Share

Bab. 5

SAMbIL membuka topi, polisi itu mengusap dahinya yang berkeringat dengan bagian lengan seragamnya. Azura duduk tegak dan memperhatikan. Seragam yang dikenakan orang itu adalah seragam sherif, setidaknya

seragam seorang deputi.

”Stella, satu bir untukku,” seru lelaki itu begitu pintu tertutup di belakangnya.

Si pramusaji berambut pirang menoleh dan tersenyum lebar melihatnya. Rupanya mereka sudah akrab.

”Hm, coba lihat siapa yang datang.” Si pramusaji bersandar di bar, dengan pose yang membuat payudaranya yang besar tampak sangat mengundang.

Sherif itu tersenyum mesum padanya.”Kangen aku, ya?”

”Huh, tidak,” sahut si pramusaji sambil merangkul leher Sherif yang kemerahan ketika lelaki itu mencondongkan tubuh ke arahnya dari kursi tingginya.

”Kau kan tahu aku. Tidak ketemu, ya tidak dipikirkan.”

”Sudah dua hari ini aku mencari­cari seorang buronan sialan yang sama sekali tidak ketahuan di mana batang hidungnya. Aku butuh bir dingin dan perhatian yang manis.”

”bir dan perhatian? Urusannya mesti begitu?” Si pirang membungkuk dan membisikkan pertanyaan itu di dekat mulut si sherif. Lelaki itu mengecupnya, lalu menepuk pinggul padat si pramusaji.

”Ambilkan birnya.” Stella pergi.

Sementara itu, Rodriguez duduk dengan

marah di samping Azura, di booth mereka. Ia menghantamkan tinjunya di paha, di bawah meja.

”Sialan,” makinya pelan.

”Tadi padahal kita sudah hampir keluar.

Sial!” Ia terus memaki sambil pura­-pura bercumbu dengan Azura.

”Jangan berani­-berani melakukan apa pun yang bisa menarik perhatiannya. Kalau ingin menyelamatkanmu, dia mesti melewati aku lebih dulu, Sayang.”

”Kau mau melakukan apa?”

”Untuk saat ini, tetap begini saja,” katanya sambil menciumi leher Azura.

”Mungkin nanti dia pergi.” Tapi tampaknya si sherif belum ingin cepat­-cepat, pergi.

Ia minum bir dua gelas, tiga gelas, dan akhirnya empat gelas. Stella tidak pernah jauh-­jauh dari sisinya, kecuali kalau terpaksa mesti melayani pelanggan lain.

Keduanya saling menggoda dengan terang­terangan, mengucapkan kalimat­-kalimat bernada seksual, sampai kemudian suara mereka berubah menjadi bisikan-­bisikan pelan bernada rahasia, diseling suara tawa pelan dan seksi dari Stella.

Tangan si sherif selalu aktif, membelai-belai Stellan yang tidak pernah menolak. Tadi Azura berharap bisa mendapat pertolongan dari si sherif, tapi sekarang ia tidak yakin orang ini peduli apakah buronannya tertangkap atau tidak. banyak orang, baik yang Indian maupun yang bukan yang menganggap Rodriguez sengaja dijebak dan mereka menaruh simpati padanya. Mungkin saja si sherif bergaji rendah itu adalah salah satu di antaranya.

Mungkin ia akan pura­pura tidak melihat kalau Rodriguez lewat di depannya sekalipun. Namun sherif itu tetap merupakan satu-­satunya harapan Azura untuk melepaskan diri dari penculiknya ini.

Ia berniat memanfaatkan orang itu, meski ia yakin si sherif pasti kesal acaranya dengan Stella jadi berantakan.

”Kalau waktunya sudah tepat, kita bangun dan berjalan ke luar, mengerti?”

”Ya,” sahut Azura.

Mungkin ia terlalu cepat mengiakan, sebab Rodriguez mengangkat kepalanya sedikit dan menatap mata Azura lekat-­lekat, lalu meraih ke kolong meja. Sebelum melihat kilap pisau yang tampak dalam cahaya remang-­remang itu pun Azura sudah tahu bahwa Rodriguez mengambil benda itu dari sepatu botnya.

”Jangan membuat aku terpaksa menggunakan ini, Azura. Terutama pada dirimu.”

”Kenapa tidak?” Mata lelaki itu menelusuri tubuhnya dengan penuh arti.

”Sebab, setelah mengalami siang yang sangat menyenangkan bersamamu, aku enggan menyakitimu.”

”Kuharap kau mati hangus di neraka,” kata Azura dengan geram.

”Aku yakin keinginanmu akan terkabul.” Setelah itu, Rodriguez mengalihkan perhatiannya kembali pada si sherif dan Stella di bar.

Ia memandangi kedua orang itu

dengan mata elangnya. Ketika tangan si sherif terulur ke payudara Stella, Rodriguez berkata,

”Sekarang!” Azura mengira lelaki itu akan bangkit dan pergi diam-­diam,

Tapi ternyata Rodriguez menyentakkan Azura berdiri dengan mendadak, hingga Azura terdorong ke arahnya dan terpaksa bersandar ke tubuh lelaki itu agar tidak kehilangan keseimbangan. Rodriguez merangkul pinggangnya dan merapatkan Azura ke

tubuhnya. Azura hendak menjauhkan diri dari lelaki itu dan sudah membuka mulutnya, tapi yang keluar hanya suara pekik tertahan. Rodriguez menempelkan pisaunya di antara tubuh mereka.

”Jangan coba­coba.” Suaranya sangat tenang dan terkendali.

Azura langsung mengurungkan niatnya

untuk mencoba melepaskan diri.

Keduanya terhuyung-­huyung menuju pintu. Rodriguez menunduk di atas kepala Azura, seperti orang mabuk.

”Hei, Mister.” Langkah Azura terhenti, tapi Rodriguez tidak.

Ia terus berjalan. ”Hei, Mister, aku bicara padamu.”

Azura merasakan napas Rodriguez mengembus pipinya, lalu lelaki itu berhenti berjalan dan mengangkat kepala.

”Yeah?” katanya pada Ray yang memanggilnya.

”Kami punya kamar di belakang,” kata Ray sambil memberi isyarat dengan ibu jarinya.

”Kau dan pacarmu mau pesan satu buat semalam?”

”Tidak, terima kasih,” sahut Rodriguez.

”Aku mesti antar dia pulang sebelum suaminya kembali.” Ray tertawa mesum dan kembali asyik menonton serial detektif yang sekarang ditayangkan di TV.

Si sherif yang sedang asyik bercumbu dengan Stella sama sekali tidak menoleh.

begitu berada di laur, Azura Langsung menarik napas dalam­-dalam untuk menghirup

udara segar. Rasanya ia tidak akan pernah bisa melenyapkan bau asam bir dan tembakau yang tadi dihirupnya dari rongga hidungnya. Rodriguez sendiri tidak

menarik napas seperti itu. Ia langsung mendorong Azura ke dalam mobil.

Dalam beberapa menit saja mereka sudah berada jauh dari bar tersebut. baru pada saat itulah Rodriguez menarik napas panjang. Ia membuka jendela mobil dan tampak menikmati terpaan angin di wajahnya.

”Kau mulai pintar menghindari petugas hukum,” katanya pada Azura.

”Sebab aku tidak suka merasakan pisau itu menempel di rusukku,” balas Azura ketus.

”Sudah sewajarnya.” Tampaknya lelaki ini tahu betul arah yang diambilnya, meski Azura tahu bahwa jalanan ini tidak banyak

dilalui orang.

Jalur-­jalurnya sempit dan hanya sedikit papan penunjuk arah. Sama sekali tidak ada lampu lalu lintas atau bahu jalan. Mereka jarang berpapasan dengan mobil lain, dan kalaupun bertemu mobil lain, Azura menahan napas karena takut bertabrakan. Rodriguez memacu mobil dengan kencang, tapi terkendali. Tak lama kemudian Azura mulai mengantuk karena harus memandangi garis­garis putih yang saling berkejaran di tengah jalan.

Tapi tak berapa lama kemudian sumpah serapah Rodriguez memecah keheningan itu.

”Sialan! Sialan!”

”Apa ada yang mengikuti kita?” tanya Azura penuh harap.

Ia duduk tegak dan menoleh ke belakang!

”Mobil ini terlalu panas.” Azura langsung merasa kecewa.

Sesaat tadi ia berharap si sherif atau seseorang dari bar mengenali Rodriguez tapi pura­-pura tidak bereaksi, demi keamanan,

menunggu bala bantuan datang.

”Sejak tadi siang sudah begitu,” kata Azura sambil mengempaskan tubuh di sandaran kursi.

Rodriguez menoleh ke arahnya dengan marah. Wajahnya hanya diterangi cahaya lampu di dasbor, menim-bulkan bayang­-bayang kehijauan yang membuatnya tampak semakin menakutkan. Sepasang matanya pucat

keperakan dan sangat marah.

”Maksudmu, siang tadi mesin mobil ini sudah kepanasan?”

”Kau tidak dengar aku bilang begitu pada polisi yang memeriksa di penghalang jalan tadi?”

”Kukira itu cuma aktingmu,” teriak Rodriguez.

”bukan.”

”Kenapa kau tidak bilang sebelum kita memasuki jalanan sepi ini?”

”Kau tidak tanya.” Rodriguez memaki dengan ucapan yang tidak berani

ditiru Azura, karena takut tersambar petir.

Ia sangat ketakutan ketika mendadak Rodriguez memutar mobil itu ke luar jalan raya.

”Kau mau ke mana?” tanyanya.

”Aku mesti mendinginkan mobil ini. Kalau tidak, mesinnya akan rusak total. Aku tidak mungkin bisa memperbaikinya dalam gelap.” Ia mengemudikan mobil itu beberapa ratus meter keluar jalan raya.

Medan jalan begitu kasar, hingga Azura mesti berpegangan agar tidak terpelanting ke lantai. Ketika mobil berhenti, mesinya mendesis seperti air mendidih. Rodriguez membuka pintu dan keluar, lalu bersandar di mobil dengan

kepala tertunduk.

”Sial! Aku sudah banyak membuang waktu hari ini. Mula­-mula di bar sialan itu. Sekarang ini lagi!” Tampaknya ia sangat kesal dengan berbagai hambatan ini.

Ia melangkah ke kap mesin dan dengan gemas menendang salah satu ban mobil sambil menyumpah­-nyumpah.

Azura ikut keluar dan meregangkan otot­ototnya yang pegal.

”Apa kita sedang terburu­-buru?”

”Ya.” Jawaban ketus ini membuat Azura tidak berani bertanya lebih lanjut.

Tak lama kemudian Rodriguez menggelengkan kepala dan mendengus pasrah.

”berhu-bung kita tak bisa ke mana­-mana, sebaiknya kita tidur saja. Masuk ke kursi belakang.”

”Aku tidak mengantuk,” sahut Azura kesal.

”Masuk saja pokoknya.” Suara lelaki itu mengguntur di padang tandus tersebut, seperti guruh yang menggelegar.

Azura melotot marah sekali padanya, tapi mematuhinya. Rodriguez ikut masuk dan membiarkan semua pintu mobil terbuka,

kecuali pintu belakang. Ia berbaring di sudut dekat pintu, membentangkan kakinya lebar-­lebar, dan sebelum Azura sadar apa yang terjadi lelaki itu sudah

menarik tubuhnya dan menjepitnya di antara kakinya.

”Lepaskan aku,” tuntut Azura dengan geram.

Ia meronta-­ronta, tapi pinggulnya malah semakin menempel dengan ritsleting jeans lelaki itu, jadi akhirnya ia diam.

”Aku mau tidur. Kau juga mesti tidur.” Rodriguez

menempatkan Azura di atas dadanya dan memeluknya dengan kedua lengannya. Pelukannya di bawah payudara Azura erat sekali, seperti jepitan baja. Posisi ini

sungguh mendebarkan, meski tidak menyakitkan dan tidak nyaman. Azura jadi merasa tidak tenang.

”Aku tidak mungkin keluyuran di padang tandus ini, Rodriguez. Lepaskan aku.”

”Tidak akan. Kecuali kau bersedia kuikat di roda kemudi.”

”Kaupikir aku akan ke mana kalaupun bisa melarikan diri?”

”Aku sudah tahu kau banyak akal.”

”Tapi kita berada di tempat terpencil, dan ini sudah gelap.”

”Ada bulan.”Azura tahu itu.

Juga ada bintang-­bintang. besar, terang, dan sangat dekat, sama sekali tidak seperti yang

biasa dilihatnya di kota. Kalau bukan dalam situasi begini, ia pasti akan mengagumi pemandangan malam seperti ini, meresapinya, dan merasakan betapa kecil

dirinya dibandingkan alam ini.

Tapi ia tak ingin malam ini terasa indah. Ia hanya ingin kelak mengingatnya sebagai malam yang mengeri-kan.

”Akan sangat bodoh kalau aku nekat pergi seorang diri, meski seandainya aku tahu di mana aku berada dan aku bisa melarikan diri darimu.”

”Pokoknya aku memastikan kau tidak akan bisa kabur. Sekarang diamlah, demi kebaikanmu sendiri.”

Ketegangan dalam nada suara lelaki itu membuat Azura memperhatikan apa yang sedang terjadi.

Lengan lelaki itu agak gemetar, sementara Azura sendiri merasa tengkuknya tegang. Ia menelan ludah, berusaha mengingkari apa yang terjadi.

”Kumohon jangan begini.” Ia bersedia menelan harga dirinya dan memohon­-mohon pada lelaki itu, sebab ia merasa tidak akan sanggup berada begitu dekat dengan

lelaki itu sepanjang malam.

bukan karena ia tidak menyukainya, tapi justru karena ia tidak cukup membencinya.

”Lepaskan aku.”

”Tidak.”Merasa permohonannya sia­-sia,

Azura tidak lagi berusaha membuat lelaki itu berubah pikiran. Tapi ia juga tidak mau bersikap santai. Sengaja ia membuat

tubuhnya sekaku mungkin, seperti papan, di dada lelaki itu. Tapi tak lama kemudian lehernya mulai sakit karena bersikeras menjaga jarak di antara mereka. Setelah

merasa Rodriguez sudah tidur, barulah ia berani membiarkan kepalanya bersandar ke bahu lelaki itu.

”Kau sangat keras kepala, Azura Andrews.”

Azura memejamkan mata dan mengertakkan gigi.

Lelaki itu pura­-pura, tertidur untuk melihat sampai di mana ia akan bersikap keras kepala dan akan menyerah

pada akhirnya.

”Kalau kau melonggarkan lenganmu, aku

bisa bernapas dengan lebih mudah.”

”Atau mengambil pisauku.” Mereka berbaring dalam diam, lalu lelaki itu berkata,

”Kau satu dari yang sedikit.”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status