Udara malam Jakarta menusuk kulit saat Lyra keluar dari taksi online di sebuah ruko sempit. Lampu neon bertuliskan “Servis Laptop & Komputer – Buka 24 Jam” berkelip-kelip, setengah mati. Jalanan lengang, hanya ada beberapa warung kopi kecil yang masih buka, dengan deretan motor parkir seadanya.
Lyra menggenggam erat tas berisi laptopnya. Napasnya masih berat karena terburu-buru. Ia melirik papan jam digital di apotek seberang: 23:42. Masih ada waktu, semoga. Ia melangkah masuk. Bau solder dan debu elektronik langsung menyambut. Di balik meja kayu yang penuh obeng dan kabel, seorang pria paruh baya berkacamata menoleh. Rambutnya berantakan, kausnya lusuh bertuliskan “Teknisi Sejati”. “Servis, Mbak?” tanyanya datar, tapi matanya langsung tertuju pada tas Lyra. Lyra buru-buru mengeluarkan laptop tuanya, meletakkannya di atas meja. “Pak, tolong… laptop saya tiba-tiba mati. Nggak nyala sama sekali. Padahal tadi masih saya pakai.” Suaranya tergesa, nyaris panik. Teknisi itu mengangguk kecil. “Coba saya cek dulu.” Ia menekan tombol power. Nihil. Kemudian ia membuka casing bagian belakang dengan cekatan, menyinari bagian dalam dengan lampu kecil. Tangannya cekatan meski wajahnya tampak lelah. Lyra berdiri kaku, jemarinya saling meremas. Perutnya melilit, bukan karena lapar, tapi karena takut. Kalau nggak bisa diselamatkan malam ini, bagaimana aku besok? Setelah beberapa menit, pria itu bergumam. “Kayaknya motherboardnya kena short. Tapi masih bisa dicoba. Mbaknya tunggu sebentar, ya. Paling nggak satu jam.” “S-satu jam?” Lyra menelan ludah. Rasanya dadanya makin sempit. Tapi setidaknya ada harapan. “Kalau urgent banget, saya coba percepat. Tapi nggak janji langsung beres. Laptop tua gini, resikonya lebih besar.” Lyra mengangguk cepat. “Tolong, Pak. Penting banget. Ada tugas yang belum sempat saya simpan.” Teknisi itu menatapnya sebentar, lalu kembali bekerja dengan solder dan kabel pengganti. Lyra duduk di kursi plastik dekat pintu. Kakinya bergoyang resah, matanya sesekali menatap jalanan gelap di luar. Motor lewat sesekali, suara knalpot memecah kesunyian. Ia merasa benar-benar sendirian. Hanya satu hal yang terus terngiang di kepalanya: beasiswa. Semua ini bukan hanya tentang nilai, bukan sekadar tugas. Ini tentang hidupnya. Tentang masa depan yang satu-satunya ia punya. Tangannya terangkat menyentuh cincin di jari manis. Ia menggertakkan gigi, seolah bisa melupakan benda kecil itu. “Aku nggak akan kalah cuma karena ini,” bisiknya lirih. Jarum jam sudah melewati pukul 00:17 ketika teknisi itu akhirnya mengangkat kepalanya. Wajahnya penuh keringat, meski ruangan ber-AC seadanya. “Syukurlah…” katanya pelan sambil menekan tombol power. Layar laptop Lyra menyala, meski dengan suara kipas yang berisik. “Untuk sementara nyala. Tapi… ini nggak akan bertahan lama kalau Mbak masih pakai tiap hari tanpa perbaikan lebih dalam.” Lyra hampir menitikkan air mata lega. Ia buru-buru mendekat. “Jadi… saya masih bisa buka file tugasnya, kan?” Pria itu mengangguk. “Masih. Tapi sebaiknya backup semua data malam ini juga. Kalau sampai mati total lagi, bisa lebih susah nyelamatinnya.” “Terima kasih banyak, Pak.” Lyra menunduk dalam-dalam, hampir ingin bersujud. Ia duduk lagi, membuka laptopnya dengan hati-hati. Layar biru Windows menyambut. File tugasnya masih ada—meski beberapa bagian belum selesai. Jantungnya berdetak kencang, seolah baru diberi satu kesempatan hidup lagi. Teknisi menambahkan, “Saya sarankan jangan dipakai lama-lama. Cukup selesaikan yang penting, lalu matikan. Besok bisa saya servis lebih lengkap.” Lyra mengangguk, meski hatinya cemas. Tapi setidaknya ia bisa bernapas sedikit lega. Namun, di luar sana, ketenangan itu tidak bertahan lama. Dari balik kaca toko yang berembun, sebuah mobil hitam berhenti perlahan di seberang jalan. Kaca mobil gelap, tak terlihat siapa di dalam. Hanya sorot lampu depan yang menyoroti pintu toko servis itu. Lyra tidak menyadarinya. Ia terlalu fokus pada laptop yang kini bekerja keras menyalin data ke flashdisk seadanya. Ponselnya yang tergeletak di meja tiba-tiba bergetar keras. Nama yang muncul di layar membuat darahnya berhenti mengalir sejenak: Bintang. Tangan Lyra gemetar. Ia ragu mengangkatnya. Belum sempat ia menyentuh layar, pintu toko berderit. Seorang pria jangkung dengan setelan rapi masuk, menunduk sedikit agar tidak terbentur papan pintu. Wajahnya dingin, sorot matanya menusuk. “Lyra.” Suara itu datar, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri. Laptop hampir terlepas dari pangkuannya. Ia menoleh perlahan. “B-Bintang…?” suaranya lirih, nyaris patah. Bintang berjalan mendekat, sepatu kulitnya menimbulkan bunyi berat di lantai keramik toko. Matanya sempat melirik laptop, lalu menatap Lyra lama-lama. “Kau keluar malam-malam… hanya untuk ini?” suaranya rendah, penuh tekanan. Teknisi yang tadinya fokus pada obengnya langsung pura-pura sibuk, jelas merasakan hawa aneh di ruangan itu. Lyra menunduk, jemarinya mencengkeram pinggiran laptop. “Aku… tugas kuliahku… laptopku mati. Aku—aku panik.” Bintang menghela napas panjang, berat, lalu menggeleng kecil. “Apa kau lupa… kau sekarang bukan sendirian lagi?” Hening. Hanya suara kipas laptop tua itu yang berputar keras. Lyra merasa dirinya baru saja terjebak dalam jerat yang lebih kuat daripada sekadar cincin di jarinya.Lampu meja menyala temaram, cahayanya jatuh hanya pada tumpukan dokumen yang tertata di atas meja kayu hitam. Bayangan samar tercetak di dinding, bergerak pelan mengikuti nyala bohlam yang bergetar halus. Di tengah keheningan itu, detik jam dinding terdengar nyaring, seolah setiap putarannya menegaskan betapa malam ini berjalan lambat.Bintang duduk bersandar di kursinya, punggung tegak namun kepalanya tertunduk, tatapannya kosong pada layar komputer yang tak beranjak dari halaman awal. Pekerjaan yang biasanya menuntut presisi dan ketelitian kini hanya tampak seperti gangguan. Ia bahkan tidak mencoba menyentuh keyboard.Pikirannya berada di tempat lain. Tepatnya, pada sosok yang kini terlelap di kamar tamu.Lyra.Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa berat. Bayangan wajah lelah gadis itu menempel jelas dalam ingatannya—alis tipis yang berkerut karena terlalu lama menatap layar, jemari yang memerah lantaran tak henti mengetik, napas berat yang akhirnya menyerah dalam tidur.
Pintu apartemen terbuka dengan suara klik halus, disusul aroma khas ruangan yang dingin dan rapi. Lampu-lampu otomatis menyala, memantulkan cahaya lembut di lantai marmer putih yang mengilap.Lyra melangkah masuk lebih dulu, masih mengenakan jas hitam Bintang yang kebesaran di tubuhnya. Hela napasnya menggantung, tak berani menoleh. Ia bisa mendengar langkah Bintang di belakangnya—tenang, teratur, tapi menimbulkan tekanan tak kasatmata yang membuat punggungnya kaku.Suara pintu ditutup pelan, lalu hening kembali berkuasa. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak lambat, seakan mengejek betapa panjangnya setiap momen.Lyra menaruh laptop tuanya di meja tamu dengan hati-hati, seolah satu gerakan salah bisa memicu percikan ledakan. Jemarinya gemetar, tapi ia berusaha menutupi dengan mengusap-usap lengan jas yang masih membungkusnya. Hangat kain itu seakan masih menempel di kulit, tapi pikirannya justru semakin berisik.Tanpa sepatah kata, Bintang berjalan melewati Lyra. Suara lan
Pintu mobil tertutup rapat, menelan Lyra ke dalam ruang sempit beraroma kulit mahal dan parfum maskulin yang begitu asing tapi kini mulai menempel di inderanya. Suara jalanan di luar teredam, hanya tersisa dengung mesin yang stabil dan denyut jantungnya sendiri yang tak karuan.Bintang duduk di kursi pengemudi, diam. Tangannya mantap di setir, sorot matanya lurus menatap jalan. Mobil melaju stabil, setiap gerakan setirnya presisi, seakan ia mengendalikan bukan hanya arah mobil, tapi juga arah napas Lyra.Lyra menggenggam laptopnya erat di pangkuan, seolah benda tua itu satu-satunya pelindungnya dari badai yang siap meledak.Akhirnya, Bintang membuka suara. “Kau tahu berapa banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada seorang perempuan sendirian di jalan jam segini?”Nada suaranya tenang, tapi terlalu dingin, terlalu tajam.Lyra menelan ludah. “Aku… aku nggak punya pilihan lain. Kalau tugasnya nggak selesai, aku bisa kehilangan beasiswa. Itu berarti aku kehilangan segalanya.”Bintan
Udara malam Jakarta menusuk kulit saat Lyra keluar dari taksi online di sebuah ruko sempit. Lampu neon bertuliskan “Servis Laptop & Komputer – Buka 24 Jam” berkelip-kelip, setengah mati. Jalanan lengang, hanya ada beberapa warung kopi kecil yang masih buka, dengan deretan motor parkir seadanya. Lyra menggenggam erat tas berisi laptopnya. Napasnya masih berat karena terburu-buru. Ia melirik papan jam digital di apotek seberang: 23:42. Masih ada waktu, semoga. Ia melangkah masuk. Bau solder dan debu elektronik langsung menyambut. Di balik meja kayu yang penuh obeng dan kabel, seorang pria paruh baya berkacamata menoleh. Rambutnya berantakan, kausnya lusuh bertuliskan “Teknisi Sejati”. “Servis, Mbak?” tanyanya datar, tapi matanya langsung tertuju pada tas Lyra. Lyra buru-buru mengeluarkan laptop tuanya, meletakkannya di atas meja. “Pak, tolong… laptop saya tiba-tiba mati. Nggak nyala sama sekali. Padahal tadi masih saya pakai.” Suaranya tergesa, nyaris panik. Teknisi itu mengangguk
Suasana di apartemen itu masih terasa asing bagi Lyra, seakan setiap sudutnya menegaskan bahwa ia tidak benar-benar pantas berada di sini. Dinding putih yang bersih sempurna, lantai marmer berkilau, perabotan mahal yang bahkan takut ia sentuh—semua seperti museum, bukan tempat tinggal.Sudah tiga hari sejak ia tinggal di apartemen Bintang Skylar. Tiga hari yang terasa lebih panjang daripada satu semester kuliah.Pagi itu, Lyra bangun lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena resah, mungkin karena rasa tidak nyaman yang masih menggantung. Ia terbiasa di rumah kontrakan kecil bersama tantenya, di mana suara ayam tetangga atau motor lewat menjadi alarm alami. Di sini, semuanya terlalu senyap. Terlalu steril.Dengan hati-hati, ia melangkah ke dapur. Niatnya sederhana: membuat sarapan sendiri. Tapi begitu membuka kulkas, matanya membelalak. Rak-rak penuh dengan bahan makanan impor, keju asing dengan nama yang tak bisa ia baca, daging berlabel premium, dan aneka minuman dalam botol kaca. Ti
Suara mesin espresso mendesis di kafe kecil depan kampus. Lyra berdiri di dekat etalase kaca, menunggu minumannya selesai. Hoodie abu-abu yang sama ia kenakan, rambut hitamnya diikat seadanya. Dari luar, ia tampak seperti Lyra yang dulu—mahasiswi tingkat dua jurusan Teknik Informatika, hidup sederhana dengan beasiswa penuh. Namun di balik itu semua, ada sesuatu yang sudah bergeser.Cincin di jarinya berkilau samar ketika cahaya matahari menembus kaca. Refleks, Lyra menyelipkan tangannya ke saku hoodie.Kalau ada yang lihat… aku harus jawab apa?“Lyra!”Suara familiar membuatnya menoleh. Ray berlari kecil dari arah gerbang, kemeja kotak-kotaknya kusut, tas selempang penuh coretan spidol bergoyang di bahu. Wajahnya campuran lega dan kesal.“Lo kemana aja kemarin? Seharian ngilang, nggak masuk kuliah, nggak ada kabar. Gue nyaris lapor polisi, Ly!”Lyra tercekat. Kata-kata yang ingin ia ucapkan tertahan di tenggorokan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dirinya belum menger