SAMbIL membuka topi, polisi itu mengusap dahinya yang berkeringat dengan bagian lengan seragamnya. Azura duduk tegak dan memperhatikan. Seragam yang dikenakan orang itu adalah seragam sherif, setidaknya
seragam seorang deputi.”Stella, satu bir untukku,” seru lelaki itu begitu pintu tertutup di belakangnya.Si pramusaji berambut pirang menoleh dan tersenyum lebar melihatnya. Rupanya mereka sudah akrab.”Hm, coba lihat siapa yang datang.” Si pramusaji bersandar di bar, dengan pose yang membuat payudaranya yang besar tampak sangat mengundang.Sherif itu tersenyum mesum padanya.”Kangen aku, ya?””Huh, tidak,” sahut si pramusaji sambil merangkul leher Sherif yang kemerahan ketika lelaki itu mencondongkan tubuh ke arahnya dari kursi tingginya.”Kau kan tahu aku. Tidak ketemu, ya tidak dipikirkan.””Sudah dua hari ini aku mencaricari seorang buronan sialan yang sama sekali tidak ketahuan di mana batang hidungnya. Aku butuh bir dingin dan perhatian yang manis.””bir dan perhatian? Urusannya mesti begitu?” Si pirang membungkuk dan membisikkan pertanyaan itu di dekat mulut si sherif. Lelaki itu mengecupnya, lalu menepuk pinggul padat si pramusaji.”Ambilkan birnya.” Stella pergi.Sementara itu, Rodriguez duduk denganmarah di samping Azura, di booth mereka. Ia menghantamkan tinjunya di paha, di bawah meja.”Sialan,” makinya pelan.”Tadi padahal kita sudah hampir keluar.Sial!” Ia terus memaki sambil pura-pura bercumbu dengan Azura.”Jangan berani-berani melakukan apa pun yang bisa menarik perhatiannya. Kalau ingin menyelamatkanmu, dia mesti melewati aku lebih dulu, Sayang.””Kau mau melakukan apa?””Untuk saat ini, tetap begini saja,” katanya sambil menciumi leher Azura.”Mungkin nanti dia pergi.” Tapi tampaknya si sherif belum ingin cepat-cepat, pergi.Ia minum bir dua gelas, tiga gelas, dan akhirnya empat gelas. Stella tidak pernah jauh-jauh dari sisinya, kecuali kalau terpaksa mesti melayani pelanggan lain.Keduanya saling menggoda dengan terangterangan, mengucapkan kalimat-kalimat bernada seksual, sampai kemudian suara mereka berubah menjadi bisikan-bisikan pelan bernada rahasia, diseling suara tawa pelan dan seksi dari Stella.Tangan si sherif selalu aktif, membelai-belai Stellan yang tidak pernah menolak. Tadi Azura berharap bisa mendapat pertolongan dari si sherif, tapi sekarang ia tidak yakin orang ini peduli apakah buronannya tertangkap atau tidak. banyak orang, baik yang Indian maupun yang bukan yang menganggap Rodriguez sengaja dijebak dan mereka menaruh simpati padanya. Mungkin saja si sherif bergaji rendah itu adalah salah satu di antaranya.Mungkin ia akan purapura tidak melihat kalau Rodriguez lewat di depannya sekalipun. Namun sherif itu tetap merupakan satu-satunya harapan Azura untuk melepaskan diri dari penculiknya ini.Ia berniat memanfaatkan orang itu, meski ia yakin si sherif pasti kesal acaranya dengan Stella jadi berantakan.”Kalau waktunya sudah tepat, kita bangun dan berjalan ke luar, mengerti?””Ya,” sahut Azura.Mungkin ia terlalu cepat mengiakan, sebab Rodriguez mengangkat kepalanya sedikit dan menatap mata Azura lekat-lekat, lalu meraih ke kolong meja. Sebelum melihat kilap pisau yang tampak dalam cahaya remang-remang itu pun Azura sudah tahu bahwa Rodriguez mengambil benda itu dari sepatu botnya.”Jangan membuat aku terpaksa menggunakan ini, Azura. Terutama pada dirimu.””Kenapa tidak?” Mata lelaki itu menelusuri tubuhnya dengan penuh arti.”Sebab, setelah mengalami siang yang sangat menyenangkan bersamamu, aku enggan menyakitimu.””Kuharap kau mati hangus di neraka,” kata Azura dengan geram.”Aku yakin keinginanmu akan terkabul.” Setelah itu, Rodriguez mengalihkan perhatiannya kembali pada si sherif dan Stella di bar.Ia memandangi kedua orang itudengan mata elangnya. Ketika tangan si sherif terulur ke payudara Stella, Rodriguez berkata,”Sekarang!” Azura mengira lelaki itu akan bangkit dan pergi diam-diam,Tapi ternyata Rodriguez menyentakkan Azura berdiri dengan mendadak, hingga Azura terdorong ke arahnya dan terpaksa bersandar ke tubuh lelaki itu agar tidak kehilangan keseimbangan. Rodriguez merangkul pinggangnya dan merapatkan Azura ketubuhnya. Azura hendak menjauhkan diri dari lelaki itu dan sudah membuka mulutnya, tapi yang keluar hanya suara pekik tertahan. Rodriguez menempelkan pisaunya di antara tubuh mereka.”Jangan cobacoba.” Suaranya sangat tenang dan terkendali.Azura langsung mengurungkan niatnyauntuk mencoba melepaskan diri.Keduanya terhuyung-huyung menuju pintu. Rodriguez menunduk di atas kepala Azura, seperti orang mabuk.”Hei, Mister.” Langkah Azura terhenti, tapi Rodriguez tidak.Ia terus berjalan. ”Hei, Mister, aku bicara padamu.”Azura merasakan napas Rodriguez mengembus pipinya, lalu lelaki itu berhenti berjalan dan mengangkat kepala.”Yeah?” katanya pada Ray yang memanggilnya.”Kami punya kamar di belakang,” kata Ray sambil memberi isyarat dengan ibu jarinya.”Kau dan pacarmu mau pesan satu buat semalam?””Tidak, terima kasih,” sahut Rodriguez.”Aku mesti antar dia pulang sebelum suaminya kembali.” Ray tertawa mesum dan kembali asyik menonton serial detektif yang sekarang ditayangkan di TV.Si sherif yang sedang asyik bercumbu dengan Stella sama sekali tidak menoleh.begitu berada di laur, Azura Langsung menarik napas dalam-dalam untuk menghirupudara segar. Rasanya ia tidak akan pernah bisa melenyapkan bau asam bir dan tembakau yang tadi dihirupnya dari rongga hidungnya. Rodriguez sendiri tidakmenarik napas seperti itu. Ia langsung mendorong Azura ke dalam mobil.Dalam beberapa menit saja mereka sudah berada jauh dari bar tersebut. baru pada saat itulah Rodriguez menarik napas panjang. Ia membuka jendela mobil dan tampak menikmati terpaan angin di wajahnya.”Kau mulai pintar menghindari petugas hukum,” katanya pada Azura.”Sebab aku tidak suka merasakan pisau itu menempel di rusukku,” balas Azura ketus.”Sudah sewajarnya.” Tampaknya lelaki ini tahu betul arah yang diambilnya, meski Azura tahu bahwa jalanan ini tidak banyakdilalui orang.Jalur-jalurnya sempit dan hanya sedikit papan penunjuk arah. Sama sekali tidak ada lampu lalu lintas atau bahu jalan. Mereka jarang berpapasan dengan mobil lain, dan kalaupun bertemu mobil lain, Azura menahan napas karena takut bertabrakan. Rodriguez memacu mobil dengan kencang, tapi terkendali. Tak lama kemudian Azura mulai mengantuk karena harus memandangi garisgaris putih yang saling berkejaran di tengah jalan.Tapi tak berapa lama kemudian sumpah serapah Rodriguez memecah keheningan itu.”Sialan! Sialan!””Apa ada yang mengikuti kita?” tanya Azura penuh harap.Ia duduk tegak dan menoleh ke belakang!”Mobil ini terlalu panas.” Azura langsung merasa kecewa.Sesaat tadi ia berharap si sherif atau seseorang dari bar mengenali Rodriguez tapi pura-pura tidak bereaksi, demi keamanan,menunggu bala bantuan datang.”Sejak tadi siang sudah begitu,” kata Azura sambil mengempaskan tubuh di sandaran kursi.Rodriguez menoleh ke arahnya dengan marah. Wajahnya hanya diterangi cahaya lampu di dasbor, menim-bulkan bayang-bayang kehijauan yang membuatnya tampak semakin menakutkan. Sepasang matanya pucatkeperakan dan sangat marah.”Maksudmu, siang tadi mesin mobil ini sudah kepanasan?””Kau tidak dengar aku bilang begitu pada polisi yang memeriksa di penghalang jalan tadi?””Kukira itu cuma aktingmu,” teriak Rodriguez.”bukan.””Kenapa kau tidak bilang sebelum kita memasuki jalanan sepi ini?””Kau tidak tanya.” Rodriguez memaki dengan ucapan yang tidak beraniditiru Azura, karena takut tersambar petir.Ia sangat ketakutan ketika mendadak Rodriguez memutar mobil itu ke luar jalan raya.”Kau mau ke mana?” tanyanya.”Aku mesti mendinginkan mobil ini. Kalau tidak, mesinnya akan rusak total. Aku tidak mungkin bisa memperbaikinya dalam gelap.” Ia mengemudikan mobil itu beberapa ratus meter keluar jalan raya.Medan jalan begitu kasar, hingga Azura mesti berpegangan agar tidak terpelanting ke lantai. Ketika mobil berhenti, mesinya mendesis seperti air mendidih. Rodriguez membuka pintu dan keluar, lalu bersandar di mobil dengankepala tertunduk.”Sial! Aku sudah banyak membuang waktu hari ini. Mula-mula di bar sialan itu. Sekarang ini lagi!” Tampaknya ia sangat kesal dengan berbagai hambatan ini.Ia melangkah ke kap mesin dan dengan gemas menendang salah satu ban mobil sambil menyumpah-nyumpah.Azura ikut keluar dan meregangkan ototototnya yang pegal.”Apa kita sedang terburu-buru?””Ya.” Jawaban ketus ini membuat Azura tidak berani bertanya lebih lanjut.Tak lama kemudian Rodriguez menggelengkan kepala dan mendengus pasrah.”berhu-bung kita tak bisa ke mana-mana, sebaiknya kita tidur saja. Masuk ke kursi belakang.””Aku tidak mengantuk,” sahut Azura kesal.”Masuk saja pokoknya.” Suara lelaki itu mengguntur di padang tandus tersebut, seperti guruh yang menggelegar.Azura melotot marah sekali padanya, tapi mematuhinya. Rodriguez ikut masuk dan membiarkan semua pintu mobil terbuka,kecuali pintu belakang. Ia berbaring di sudut dekat pintu, membentangkan kakinya lebar-lebar, dan sebelum Azura sadar apa yang terjadi lelaki itu sudahmenarik tubuhnya dan menjepitnya di antara kakinya.”Lepaskan aku,” tuntut Azura dengan geram.Ia meronta-ronta, tapi pinggulnya malah semakin menempel dengan ritsleting jeans lelaki itu, jadi akhirnya ia diam.”Aku mau tidur. Kau juga mesti tidur.” Rodriguezmenempatkan Azura di atas dadanya dan memeluknya dengan kedua lengannya. Pelukannya di bawah payudara Azura erat sekali, seperti jepitan baja. Posisi inisungguh mendebarkan, meski tidak menyakitkan dan tidak nyaman. Azura jadi merasa tidak tenang.”Aku tidak mungkin keluyuran di padang tandus ini, Rodriguez. Lepaskan aku.””Tidak akan. Kecuali kau bersedia kuikat di roda kemudi.””Kaupikir aku akan ke mana kalaupun bisa melarikan diri?””Aku sudah tahu kau banyak akal.””Tapi kita berada di tempat terpencil, dan ini sudah gelap.””Ada bulan.”Azura tahu itu.Juga ada bintang-bintang. besar, terang, dan sangat dekat, sama sekali tidak seperti yangbiasa dilihatnya di kota. Kalau bukan dalam situasi begini, ia pasti akan mengagumi pemandangan malam seperti ini, meresapinya, dan merasakan betapa kecildirinya dibandingkan alam ini.Tapi ia tak ingin malam ini terasa indah. Ia hanya ingin kelak mengingatnya sebagai malam yang mengeri-kan.”Akan sangat bodoh kalau aku nekat pergi seorang diri, meski seandainya aku tahu di mana aku berada dan aku bisa melarikan diri darimu.””Pokoknya aku memastikan kau tidak akan bisa kabur. Sekarang diamlah, demi kebaikanmu sendiri.”Ketegangan dalam nada suara lelaki itu membuat Azura memperhatikan apa yang sedang terjadi.Lengan lelaki itu agak gemetar, sementara Azura sendiri merasa tengkuknya tegang. Ia menelan ludah, berusaha mengingkari apa yang terjadi.”Kumohon jangan begini.” Ia bersedia menelan harga dirinya dan memohon-mohon pada lelaki itu, sebab ia merasa tidak akan sanggup berada begitu dekat denganlelaki itu sepanjang malam.bukan karena ia tidak menyukainya, tapi justru karena ia tidak cukup membencinya.”Lepaskan aku.””Tidak.”Merasa permohonannya sia-sia,Azura tidak lagi berusaha membuat lelaki itu berubah pikiran. Tapi ia juga tidak mau bersikap santai. Sengaja ia membuattubuhnya sekaku mungkin, seperti papan, di dada lelaki itu. Tapi tak lama kemudian lehernya mulai sakit karena bersikeras menjaga jarak di antara mereka. Setelahmerasa Rodriguez sudah tidur, barulah ia berani membiarkan kepalanya bersandar ke bahu lelaki itu.”Kau sangat keras kepala, Azura Andrews.”Azura memejamkan mata dan mengertakkan gigi.Lelaki itu pura-pura, tertidur untuk melihat sampai di mana ia akan bersikap keras kepala dan akan menyerahpada akhirnya.”Kalau kau melonggarkan lenganmu, akubisa bernapas dengan lebih mudah.””Atau mengambil pisauku.” Mereka berbaring dalam diam, lalu lelaki itu berkata,”Kau satu dari yang sedikit.”Pembicaraan, disela sejenak (topik, Politik dan Olahraga dan kemudian, ketika diperlukan perubahan, Olahraga dan Politik), dilanjutkan kembali sepanjang tahun meja. Di bawah kedok percakapan, dan di sela-sela penerimaan perhatian tuan-tuan, Alucia berbisik kepada Sir Martin, “Jangan mulai, paman. Shane ada di perpustakaan.” (Tuan Smith yang sopan menawarkan ham. Dengan penuh rasa terima kasih ditolak.) “Berdoa, berdoa, berdoa pergilah kepadanya; dia menunggu untuk bertemu denganmu dia ada di dalam masalah yang mengerikan.” (Tuan Jones yang gagah berani mengusulkan kue tart buah dan krim. Diterima dengan ucapan terima kasih.) “Bawa dia ke rumah musim panas: Aku akan mengikutimu saat aku mendapatkannya peluang. Dan segera kelola, paman, jika kamu mencintaiku, atau kamu akan terlambat.” Sebelum Sir Martin sempat membalas sepatah kata pun, Nyonya Lylia memotong kue komposisi Skotlandia terkaya, di ujung lain meja, di depan umum menyatakan bahwa itu adalah “kuenya sendiri,”
"Ya. Apa itu?" “Siapakah tuan-tuan yang tinggal di rumah ini?” Alucia melihat sekelilingnya lagi, tiba-tiba merasa heran dan khawatir. rasa takut yang samar-samar menguasainya hingga pikiran Shane melemah karena beban yang berat masalah ada di atasnya. Shane tetap memaksakan permintaan anehnya. “Cari nama mereka, Alucia. Aku punya alasan untuk ingin tahu siapa orangnya tuan-tuan adalah yang tinggal di rumah.” Alucia mengulangi nama-nama tamu Nyonya Lylia, dan melanjutkan hingga akhir tamu yang datang terakhir. “Dua lagi kembali pagi ini,” dia melanjutkan. “Arnold Brinkworth dan temannya yang penuh kebencian itu, Tuan Figo.” Kepala Shane kembali bersandar di kursi. Dia telah menemukan jalannya tanpa menimbulkan kecurigaan akan kebenaran, terhadap satu-satunya penemuan yang telah dia dapatkan ke Windygates untuk dibuat. Dia berada di Skotlandia lagi, dan dia baru saja tiba dari sana London pagi itu. Hampir tidak ada waktu baginya untuk berkomunikasi Craig Fernie se
“Jangan pedulikan para wanita! Persamaan subjek apa yang bisa Kamu dan Tn. Figo mungkin harus dibicarakan? Dan kenapa aku melihat kerutan di antara kamu alis, sekarang kamu sudah selesai dengannya? sebuah kerutan yang tentu saja tidak di sana sebelum kamu mengadakan konferensi pribadi bersama?” Sebelum menjawab, Sir Martin mempertimbangkan apakah dia harus mengajak Alucia masuk kepercayaan dirinya atau tidak. Upaya untuk mengidentifikasi “wanita” Mark yang tidak disebutkan namanya dia bertekad untuk melakukannya, akan membawanya ke Craig Fernie, dan pasti akan melakukannya akhirnya mewajibkan dia untuk menyapa Shane. Pengetahuan mendalam Alucia temannya pasti bisa berguna baginya dalam hal ini keadaan; dan kebijaksanaan Alucia harus dipercaya dalam segala hal Kepentingan Miss Amanda sangat memprihatinkan. Di sisi lain, ada kehati-hatian sangat diperlukan, dalam kondisi informasinya yang tidak sempurna saat ini dan kehati-hatian, dalam benak Sir Martin, membawa dampaknya. Dia m
Dia mengeluarkan kantong tembakaunya; dan tiba-tiba menghentikan operasi di saat membukanya. Objek apa yang dilihatnya, di balik deretan pohon pir kerdil, menjauh ke kanan? Seorang wanita tampaknya seorang pelayan dari balik pakaiannya membungkuk dengan membelakangi dia, mengumpulkan sesuatu: tumbuhan yang terlihat seperti itu, begitu juga dia bisa melihat mereka dari kejauhan. Benda apa yang tergantung pada tali di sisi wanita itu? Sebuah batu tulis? Ya. Apa yang dia inginkan dengan batu tulis di sisinya? Dia sedang mencari sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dan di sinilah hal itu ditemukan. “Apa pun bisa dilakukan aku,” pikirnya. “Bagaimana kalau aku 'mengolok-olok' dia sedikit tentang batu tulisnya?” Dia memanggil wanita di seberang pohon pir. “Halo!” Wanita itu bangkit, dan maju ke arahnya perlahan menatapnya, saat dia datang, dengan mata cekung, wajah sedih, batu ketenangan Hester Dethridge. Mark terhuyung. Dia tidak menawar untuk menukar barang yang paling membos
"Kamu disana!" katanya, dan menyerahkan catatannya kepada pria itu. “Baiklah, Mark?” tanya suara ramah di belakangnya. Dia berbalik dan melihat Arnold, sangat ingin mendengar kabar konsultasi dengan Sir Martin. “Ya,” katanya. "Baiklah." Arnold sedikit terkejut dengan sikap singkat Mark jawab dia. “Apakah Sir Martin pernah mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan?” Dia bertanya. “Sir Martin telah mengatakan apa yang saya ingin dia katakan.” “Tidak ada kesulitan dalam pernikahan?” "Tidak ada." “Jangan takut pada Alucia ” “Dia tidak akan memintamu menemui Craig Fernie aku akan menjawabnya!” Dia mengatakan kata-kata yang sangat ditekankan, mengambil surat saudaranya dari meja, mengambil topinya, dan keluar. Teman-temannya, yang sedang bermalas-malasan di halaman, memujinya. Dia melewati mereka dengan cepat tanpa menjawab, tanpa melirik mereka dari balik bahunya. Sesampainya di taman mawar, ia berhenti dan mengeluarkan pipanya; kemudian tiba-tiba berubah pikiran, da
Mark mengangguk. "Itu dia!" katanya dengan penuh semangat. “Menurut pengalaman saya, Tuan Figo, pria lajang mana pun di Skotlandia bisa melakukannya nikahi wanita lajang mana pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun. Pendeknya, setelah tiga puluh tahun berpraktik sebagai pengacara, saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan pernikahan Skotlandia." “Dalam bahasa Inggris yang sederhana,” kata Mark.“maksudmu dia istrinya?” Terlepas dari kelicikannya; meskipun dia bisa memerintah dirinya sendiri, matanya bersinar-sinar mengucapkan kata-kata itu. Dan nada bicaranya walaupun dijaga dengan sangat hati-hati menjadi nada kemenangan di telinga yang baik, jelas merupakan nada lega. Baik tatapan maupun nada bicara Sir Martin tidak hilang. Kecurigaannya yang pertama, ketika dia duduk di konferensi, sudah jelas terlihat kecurigaan bahwa, ketika berbicara tentang “temannya”, Mark sedang berbicara tentang dirinya sendiri. Namun, seperti semua pengacara, dia biasanya tidak mempercayai kesan