Menahan air mata untuk tidak terjun bebas dari sudut-sudut mata itu sangatlah sulit sekali. Akan tetapi, aku terus berusaha untuk menahannya agar butiran air yang bening itu tidak akan meluncur jatuh.
Ini mungkin hari yang bahagia untuk mantan kekasihku, Reyhan. Dia menikah dengan kekasihnya yang bernama Helia, padahal hubungan cinta mereka masih seumur jagung, yakni 4 bulan berpacaran dan setelah itu mereka langsung memantapkan hubungannya di jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan.
Terlihat senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Beda halnya denganku, aku hanya bisa membuat senyuman palsu di wajahku. Hubunganku yang begitu lama dengan Reyhan, yaitu 3 tahun berpacaran harus kandas akibat restu orang tuaku yang tak bisa aku dapatkan.
Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Ayahku sehingga tak mau merestui hubunganku dengan Reyhan, padahal Reyhan adalah laki–laki yang baik dan bertanggung jawab.
Aku menundukkan kepalaku karena aku mencoba untuk menyembunyikan air mata yang sudah mulai merangkak keluar dari ujung mataku. Aku usap perlahan agar tidak merusak make up ku.
“Arin, ayo!” Diana menarik pelan tanganku.
Aku pun langsung cepat–cepat mengatur mimik wajahku agar tidak terlihat bahwa aku sedang bersedih. Gengsi? Tidak! Akan tetapi, aku merasakan sesal karena telah membiarkan lelaki sebaik itu pergi meninggalkanku.
Aku mengikuti Diana yang masih saja menarik pergelangan tanganku. “Kemana?” Tanyaku dengan tetap berjalan.
Tanpa berhenti Diana menjawab pertanyaanku, “Mengucapkan selamat kepada Reyhan dan istrinya dan sekalian kita pamit untuk pulang.”
Rasanya ingin sekali menarik tanganku dari genggaman tangan Diana. Kuatkah aku untuk berhadapan dengan Reyhan dan istrinya. Bagaimana kalau aku tak bisa menahan kesedihanku dan tidak bisa menahan perilakuku. Aku pasti akan membuat malu diriku sendiri di depan semua orang.
Aku sedikit menarik tanganku yang di pegang oleh Diana, membuat Diana berhenti melangkah dan menoleh kearahku.
“Semakin kita cepat untuk berpamitan, semakin cepat kamu lepas dari penderitaan. Apa kamu ingin terus berada di sini dan menyaksikan kebahagiaan mereka?” Diana melototkan matanya kepadaku dan menarikku kembali.
“Bagaimana kalau kita pulang tanpa harus berpamitan kepada mereka?” Tanyaku kepada Diana yang tetap saja berjalan menuju ke pelaminan.
Tanpa menoleh dan juga tanpa memberhentikan langkahnya, Diana berkata, “Enggak! Kita harus tetap mengucapkan selamat dan berpamitan kepada mereka, tunjukkan kalau kamu tegar dan kuat dihadapan Reyhan!”
Aku pun menuruti keinginan Diana. Tiba saatnya aku untuk memerintahkan hatiku agar tak menjadi hati yang rapuh.
Aku mulai menaiki satu persatu tangga untuk menuju ke tempat Reyhan dan istrinya yang sedang bersanding.
Aku berjalan dengan mulai melihat ke arah pengantin pria dan pengantin wanitanya. Reyhan melempar senyuman kearahku. Apa makna dari senyuman itu? Apakah dia berniat menunjukkan kepadaku bahwa dirinya sedang berbahagia ataukah dia mencelaku karena dengan tanpaku masih ada perempuan lain yang menerima cintanya, alih–alih aku yang masih belum mendapatkan pengganti dirinya.
“Selamat ya, Rey.” Diana menjabat tangan Reyhan dan memberikannya selamat kemudian dia juga menjabat tangan istri dari Reyhan.
Setelah Diana melakukan itu, sekarang giliranku. Ku tunjukkan senyuman palsuku. Ku buat diriku seakan–akan ikut berbahagia. “Selamat menempuh hidup baru, Reyhan.” Aku mengucapkan kata–kata itu dengan tanpa keraguan. Aku tidak mau kalau Reyhan merasakan kesedihanku.
Setelah mengucapkan selamat kepada Reyhan dan istrinya, aku dan Diana berpamitan untuk segera pulang, kami pun mulai berjalan untuk meninggalkan mereka.
Baru beberapa langkah saja tiba–tiba Reyhan memanggilku, “Ayin!”
Seketika aku langsung menghentikan langkah kakiku. Panggilan itu adalah panggilan sayang Reyhan kepadaku. Apakah aku tidak salah mendengar?
“Rin, Reyhan memanggil mu.” Diana memberitahukanku kalau Reyhan sedang memanggilku. Berarti aku memang sedang tidak salah mendengar.
Aku menolehkan kepalaku kearah Reyhan, benar saja Reyhan melambaikan tangannya kearahku.
Aku pun kembali menghampiri Reyhan dengan penuh keraguan. Apa yang akan Reyhan lakukan sampai–sampai dia memanggilku kembali.
Sesampainya aku di hadapan Reyhan.
“Ayo, kita berfoto–foto dahulu!” Ajak Reyhan kepadaku dan juga Diana.
“Ayo, segera kita lakukan agar kita bisa cepat untuk pulang,” bisik Diana di telingaku.
Aku pun langsung mengambil posisi untuk foto bersama pengantin. Pada saat aku hendak mensejajari pengantin perempuan tiba–tiba tanganku di tarik oleh Reyhan. “Kamu di sebelah sini, Diana yang ada di sebelah sana!”
Aku menuruti perintah dari Reyhan. Aku berdiri di samping Reyhan dan Diana berdiri di samping istri Reyhan.
Aku berusaha untuk tersenyum dan membuat diriku terlihat ceria dan agar tak terlihat kesedihanku.
“1 ... 2 ... 3 ...” Sinar putih menyilaukan keluar dari sebuah kamera. “Selesai,” kata juru foto.
Ah, syukurlah. Aku akhirnya bisa melaluinya. Setelah melakukan foto bersama, aku dan Diana pun kembali berpamitan dan segera pergi dari tempat dimana pesta pernikahan Reyhan di laksanakan.
**
Aku sekarang sudah sampai di rumah dan ingin langsung menuju ke kamarku untuk beristirahat setelah beberapa lama aku berakting di depan semua orang, pada saat acara pesta pernikahan Reyhan.
“Dari mana saja kamu, Arin?” Langkahku di hentikan oleh Ayahku yang sedang menanyaiku.
Rasanya aku enggan sekali menjawab. Aku masih sakit hati terhadap apa yang telah Ayah lakukan kepadaku. Tidak merestui hubunganku dengan Reyhan, itu sungguh membuatku kecewa pada keputusan yang Ayah buat.
Aku kembali berjalan tanpa menjawab pertanyaan dari Ayah.
“Arin! Darimana saja kamu?!” Ayah mengulangi lagi pertanyaannya.
Aku berhenti melangkahkan kakiku kembali dan menghadap kearah Ayah. “Mendatangi pesta pernikahan Reyhan.”
“Reyhan? Laki–laki yang tempo hari akan melamarmu?”
Sungguh aku menjadi emosi mendengar perkataan Ayah yang tak ada sama sekali nada bersalah atas perilakunya.
Aku menggertakkan gigiku dan mencoba untuk menahan agar mulutku tidak mengeluarkan kata–kata yang tidak pantas. Akan tetapi, air mata yang mulai tadi aku bendung kini mulai meluncur dengan bebas.
“Mengapa kamu menangis? Tidak ada yang perlu kamu tangisi Karena itu berarti kamu dan Reyhan tidaklah berjodoh!”
“Yah, ini semua salah Ayah yang tidak merestui hubungan kami! Andaikan waktu itu Ayah merestui kami, Arin dan Reyhan pasti akan menikah!!” Aku langsung meninggalkan Ayahku yang terlihat sedang tertegun karena mendengar ucapanku.
“Arin! Arin!” Ayah memanggil–manggilku, tetapi aku tak memperdulikannya.
Aku masuk ke kamarku dan ku tutup pintu kamarku. Aku langsung menjatuhkan tubuhku di atas ranjang. Aku langsung menangis sesenggukan. Begini rasanya patah hati, sakit sekali meskipun sakitnya tak menunjukkan wujud dari lukanya.
Aku menangis dan dalam tangisku aku berucap, “Terimakasih Ayah, berkatmu aku bisa mengetahui rasanya patah hati dan berkatmu pula aku akhirnya terpisah dengan orang yang aku cintai.”
Di dalam kamarku, aku tetap saja menikmati kesedihanku dan ku biarkan sungai kecil terus mengalir di pipiku, bahkan aku juga tak memperdulikan Ayahku yang sedari tadi tetap saja bersikeras untuk berbicara denganku.
“Brak … brak … brak …!!”
Aku terkejut karena Ayahku masih saja terus berusaha menemuiku, meskipun aku mendengar ibu yang telah melarangnya.
Mataku tampak begitu sembab karena kemarin aku menangis hampir seharian. Aku coba untuk menyamarkannya dengan cara ku tutupi mataku dengan kaca mata meskipun mata sembabku masih saja tak bisa di samarkan sepenuhnya.Aku bergabung di meja makan dengan kedua orang tuaku untuk sarapan pagi. Tidak mengucapkan sepatah katapun kepada kedua orang tuaku, malah aku langsung duduk di sana.Ibuku sibuk menyiapkan makan untuk Ayahku. Memang ibuku terlalu memanjakan Ayahku. Semua di lakukan oleh ibuku, bahkan mencari nafkah pun ibu juga yang melakukannya sejak Ayah resign dari tempat kerjanya.Aku mulai mengambil piring yang ada di depanku kemudian aku mengambil nasi dan lauk pauk untuk sarapan pagi. Sarapan pagi yang sederhana hanya beberapa ikan sebagai lauknya, sayur dan nasi. Maklumlah di keluarga ini yang bekerja adalah ibuku dan aku pun hanya membantu sekadarnya saja, mengingat pekerjaanku pun hanya sebagai pramuniaga di sebuah toko baju.Ayahku, dia bagaikan ra
Aku diam–diam merenungkan apa yang tengah menimpaku sampai aku tak merasakan kalau teman–teman kerjaku sudah datang dan melihatku yang sedang terdiam di tempat duduk di balik etalase.“Heh, Arin! Ngapain kamu duduk termenung di sini? Apa yang sedang kau pikirkan?!” tegur Diana dengan menyenggol lenganku.Aku di kejutkan dengan teguran Diana yang tiba–tiba. Apa yang sedang aku pikirkan langsung hilang seketika.Aku memandang sekeliling, toko sudah ramai dengan kedatangan teman–temanku dan juga pembeli yang mulai berdatangan.Diana yang masih saja di sampingku rupanya masih menunggu jawabanku. Akan tetapi, aku masih enggan menjawab dan bercerita karena aku harus mulai bekerja.Aku mulai bekerja dengan melayani beberapa orang yang sedang menanyakan stok baju untuk ukuran mereka. Aku pun mulai mencarikan apa yang sedang mereka minta. Aku menjadi sibuk sekali karena toko memang lagi ramai sekarang, tapi enak sekali de
Aku duduk di ruang tamu dengan diam. Aku sama sekali tidak berniatan untuk meninggalkan tempat dudukku meskipun sebenarnya tujuanku pulang dari kerja adalah langsung pergi ke kamarku dan beristirahat.Aku kecewa dengan perilaku Ayah. Dia terlalu memaksakan kehendaknya untuk menjodohkanku. Bahkan, sampai memberikan fotoku kepada saudara jauh ibu secara diam–diam.Sekarang, aku benar–benar bisa merasakan gerakan emosiku. Emosiku yang mulai merambat dengan cepat ke kepalaku.Menolak perjodohan ini? Ya, pasti akan aku lakukan. Aku benar–benar tidak mau di jodohkan layaknya dua orang kakakku.Aku memang memiliki Kakak perempuan yang sekarang tinggal di rumah suaminya. Mereka menikah juga karena di jodohkan oleh Ayahku. Meskipun, awalnya Kakakku menolak perjodohan itu, Ayahku tetap memaksanya. Dia tidak perduli meskipun putrinya itu memohon kepadanya dengan berlinang air mata. Sungguh egois sekali.Alasan kedua Kakakku menuruti kemauan
Pagi–pagi benar aku sudah bersiap untuk berangkat. Berangat kerja dan setelah itu aku tak akan pulang lagi. Entah kemana tujuanku nanti yang jelas aku tak akan pulang lagi kerumah.Aku semalam sudah memikirkannya matang–matang. Bahwa aku akan pergi meninggalkan rumah. Aku pun juga sudah bertekad untuk keluar dari tempatku bekerja. Mengapa aku harus berhenti bekerja juga? Ya karena kalau aku tetap disana, Ayahku pasti akan menjemputku dan memarahiku. Bukan lagi tamparan di pipi yang aku dapatkan, pasti aku akan mendapatkan perlakuan yang lebih parah dari itu.Aku melihat sekeliling kamarku, sedih rasanya akan meninggalkan kamarku tercinta yang sudah aku tempati selama bertahun–tahun lamanya.Sekarang, aku akan berangkat bekerja untuk terakhir kalinya dan aku kali ini tidak akan membawa motor yang biasanya aku pakai.Aku keluar kamar dan berpapasan dengan Ibuku. Sedih rasanya ketika aku melihat sosok ibu yang sangat menyayangiku, tapi aku
Bus yang aku tumpangi sudah berhenti di Terminal Arjosari Malang. Semua penumpang mulai turun dari bus itu, begitu juga aku. Aku mulai berjalan untuk turun dari bus dengan berhati-hati. Setelah aku turun dari bus, aku mulai menepi.Di sana aku tampak kebingungan, hendak kemana kah diriku?Ku tolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan dan ku coba untuk memantapkan hatiku agar hati ini bisa menuntun kakiku melangkah ke tempat aman bagi diriku yang hanya seorang diri di kota pelarian.Ku pegang erat tasku dan mulai ku langkahkan kakiku. Aku pun berniat untuk menaiki salah satu angkutan umum. Angkutan umum yang dapat membawaku ke lokasi yang dekat salah satu Universitas ternama di kota itu.“Universitas Branijaya, Pak?” Aku memastikan bahwa angkutan umum yang akan aku tumpangi adalah benar.“Ya, Mbak!”Setelah Bapak Sopir mengiyakan pertanyaanku barulah aku masuk ke dalam mobil angkutan umum dan akupun memilih bangku paling d
Aku bisa bernafas lega ketika aku sudah bisa merebahkan diri di atas tempat tidur. Akhirnya, berkat lelaki yang bernama Syarif itu, aku mendapatkan rumah kos yang nyaman untukku.Ya, lelaki tadi yang membawaku ke rumah kos ini bernama Syarif. Dia diam–diam telah mengamatiku dan mulai mengikutiku ketika Aku tampak kebingungan. Bahkan, dia juga telah menolongku dari lelaki yang ingin berniat jahat kepadaku.Lelaki yang aku kira baik dan kemarin sempat duduk di dekatku saat aku makan di warung, ternyata itu adalah mantan residivis yang baru saja bebas dari jeruji besi. Aku baru tahu setelah Syarif menceritakan kepadaku di saat aku jalan berdua dengannya untuk pergi ke rumah kos milik temannya.“Syukurlah, aku telah menemukan malaikat penolong.” Aku tersenyum–senyum sendiri di kamar kosku.Beberapa menit aku bisa merasa lega dan tak mengingat masalahku, tapi ketika aku membuka ponsel milikku yang sedari tadi tak aku lihat sama sekali,
Aku dan Syarif sudah ada di warung untuk melakukan sarapan. Aku juga sudah diantar untuk membeli kartu perdana oleh Syarif, bahkan kartu perdana yang baru saja aku beli masih saja aku pegang dan belum aku simpan di dalam tasku.Kupermainkan kartu perdana yang masih ada di dalam bungkusnya itu sambil untuk menunggu makanan pesananku datang.“Buat apa sih kamu membeli kartu perdana?” Lagi-lagi Syarif menanyaiku tentang kartu perdana yang baru saja aku beli.“Cuma ingin ganti nomor saja,” jawab ku. Aku tidak mengatakan sejujurnya kepada Sarif karena aku aku masih belum siap untuk menceritakan apa yang tengah terjadi padaku, kepada Syarif. Maklumlah aku dan Syarif masih baru saja kenal.Syarif menatapku seperti tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. Akan tetapi, dia tidak menanyaiku lagi dan dia memilih diam.Aku dan Syarif pun saling diam dan tidak ada pembicaraan lagi di antara kita sampai makanan yang kita pesan s
Deringan ponselku yang begitu keras membuat jantungku semakin berdetak dengan cepat. Ku seka keringatku yang mulai menetes ke wajahku. “Aku harus bagaimana?” pikirku dari dalam hati. Aku benar–benar di buat bingung dengan panggilan yang masuk ke ponselku. Panggilan telepon dari Ayahku.Aku mendadak seperti orang yang sedang mengalami stress, mungkin karena hatiku yang tidak tenang. Tiba–tiba saja perutku melilit dan tak bisa aku tahan.Ku tinggalkan begitu saja ponselku dan aku berlari untuk menuju ke kamar mandi.Sesampainya aku di kamar mandi, perutku tiba–tiba saja tak terasa sakit kembali. “Ah, sungguh membingungkan.” Akupun segera keluar kembali.Aku kembali memasuki kamarku dan duduk di atas ranjangku. Aku lirikkan mataku ke ponsel yang ada di sampingku. Panggilan telepon dari Ayah sudah tak lagi terdengar, aku segera mengambil ponselku dan segera ku non aktifkan kembali.Ku ambil kartu perdana yang b