LOGINPintu mobil tertutup rapat, menelan Lyra ke dalam ruang sempit beraroma kulit mahal dan parfum maskulin yang begitu asing tapi kini mulai menempel di inderanya. Suara jalanan di luar teredam, hanya tersisa dengung mesin yang stabil dan denyut jantungnya sendiri yang tak karuan.
Bintang duduk di kursi pengemudi, diam. Tangannya mantap di setir, sorot matanya lurus menatap jalan. Mobil melaju stabil, setiap gerakan setirnya presisi, seakan ia mengendalikan bukan hanya arah mobil, tapi juga arah napas Lyra. Lyra menggenggam laptopnya erat di pangkuan, seolah benda tua itu satu-satunya pelindungnya dari badai yang siap meledak. Akhirnya, Bintang membuka suara. “Kau tahu berapa banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada seorang perempuan sendirian di jalan jam segini?” Nada suaranya tenang, tapi terlalu dingin, terlalu tajam. Lyra menelan ludah. “Aku… aku nggak punya pilihan lain. Kalau tugasnya nggak selesai, aku bisa kehilangan beasiswa. Itu berarti aku kehilangan segalanya.” Bintang menoleh sekilas, tatapannya menusuk. “Beasiswa? Apakah kau lupa sekarang siapa dirimu? Beasiswa itu hanya satu benang tipis. Aku bisa memberimu tali yang jauh lebih kuat.” “Aku nggak mau hidupku diikat oleh tali yang kamu maksud!” sergah Lyra, suaranya pecah. Keheningan sejenak. Tangan Bintang mengencang di setir, buku-bukunya menegang. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke arah Lyra, wajahnya mendekat meski matanya kembali ke jalan. “Lalu lebih baik apa? Kau ingin diikat oleh rasa takut? Oleh ketidakpastian? Kau kira itu kebebasan?” Lyra menunduk, matanya panas. Kata-katanya tercekat di tenggorokan. Kenapa semua yang ia ucapkan terdengar benar, tapi terasa salah? Mobil menembus jalanan kosong. Lampu kota berganti-ganti menerpa wajah mereka, menciptakan bayangan kontras di antara jeda tatapan. “Lyra,” suara Bintang melembut, tapi tetap mengandung tekanan. “Kalau ada yang kau butuhkan, katakan padaku. Aku bisa membereskannya. Kau tidak perlu begadang di toko sempit yang bahkan tidak menjamin keselamatanmu.” Lyra akhirnya mengangkat wajah, matanya basah. “Tapi itu tugasku. Hidupku. Aku yang harus berjuang, bukan kamu. Kalau aku terus membiarkanmu mengatur semuanya, aku… aku akan hilang, Bin.” Kata itu—“Bin”—membuat Bintang terdiam sesaat. Sorot matanya berubah, ada kilatan emosional yang sulit diterjemahkan. Ia menarik napas panjang, rahangnya mengeras. “Aku marah bukan karena kau menentangku. Aku marah karena kau membuatku khawatir.” Jantung Lyra mencelos. Ada jeda panjang sebelum ia bisa merespons. “Khawatir… atau ingin mengendalikan?” Bintang tidak menjawab. Tatapannya lurus ke jalan, wajahnya tertutup bayangan lampu yang lewat satu per satu. Keheningan mencekam memenuhi kabin. Hanya suara mesin dan napas tertahan. Lalu, dengan gerakan tiba-tiba, Bintang melepas jas hitam yang ia kenakan dengan satu tangan, sementara tangan lainnya tetap mengendalikan setir. Ia menyampirkannya ke pundak Lyra tanpa berkata apa-apa. Lyra terdiam, tubuhnya menegang. Hangat kain itu kontras dengan dinginnya nada suara Bintang barusan. Perhatiannya nyata, tapi cara ia menunjukkannya seperti jerat yang tak bisa ditolak. Lyra menunduk, menggenggam jas itu dengan bingung. Antara ingin menyingkirkannya atau membiarkannya tetap di sana. Di kursi penumpang yang sempit, ia merasa terjebak antara dua dunia—antara rasa takut, rasa bersalah, dan sesuatu yang samar, yang bahkan ia tak berani namai. ~~~ Lampu jalan berderet bagai garis putus-putus yang berlari mundur di kaca jendela. Mobil hitam itu melaju tenang, hampir tanpa suara selain dengungan mesin yang stabil. Lyra menatap keluar, matanya kosong, mengikuti bayangan lampu yang sesekali pecah di permukaan kaca. Jantungnya belum sepenuhnya normal. Masih ada sisa degup panik karena kejadian barusan—dimarahi di depan teknisi, lalu ditarik masuk mobil tanpa kesempatan menjelaskan. Ia menggenggam erat resleting tas, seakan itu jangkar kecil yang bisa menahannya tetap waras. Di sampingnya, Bintang Skylar menyetir dengan wajah tenang. Terlalu tenang, malah. Satu tangannya memegang setir, satu lagi bertumpu di sisi kursi. Tidak ada kata keluar sejak mereka meninggalkan tempat servis tadi. Keheningan itu menekan Lyra, membuat ruang kabin seolah menyempit. Kenapa aku harus merasa bersalah? batinnya. Aku cuma mau menyelesaikan tugas kuliah. Laptop mati, aku panik. Bukannya dia bisa mengerti? Kenapa malah seperti aku ini… tahanan? Lyra menggeser duduk, mencoba mencari kenyamanan, tapi rasa terikat itu tetap ada. Napasnya ditahan, lalu diembuskan pelan. Udara dalam mobil terasa dingin meski AC tidak begitu kencang. Tanpa aba-aba, gerakan kecil terjadi. Dari ekor matanya, Lyra melihat Bintang melepas jaket hitam yang semula tersampir di kursi belakang. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menariknya dengan satu tangan, lalu meletakkannya di pangkuan Lyra. Gerakan sederhana. Tapi cukup untuk membuat Lyra terdiam. Hangat kain itu langsung meresap ke jemari yang masih kaku. Lyra menunduk, menatap jaket di pangkuannya, lalu melirik cepat ke arah pria di sampingnya. Wajah Bintang tetap datar, pandangan lurus ke depan. Seolah ia baru saja melakukan hal paling sepele di dunia. Tapi tidak bagi Lyra. Apa ini cara dia minta maaf? Atau sekadar refleks? pikirnya. Kenapa aku malah bingung sendiri? Ia menggigit bibir, menahan perasaan yang campur aduk. Ada sedikit kehangatan yang menjalar di dada, tapi langsung tertabrak tembok rasa tidak suka karena caranya mengatur hidup orang lain. Kedua sisi dirinya bertabrakan, membuat Lyra hanya bisa kembali menatap jendela. Dari kaca, bayangan samar wajahnya terlihat: mata yang lelah, alis yang sedikit berkerut. Mobil terus melaju, keheningan makin pekat. Tidak ada percakapan. Tidak ada musik. Hanya suara mesin dan deru jalan malam yang kosong. Suasana hening itu bukannya meredakan ketegangan, justru membuatnya semakin nyata. Seakan ada kata-kata yang menumpuk di udara tapi tak seorang pun berani mengucapkannya. Lyra meremas jaket di pangkuannya, membiarkan aroma samar maskulin dari kain itu menyusup ke inderanya. Ia ingin melemparnya kembali, ingin berkata bahwa ia bisa menjaga dirinya sendiri. Tapi lidahnya kelu. Ada bagian kecil dalam dirinya yang diam-diam merasa… hangat. Dan di balik setir, Bintang tetap tidak bergeming. Fokus pada jalan, dengan rahang yang sesekali mengeras, menahan sesuatu yang ia juga tidak ucapkan. Akhirnya, mobil melambat ketika memasuki area apartemen. Deretan lampu taman dan gerbang otomatis menyambut mereka. Ban berhenti sempurna di basement parkir, suara mesin pun padam. Namun keheningan itu tidak ikut mati. Justru semakin terasa, membungkus mereka berdua di dalam kabin. Lyra menunduk, jari-jarinya mengepal di atas jaket yang masih dipangkunya. Bintang membuka sabuk pengaman dengan gerakan tenang, lalu keluar lebih dulu. Pintu di sisi Lyra pun ditarik dari luar. Ia sempat terperanjat ketika mendapati Bintang menunduk sedikit, tatapannya tajam tapi suaranya tetap tak keluar. Hanya isyarat singkat agar ia ikut turun. Dengan langkah ragu, Lyra melangkah keluar. Malam di basement itu dingin, tapi jaket di pelukannya terasa lebih hangat daripada udara sekitar. Mereka berjalan menuju lift, tetap dalam diam. Atmosfer tegang itu mengikuti, seakan bayangan yang menempel erat dan enggan pergi. Hening yang menggantung bahkan lebih berat daripada kata-kata.Pagi itu, kampus Teknik terasa lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa lalu-lalang di halaman utama, membawa ransel tebal penuh buku dan laptop, sementara suara motor berdesakan di parkiran menciptakan hiruk-pikuk khas pagi hari. Udara segar bercampur aroma kopi dari kantin kecil, dan papan pengumuman dipenuhi poster seminar IT terbaru. Lyra melangkah masuk melalui gerbang utama, tas selempangnya bergoyang ringan di bahu. Setelah dua hari libur yang diisi piknik dan cerita masa lalu dengan Bintang, ia merasa sedikit lebih kuat—tapi bayangan penguntit masih sesekali muncul di benaknya, seperti kabut tipis yang sulit diusir.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan celana jeans biru, rambutnya diikat ponytail tinggi agar tidak mengganggu saat mengetik di kelas. Kalung cincin pernikahan bergoyang pelan di dadanya, tersembunyi di balik kerah, tapi sentuhannya memberi rasa aman. "Hari ini normal," gumamnya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan. Kuliah pagi ini adalah mata kuliah Algoritma
Sore itu, sinar matahari mulai condong, mewarnai langit Jakarta dengan gradasi oranye dan ungu yang lembut. Lyra duduk di bangku taman kecil dekat kampus, angin sepoi membelai rambutnya yang tergerai. Ia baru saja selesai kelas singkat—dosen memahami alasan liburnya kemarin, berkat pesan dari Bintang—dan memutuskan mampir ke sini sebelum pulang. Ponselnya bergetar di tangan, layar menampilkan nama yang sudah lama tidak ia dengar: Ray.Hatinya berdegup sedikit lebih cepat. Ray, sahabat setianya sejak SMA, orang yang selalu ada saat tante memaksa atau beasiswa hampir dicabut. Tapi sejak pernikahan mendadak itu, Lyra sengaja menjaga jarak—bukan karena tidak ingin, tapi karena tak tahu bagaimana menjelaskan. "Halo?" jawabnya pelan, suaranya berusaha santai."Ly! Akhirnya lo angkat juga. Gue nyari lo kemana-mana sejak kemarin. Lo hilang dua hari, nggak ada kabar. Lo baik-baik aja?" Suara Ray di seberang terdengar campur khawatir dan kesal, seperti biasa saat ia panik.Lyra tersenyum kecil,
Cahaya pagi menyusup pelan melalui celah tirai kamar, membentuk garis-garis emas tipis di lantai marmer yang dingin. Lyra membuka mata dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin yang menempel lengket di kulitnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tak terlihat. Ia duduk setengah bangun, tangannya meraba-raba sisi ranjang di sebelahnya. Hangat. Bintang masih di sana, tidur dengan posisi tegap seperti biasa, napasnya teratur dan dalam.Namun, mimpi buruk itu masih melekat kuat di benaknya. Ia melihatnya lagi—pria berhoodie hitam itu, berdiri di ujung lorong gelap, senyum tipisnya menyeringai seperti pisau. "Kau tidak bisa lari selamanya," bisik suara serak itu di telinganya. Lalu, Bintang muncul, tapi bukannya melindunginya, ia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkannya sendirian. Lyra berlari, tapi kakinya seperti terikat, dan pria itu semakin dekat, tangannya hampir menyentuh bahunya..."Bin..." gumam Lyra lirih, suaranya berge
Malam itu terasa begitu panjang bagi Lyra. Ia terbangun mendadak, tubuhnya berkeringat dingin, napasnya terengah seolah baru saja berlari jauh. Pandangannya langsung mengarah ke sisi ranjang yang seharusnya diisi oleh Bintang. Kosong. Bantal di sampingnya dingin, seolah sudah lama ditinggalkan.Dadanya bergemuruh. Rasa takut yang ia kira sudah mulai reda tiba-tiba kembali menyeruak, membuat tenggorokannya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati, namun semakin ia mencoba, semakin ia merasa hampa.“Bintang…” bisiknya lirih, suara nyaris patah.Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah. Tidak ada kehangatan di sisinya. Yang tersisa hanya keheningan yang terasa menyesakkan.Lyra turun dari ranjang, kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan dan televisi dengan volume rendah, sekadar untuk memecah kesunyian.Namun, meski suara samar dari TV terdengar, rasa takut tidak juga berkurang. Baya
Suasana jalanan sore terasa berbeda bagi Lyra.Mobil melaju stabil di bawah kendali Bintang. Namun, alih-alih tenang, dadanya masih berdebar kencang. Bayangan pria berhoodie yang mendekatinya di bus tadi seolah terus mengikuti dalam pikirannya. Setiap kata yang dibisikkan pria itu menggema lagi, menusuk telinganya: “Tak peduli seberapa jauh kau sembunyi… aku tetap bisa menemukamu.”Lyra memeluk kedua tangannya sendiri, berusaha menahan gemetar. Ia menoleh ke samping. Bintang duduk di belakang kemudi, wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan mata dingin yang menatap lurus ke jalanan. Namun, genggaman tangannya di atas roda kemudi begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Keheningan terasa berat. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Hanya deru mesin mobil yang mengisi udara.“B-Bintang…” suara Lyra akhirnya pecah, lirih. “Siapa dia? Kenapa dia mengikuti aku?”Bintang menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Jawabannya singkat, nyaris berbisik, namun penuh tekanan. “Orang yang se
Bus yang biasanya ramai oleh obrolan kini mendadak sunyi. Hanya suara mesin yang menderu, roda berdecit di jalan aspal, dan detak jantung Lyra yang terasa terlalu keras di telinganya.Bintang berdiri tegap, tubuhnya menjadi tembok yang menghalangi Lyra dari pria berhoodie. Aura dingin yang memancar darinya membuat beberapa penumpang bergeser, memberi ruang.“Geser,” ulang Bintang dengan suara rendah, tajam.Pria berhoodie itu menoleh pelan, menatap balik dengan mata berkilat. Senyumnya tipis, sinis, seolah menikmati permainan ini.“Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa,” ucapnya datar, tapi tatapannya menusuk ke arah Lyra. “Kalau dia ketakutan, itu urusannya sendiri.”Lyra menegang, tubuhnya bergetar kecil. Ia ingin berkata sesuatu, membela diri, atau sekadar meminta pria itu menjauh. Tapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.Bintang meraih tiang besi bus dengan satu tangan, tubuhnya condong sedikit ke depan, nyaris menempel dengan pria itu. “Kau sudah cukup membuatnya takut. Tu







