bintang hanya duduk di kursi meja makan, kedua lengannya disilangkan, matanya tak lepas dari Lyra. “Aku tidak butuh sempurna. Aku hanya ingin tahu rasanya… ketika kamu yang membuatnya.”

Lyra tersentak, pipinya makin merah, tak tahu harus menjawab apa.

Setelah beberapa menit mengamati Lyra yang masih sibuk di dapur, Bintang akhirnya berdiri dari kursinya. Ia mengambil jas kerjanya kembali, lalu melirik sekilas ke arah istrinya.

“Aku ke kamar dulu. Bersihkan diri sebentar,” ucapnya singkat, suaranya tetap datar tapi ada sesuatu yang halus di balik nada itu.

Lyra mengangguk cepat tanpa menoleh, berusaha tetap fokus pada panci supnya. “I-ya, silakan… aku sebentar lagi selesai kok.”

Bintang melangkah menuju kamarnya, langkah-langkahnya tenang tapi mantap. Begitu pintu tertutup, suasana apartemen kembali dipenuhi aroma masakan yang menggoda.

Sementara itu, Lyra menarik napas panjang. Pipinya masih terasa panas karena tatapan Bintang barusan. Ia menggigit bibir, mencoba menepis rasa gugupnya. Kenapa aku jadi segugup ini hanya karena dia menatapku?

Tangannya kembali sibuk dengan sayur tumis di wajan, seolah memasak adalah cara paling aman untuk mengalihkan pikirannya dari senyum tipis yang sempat muncul di wajah dingin suaminya.

~~~

Pintu kamar utama terbuka perlahan. Bintang keluar dengan kemeja santai berwarna gelap, rambutnya yang tadi rapi kini sedikit berantakan karena baru saja mandi. Aroma sabun maskulin samar terbawa ketika ia berjalan menuju ruang makan.

Langkahnya terhenti sejenak. Di depan meja makan, ia melihat Lyra sudah menata hidangan sederhana dengan rapi: semangkuk sup bening, tumis sayuran, dan ayam goreng tepung yang masih hangat. Lilin kecil yang biasanya hanya sebagai hiasan, kini menyala lembut, menambah suasana hangat di apartemen itu.

Lyra sedang menata sendok terakhir ketika menyadari kehadiran suaminya. Ia menoleh, sedikit gugup, lalu tersenyum canggung. “Aku… selesai tepat waktu. Semoga saja rasanya bisa diterima.”

Bintang tidak langsung merespons. Matanya meneliti setiap detail meja makan itu—bukan pada makanan, melainkan pada usaha Lyra. Hatinya terasa disentuh, meski wajahnya tetap tenang.

“Untukku?” tanyanya datar, meski di dalam dadanya ada sesuatu yang hangat mengalir.

Lyra mengangguk cepat. “Iya. Aku pikir… tidak ada salahnya aku mencoba memasak. Kau pasti lelah setelah bekerja, kan?”

Bintang melangkah mendekat. Ia menarik kursi, duduk perlahan, lalu menatap Lyra sekali lagi. Kali ini matanya tidak setajam biasanya, melainkan penuh rasa ingin tahu—tentang gadis yang kini, entah bagaimana, berhasil mengubah suasana dingin apartemennya menjadi begitu hangat.

~~~~

Lyra cepat-cepat menarik kursi di hadapan Bintang, lalu menuangkan sup ke dalam mangkuknya dengan tangan yang sedikit bergetar. Ia berusaha tampak tenang, meski jantungnya berdetak keras. Setelah itu, ia menaruh mangkuk dengan hati-hati, seolah takut menimbulkan suara keras sedikit saja.

“Aku akan ambilkan nasinya,” ucapnya pelan, lalu segera berdiri lagi.

Bintang hanya mengamati dalam diam. Sorot matanya mengikuti setiap gerakan Lyra—dari cara gadis itu menuang nasi, meletakkan sendok, hingga memastikan posisi piring rapi di depan dirinya. Tidak ada yang berlebihan, namun terlihat jelas bahwa Lyra melakukannya dengan sepenuh hati.

“Silakan,” katanya lirih setelah semuanya tertata.

Bintang mengangkat sendok perlahan, meneguk sup buatan Lyra. Hangat. Gurihnya sederhana, bukan racikan sempurna ala restoran, tapi ada sesuatu di baliknya—rasa tulus yang tidak bisa dibeli.

Lyra menatapnya penuh harap, seperti menunggu vonis. “Bagaimana… rasanya?” tanyanya ragu.

Bintang meletakkan sendoknya perlahan, lalu menatap Lyra tanpa menjawab langsung. Gadis itu hampir salah tingkah karena sorot mata pria itu terlalu dalam, seakan menelanjangi isi hatinya.

“…Bisa dimakan,” jawabnya singkat. Tapi di balik kata sederhana itu, ada senyum samar yang nyaris tak terlihat, membuat Lyra sedikit lega meski masih gugup.

Lyra pun ikut duduk, kali ini benar-benar memperhatikan setiap kali piring Bintang kosong. Ia sigap menambahkan lauk, menuangkan minum, dan memastikan suaminya tidak kekurangan apa pun. Dan setiap kali itu terjadi, Bintang hanya bisa menatap dalam diam, tidak terbiasa diperlakukan seperti itu… namun diam-diam menikmatinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   23. Dini hari

    Malam itu terasa begitu panjang bagi Lyra. Ia terbangun mendadak, tubuhnya berkeringat dingin, napasnya terengah seolah baru saja berlari jauh. Pandangannya langsung mengarah ke sisi ranjang yang seharusnya diisi oleh Bintang. Kosong. Bantal di sampingnya dingin, seolah sudah lama ditinggalkan.Dadanya bergemuruh. Rasa takut yang ia kira sudah mulai reda tiba-tiba kembali menyeruak, membuat tenggorokannya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati, namun semakin ia mencoba, semakin ia merasa hampa.“Bintang…” bisiknya lirih, suara nyaris patah.Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah. Tidak ada kehangatan di sisinya. Yang tersisa hanya keheningan yang terasa menyesakkan.Lyra turun dari ranjang, kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan dan televisi dengan volume rendah, sekadar untuk memecah kesunyian.Namun, meski suara samar dari TV terdengar, rasa takut tidak juga berkurang. Baya

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   22. Rahasia yang terkuak

    Suasana jalanan sore terasa berbeda bagi Lyra.Mobil melaju stabil di bawah kendali Bintang. Namun, alih-alih tenang, dadanya masih berdebar kencang. Bayangan pria berhoodie yang mendekatinya di bus tadi seolah terus mengikuti dalam pikirannya. Setiap kata yang dibisikkan pria itu menggema lagi, menusuk telinganya: “Tak peduli seberapa jauh kau sembunyi… aku tetap bisa menemukamu.”Lyra memeluk kedua tangannya sendiri, berusaha menahan gemetar. Ia menoleh ke samping. Bintang duduk di belakang kemudi, wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan mata dingin yang menatap lurus ke jalanan. Namun, genggaman tangannya di atas roda kemudi begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Keheningan terasa berat. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Hanya deru mesin mobil yang mengisi udara.“B-Bintang…” suara Lyra akhirnya pecah, lirih. “Siapa dia? Kenapa dia mengikuti aku?”Bintang menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Jawabannya singkat, nyaris berbisik, namun penuh tekanan. “Orang yang se

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   21. Benturan dalam Bayangan

    Bus yang biasanya ramai oleh obrolan kini mendadak sunyi. Hanya suara mesin yang menderu, roda berdecit di jalan aspal, dan detak jantung Lyra yang terasa terlalu keras di telinganya.Bintang berdiri tegap, tubuhnya menjadi tembok yang menghalangi Lyra dari pria berhoodie. Aura dingin yang memancar darinya membuat beberapa penumpang bergeser, memberi ruang.“Geser,” ulang Bintang dengan suara rendah, tajam.Pria berhoodie itu menoleh pelan, menatap balik dengan mata berkilat. Senyumnya tipis, sinis, seolah menikmati permainan ini.“Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa,” ucapnya datar, tapi tatapannya menusuk ke arah Lyra. “Kalau dia ketakutan, itu urusannya sendiri.”Lyra menegang, tubuhnya bergetar kecil. Ia ingin berkata sesuatu, membela diri, atau sekadar meminta pria itu menjauh. Tapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.Bintang meraih tiang besi bus dengan satu tangan, tubuhnya condong sedikit ke depan, nyaris menempel dengan pria itu. “Kau sudah cukup membuatnya takut. Tu

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   20. Dalam Jerat Langkah

    Bus melaju dengan lamban, remnya berdecit setiap kali berhenti di halte. Udara di dalam terasa pengap, meskipun jendela-jendela terbuka setengah. Suara mesin bercampur dengan gumaman penumpang, dering ponsel, dan sesekali teriakan pedagang asongan yang naik-turun.Namun bagi Lyra, semua suara itu terdengar jauh. Jantungnya berdetak terlalu kencang, hampir menenggelamkan seluruh hiruk pikuk. Ia hanya fokus pada satu hal: keberadaan pria berhoodie hitam yang berdiri tak jauh dari kursinya.Keringat dingin menetes di pelipisnya. Tangannya semakin erat menggenggam tali tas, seolah benda itu satu-satunya perisai. Nafasnya pendek, tidak teratur. Ia tidak berani menoleh, tapi bayangan hitam itu tetap terasa menekan dari sudut matanya."Kenapa dia naik bus yang sama? Kenapa harus berdiri di sini?" pikir Lyra panik.Orang-orang di sekitar tampak biasa saja, sibuk dengan dunia masing-masing. Seorang ibu muda menenangkan anaknya yang rewel, dua mahasiswa berceloteh soal tugas, seorang bapak sete

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   19. Bayangan di balik langkah

    Di dalam mobil hitam yang terparkir tak jauh dari halte, Sean sudah mengamati sejak Lyra keluar dari perpustakaan. Matanya tajam mengikuti setiap pergerakan. Ketika ia melihat sosok berhoodie menyeberang dan berhenti di seberang halte, tangannya otomatis meraih alat komunikasi di telinga.“Target terlihat. Posisi seberang halte, jarak 50 meter dari Ny. Lyra,” lapornya singkat.Suara berat Bintang terdengar dari alat itu, dingin tapi penuh kendali.“Jangan bertindak gegabah. Selama dia tidak mendekat, biarkan. Aku ingin tahu seberapa jauh dia berani melangkah.”Sean mengepalkan tangan di setir. Baginya, perintah itu terdengar seperti siksaan. Melihat Lyra duduk gelisah, jelas terancam, membuat darahnya mendidih. Namun ia bukan siapa-siapa selain tangan kanan. Jika Bintang berkata diam, maka ia akan diam.Sementara itu, Lyra terus mengintip dari bawah bulu matanya. Pria berhoodie itu masih di sana, tidak bergerak. Rasanya seperti dipaku oleh tatapan yang menusuk.Detik terasa sangat pan

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   18. Bayangan yang mendekat

    Matahari pagi menyinari kampus dengan lembut. Pepohonan yang berjajar di tepi jalan bergetar pelan karena angin. Suasana riuh mahasiswa yang baru tiba menambah semangat Lyra untuk melangkah lebih cepat menuju kelas.Namun, meski wajahnya terlihat ceria, hatinya masih membawa sisa kehangatan dari kejadian pagi tadi. Ia tidak menyangka, Bintang—pria dingin yang selalu terlihat kaku—ternyata bisa menyiapkan sarapan untuknya.“Dia… tidak seburuk yang kupikir,” gumam Lyra sambil menggenggam erat tali tasnya.Di lehernya, kalung dengan cincin pernikahan itu bergoyang lembut. Setiap kali Lyra menyentuhnya, ada rasa aman yang perlahan muncul. Seolah cincin itu bukan hanya tanda ikatan, tapi juga perlindungan.Namun, di balik keramaian kampus, ada sepasang mata yang tak pernah lepas darinya. Dari kejauhan, seorang pria berhoodie hitam berdiri di bawah pohon besar. Tudungnya menutupi sebagian wajah, menyisakan hanya dagu dan bibir yang tampak samar. Tangannya dimasukkan ke saku, tubuhnya nyaris

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status