Share

Bab. 4

Di depan bar ada sederetan kursi tinggi dengan alas vinil merah. Setidaknya dulu pernah berwarna merah, meski sekarang hanya tampak berwarna gelap kotor dan berminyak. Hanya tiga kursi yang diisi. begitu pintu tertutup kembali, tiga pasang mata jahat menoleh dan menelusuri sosok mereka dengan curiga. Salah satu di antara ketiga orang itu adalah seorang perempuan pirang ber­makeup tebal yang duduk mengangkat kaki ke kursi di sampingnya. Ia sedang mengecat kuku jari kakinya.

”Hei, Ray, ada tamu,” teriaknya. Ray adalah lelaki tambun yang ada di belakang bar.

Ia sedang asyik menonton opera sabun di televisi yang dipasang tinggi di sudut, sepasang lengannya yang sangat besar bertumpu di kulkas.

”Kau saja yang melayani,” ia balas berteriak tanpa mengalihkan mata dari layar.

”Kukuku belum kering.” Ray memaki dengan ucapan kotor yang dikira Azura hanya bisa dibaca di tembok­tembok WC umum di pelabuhan.

Ray beranjak meninggalkan kulkas dan menatap mereka dengan pandangan marah. Azura melihatnya, tapi Rodriguez tidak, sebab lelaki itu sedang asyik membenamkan wajah di rambut Azura sambil menjilati telinganya. Tapi rupanya Rodriguez bukannya tidak tahu situasi di sekitarnya.

”Dua bir dingin,” katanya pada Ray dengan suara cukup keras.

Lalu ia mendorong Azura sedikit dan menyuruhnya mengarah ke salah satu booth yang tampak kotor di sepanjang tembok. Dari situ mereka bisa melihat dengan jelas ke arah TV dan pintu.

”Duduk dan geser sedikit ke sana,” bisiknya.

Karena didorong, Azura tak punya pilihan lain. Ia tak sempat melihat apakah tempat duduknya bersih. Tapi mungkin lebih baik begitu. Rodriguez duduk di sampingnya dan memojokkannya ke tembok.

”Aku terjepit,” keluh Azura pelan.

”Memang sengaja.” Lelaki itu menciumi leher Azura ketika Ray datang membawakan dua botol bir di tangannya yang tampak seperti daging panggang dengan kuku­-kuku kotor.

botol-­botol bir itu menimbulkan bunyi berdenting ketika diletakkan di meja Formica yang sudah retak­retak.

”Tiga dolar. bayar di tempat.”

”bayar dia, Yang,” kata Rodriguez sambil membelai bahu Azura dengan gerakan memutar.

”Aku lagi sibuk.” Azura mengertakkan gigi agar tidak menjerit menyuruh lelaki itu menyingkirkan tangannya, atau membawanya keluar dari tempat ini, atau pergi saja ke neraka sana.

Tapi ia juga lega lelaki itu ada di sampingnya,

Rodriguez tahu betul apa yang dihadapinya. Azura merasa takkan mau memercayakan dirinya pada orang-orang di tempat ini, kalaupun ia bisa membangkitkan rasa simpati Ray dan yang lainnya. Setidaknya Rodriguez lebih baik daripada mereka.

Ia mengambil tiga keping satu dolaran dari tasnya dan meletakkannya di meja. Ray, yang masih tetap menoleh ke arah TV untuk menonton opera sabun, mengambil uang itu dan berlalu.

”bagus,” kata Rodriguez pelan di telinga Azura.

Azura berharap Rodriguez tidak terlalu serius dengan aktingnya, apalagi sekarang Ray sudah pergi. Setidaknya lelaki itu bisa memindahkan tangannya yang sedang memainkan tali bra di balik blus Azura.

”Sekarang apa?” tanya Azura.

”Sekarang kita bercumbu.”

”Perset…”

”Sst!” desis Rodriguez dengan marah.

”Kau tidak mau menarik perhatian Ray, bukan? Atau kau lebih suka pada kedua koboi itu? Mereka pasti senang menolong perempuan yang sedang kesusahan.”

”Cukup!” kata Azura ketika bibir lelaki itu menelusuri lehernya.

”Katamu kau kemari untuk nonton TV.”

”Ya, tapi aku tidak ingin mereka tahu.”

”Jadi, aku mesti duduk diam saja kau ciumi?” Lelaki itu menggumam, mengiakan.

”Untuk berapa lama?”

”Selama diperlukan. Setiap setengah jam sekali kita pesan bir lagi, supaya Ray tidak marah kursinya kita tempati terus.”

bagaimana mungkin orang ini bisa bicara rasional sambil mencumbui seperti ini? Azura menjauhi bibir

Rodriguez yang masih terus mengejarnya.

”Aku tidak bisa minum sebanyak itu.”

”Kalau tidak ada yang lihat, buang saja birmu di lantai. Aku yakin tidak bakal ada yang memperhatikan.”

”Aku juga yakin begitu,” kata Azura dengan merinding, sambil mengangkat kakinya dari lantai yang lengket entah karena apa.

”Kau yakin ini memang perlu?”

”Memangnya kenapa, Sayang? Apa kau tidak menikmati?” Tangan lelaki itu mulai menarik kancing­-kancing blus Azura.

”Tidak."

”Apa kau ingin kena penghalang jalan lagi? Atau kau senang bisa menggoda polisi malang tadi?”

”Kau memuakkan.” Azura bersandar di sandaran kursi yang keras dan mencoba tetap pasif menanggapi serangan tangan dan bibir lelaki itu.

”Aku tidak yakin kau menikmati kencan ini, Sayang, dan mereka juga tidak bakal yakin. Cobalah lebih menjiwai,” geram Rodriguez dengan bibir sangat dekat di mulut Azura.

”Tidak. Ini menjijikkan.” Kepala lelaki itu tersentak dan ia menatap Azura dengan dingin.

”Kenapa?” Ia tersinggung.

Apa sebabnya? Karena ia mengira ucapan Azura mengandung unsur rasial, atau karena ia mengira Azura menyepelekan keahliannya dalam mencumbu? Tapi apa peduliku dia tersinggung atau tidak? pikir Azura.

”Aku tidak terbisa bercumbu di tempat-­tempat umum, Mr….” Azura tidak sempat mengucapkan nama lelaki itu, sebab Rodriguez sudah menutup mulutnya dengan ciuman, sambil menyebutkan namanya.

Ciuman itu tidak berperasaan, dan dilakukan cuma supaya ia diam. Lelaki itu tetap mengatupkan bibirnya. Namun tetap saja Azura merasa perutnya seperti berjungkir balik dan ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.Rodriguez memang sengaja rupanya. Ketika akhirnya menghentikan ciuman, ia berbisik,

”Hati­-hati.” Azura hanya mengangguk, sambil berharap bisa menenangkan debar jantungnya.

Satu hal ia tahu kini. Ia tak akan menghujani lelaki itu dengan pertanyaan ataupun percakapan lagi. Ia tak mau lelaki itu menciumnya lagi.Entah apa sebabnya, pokoknya ia tak ingin dicium lagi. Syukurlah tidak ada yang memperhatikan mereka. Tampaknya sudah menjadi peraturan tidak tertulis bahwa pemilik Tumbleweed tidak akan mencampuri urusan orang lain, kecuali terpaksa. Meski tampak asyik mencumbu, Rodriguez sadar sepenuhnya akan apa yang terjadi di sekitarnya.

Matanya sibuk melihat­-lihat, meski dibuat tampak sayu oleh gairah. Dari balik kelopak matanya ia mengawasi setiap wajah, kalau­kalau ada yang mengenalinya, tapi ternyata tidak ada yang memperhatikan dirinya. Ray atau si pelayan wanita yang kukunya sudah kering mengantarkan bir ke tempat mereka ketika Rodriguez memesannya lagi dengan gaya mabuk. Di luar itu, tidak ada yang memedulikan keduanya.

Para pengunjung keluar­masuk. Kebanyakan hanya minum sedikit, lalu pergi lagi. beberapa minum sendirian, ada juga yang berdua atau bertiga. Seorang pengunjung sedang asyik bermain mesin pinball, sampai­sampai Azura merasa pening mendengar bunyi bel dan lampu-lampu yang berkelap­kelip dari mesin itu. Sementara itu, sekarang Ray asyik menonton komedi situasi di TV.

Azura merasa waktu berlalu sangat lambat. bukan karena ia bosan, tapi karena saraf-­sarafnya tegang. Karena menunggu orang yang bisa menyelamatkan diriku, pikirnya. Tapi, sejujurnya, ketegangannya lebih banyak diakibatkan oleh apa yang dilakukan Rodriguez padanya.

Istilah apa yang tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan Rodriguez? bagaimana jemarinya membelai rambut Azura dan memegangi kepala sementara bibir lelaki itu menelusuri tenggorokannya.bagaimana lelaki itu menekankan lututnya ke paha atas Azura ketika si pramusaji mengantarkan bir mereka. Atau bagaimana bibir lelaki itu bermain-­main di seputar telinga Azura.

”Jangan,” erang Azura ketika cumbuan lelaki itu membuat lengannya merinding.

”Eranganmu bagus. Teruskan,” bisik Rodriguez.

saat dua orang sopir truk masuk dan melewati mereka, menuju mesin pinball Rodriguez meraih tangan Azura dan menyelipkannya ke dalam kemejanya. Azura berusaha menarik tangannya, tapi Rodriguez tidak membiarkannya. Karena dipaksa menyentuh lelaki itu, Azura pun memuaskan rasa ingin tahunya. Dengan sehalus mungkin ia menempelkan ujung­ujung jemarinya di kulit lelaki itu. Ibu jarinya bergerak sedikit dan membelai dada Rodriguez yang keras.Rodriguez terkesiap.

”Astaga!” makinya.

”Jangan begitu.” Tubuhnya sudah tegang sepanjang siang, tapi sekarang terasa lebih kaku lagi di dekat tubuh Azura.

Azura menarik tangannya. ”Aku cuma melakukan apa yang kau…”

”Sst.”

”Jangan bilang…”

”Sst! Lihat di layar.” Azura menoleh ke arah TV.

Seorang pembawa berita dari Phoenix sedang membacakan kisah tentang pencarian atas diri narapidana yang melarikan diri, aktivitas Rodriguez. Sebuah foto Rodriguez ditayangkan di layar. Azura terperangah melihatnya, hampir­-hampir tidak mengenalinya. Rambut lelaki itu dipotong pendek sekali, hampir­hampir habis seluruhnya.

”Fotonya tidak terlalu bagus,” kata Azura datar.

Sudut mulut lelaki itu bergerak sedikit, seperti akan tersenyum, tapi perhatiannya segera teralihkan pada peta Arizona yang sekarang ditampilkan. Seperti telah diduga Rodriguez, media massa sama sekali tidak mau

bekerja sama dengan pihak penegak hukum.

Mereka memperlihatkan dengan jelas di mana saja penghalang penghalang jalan ditempatkan. bocoran berita seperti ini jelas mempersulit pekerjaan polisi, tapi bagi stasiun TV yang penting adalah bisa mengalahkan para saingannya.

begitu berita beralih ke topik lain, Rodriguez bangkit dari duduknya.

”Oke, kita pergi. Jangan lupa berjalan

limbung. Kau mesti berlagak seperti habis minum bir banyak.” Ia mengulurkan tangannya pada Azura, tapi perhatiannya dengan segera beralih ke pintu yang terbuka.

Seorang pelanggan lain masuk. Rodriguez menyumpah pelan melihat lelaki berseragam yang melangkah ke dalam bar itu.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status