LOGINSuara mesin espresso mendesis di kafe kecil depan kampus. Lyra berdiri di dekat etalase kaca, menunggu minumannya selesai. Hoodie abu-abu yang sama ia kenakan, rambut hitamnya diikat seadanya. Dari luar, ia tampak seperti Lyra yang dulu—mahasiswi tingkat dua jurusan Teknik Informatika, hidup sederhana dengan beasiswa penuh. Namun di balik itu semua, ada sesuatu yang sudah bergeser.
Cincin di jarinya berkilau samar ketika cahaya matahari menembus kaca. Refleks, Lyra menyelipkan tangannya ke saku hoodie. Kalau ada yang lihat… aku harus jawab apa? “Lyra!” Suara familiar membuatnya menoleh. Ray berlari kecil dari arah gerbang, kemeja kotak-kotaknya kusut, tas selempang penuh coretan spidol bergoyang di bahu. Wajahnya campuran lega dan kesal. “Lo kemana aja kemarin? Seharian ngilang, nggak masuk kuliah, nggak ada kabar. Gue nyaris lapor polisi, Ly!” Lyra tercekat. Kata-kata yang ingin ia ucapkan tertahan di tenggorokan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dirinya belum mengerti? “Aku…” suaranya nyaris tak terdengar. Ray menatapnya tajam, lalu menghela napas. “Jangan bilang lo cuma ketiduran di kos. Gue nggak bakal percaya. Lo bukan orang yang kayak gitu.” Untung barista memanggil namanya tepat saat itu. Lyra buru-buru mengambil gelas latte, lalu melangkah keluar kafe. Ray mengikutinya tanpa banyak bicara. Kampus tetap ramai dengan mahasiswa lalu-lalang, suara motor berdesakan di parkiran, papan pengumuman penuh poster lomba dan seminar. Tapi bagi Lyra, semuanya terasa kabur. Setiap langkah seolah ditempeli bayangan tak kasat mata. Di tangga menuju lantai dua, Ray kembali bersuara. “Ly, serius. Ada apa? Gue temen lo, lo bisa cerita.” Lyra menahan napas. Ingin rasanya ia menumpahkan semua—pernikahan mendadak, apartemen mewah, pria asing bernama Bintang Skylar. Tapi siapa yang akan percaya? Cincin di jarinya terasa panas, seolah menegur. “Aku cuma… ada urusan keluarga,” akhirnya ia berbohong. Ray menghentikan langkah. “Urusan keluarga… atau Tante lo lagi maksa lo dijodohin?” Lyra tercekat. Ray terlalu tahu jalan hidupnya. Sebelum ia sempat menjawab, suara langkah mantap terdengar dari ujung koridor. Seorang pria berjas hitam muncul, sikapnya formal, wajah dingin tanpa ekspresi. Ia berhenti tepat di depan Lyra. “Nyonya, Tuan menitipkan ini.” Sebuah kotak hitam elegan berpindah ke tangan Lyra. Darahnya berhenti mengalir. Dia bahkan tahu aku ada di kampus… Ray melongo. “Nyonya… siapa?!” Pelan, Lyra menerima kotak itu. Jantungnya berdebar kacau. Tanpa sepatah kata pun, pria berjas itu membungkuk singkat lalu pergi, langkahnya tegap seperti mesin. Ray menoleh cepat, wajahnya penuh tanda tanya. “Ly… apa barusan gue denger?” Lyra menggenggam kotak itu erat-erat. “Ray… tolong, jangan tanya apa-apa sekarang.” Di kelas, Lyra duduk di barisan belakang. Proyektor menampilkan materi Database System, tapi pikirannya melayang. Kotak hitam l itu tersembunyi di tas, seolah menarik semua perhatiannya. Saat ia membukanya diam-diam, sebuah ponsel terbaru berkilau, masih bersegel. Di atas layar, secarik kertas kecil: Gunakan ini. Aku sudah atur semuanya. — B. Skylar Lyra menahan napas. Dia… bahkan masuk sampai ke hidup pribadiku. Ponsel itu bukan sekadar hadiah. Ia terasa seperti borgol tak kasat mata. Dengan cepat, Lyra menutup kotak dan menyelipkannya kembali ke dalam tas. “Ly?” suara dosen tiba-tiba memanggil. Lyra tersentak, berdiri kaku. “Ya, Bu?” “Coba jelaskan konsep relational model.” Kepalanya kosong. Semua hafalan hilang. Pandangan teman-teman tertuju padanya, sebagian berbisik. Ray yang duduk dua baris di depan menoleh, tatapannya memberi dukungan. Dengan napas panjang, Lyra menjawab sekenanya. Jawabannya patah-patah, jelas tidak memuaskan. Tapi ia tak peduli. Yang penting, kotak di dalam tas tetap tersembunyi. Selesai kuliah, Lyra melangkah cepat ke luar gedung. Ray mengejarnya. “Ly, apa hubungan lo sama orang itu? Kenapa dia manggil lo Nyonya ? Jangan bilang—” “Ray!” suara Lyra pecah lebih keras dari yang ia maksud. Beberapa mahasiswa menoleh. Ia segera menunduk. “Maaf… aku nggak bisa cerita sekarang.” Ray terdiam, wajahnya menegang. Lalu, dengan nada lebih lembut, ia berkata, “Ly, gue juga minta maaf. Semalam… gue ninggalin lo di klub. Harus ada pengantaran barang mendadak, klien maksa selesai malam itu juga. Lo tau kan, kerjaan kurir suka nggak bisa ditunda.” Lyra menoleh, tatapannya melembut. “Gue ngerti, Ray. Itu bukan salahmu.” Ray mengangguk pelan, tapi sesal tetap terlihat di matanya. Malam itu, di apartemen, Lyra duduk sendiri di kamar tamu. Kotak ponsel mewah itu tergeletak di meja, pantulan layar gelapnya menusuk mata. “Dia bahkan mengatur komunikasiku…” bisiknya getir. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mendadak itu, Lyra benar-benar merasa terjebak. Setiap langkah, bahkan yang paling kecil, sudah berada di bawah kendali Bintang Skylar.Pagi itu, kampus Teknik terasa lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa lalu-lalang di halaman utama, membawa ransel tebal penuh buku dan laptop, sementara suara motor berdesakan di parkiran menciptakan hiruk-pikuk khas pagi hari. Udara segar bercampur aroma kopi dari kantin kecil, dan papan pengumuman dipenuhi poster seminar IT terbaru. Lyra melangkah masuk melalui gerbang utama, tas selempangnya bergoyang ringan di bahu. Setelah dua hari libur yang diisi piknik dan cerita masa lalu dengan Bintang, ia merasa sedikit lebih kuat—tapi bayangan penguntit masih sesekali muncul di benaknya, seperti kabut tipis yang sulit diusir.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan celana jeans biru, rambutnya diikat ponytail tinggi agar tidak mengganggu saat mengetik di kelas. Kalung cincin pernikahan bergoyang pelan di dadanya, tersembunyi di balik kerah, tapi sentuhannya memberi rasa aman. "Hari ini normal," gumamnya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan. Kuliah pagi ini adalah mata kuliah Algoritma
Sore itu, sinar matahari mulai condong, mewarnai langit Jakarta dengan gradasi oranye dan ungu yang lembut. Lyra duduk di bangku taman kecil dekat kampus, angin sepoi membelai rambutnya yang tergerai. Ia baru saja selesai kelas singkat—dosen memahami alasan liburnya kemarin, berkat pesan dari Bintang—dan memutuskan mampir ke sini sebelum pulang. Ponselnya bergetar di tangan, layar menampilkan nama yang sudah lama tidak ia dengar: Ray.Hatinya berdegup sedikit lebih cepat. Ray, sahabat setianya sejak SMA, orang yang selalu ada saat tante memaksa atau beasiswa hampir dicabut. Tapi sejak pernikahan mendadak itu, Lyra sengaja menjaga jarak—bukan karena tidak ingin, tapi karena tak tahu bagaimana menjelaskan. "Halo?" jawabnya pelan, suaranya berusaha santai."Ly! Akhirnya lo angkat juga. Gue nyari lo kemana-mana sejak kemarin. Lo hilang dua hari, nggak ada kabar. Lo baik-baik aja?" Suara Ray di seberang terdengar campur khawatir dan kesal, seperti biasa saat ia panik.Lyra tersenyum kecil,
Cahaya pagi menyusup pelan melalui celah tirai kamar, membentuk garis-garis emas tipis di lantai marmer yang dingin. Lyra membuka mata dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin yang menempel lengket di kulitnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tak terlihat. Ia duduk setengah bangun, tangannya meraba-raba sisi ranjang di sebelahnya. Hangat. Bintang masih di sana, tidur dengan posisi tegap seperti biasa, napasnya teratur dan dalam.Namun, mimpi buruk itu masih melekat kuat di benaknya. Ia melihatnya lagi—pria berhoodie hitam itu, berdiri di ujung lorong gelap, senyum tipisnya menyeringai seperti pisau. "Kau tidak bisa lari selamanya," bisik suara serak itu di telinganya. Lalu, Bintang muncul, tapi bukannya melindunginya, ia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkannya sendirian. Lyra berlari, tapi kakinya seperti terikat, dan pria itu semakin dekat, tangannya hampir menyentuh bahunya..."Bin..." gumam Lyra lirih, suaranya berge
Malam itu terasa begitu panjang bagi Lyra. Ia terbangun mendadak, tubuhnya berkeringat dingin, napasnya terengah seolah baru saja berlari jauh. Pandangannya langsung mengarah ke sisi ranjang yang seharusnya diisi oleh Bintang. Kosong. Bantal di sampingnya dingin, seolah sudah lama ditinggalkan.Dadanya bergemuruh. Rasa takut yang ia kira sudah mulai reda tiba-tiba kembali menyeruak, membuat tenggorokannya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati, namun semakin ia mencoba, semakin ia merasa hampa.“Bintang…” bisiknya lirih, suara nyaris patah.Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah. Tidak ada kehangatan di sisinya. Yang tersisa hanya keheningan yang terasa menyesakkan.Lyra turun dari ranjang, kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan dan televisi dengan volume rendah, sekadar untuk memecah kesunyian.Namun, meski suara samar dari TV terdengar, rasa takut tidak juga berkurang. Baya
Suasana jalanan sore terasa berbeda bagi Lyra.Mobil melaju stabil di bawah kendali Bintang. Namun, alih-alih tenang, dadanya masih berdebar kencang. Bayangan pria berhoodie yang mendekatinya di bus tadi seolah terus mengikuti dalam pikirannya. Setiap kata yang dibisikkan pria itu menggema lagi, menusuk telinganya: “Tak peduli seberapa jauh kau sembunyi… aku tetap bisa menemukamu.”Lyra memeluk kedua tangannya sendiri, berusaha menahan gemetar. Ia menoleh ke samping. Bintang duduk di belakang kemudi, wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan mata dingin yang menatap lurus ke jalanan. Namun, genggaman tangannya di atas roda kemudi begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Keheningan terasa berat. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Hanya deru mesin mobil yang mengisi udara.“B-Bintang…” suara Lyra akhirnya pecah, lirih. “Siapa dia? Kenapa dia mengikuti aku?”Bintang menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Jawabannya singkat, nyaris berbisik, namun penuh tekanan. “Orang yang se
Bus yang biasanya ramai oleh obrolan kini mendadak sunyi. Hanya suara mesin yang menderu, roda berdecit di jalan aspal, dan detak jantung Lyra yang terasa terlalu keras di telinganya.Bintang berdiri tegap, tubuhnya menjadi tembok yang menghalangi Lyra dari pria berhoodie. Aura dingin yang memancar darinya membuat beberapa penumpang bergeser, memberi ruang.“Geser,” ulang Bintang dengan suara rendah, tajam.Pria berhoodie itu menoleh pelan, menatap balik dengan mata berkilat. Senyumnya tipis, sinis, seolah menikmati permainan ini.“Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa,” ucapnya datar, tapi tatapannya menusuk ke arah Lyra. “Kalau dia ketakutan, itu urusannya sendiri.”Lyra menegang, tubuhnya bergetar kecil. Ia ingin berkata sesuatu, membela diri, atau sekadar meminta pria itu menjauh. Tapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.Bintang meraih tiang besi bus dengan satu tangan, tubuhnya condong sedikit ke depan, nyaris menempel dengan pria itu. “Kau sudah cukup membuatnya takut. Tu







