Share

Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati
Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati
Penulis: Rinos

Terimakasih Ayah Karenamu Aku Patah Hati

Menahan air mata untuk tidak terjun bebas dari sudut-sudut mata itu sangatlah sulit sekali. Akan tetapi, aku terus berusaha untuk menahannya agar butiran air yang bening itu tidak akan meluncur jatuh.

Ini mungkin hari yang bahagia untuk mantan kekasihku, Reyhan. Dia menikah dengan kekasihnya yang bernama Helia, padahal hubungan cinta mereka masih seumur jagung, yakni 4 bulan berpacaran dan setelah itu mereka langsung memantapkan hubungannya di jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan.

Terlihat senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Beda halnya denganku, aku hanya bisa membuat senyuman palsu di wajahku. Hubunganku yang begitu lama dengan Reyhan, yaitu 3 tahun berpacaran harus kandas akibat restu orang tuaku yang tak bisa aku dapatkan.

Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Ayahku sehingga tak mau merestui hubunganku dengan Reyhan, padahal Reyhan adalah laki–laki yang baik dan bertanggung jawab.

Aku menundukkan kepalaku karena aku mencoba untuk menyembunyikan air mata yang sudah mulai merangkak keluar dari ujung mataku. Aku usap perlahan agar tidak merusak make up ku.

“Arin, ayo!” Diana menarik pelan tanganku.

Aku pun langsung cepat–cepat mengatur mimik wajahku agar tidak terlihat bahwa aku sedang bersedih. Gengsi? Tidak! Akan tetapi, aku merasakan sesal karena telah membiarkan lelaki sebaik itu pergi meninggalkanku.

Aku mengikuti Diana yang masih saja menarik pergelangan tanganku. “Kemana?” Tanyaku dengan tetap berjalan.

Tanpa berhenti Diana menjawab pertanyaanku, “Mengucapkan selamat kepada Reyhan dan istrinya dan sekalian kita pamit untuk pulang.”

Rasanya ingin sekali menarik tanganku dari genggaman tangan Diana. Kuatkah aku untuk berhadapan dengan Reyhan dan istrinya. Bagaimana kalau aku tak bisa menahan kesedihanku dan tidak bisa menahan perilakuku. Aku pasti akan membuat malu diriku sendiri di depan semua orang.

Aku sedikit menarik tanganku yang di pegang oleh Diana, membuat Diana berhenti melangkah dan menoleh kearahku.

“Semakin kita cepat untuk berpamitan, semakin cepat kamu lepas dari penderitaan. Apa kamu ingin terus berada di sini dan menyaksikan kebahagiaan mereka?” Diana melototkan matanya kepadaku dan menarikku kembali.

“Bagaimana kalau kita pulang tanpa harus berpamitan kepada mereka?” Tanyaku kepada Diana yang tetap saja berjalan menuju ke pelaminan.

Tanpa menoleh dan juga tanpa memberhentikan langkahnya, Diana berkata, “Enggak! Kita harus tetap mengucapkan selamat dan berpamitan kepada mereka, tunjukkan kalau kamu tegar dan kuat dihadapan Reyhan!”

Aku pun menuruti keinginan Diana. Tiba saatnya aku untuk memerintahkan hatiku agar tak menjadi hati yang rapuh.

Aku mulai menaiki satu persatu tangga untuk menuju ke tempat Reyhan dan istrinya yang sedang bersanding.

Aku berjalan dengan mulai melihat ke arah pengantin pria dan pengantin wanitanya. Reyhan melempar senyuman kearahku. Apa makna dari senyuman itu? Apakah dia berniat menunjukkan kepadaku bahwa dirinya sedang berbahagia ataukah dia mencelaku karena dengan tanpaku masih ada perempuan lain yang menerima cintanya, alih–alih aku yang masih belum mendapatkan pengganti dirinya.

“Selamat ya, Rey.” Diana menjabat tangan Reyhan dan memberikannya selamat kemudian dia juga menjabat tangan istri dari Reyhan.

Setelah Diana melakukan itu, sekarang giliranku. Ku tunjukkan senyuman palsuku. Ku buat diriku seakan–akan ikut berbahagia. “Selamat menempuh hidup baru, Reyhan.” Aku mengucapkan kata–kata itu dengan tanpa keraguan. Aku tidak mau kalau Reyhan merasakan kesedihanku.

Setelah mengucapkan selamat kepada Reyhan dan istrinya, aku dan Diana berpamitan untuk segera pulang, kami pun mulai berjalan untuk meninggalkan mereka.

Baru beberapa langkah saja tiba–tiba Reyhan memanggilku, “Ayin!”

Seketika aku langsung menghentikan langkah kakiku. Panggilan itu adalah panggilan sayang Reyhan kepadaku. Apakah aku tidak salah mendengar?

“Rin, Reyhan memanggil mu.” Diana memberitahukanku kalau Reyhan sedang memanggilku. Berarti aku memang sedang tidak salah mendengar.

Aku menolehkan kepalaku kearah Reyhan, benar saja Reyhan melambaikan tangannya kearahku.

Aku pun kembali menghampiri Reyhan dengan penuh keraguan. Apa yang akan Reyhan lakukan sampai–sampai dia memanggilku kembali.

Sesampainya aku di hadapan Reyhan.

“Ayo, kita berfoto–foto dahulu!” Ajak Reyhan kepadaku dan juga Diana.

“Ayo, segera kita lakukan agar kita bisa cepat untuk pulang,” bisik Diana di telingaku.

Aku pun langsung mengambil posisi untuk foto bersama pengantin. Pada saat aku hendak mensejajari pengantin perempuan tiba–tiba tanganku di tarik oleh Reyhan. “Kamu di sebelah sini, Diana yang ada di sebelah sana!”

Aku menuruti perintah dari Reyhan. Aku berdiri di samping Reyhan dan Diana berdiri di samping istri Reyhan.

Aku berusaha untuk tersenyum dan membuat diriku terlihat ceria dan agar tak terlihat kesedihanku.

“1 ... 2 ... 3 ...” Sinar putih menyilaukan keluar dari sebuah kamera. “Selesai,” kata juru foto.

Ah, syukurlah. Aku akhirnya bisa melaluinya. Setelah melakukan foto bersama, aku dan Diana pun kembali berpamitan dan segera pergi dari tempat dimana pesta pernikahan Reyhan di laksanakan.

**

Aku sekarang sudah sampai di rumah dan ingin langsung menuju ke kamarku untuk beristirahat setelah beberapa lama aku berakting di depan semua orang, pada saat acara pesta pernikahan Reyhan.

“Dari mana saja kamu, Arin?” Langkahku di hentikan oleh Ayahku yang sedang menanyaiku.

Rasanya aku enggan sekali menjawab. Aku masih sakit hati terhadap apa yang telah Ayah lakukan kepadaku. Tidak merestui hubunganku dengan Reyhan, itu sungguh membuatku kecewa pada keputusan yang Ayah buat.

Aku kembali berjalan tanpa menjawab pertanyaan dari Ayah.

“Arin! Darimana saja kamu?!” Ayah mengulangi lagi pertanyaannya.

Aku berhenti melangkahkan kakiku kembali dan menghadap kearah Ayah. “Mendatangi pesta pernikahan Reyhan.”

“Reyhan? Laki–laki yang tempo hari akan melamarmu?”

Sungguh aku menjadi emosi mendengar perkataan Ayah yang tak ada sama sekali nada bersalah atas perilakunya.

Aku menggertakkan gigiku dan mencoba untuk menahan agar mulutku tidak mengeluarkan kata–kata yang tidak pantas. Akan tetapi, air mata yang mulai tadi aku bendung kini mulai meluncur dengan bebas.

“Mengapa kamu menangis? Tidak ada yang perlu kamu tangisi Karena itu berarti kamu dan Reyhan tidaklah berjodoh!”

“Yah, ini semua salah Ayah yang tidak merestui hubungan kami! Andaikan waktu itu Ayah merestui kami, Arin dan Reyhan pasti akan menikah!!” Aku langsung meninggalkan Ayahku yang terlihat sedang tertegun karena mendengar ucapanku.

“Arin! Arin!” Ayah memanggil–manggilku, tetapi aku tak memperdulikannya.

Aku masuk ke kamarku dan ku tutup pintu kamarku. Aku langsung menjatuhkan tubuhku di atas ranjang. Aku langsung menangis sesenggukan. Begini rasanya patah hati, sakit sekali meskipun sakitnya tak menunjukkan wujud dari lukanya.

Aku menangis dan dalam tangisku aku berucap, “Terimakasih Ayah, berkatmu aku bisa mengetahui rasanya patah hati dan berkatmu pula aku akhirnya terpisah dengan orang yang aku cintai.”

Di dalam kamarku, aku tetap saja menikmati kesedihanku dan ku biarkan sungai kecil terus mengalir di pipiku, bahkan aku juga tak memperdulikan Ayahku yang sedari tadi tetap saja bersikeras untuk berbicara denganku.

“Brak … brak … brak …!!”

Aku terkejut karena Ayahku masih saja terus berusaha menemuiku, meskipun aku mendengar ibu yang telah melarangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status