Beranda / Romansa / Terikat dalam Pernikahan Mendadak / 12. Rantai untuk sebuah cincin

Share

12. Rantai untuk sebuah cincin

Penulis: nana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-21 09:03:25

Matahari sore menyelinap melalui jendela kelas ketika dosen menutup buku catatan dan meninggalkan ruangan. Lyra mengemasi barang-barangnya dengan hati sedikit berat, tapi juga penuh tekad. Pesan singkat Bintang—hanya deretan angka PIN yang dingin—masih terngiang di kepalanya. Sesuatu yang sederhana, tapi terasa begitu besar.

Ia melangkah keluar dari kampus, menyalakan ponsel untuk mengecek alamat toko perhiasan yang sudah lama ia lihat di iklan. Tangannya masih gemetar saat meraih tas, memastikan kartu hitam itu memang benar-benar ada di dalamnya.

“Jadi… ini nyata,” bisiknya pelan.

Suasana jalanan ramai sore itu, mahasiswa lain tertawa sambil berjalan berkelompok. Sementara Lyra memilih jalan sendiri, menyusuri trotoar menuju halte, matanya tertuju pada papan nama toko perhiasan yang berdiri anggun di kejauhan.

Begitu masuk, aroma wangi khas ruangan ber-AC bercampur dengan kilau kaca display menyambutnya. Lampu-lampu putih memantulkan cahaya dari permata, emas, dan perhiasan lainnya yang berjajar rapi. Lyra merasa kecil, seolah dunia yang ia pijak terlalu megah untuknya.

“Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?”

Seorang pegawai dengan senyum ramah mendekat.

Lyra menggenggam erat cincin pernikahannya di dalam saku, ragu untuk menunjukkannya.

“Saya… ingin mencari rantai kalung. Sederhana saja… tapi kuat,” katanya, suara hampir berbisik.

Pegawai itu mengangguk, lalu mengajak Lyra ke salah satu etalase. Rantai-rantai tipis dan elegan tergantung, masing-masing berkilau lembut di bawah cahaya. Lyra menatapnya lama, membayangkan cincinnya menggantung di sana—lebih dekat dengan hatinya, tapi juga lebih mudah ia sembunyikan dari tatapan orang lain.

Namun saat ia meraih dompet, jantungnya berdetak lebih cepat. Kartu hitam itu terasa berat di tangannya, seolah membawa simbol kekuasaan yang bukan miliknya.

“Dengan kartu ini… aku benar-benar jadi istrinya, ya?” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

Lyra akhirnya menunjuk sebuah rantai tipis berbahan emas putih. Tidak terlalu mencolok, tapi cukup kokoh untuk menggantung cincin yang kini terasa berat di genggamannya.

“Saya ambil yang ini,” katanya, suara pelan tapi mantap.

Pegawai itu tersenyum, lalu membungkus rantai ke dalam kotak beludru kecil. Saat ia menanyakan metode pembayaran, Lyra menarik napas dalam, lalu mengeluarkan kartu hitam itu dari dompet.

Sejenak, pegawai toko itu terdiam. Matanya melebar, lalu buru-buru menunduk sopan.

“B–benar ingin menggunakan ini, Mbak?” tanyanya hati-hati, seolah kartu itu terlalu berharga untuk disentuh.

Lyra menelan ludah, berusaha menjaga wajah tetap tenang meski telapak tangannya berkeringat. “Iya,” jawabnya singkat.

Pegawai itu segera menggesek kartu tersebut di mesin EDC. Gerakannya lebih lambat dari biasanya, seakan takut membuat kesalahan. Detik berikutnya, layar mesin berbunyi approved. Transaksi berhasil.

“Terima kasih, Mbak,” ucap pegawai itu sambil menyerahkan struk dengan kedua tangan. Senyum ramahnya kini berubah jadi lebih sopan, bahkan agak kaku.

Lyra menerima kotak kecil itu dan segera menyimpannya di tas. Ia bisa merasakan tatapan halus dari beberapa pegawai lain yang memperhatikannya diam-diam. Tidak ada yang terang-terangan, tapi jelas ada bisikan di antara mereka.

Begitu keluar dari toko, Lyra menarik napas panjang, jantungnya masih berpacu cepat. Ia berjalan cepat menjauh dari etalase berkilau itu, menunduk, seakan takut semua orang di jalan menebak apa yang baru saja ia lakukan.

Di dalam hatinya, ada rasa lega sekaligus cemas. Lega karena ia akhirnya punya rantai untuk cincinnya. Cemas karena setiap langkahnya kini semakin nyata: ia adalah bagian dari dunia Bintang, dunia yang berkilau dan menakutkan sekaligus.

“Kalau aku terus seperti ini… aku akan semakin terikat, kan?” bisiknya lirih.

Kotak kecil itu kini terasa berat di tasnya. Sama beratnya dengan kenyataan yang perlahan mulai ia terima.

~~~~

Di kantor, layar ponsel Bintang yang diletakkan di samping dokumen bergetar singkat. Ia melirik sekilas, awalnya dengan ekspresi datar seperti biasa.

Sebuah notifikasi dari mobile banking.

Transaksi: pembelian perhiasan. Jumlahnya tidak besar dibanding angka-angka yang biasa ia lihat, tapi nama penerimanya langsung menarik perhatiannya—Lyra.

Rahangnya mengendur perlahan. Tatapan dingin yang biasanya terpaku pada laporan keuangan berubah samar. Bibirnya, yang hampir tak pernah bergeming di depan siapa pun, terangkat tipis.

Senyum.

Sebuah senyum yang hanya muncul ketika ia seorang diri, tanpa saksi.

Bintang menyandarkan tubuh ke kursi kerjanya, mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari. Ada rasa puas merayap dalam dadanya—bukan soal uang, tapi soal keberanian Lyra yang akhirnya mulai membuka jalan untuk menerima keberadaannya.

Ia menutup notifikasi itu, menyimpan kembali ponsel ke dalam saku jas. Raut wajahnya kembali datar, dingin, seperti topeng yang tak pernah ia lepaskan di hadapan karyawan. Tapi di balik itu, ada getar halus yang tak bisa ia pungkiri.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, sebuah transaksi kecil mampu menyalakan sesuatu yang ia kira sudah padam dalam dirinya.

~~~

Setelah keluar dari toko perhiasan dengan sebuah kotak kecil berisi rantai tipis yang kini menyimpan cincin pernikahannya, Lyra tidak langsung pulang ke apartemen. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya—rasa ingin membalas, walau sedikit, atas semua yang sudah Bintang lakukan belakangan ini.

Ia berhenti sejenak di depan supermarket yang cukup besar di pinggir jalan, lalu menarik napas panjang. “Setidaknya… aku bisa masak untuknya,” gumamnya lirih, lebih seperti bicara pada diri sendiri.

Langkahnya ragu-ragu saat mendorong troli, tapi matanya menyapu rak-rak penuh bahan makanan dengan fokus. Ia memilih beberapa sayuran segar, ayam, dan bumbu dapur sederhana. Tidak mewah, tidak rumit. Hanya masakan rumahan yang ia kuasai sejak lama—tumis sayur, sup ayam bening, dan mungkin sedikit sambal terasi untuk melengkapi.

Setiap barang yang masuk ke dalam troli seakan memberi Lyra keberanian baru. Tangannya gemetar halus, tapi bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia merasa bisa berbuat sesuatu untuk suaminya—bukan sekadar menerima bantuan darinya.

Sebelum keluar, Lyra sempat menghubungi pembantu yang bekerja di apartemen itu, memastikan jadwalnya tidak akan bentrok.

“Boleh ya, Bu… malam ini saya yang masak. Tidak apa-apa kan?” tanyanya pelan.

Suara ramah di seberang menjawab, “Tentu, Nona. Saya akan pulang lebih awal supaya dapur bisa Nona gunakan dengan tenang.”

Senyum lega pun terbit di wajah Lyra. Ia menutup telepon, lalu berjalan keluar dari supermarket dengan kedua tangannya menenteng kantong-kantong belanjaan. Hatinya sedikit berdebar membayangkan ekspresi Bintang nanti—entah ia akan menghargai atau justru mengabaikan usahanya.

Namun satu hal yang pasti, Lyra sudah melangkah satu tahap lebih dekat. Bukan hanya menerima cincin yang kini tersimpan di dalam kotak, tapi juga mencoba menerima perannya sebagai istri—walau dengan caranya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   23. Dini hari

    Malam itu terasa begitu panjang bagi Lyra. Ia terbangun mendadak, tubuhnya berkeringat dingin, napasnya terengah seolah baru saja berlari jauh. Pandangannya langsung mengarah ke sisi ranjang yang seharusnya diisi oleh Bintang. Kosong. Bantal di sampingnya dingin, seolah sudah lama ditinggalkan.Dadanya bergemuruh. Rasa takut yang ia kira sudah mulai reda tiba-tiba kembali menyeruak, membuat tenggorokannya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati, namun semakin ia mencoba, semakin ia merasa hampa.“Bintang…” bisiknya lirih, suara nyaris patah.Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah. Tidak ada kehangatan di sisinya. Yang tersisa hanya keheningan yang terasa menyesakkan.Lyra turun dari ranjang, kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan dan televisi dengan volume rendah, sekadar untuk memecah kesunyian.Namun, meski suara samar dari TV terdengar, rasa takut tidak juga berkurang. Baya

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   22. Rahasia yang terkuak

    Suasana jalanan sore terasa berbeda bagi Lyra.Mobil melaju stabil di bawah kendali Bintang. Namun, alih-alih tenang, dadanya masih berdebar kencang. Bayangan pria berhoodie yang mendekatinya di bus tadi seolah terus mengikuti dalam pikirannya. Setiap kata yang dibisikkan pria itu menggema lagi, menusuk telinganya: “Tak peduli seberapa jauh kau sembunyi… aku tetap bisa menemukamu.”Lyra memeluk kedua tangannya sendiri, berusaha menahan gemetar. Ia menoleh ke samping. Bintang duduk di belakang kemudi, wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan mata dingin yang menatap lurus ke jalanan. Namun, genggaman tangannya di atas roda kemudi begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Keheningan terasa berat. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Hanya deru mesin mobil yang mengisi udara.“B-Bintang…” suara Lyra akhirnya pecah, lirih. “Siapa dia? Kenapa dia mengikuti aku?”Bintang menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Jawabannya singkat, nyaris berbisik, namun penuh tekanan. “Orang yang se

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   21. Benturan dalam Bayangan

    Bus yang biasanya ramai oleh obrolan kini mendadak sunyi. Hanya suara mesin yang menderu, roda berdecit di jalan aspal, dan detak jantung Lyra yang terasa terlalu keras di telinganya.Bintang berdiri tegap, tubuhnya menjadi tembok yang menghalangi Lyra dari pria berhoodie. Aura dingin yang memancar darinya membuat beberapa penumpang bergeser, memberi ruang.“Geser,” ulang Bintang dengan suara rendah, tajam.Pria berhoodie itu menoleh pelan, menatap balik dengan mata berkilat. Senyumnya tipis, sinis, seolah menikmati permainan ini.“Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa,” ucapnya datar, tapi tatapannya menusuk ke arah Lyra. “Kalau dia ketakutan, itu urusannya sendiri.”Lyra menegang, tubuhnya bergetar kecil. Ia ingin berkata sesuatu, membela diri, atau sekadar meminta pria itu menjauh. Tapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.Bintang meraih tiang besi bus dengan satu tangan, tubuhnya condong sedikit ke depan, nyaris menempel dengan pria itu. “Kau sudah cukup membuatnya takut. Tu

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   20. Dalam Jerat Langkah

    Bus melaju dengan lamban, remnya berdecit setiap kali berhenti di halte. Udara di dalam terasa pengap, meskipun jendela-jendela terbuka setengah. Suara mesin bercampur dengan gumaman penumpang, dering ponsel, dan sesekali teriakan pedagang asongan yang naik-turun.Namun bagi Lyra, semua suara itu terdengar jauh. Jantungnya berdetak terlalu kencang, hampir menenggelamkan seluruh hiruk pikuk. Ia hanya fokus pada satu hal: keberadaan pria berhoodie hitam yang berdiri tak jauh dari kursinya.Keringat dingin menetes di pelipisnya. Tangannya semakin erat menggenggam tali tas, seolah benda itu satu-satunya perisai. Nafasnya pendek, tidak teratur. Ia tidak berani menoleh, tapi bayangan hitam itu tetap terasa menekan dari sudut matanya."Kenapa dia naik bus yang sama? Kenapa harus berdiri di sini?" pikir Lyra panik.Orang-orang di sekitar tampak biasa saja, sibuk dengan dunia masing-masing. Seorang ibu muda menenangkan anaknya yang rewel, dua mahasiswa berceloteh soal tugas, seorang bapak sete

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   19. Bayangan di balik langkah

    Di dalam mobil hitam yang terparkir tak jauh dari halte, Sean sudah mengamati sejak Lyra keluar dari perpustakaan. Matanya tajam mengikuti setiap pergerakan. Ketika ia melihat sosok berhoodie menyeberang dan berhenti di seberang halte, tangannya otomatis meraih alat komunikasi di telinga.“Target terlihat. Posisi seberang halte, jarak 50 meter dari Ny. Lyra,” lapornya singkat.Suara berat Bintang terdengar dari alat itu, dingin tapi penuh kendali.“Jangan bertindak gegabah. Selama dia tidak mendekat, biarkan. Aku ingin tahu seberapa jauh dia berani melangkah.”Sean mengepalkan tangan di setir. Baginya, perintah itu terdengar seperti siksaan. Melihat Lyra duduk gelisah, jelas terancam, membuat darahnya mendidih. Namun ia bukan siapa-siapa selain tangan kanan. Jika Bintang berkata diam, maka ia akan diam.Sementara itu, Lyra terus mengintip dari bawah bulu matanya. Pria berhoodie itu masih di sana, tidak bergerak. Rasanya seperti dipaku oleh tatapan yang menusuk.Detik terasa sangat pan

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   18. Bayangan yang mendekat

    Matahari pagi menyinari kampus dengan lembut. Pepohonan yang berjajar di tepi jalan bergetar pelan karena angin. Suasana riuh mahasiswa yang baru tiba menambah semangat Lyra untuk melangkah lebih cepat menuju kelas.Namun, meski wajahnya terlihat ceria, hatinya masih membawa sisa kehangatan dari kejadian pagi tadi. Ia tidak menyangka, Bintang—pria dingin yang selalu terlihat kaku—ternyata bisa menyiapkan sarapan untuknya.“Dia… tidak seburuk yang kupikir,” gumam Lyra sambil menggenggam erat tali tasnya.Di lehernya, kalung dengan cincin pernikahan itu bergoyang lembut. Setiap kali Lyra menyentuhnya, ada rasa aman yang perlahan muncul. Seolah cincin itu bukan hanya tanda ikatan, tapi juga perlindungan.Namun, di balik keramaian kampus, ada sepasang mata yang tak pernah lepas darinya. Dari kejauhan, seorang pria berhoodie hitam berdiri di bawah pohon besar. Tudungnya menutupi sebagian wajah, menyisakan hanya dagu dan bibir yang tampak samar. Tangannya dimasukkan ke saku, tubuhnya nyaris

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status