Share

4. Perkara laptop

Penulis: nana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-29 17:39:01

Suasana di apartemen itu masih terasa asing bagi Lyra, seakan setiap sudutnya menegaskan bahwa ia tidak benar-benar pantas berada di sini. Dinding putih yang bersih sempurna, lantai marmer berkilau, perabotan mahal yang bahkan takut ia sentuh—semua seperti museum, bukan tempat tinggal.

Sudah tiga hari sejak ia tinggal di apartemen Bintang Skylar. Tiga hari yang terasa lebih panjang daripada satu semester kuliah.

Pagi itu, Lyra bangun lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena resah, mungkin karena rasa tidak nyaman yang masih menggantung. Ia terbiasa di rumah kontrakan kecil bersama tantenya, di mana suara ayam tetangga atau motor lewat menjadi alarm alami. Di sini, semuanya terlalu senyap. Terlalu steril.

Dengan hati-hati, ia melangkah ke dapur. Niatnya sederhana: membuat sarapan sendiri. Tapi begitu membuka kulkas, matanya membelalak. Rak-rak penuh dengan bahan makanan impor, keju asing dengan nama yang tak bisa ia baca, daging berlabel premium, dan aneka minuman dalam botol kaca. Tidak ada mi instan. Tidak ada kecap manis. Tidak ada yang terasa "rumah".

“Sedang mencari sesuatu?”

Suara berat itu membuat Lyra hampir menjatuhkan telur yang baru ia ambil. Ia menoleh. Bintang berdiri di pintu dapur dengan kemeja putih rapi, lengan digulung, dasi longgar di leher. Rambutnya masih sedikit basah, aroma sabun mandinya samar tercium.

“Ah… e-eh… aku cuma… mau bikin sarapan,” jawab Lyra gugup.

Alis Bintang terangkat tipis. “Kau tidak perlu repot. Ada housekeeper yang datang setiap pagi."

“Kalau begitu… biar aku aja. Aku terbiasa masak sendiri,” sahut Lyra cepat. Ia takut suaranya terdengar seperti pembelaan diri, tapi ia memang sungguh tidak terbiasa hanya duduk menunggu.

Bintang tidak langsung menjawab. Ia hanya melangkah mendekat, mengambil gelas dari rak, lalu menuang air mineral. Gerakannya tenang, elegan, tanpa terburu-buru. Seakan setiap hal kecil pun terencana.

“Kalau begitu, silakan. Tapi jangan coba-coba memasak hal yang bisa membuat alarm kebakaran berbunyi,” ucapnya datar, lalu meneguk airnya.

Lyra hampir mendengus. Tipe orang yang dingin, perfeksionis, dan mungkin belum pernah makan mi instan seumur hidupnya. Ia ingin membalas dengan komentar sinis, tapi menahan diri.

Akhirnya, ia hanya membuat omelet sederhana dengan bahan seadanya. Tangannya sedikit gemetar saat membolak-balik telur di wajan yang terlihat lebih mahal daripada laptopnya.

Saat ia selesai, piring berisi omelet itu masih mengepul hangat. Lyra ragu, apakah ia harus menawarkan pada Bintang? Atau makan sendiri saja?

Sebelum sempat memutuskan, pria itu sudah duduk di kursi meja makan, membuka beberapa berkas dari tas kerjanya.

Lyra menelan ludah, lalu memberanikan diri. “Mau coba, nggak?” tanyanya lirih, meletakkan piring di meja.

Bintang menatapnya sekilas. “Kau membuatnya?”

“Iya. Tapi kalau tidak suka, tidak apa-apa. Aku bisa bikin yang lain.”

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya mengambil sendok, memotong sepotong kecil, dan mencicipi. Lyra menunggu dengan jantung yang berdebar aneh.

“…Tidak buruk,” kata Bintang akhirnya, singkat, sebelum kembali fokus pada berkas.

Hanya dua kata, tapi entah mengapa membuat pipi Lyra terasa panas. Ia buru-buru duduk, menyuap sarapannya sendiri sambil mengutuk dalam hati. Astaga, kenapa aku jadi menunggu validasi dari orang seperti dia?

Sisa pagi itu berjalan dengan ritme yang aneh. Bintang berangkat kerja dengan supir pribadinya, sementara Lyra kembali ke kamar untuk bersiap kuliah.

~~~~~~~~~~

Malamnya, ketika Lyra kembali ke apartemen, ia menemukan meja makan sudah dipenuhi hidangan yang disiapkan . Bintang sudah duduk, menunggu.

“Kau datang terlambat,” katanya tanpa menoleh, masih menatap layar laptop.

Lyra menahan diri untuk tidak membalas ketus. Mereka makan dalam diam. Sendok dan garpu yang beradu dengan piring porselen terdengar terlalu nyaring di telinga Lyra.

Setelah beberapa saat, ia memberanikan diri bertanya. Suaranya pelan, hampir tenggelam.

“Kalau… kalau aku ingin kembali ke rumah Tante, boleh?”

Bintang terdiam sejenak. Matanya perlahan beralih menatap Lyra, tajam namun tenang. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum, lebih mirip ejekan samar.

“Ke rumah tantemu? Atau ke kosanmu yang pengap itu?” suaranya dingin, menusuk. “Lebih baik kau di sini.”

Lyra terdiam, jantungnya berdebar kencang. Ada sesuatu di balik kata-katanya—campuran otoritas dan keputusan final yang tidak memberi ruang untuk bantahan.

Ia menunduk, menatap piringnya yang sudah hampir kosong. Aku bahkan tidak punya hak untuk memilih tempat tinggal… pikirnya getir.

Bintang kembali fokus pada makanannya, seakan percakapan itu hanyalah interupsi kecil sedangkan bagi Lyra, kalimat singkat itu terdengar seperti vonis.

Setelah percakapan dingin di meja makan itu, Lyra kembali ke kamar tamu. Ia duduk di meja belajar yang rapi, membuka laptop tuanya yang penuh stiker dan goresan. Ia mengambil barang pentingnya itu di kosannya. Cahaya layar biru langsung menyambutnya, membawa sedikit rasa nyaman. Di sini, di balik semua kemewahan yang bukan miliknya, setidaknya masih ada satu hal yang membuatnya merasa seperti dirinya sendiri, tugas kuliah.

Lyra membuka file proyek pemrograman untuk mata kuliah Database System. Barisan kode memenuhi layar, dan ia mengetik cepat, jari-jarinya bergerak lincah. Waktu sudah lewat tengah malam, tapi ia tidak peduli. Deadline tinggal besok pagi.

“Sedikit lagi…” gumamnya, menambahkan beberapa baris query SQL. Matanya perih, tapi otaknya masih terjaga penuh adrenalin.

Lalu—

klik

Layar mendadak gelap. Suara kipas laptop berhenti.

Lyra membeku. “Jangan… jangan sekarang…”

Ia menekan tombol power. Tidak ada respon. Ia coba lagi, kali ini dengan napas yang semakin panik. Tidak ada tanda kehidupan. Hanya hitam pekat.

“Ya Tuhan, jangan mati dulu… aku belum sempat save,” suaranya bergetar. Ia menepuk-nepuk bodi laptop, mencabut dan memasang kembali charger, bahkan mencoba menekan tombol lebih lama. Tetap tidak ada reaksi.

Detik-detik terasa panjang, jantungnya berdetak keras. Semua kerja kerasnya malam ini—hilang. Besok dosen tidak akan menerima alasan klasik “laptop error”.

Lyra berdiri mendadak, kursi hampir terjatuh. Ia menatap jam di dinding. Hampir pukul sebelas malam. Normalnya, ia akan menyerah dan mencoba esok pagi di kampus. Tapi sekarang? Kampus terlalu jauh. Semua alat perbaikan ada di tempat servis yang mungkin sudah tutup.

Namun otaknya yang panik tidak bisa diam. Ia langsung mengambil hoodie abu-abu, memasukkan laptop ke dalam tas lusuh, dan bergegas keluar kamar tamu.

Aku harus cari cara. Sekarang juga. Nggak peduli sudah malam.

Lorong apartemen itu hening, hanya suara detik jam yang mengikuti langkahnya. Lyra menekan tombol lift, jantungnya masih kacau. Saat pintu terbuka, ia melangkah masuk tanpa pikir panjang.

Ia tahu ini nekat. Keluar malam-malam sendirian, apalagi dalam keadaan seperti sekarang. Tapi tugas itu bukan sekadar tugas baginya. Itu adalah harga dirinya sebagai mahasiswi beasiswa penuh. Jika ia gagal, jika nilainya jatuh, beasiswa itu bisa dicabut. Dan kalau beasiswanya hilang… maka semua kesempatan yang tersisa akan ikut hilang.

Pintu lift menutup, dan Lyra menarik napas panjang. Apapun caranya, aku harus selamatkan tugasku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   26. Kegelisahan Lyra

    Pagi itu, kampus Teknik terasa lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa lalu-lalang di halaman utama, membawa ransel tebal penuh buku dan laptop, sementara suara motor berdesakan di parkiran menciptakan hiruk-pikuk khas pagi hari. Udara segar bercampur aroma kopi dari kantin kecil, dan papan pengumuman dipenuhi poster seminar IT terbaru. Lyra melangkah masuk melalui gerbang utama, tas selempangnya bergoyang ringan di bahu. Setelah dua hari libur yang diisi piknik dan cerita masa lalu dengan Bintang, ia merasa sedikit lebih kuat—tapi bayangan penguntit masih sesekali muncul di benaknya, seperti kabut tipis yang sulit diusir.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan celana jeans biru, rambutnya diikat ponytail tinggi agar tidak mengganggu saat mengetik di kelas. Kalung cincin pernikahan bergoyang pelan di dadanya, tersembunyi di balik kerah, tapi sentuhannya memberi rasa aman. "Hari ini normal," gumamnya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan. Kuliah pagi ini adalah mata kuliah Algoritma

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   25. Kecurigaan Ray

    Sore itu, sinar matahari mulai condong, mewarnai langit Jakarta dengan gradasi oranye dan ungu yang lembut. Lyra duduk di bangku taman kecil dekat kampus, angin sepoi membelai rambutnya yang tergerai. Ia baru saja selesai kelas singkat—dosen memahami alasan liburnya kemarin, berkat pesan dari Bintang—dan memutuskan mampir ke sini sebelum pulang. Ponselnya bergetar di tangan, layar menampilkan nama yang sudah lama tidak ia dengar: Ray.Hatinya berdegup sedikit lebih cepat. Ray, sahabat setianya sejak SMA, orang yang selalu ada saat tante memaksa atau beasiswa hampir dicabut. Tapi sejak pernikahan mendadak itu, Lyra sengaja menjaga jarak—bukan karena tidak ingin, tapi karena tak tahu bagaimana menjelaskan. "Halo?" jawabnya pelan, suaranya berusaha santai."Ly! Akhirnya lo angkat juga. Gue nyari lo kemana-mana sejak kemarin. Lo hilang dua hari, nggak ada kabar. Lo baik-baik aja?" Suara Ray di seberang terdengar campur khawatir dan kesal, seperti biasa saat ia panik.Lyra tersenyum kecil,

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   24. Janji yang terkunci

    Cahaya pagi menyusup pelan melalui celah tirai kamar, membentuk garis-garis emas tipis di lantai marmer yang dingin. Lyra membuka mata dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin yang menempel lengket di kulitnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tak terlihat. Ia duduk setengah bangun, tangannya meraba-raba sisi ranjang di sebelahnya. Hangat. Bintang masih di sana, tidur dengan posisi tegap seperti biasa, napasnya teratur dan dalam.Namun, mimpi buruk itu masih melekat kuat di benaknya. Ia melihatnya lagi—pria berhoodie hitam itu, berdiri di ujung lorong gelap, senyum tipisnya menyeringai seperti pisau. "Kau tidak bisa lari selamanya," bisik suara serak itu di telinganya. Lalu, Bintang muncul, tapi bukannya melindunginya, ia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkannya sendirian. Lyra berlari, tapi kakinya seperti terikat, dan pria itu semakin dekat, tangannya hampir menyentuh bahunya..."Bin..." gumam Lyra lirih, suaranya berge

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   23. Dini hari

    Malam itu terasa begitu panjang bagi Lyra. Ia terbangun mendadak, tubuhnya berkeringat dingin, napasnya terengah seolah baru saja berlari jauh. Pandangannya langsung mengarah ke sisi ranjang yang seharusnya diisi oleh Bintang. Kosong. Bantal di sampingnya dingin, seolah sudah lama ditinggalkan.Dadanya bergemuruh. Rasa takut yang ia kira sudah mulai reda tiba-tiba kembali menyeruak, membuat tenggorokannya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati, namun semakin ia mencoba, semakin ia merasa hampa.“Bintang…” bisiknya lirih, suara nyaris patah.Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah. Tidak ada kehangatan di sisinya. Yang tersisa hanya keheningan yang terasa menyesakkan.Lyra turun dari ranjang, kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan dan televisi dengan volume rendah, sekadar untuk memecah kesunyian.Namun, meski suara samar dari TV terdengar, rasa takut tidak juga berkurang. Baya

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   22. Rahasia yang terkuak

    Suasana jalanan sore terasa berbeda bagi Lyra.Mobil melaju stabil di bawah kendali Bintang. Namun, alih-alih tenang, dadanya masih berdebar kencang. Bayangan pria berhoodie yang mendekatinya di bus tadi seolah terus mengikuti dalam pikirannya. Setiap kata yang dibisikkan pria itu menggema lagi, menusuk telinganya: “Tak peduli seberapa jauh kau sembunyi… aku tetap bisa menemukamu.”Lyra memeluk kedua tangannya sendiri, berusaha menahan gemetar. Ia menoleh ke samping. Bintang duduk di belakang kemudi, wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan mata dingin yang menatap lurus ke jalanan. Namun, genggaman tangannya di atas roda kemudi begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Keheningan terasa berat. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Hanya deru mesin mobil yang mengisi udara.“B-Bintang…” suara Lyra akhirnya pecah, lirih. “Siapa dia? Kenapa dia mengikuti aku?”Bintang menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Jawabannya singkat, nyaris berbisik, namun penuh tekanan. “Orang yang se

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   21. Benturan dalam Bayangan

    Bus yang biasanya ramai oleh obrolan kini mendadak sunyi. Hanya suara mesin yang menderu, roda berdecit di jalan aspal, dan detak jantung Lyra yang terasa terlalu keras di telinganya.Bintang berdiri tegap, tubuhnya menjadi tembok yang menghalangi Lyra dari pria berhoodie. Aura dingin yang memancar darinya membuat beberapa penumpang bergeser, memberi ruang.“Geser,” ulang Bintang dengan suara rendah, tajam.Pria berhoodie itu menoleh pelan, menatap balik dengan mata berkilat. Senyumnya tipis, sinis, seolah menikmati permainan ini.“Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa,” ucapnya datar, tapi tatapannya menusuk ke arah Lyra. “Kalau dia ketakutan, itu urusannya sendiri.”Lyra menegang, tubuhnya bergetar kecil. Ia ingin berkata sesuatu, membela diri, atau sekadar meminta pria itu menjauh. Tapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.Bintang meraih tiang besi bus dengan satu tangan, tubuhnya condong sedikit ke depan, nyaris menempel dengan pria itu. “Kau sudah cukup membuatnya takut. Tu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status