Tapi pelukan itu hanya bertahan beberapa detik. Rodriguez menarik diri dan menjauh dari Azura dengan dada naik-turun. beberapa kancing kemejanya sudah lepas. Wajahnya yang kecokelatan semakin gelap.Di mata Azura, ia tampak liar, berbahaya, dan sangat seksi.“Kaulihat, Miss Azura, aku bisa mengendalikan gairahku. Jangan besar kepala, mengira aku sangat menginginkanmu. Kau hanyalah beban tambahan yangmesti kubawa bersama anakku, karena kebetulan aku tidak punya payudara untuk menyusui. Tapi aku bersedia hidup bersamamu, demi Tony.” Ia menyapukantangan dirambutnya dan menarik napas panjang.“Sekarang aku akan bertanya untuk terakhir kali. Kau mau ikut atau tidak?”Sebelum Azura sempat menenangkan diri dan menjawab pertanyaan itu, bel pintu berbunyi.“SIAPA itu?”“Entahlah,” sahut Azura.“Kau sedang menunggu orang?”“Tidak." Dengan sopan Azura minta diri sejenak pada Rodriguez.Mengingat apa yang baru saja terjadi di antara mereka, sikap sopannya terasa agak menggelikan. Ia keluar dar
Azura terduduk. Air mata yang tadi ditahan-tahannya sekarang menetes pelan dan mengalir di pipinya. Orangtuanya ingin mendominasi hidupnya sepenuhnya,atau tidak ambil bagian sama sekali. Ia tak percaya bahwa tingkat apriori mereka bisa begitu tinggi, sampai sampai tak mau mengakui cucu mereka sendiri.Dengan pahit Azura menyesali keputusan mereka. Di lain pihak, kalau mereka begitu berpikiran sempit dan tidak mau mengalah, ia dan Tony lebih baik hidup tanpa mereka. Ia ingin anaknya tidak merasa malu dengan berbagai emosi yang dialaminya. Ia ingin anak itu belajar mengekspresikan diri dengan bebas, seperti yang selama ini tak pernah dirasakannya. Ia ingin anaknya merasakan berbagai hal secara mendalam, seperti yang dialaminya bersama…Azura membalikkan tubuh dan menatap lelaki yang berdiri begitu diam dan tegak di belakangnya. Pikirannya mau tak mau membawanya ke harihari yang dilewatkannya sebagai sandera lelaki ini dulu. Pada waktu itu, untuk pertama kali, ia merasa hidupnya berja
Astaga, jangan dibayangkan.“Kapan kau pertama kali tahu tentang kehamilanmu?” tanyanya kasar, lama kemudian.“Sekitar dua bulan sesudahnya.”“Apa kau mual-mual?”“Sedikit. Tapi lebih sering merasa capek. Aku seperti tidak punya energi. Dan aku tidak mendapat…”“Oh, yeah.”Dari sudut matanya Rodriguez melihat Azura mengangkat Tony dengan lembut dan memindahkannya. Azura mudah merasa malu, dan ia tahu betapa tidak menyenangkan keintiman yang dipaksakan ini baginya.“Apa kehamilanmu mudah?”“biasa-biasa saja,” sahut Azura sambil tersenyum.“Apa dia banyak menendang?”“Seperti pemain sepak bola.”“Aku lebih suka membayangkan dia sebagai pelari maraton.” Mata mereka bertemu pada jarak yang sempit itu, sama-sama memancarkan sorot lembut.Di antara keduanya terjalin impian semua orangtua akan anaknya.“Ya, seperti pelari maraton,” kata Azura perlahan.“Seperti kau.”Hati Rodriguez mengembang oleh rasa bangga. Emosi yang dirasakannya begitu besar, hingga untuk beberapa saat ia hampir-ham
Alice seketika terdiam. Ia menatap Azura dan Rodriguez dengan gelisah.“Aku tahu ini bukan urusanku,tapi kuharap kalian mau menginap beberapa hari di sini bersamaku, sebelum pindah ke sana.”Rodriguez menatap Azura yang diam saja. Oh, wanita ini sangat berani. Kalau terpaksa, ia bisa keras seperti batu. Sejak awal Rodriguez mengagumi karakternya.Namun ia melihat garisgaris kelelahan di bawah mata Azura dan bahunya yang tampak terkulai.“baiklah, semalam saja,” ia mengalah, dan terkejut dengan keputusannya sendiri.“Oh, aku senang sekali,” kata Alice.“Ini bayimu, Azura. Aku menyimpan sedikit makanan hangat, sebagai persediaan kalauLucas muncul malam ini.”“Akan kubantu,” Azura menawarkan.“Tidak usah.”“Tapi aku ingin.” Gene dan Rodriguez mengikuti mereka keluar.Di pintu, Rodriguez menarik lengan Gene.“Kami tidak mengganggu tidur kalian, kan?” tanyanya pelan.“Sayangnya tidak,” sahut Gene kesal.“Masih menolak?” Sang dokter menggeleng sedih.“Masih. Ibumu wanita langka, Rodrigue
Hanya ada satu kamar mandi di rumah itu, letaknya di lorong antara dua kamar. Azura ke kamar mandi setelah menidurkan Tony. Ketika ia kembali ke kamar, tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali berganti pakaian.Sebenarnya hari ini malam pengantinnya, namun baju tidur yang diambilnya dari kopernya tidaklah istimewa. Gaun itu sudah berumur dua tahun, dan meskibahannya lembut serta mengilap kena cahaya lampu, namun garis lehernya yang tertutup dan sopan membuat baju itu tidak tampak menggoda. Malah kesannya agak jelek dan sederhana.Ia sedang mengoleskan losion di lengannya ketika Rodriguez masuk dan menutup pintu. Azura menjadi kikuk. Ia menghibur diri dengan menganggap kekikukannya adalah akibat tangannya yang licin, bukan karena ia akan menghadapi malam ini seranjang bersama Rodriguez.Kalau ia menatap bayangan dirinya di cermin, pasti ia melihat bahwa matanya tampak lebar ketakutan. Itu membuatnya tampak sangat muda dan polos. Tapi rambutnya tergerai mengundang di bahunya. bibirn
Tangan Rodriguez yang bertengger di bahunya kini turun ke balik leher berenda gaun tidurnya. Sepasang mata Azura yang tadi setengah terpejam kini membuka dan menatap mata lelaki itu di cermin.“Aku ingin melihat tanganku di tubuhmu,” kataRodriguez.bagai terhipnotis Azura memandangi jemari yang kuat dan terentang itu bergerak turun ke dadanya. Ia tidak memprotes sedikit pun ketika jemari itu turun semakin rendah, menurunkan gaunnya. Napasnya semakin cepat ketika tangan lelaki itu menekan, memijat, membelainya.Dan Azura merasa tubuhnya bereaksi.Rodriguez menangkup Azura, sambil menyapu puncaknya perlahan dengan ibu jari.Azura mengerang, menggesekkan belakang kepalanya ke perut lelaki itu, yang turun-naik dengan setiap tarikannya napasnya yang cepat.Mata mereka tak pernah beralih dari kaca. Keduanya terpukau oleh kekontrasan yang tampak di sana. Sepasang tangan Rodriguez yang besar dan maskulin bergerak di kulit yang lembut itu. Ia tahu betul bagaimana mesti menekankan jemarinya u
Keras. Hidungnya panjang dan lurus, tidak pesek dan lebar seperti kebanyakan hidung orang Apache. Lagi-lagi Azura mensyukuri darah kulit putih lelaki itu. Ia terkesiap pelan ketika matanya beralih ke mata Rodriguez dan mendapati lelaki itu ternyata sedang mengawasinya. Rambutnya tampak sangat hitam di sarung bantal yang putih bersih.“Kenapa kau diam saja?” bisik Azura.“Kebiasaan.” Hanya dengan susah payah Azura bisa tetap diam ketika lelaki itu mengangkat satu tangan dan mengambil sehelai rambut pirang berombak dari pipi Azura.Sambil menatapnya dengan saksama, ia menggosok-gosokkan rambut itu di antara jemari. Akhirnya ia menaruh helaian rambut dengan hati-hati di batal Azura.“Tapi selama beberapa tahun belakangan iniaku belum terbiasa terbangun dengan seorang wanita di sampingku. Aromamu enak.”“Terima kasih.”Laki-laki lain mungkin akan bertanya,“Kau pakai parfum apa?”atau“Aku suka wangiwangianmu.” Tapilelaki yang satu ini tidak banyak bicara, tidak banyak memuji, namun
Rodriguez menoleh tajam dan bertanya ketus,“Apa yang kau pandangi?”“Kau.”“Jangan begitu.”“Karena kau jadi gugup?”“Karena aku tidak suka dipandangi.”“Tidak ada lagi yang bisa dilihat.”“Lihat saja pemandangan di sekitarmu.”“Kapan kau menindik telingamu?”“Sudah lama.”“Kenapa?”“Kepingin saja.”“Aku suka melihat anting-anting itu di telingamu.” Ia kembali menoleh sekilas pada Azura." Di telingaku?” tanyanya sinis.“Maksudmu, aku pantas pakai anting-anting karena aku orang Indian?”Azura menahan diri untuk tidak memberi jawaban marah.Ia berkata pelan, “Tidak. Maksudku, di telingamu anting-anting itu jadi sangat menarik.”Ekspresi keras Rodriguez tersibak sejenak sebelum ia kembali memusatkan perhatian pada jalan raya dua jalur yang membawa mereka ke ketinggian White Mountains.“Aku juga pakai anting-anting. Mungkin kita bisa saling tukar.”Gurauan Azura tidak mendapat tanggapan.Azura mengira akan diabaikan sepenuhnya, tapi tak lama kemudian Rodriguez berkata, “Aku cuma mema