Suasana di apartemen itu masih terasa asing bagi Lyra, seakan setiap sudutnya menegaskan bahwa ia tidak benar-benar pantas berada di sini. Dinding putih yang bersih sempurna, lantai marmer berkilau, perabotan mahal yang bahkan takut ia sentuh—semua seperti museum, bukan tempat tinggal.
Sudah tiga hari sejak ia tinggal di apartemen Bintang Skylar. Tiga hari yang terasa lebih panjang daripada satu semester kuliah. Pagi itu, Lyra bangun lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena resah, mungkin karena rasa tidak nyaman yang masih menggantung. Ia terbiasa di rumah kontrakan kecil bersama tantenya, di mana suara ayam tetangga atau motor lewat menjadi alarm alami. Di sini, semuanya terlalu senyap. Terlalu steril. Dengan hati-hati, ia melangkah ke dapur. Niatnya sederhana: membuat sarapan sendiri. Tapi begitu membuka kulkas, matanya membelalak. Rak-rak penuh dengan bahan makanan impor, keju asing dengan nama yang tak bisa ia baca, daging berlabel premium, dan aneka minuman dalam botol kaca. Tidak ada mi instan. Tidak ada kecap manis. Tidak ada yang terasa "rumah". “Sedang mencari sesuatu?” Suara berat itu membuat Lyra hampir menjatuhkan telur yang baru ia ambil. Ia menoleh. Bintang berdiri di pintu dapur dengan kemeja putih rapi, lengan digulung, dasi longgar di leher. Rambutnya masih sedikit basah, aroma sabun mandinya samar tercium. “Ah… e-eh… aku cuma… mau bikin sarapan,” jawab Lyra gugup. Alis Bintang terangkat tipis. “Kau tidak perlu repot. Ada housekeeper yang datang setiap pagi." “Kalau begitu… biar aku aja. Aku terbiasa masak sendiri,” sahut Lyra cepat. Ia takut suaranya terdengar seperti pembelaan diri, tapi ia memang sungguh tidak terbiasa hanya duduk menunggu. Bintang tidak langsung menjawab. Ia hanya melangkah mendekat, mengambil gelas dari rak, lalu menuang air mineral. Gerakannya tenang, elegan, tanpa terburu-buru. Seakan setiap hal kecil pun terencana. “Kalau begitu, silakan. Tapi jangan coba-coba memasak hal yang bisa membuat alarm kebakaran berbunyi,” ucapnya datar, lalu meneguk airnya. Lyra hampir mendengus. Tipe orang yang dingin, perfeksionis, dan mungkin belum pernah makan mi instan seumur hidupnya. Ia ingin membalas dengan komentar sinis, tapi menahan diri. Akhirnya, ia hanya membuat omelet sederhana dengan bahan seadanya. Tangannya sedikit gemetar saat membolak-balik telur di wajan yang terlihat lebih mahal daripada laptopnya. Saat ia selesai, piring berisi omelet itu masih mengepul hangat. Lyra ragu, apakah ia harus menawarkan pada Bintang? Atau makan sendiri saja? Sebelum sempat memutuskan, pria itu sudah duduk di kursi meja makan, membuka beberapa berkas dari tas kerjanya. Lyra menelan ludah, lalu memberanikan diri. “Mau coba, nggak?” tanyanya lirih, meletakkan piring di meja. Bintang menatapnya sekilas. “Kau membuatnya?” “Iya. Tapi kalau tidak suka, tidak apa-apa. Aku bisa bikin yang lain.” Pria itu tidak menjawab. Ia hanya mengambil sendok, memotong sepotong kecil, dan mencicipi. Lyra menunggu dengan jantung yang berdebar aneh. “…Tidak buruk,” kata Bintang akhirnya, singkat, sebelum kembali fokus pada berkas. Hanya dua kata, tapi entah mengapa membuat pipi Lyra terasa panas. Ia buru-buru duduk, menyuap sarapannya sendiri sambil mengutuk dalam hati. Astaga, kenapa aku jadi menunggu validasi dari orang seperti dia? Sisa pagi itu berjalan dengan ritme yang aneh. Bintang berangkat kerja dengan supir pribadinya, sementara Lyra kembali ke kamar untuk bersiap kuliah. ~~~~~~~~~~ Malamnya, ketika Lyra kembali ke apartemen, ia menemukan meja makan sudah dipenuhi hidangan yang disiapkan . Bintang sudah duduk, menunggu. “Kau datang terlambat,” katanya tanpa menoleh, masih menatap layar laptop. Lyra menahan diri untuk tidak membalas ketus. Mereka makan dalam diam. Sendok dan garpu yang beradu dengan piring porselen terdengar terlalu nyaring di telinga Lyra. Setelah beberapa saat, ia memberanikan diri bertanya. Suaranya pelan, hampir tenggelam. “Kalau… kalau aku ingin kembali ke rumah Tante, boleh?” Bintang terdiam sejenak. Matanya perlahan beralih menatap Lyra, tajam namun tenang. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum, lebih mirip ejekan samar. “Ke rumah tantemu? Atau ke kosanmu yang pengap itu?” suaranya dingin, menusuk. “Lebih baik kau di sini.” Lyra terdiam, jantungnya berdebar kencang. Ada sesuatu di balik kata-katanya—campuran otoritas dan keputusan final yang tidak memberi ruang untuk bantahan. Ia menunduk, menatap piringnya yang sudah hampir kosong. Aku bahkan tidak punya hak untuk memilih tempat tinggal… pikirnya getir. Bintang kembali fokus pada makanannya, seakan percakapan itu hanyalah interupsi kecil sedangkan bagi Lyra, kalimat singkat itu terdengar seperti vonis. Setelah percakapan dingin di meja makan itu, Lyra kembali ke kamar tamu. Ia duduk di meja belajar yang rapi, membuka laptop tuanya yang penuh stiker dan goresan. Ia mengambil barang pentingnya itu di kosannya. Cahaya layar biru langsung menyambutnya, membawa sedikit rasa nyaman. Di sini, di balik semua kemewahan yang bukan miliknya, setidaknya masih ada satu hal yang membuatnya merasa seperti dirinya sendiri, tugas kuliah. Lyra membuka file proyek pemrograman untuk mata kuliah Database System. Barisan kode memenuhi layar, dan ia mengetik cepat, jari-jarinya bergerak lincah. Waktu sudah lewat tengah malam, tapi ia tidak peduli. Deadline tinggal besok pagi. “Sedikit lagi…” gumamnya, menambahkan beberapa baris query SQL. Matanya perih, tapi otaknya masih terjaga penuh adrenalin. Lalu— klik Layar mendadak gelap. Suara kipas laptop berhenti. Lyra membeku. “Jangan… jangan sekarang…” Ia menekan tombol power. Tidak ada respon. Ia coba lagi, kali ini dengan napas yang semakin panik. Tidak ada tanda kehidupan. Hanya hitam pekat. “Ya Tuhan, jangan mati dulu… aku belum sempat save,” suaranya bergetar. Ia menepuk-nepuk bodi laptop, mencabut dan memasang kembali charger, bahkan mencoba menekan tombol lebih lama. Tetap tidak ada reaksi. Detik-detik terasa panjang, jantungnya berdetak keras. Semua kerja kerasnya malam ini—hilang. Besok dosen tidak akan menerima alasan klasik “laptop error”. Lyra berdiri mendadak, kursi hampir terjatuh. Ia menatap jam di dinding. Hampir pukul sebelas malam. Normalnya, ia akan menyerah dan mencoba esok pagi di kampus. Tapi sekarang? Kampus terlalu jauh. Semua alat perbaikan ada di tempat servis yang mungkin sudah tutup. Namun otaknya yang panik tidak bisa diam. Ia langsung mengambil hoodie abu-abu, memasukkan laptop ke dalam tas lusuh, dan bergegas keluar kamar tamu. Aku harus cari cara. Sekarang juga. Nggak peduli sudah malam. Lorong apartemen itu hening, hanya suara detik jam yang mengikuti langkahnya. Lyra menekan tombol lift, jantungnya masih kacau. Saat pintu terbuka, ia melangkah masuk tanpa pikir panjang. Ia tahu ini nekat. Keluar malam-malam sendirian, apalagi dalam keadaan seperti sekarang. Tapi tugas itu bukan sekadar tugas baginya. Itu adalah harga dirinya sebagai mahasiswi beasiswa penuh. Jika ia gagal, jika nilainya jatuh, beasiswa itu bisa dicabut. Dan kalau beasiswanya hilang… maka semua kesempatan yang tersisa akan ikut hilang. Pintu lift menutup, dan Lyra menarik napas panjang. Apapun caranya, aku harus selamatkan tugasku.Lampu meja menyala temaram, cahayanya jatuh hanya pada tumpukan dokumen yang tertata di atas meja kayu hitam. Bayangan samar tercetak di dinding, bergerak pelan mengikuti nyala bohlam yang bergetar halus. Di tengah keheningan itu, detik jam dinding terdengar nyaring, seolah setiap putarannya menegaskan betapa malam ini berjalan lambat.Bintang duduk bersandar di kursinya, punggung tegak namun kepalanya tertunduk, tatapannya kosong pada layar komputer yang tak beranjak dari halaman awal. Pekerjaan yang biasanya menuntut presisi dan ketelitian kini hanya tampak seperti gangguan. Ia bahkan tidak mencoba menyentuh keyboard.Pikirannya berada di tempat lain. Tepatnya, pada sosok yang kini terlelap di kamar tamu.Lyra.Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa berat. Bayangan wajah lelah gadis itu menempel jelas dalam ingatannya—alis tipis yang berkerut karena terlalu lama menatap layar, jemari yang memerah lantaran tak henti mengetik, napas berat yang akhirnya menyerah dalam tidur.
Pintu apartemen terbuka dengan suara klik halus, disusul aroma khas ruangan yang dingin dan rapi. Lampu-lampu otomatis menyala, memantulkan cahaya lembut di lantai marmer putih yang mengilap.Lyra melangkah masuk lebih dulu, masih mengenakan jas hitam Bintang yang kebesaran di tubuhnya. Hela napasnya menggantung, tak berani menoleh. Ia bisa mendengar langkah Bintang di belakangnya—tenang, teratur, tapi menimbulkan tekanan tak kasatmata yang membuat punggungnya kaku.Suara pintu ditutup pelan, lalu hening kembali berkuasa. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak lambat, seakan mengejek betapa panjangnya setiap momen.Lyra menaruh laptop tuanya di meja tamu dengan hati-hati, seolah satu gerakan salah bisa memicu percikan ledakan. Jemarinya gemetar, tapi ia berusaha menutupi dengan mengusap-usap lengan jas yang masih membungkusnya. Hangat kain itu seakan masih menempel di kulit, tapi pikirannya justru semakin berisik.Tanpa sepatah kata, Bintang berjalan melewati Lyra. Suara lan
Pintu mobil tertutup rapat, menelan Lyra ke dalam ruang sempit beraroma kulit mahal dan parfum maskulin yang begitu asing tapi kini mulai menempel di inderanya. Suara jalanan di luar teredam, hanya tersisa dengung mesin yang stabil dan denyut jantungnya sendiri yang tak karuan.Bintang duduk di kursi pengemudi, diam. Tangannya mantap di setir, sorot matanya lurus menatap jalan. Mobil melaju stabil, setiap gerakan setirnya presisi, seakan ia mengendalikan bukan hanya arah mobil, tapi juga arah napas Lyra.Lyra menggenggam laptopnya erat di pangkuan, seolah benda tua itu satu-satunya pelindungnya dari badai yang siap meledak.Akhirnya, Bintang membuka suara. “Kau tahu berapa banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada seorang perempuan sendirian di jalan jam segini?”Nada suaranya tenang, tapi terlalu dingin, terlalu tajam.Lyra menelan ludah. “Aku… aku nggak punya pilihan lain. Kalau tugasnya nggak selesai, aku bisa kehilangan beasiswa. Itu berarti aku kehilangan segalanya.”Bintan
Udara malam Jakarta menusuk kulit saat Lyra keluar dari taksi online di sebuah ruko sempit. Lampu neon bertuliskan “Servis Laptop & Komputer – Buka 24 Jam” berkelip-kelip, setengah mati. Jalanan lengang, hanya ada beberapa warung kopi kecil yang masih buka, dengan deretan motor parkir seadanya. Lyra menggenggam erat tas berisi laptopnya. Napasnya masih berat karena terburu-buru. Ia melirik papan jam digital di apotek seberang: 23:42. Masih ada waktu, semoga. Ia melangkah masuk. Bau solder dan debu elektronik langsung menyambut. Di balik meja kayu yang penuh obeng dan kabel, seorang pria paruh baya berkacamata menoleh. Rambutnya berantakan, kausnya lusuh bertuliskan “Teknisi Sejati”. “Servis, Mbak?” tanyanya datar, tapi matanya langsung tertuju pada tas Lyra. Lyra buru-buru mengeluarkan laptop tuanya, meletakkannya di atas meja. “Pak, tolong… laptop saya tiba-tiba mati. Nggak nyala sama sekali. Padahal tadi masih saya pakai.” Suaranya tergesa, nyaris panik. Teknisi itu mengangguk
Suasana di apartemen itu masih terasa asing bagi Lyra, seakan setiap sudutnya menegaskan bahwa ia tidak benar-benar pantas berada di sini. Dinding putih yang bersih sempurna, lantai marmer berkilau, perabotan mahal yang bahkan takut ia sentuh—semua seperti museum, bukan tempat tinggal.Sudah tiga hari sejak ia tinggal di apartemen Bintang Skylar. Tiga hari yang terasa lebih panjang daripada satu semester kuliah.Pagi itu, Lyra bangun lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena resah, mungkin karena rasa tidak nyaman yang masih menggantung. Ia terbiasa di rumah kontrakan kecil bersama tantenya, di mana suara ayam tetangga atau motor lewat menjadi alarm alami. Di sini, semuanya terlalu senyap. Terlalu steril.Dengan hati-hati, ia melangkah ke dapur. Niatnya sederhana: membuat sarapan sendiri. Tapi begitu membuka kulkas, matanya membelalak. Rak-rak penuh dengan bahan makanan impor, keju asing dengan nama yang tak bisa ia baca, daging berlabel premium, dan aneka minuman dalam botol kaca. Ti
Suara mesin espresso mendesis di kafe kecil depan kampus. Lyra berdiri di dekat etalase kaca, menunggu minumannya selesai. Hoodie abu-abu yang sama ia kenakan, rambut hitamnya diikat seadanya. Dari luar, ia tampak seperti Lyra yang dulu—mahasiswi tingkat dua jurusan Teknik Informatika, hidup sederhana dengan beasiswa penuh. Namun di balik itu semua, ada sesuatu yang sudah bergeser.Cincin di jarinya berkilau samar ketika cahaya matahari menembus kaca. Refleks, Lyra menyelipkan tangannya ke saku hoodie.Kalau ada yang lihat… aku harus jawab apa?“Lyra!”Suara familiar membuatnya menoleh. Ray berlari kecil dari arah gerbang, kemeja kotak-kotaknya kusut, tas selempang penuh coretan spidol bergoyang di bahu. Wajahnya campuran lega dan kesal.“Lo kemana aja kemarin? Seharian ngilang, nggak masuk kuliah, nggak ada kabar. Gue nyaris lapor polisi, Ly!”Lyra tercekat. Kata-kata yang ingin ia ucapkan tertahan di tenggorokan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dirinya belum menger