Di depan bar ada sederetan kursi tinggi dengan alas vinil merah. Setidaknya dulu pernah berwarna merah, meski sekarang hanya tampak berwarna gelap kotor dan berminyak. Hanya tiga kursi yang diisi. begitu pintu tertutup kembali, tiga pasang mata jahat menoleh dan menelusuri sosok mereka dengan curiga. Salah satu di antara ketiga orang itu adalah seorang perempuan pirang bermakeup tebal yang duduk mengangkat kaki ke kursi di sampingnya. Ia sedang mengecat kuku jari kakinya.
”Hei, Ray, ada tamu,” teriaknya. Ray adalah lelaki tambun yang ada di belakang bar.Ia sedang asyik menonton opera sabun di televisi yang dipasang tinggi di sudut, sepasang lengannya yang sangat besar bertumpu di kulkas.”Kau saja yang melayani,” ia balas berteriak tanpa mengalihkan mata dari layar.”Kukuku belum kering.” Ray memaki dengan ucapan kotor yang dikira Azura hanya bisa dibaca di temboktembok WC umum di pelabuhan.Ray beranjak meninggalkan kulkas dan menatap mereka dengan pandangan marah. Azura melihatnya, tapi Rodriguez tidak, sebab lelaki itu sedang asyik membenamkan wajah di rambut Azura sambil menjilati telinganya. Tapi rupanya Rodriguez bukannya tidak tahu situasi di sekitarnya.”Dua bir dingin,” katanya pada Ray dengan suara cukup keras.Lalu ia mendorong Azura sedikit dan menyuruhnya mengarah ke salah satu booth yang tampak kotor di sepanjang tembok. Dari situ mereka bisa melihat dengan jelas ke arah TV dan pintu.”Duduk dan geser sedikit ke sana,” bisiknya.Karena didorong, Azura tak punya pilihan lain. Ia tak sempat melihat apakah tempat duduknya bersih. Tapi mungkin lebih baik begitu. Rodriguez duduk di sampingnya dan memojokkannya ke tembok.”Aku terjepit,” keluh Azura pelan.”Memang sengaja.” Lelaki itu menciumi leher Azura ketika Ray datang membawakan dua botol bir di tangannya yang tampak seperti daging panggang dengan kuku-kuku kotor.botol-botol bir itu menimbulkan bunyi berdenting ketika diletakkan di meja Formica yang sudah retakretak.”Tiga dolar. bayar di tempat.””bayar dia, Yang,” kata Rodriguez sambil membelai bahu Azura dengan gerakan memutar.”Aku lagi sibuk.” Azura mengertakkan gigi agar tidak menjerit menyuruh lelaki itu menyingkirkan tangannya, atau membawanya keluar dari tempat ini, atau pergi saja ke neraka sana.Tapi ia juga lega lelaki itu ada di sampingnya,Rodriguez tahu betul apa yang dihadapinya. Azura merasa takkan mau memercayakan dirinya pada orang-orang di tempat ini, kalaupun ia bisa membangkitkan rasa simpati Ray dan yang lainnya. Setidaknya Rodriguez lebih baik daripada mereka.Ia mengambil tiga keping satu dolaran dari tasnya dan meletakkannya di meja. Ray, yang masih tetap menoleh ke arah TV untuk menonton opera sabun, mengambil uang itu dan berlalu.”bagus,” kata Rodriguez pelan di telinga Azura.Azura berharap Rodriguez tidak terlalu serius dengan aktingnya, apalagi sekarang Ray sudah pergi. Setidaknya lelaki itu bisa memindahkan tangannya yang sedang memainkan tali bra di balik blus Azura.”Sekarang apa?” tanya Azura.”Sekarang kita bercumbu.””Perset…””Sst!” desis Rodriguez dengan marah.”Kau tidak mau menarik perhatian Ray, bukan? Atau kau lebih suka pada kedua koboi itu? Mereka pasti senang menolong perempuan yang sedang kesusahan.””Cukup!” kata Azura ketika bibir lelaki itu menelusuri lehernya.”Katamu kau kemari untuk nonton TV.””Ya, tapi aku tidak ingin mereka tahu.””Jadi, aku mesti duduk diam saja kau ciumi?” Lelaki itu menggumam, mengiakan.”Untuk berapa lama?””Selama diperlukan. Setiap setengah jam sekali kita pesan bir lagi, supaya Ray tidak marah kursinya kita tempati terus.”bagaimana mungkin orang ini bisa bicara rasional sambil mencumbui seperti ini? Azura menjauhi bibirRodriguez yang masih terus mengejarnya.”Aku tidak bisa minum sebanyak itu.””Kalau tidak ada yang lihat, buang saja birmu di lantai. Aku yakin tidak bakal ada yang memperhatikan.””Aku juga yakin begitu,” kata Azura dengan merinding, sambil mengangkat kakinya dari lantai yang lengket entah karena apa.”Kau yakin ini memang perlu?””Memangnya kenapa, Sayang? Apa kau tidak menikmati?” Tangan lelaki itu mulai menarik kancing-kancing blus Azura.”Tidak."”Apa kau ingin kena penghalang jalan lagi? Atau kau senang bisa menggoda polisi malang tadi?””Kau memuakkan.” Azura bersandar di sandaran kursi yang keras dan mencoba tetap pasif menanggapi serangan tangan dan bibir lelaki itu.”Aku tidak yakin kau menikmati kencan ini, Sayang, dan mereka juga tidak bakal yakin. Cobalah lebih menjiwai,” geram Rodriguez dengan bibir sangat dekat di mulut Azura.”Tidak. Ini menjijikkan.” Kepala lelaki itu tersentak dan ia menatap Azura dengan dingin.”Kenapa?” Ia tersinggung.Apa sebabnya? Karena ia mengira ucapan Azura mengandung unsur rasial, atau karena ia mengira Azura menyepelekan keahliannya dalam mencumbu? Tapi apa peduliku dia tersinggung atau tidak? pikir Azura.”Aku tidak terbisa bercumbu di tempat-tempat umum, Mr….” Azura tidak sempat mengucapkan nama lelaki itu, sebab Rodriguez sudah menutup mulutnya dengan ciuman, sambil menyebutkan namanya.Ciuman itu tidak berperasaan, dan dilakukan cuma supaya ia diam. Lelaki itu tetap mengatupkan bibirnya. Namun tetap saja Azura merasa perutnya seperti berjungkir balik dan ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.Rodriguez memang sengaja rupanya. Ketika akhirnya menghentikan ciuman, ia berbisik,”Hati-hati.” Azura hanya mengangguk, sambil berharap bisa menenangkan debar jantungnya.Satu hal ia tahu kini. Ia tak akan menghujani lelaki itu dengan pertanyaan ataupun percakapan lagi. Ia tak mau lelaki itu menciumnya lagi.Entah apa sebabnya, pokoknya ia tak ingin dicium lagi. Syukurlah tidak ada yang memperhatikan mereka. Tampaknya sudah menjadi peraturan tidak tertulis bahwa pemilik Tumbleweed tidak akan mencampuri urusan orang lain, kecuali terpaksa. Meski tampak asyik mencumbu, Rodriguez sadar sepenuhnya akan apa yang terjadi di sekitarnya.Matanya sibuk melihat-lihat, meski dibuat tampak sayu oleh gairah. Dari balik kelopak matanya ia mengawasi setiap wajah, kalaukalau ada yang mengenalinya, tapi ternyata tidak ada yang memperhatikan dirinya. Ray atau si pelayan wanita yang kukunya sudah kering mengantarkan bir ke tempat mereka ketika Rodriguez memesannya lagi dengan gaya mabuk. Di luar itu, tidak ada yang memedulikan keduanya.Para pengunjung keluarmasuk. Kebanyakan hanya minum sedikit, lalu pergi lagi. beberapa minum sendirian, ada juga yang berdua atau bertiga. Seorang pengunjung sedang asyik bermain mesin pinball, sampaisampai Azura merasa pening mendengar bunyi bel dan lampu-lampu yang berkelapkelip dari mesin itu. Sementara itu, sekarang Ray asyik menonton komedi situasi di TV.Azura merasa waktu berlalu sangat lambat. bukan karena ia bosan, tapi karena saraf-sarafnya tegang. Karena menunggu orang yang bisa menyelamatkan diriku, pikirnya. Tapi, sejujurnya, ketegangannya lebih banyak diakibatkan oleh apa yang dilakukan Rodriguez padanya.Istilah apa yang tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan Rodriguez? bagaimana jemarinya membelai rambut Azura dan memegangi kepala sementara bibir lelaki itu menelusuri tenggorokannya.bagaimana lelaki itu menekankan lututnya ke paha atas Azura ketika si pramusaji mengantarkan bir mereka. Atau bagaimana bibir lelaki itu bermain-main di seputar telinga Azura.”Jangan,” erang Azura ketika cumbuan lelaki itu membuat lengannya merinding.”Eranganmu bagus. Teruskan,” bisik Rodriguez.saat dua orang sopir truk masuk dan melewati mereka, menuju mesin pinball Rodriguez meraih tangan Azura dan menyelipkannya ke dalam kemejanya. Azura berusaha menarik tangannya, tapi Rodriguez tidak membiarkannya. Karena dipaksa menyentuh lelaki itu, Azura pun memuaskan rasa ingin tahunya. Dengan sehalus mungkin ia menempelkan ujungujung jemarinya di kulit lelaki itu. Ibu jarinya bergerak sedikit dan membelai dada Rodriguez yang keras.Rodriguez terkesiap.”Astaga!” makinya.”Jangan begitu.” Tubuhnya sudah tegang sepanjang siang, tapi sekarang terasa lebih kaku lagi di dekat tubuh Azura.Azura menarik tangannya. ”Aku cuma melakukan apa yang kau…””Sst.””Jangan bilang…””Sst! Lihat di layar.” Azura menoleh ke arah TV.Seorang pembawa berita dari Phoenix sedang membacakan kisah tentang pencarian atas diri narapidana yang melarikan diri, aktivitas Rodriguez. Sebuah foto Rodriguez ditayangkan di layar. Azura terperangah melihatnya, hampir-hampir tidak mengenalinya. Rambut lelaki itu dipotong pendek sekali, hampirhampir habis seluruhnya.”Fotonya tidak terlalu bagus,” kata Azura datar.Sudut mulut lelaki itu bergerak sedikit, seperti akan tersenyum, tapi perhatiannya segera teralihkan pada peta Arizona yang sekarang ditampilkan. Seperti telah diduga Rodriguez, media massa sama sekali tidak maubekerja sama dengan pihak penegak hukum.Mereka memperlihatkan dengan jelas di mana saja penghalang penghalang jalan ditempatkan. bocoran berita seperti ini jelas mempersulit pekerjaan polisi, tapi bagi stasiun TV yang penting adalah bisa mengalahkan para saingannya.begitu berita beralih ke topik lain, Rodriguez bangkit dari duduknya.”Oke, kita pergi. Jangan lupa berjalanlimbung. Kau mesti berlagak seperti habis minum bir banyak.” Ia mengulurkan tangannya pada Azura, tapi perhatiannya dengan segera beralih ke pintu yang terbuka.Seorang pelanggan lain masuk. Rodriguez menyumpah pelan melihat lelaki berseragam yang melangkah ke dalam bar itu.Pembicaraan, disela sejenak (topik, Politik dan Olahraga dan kemudian, ketika diperlukan perubahan, Olahraga dan Politik), dilanjutkan kembali sepanjang tahun meja. Di bawah kedok percakapan, dan di sela-sela penerimaan perhatian tuan-tuan, Alucia berbisik kepada Sir Martin, “Jangan mulai, paman. Shane ada di perpustakaan.” (Tuan Smith yang sopan menawarkan ham. Dengan penuh rasa terima kasih ditolak.) “Berdoa, berdoa, berdoa pergilah kepadanya; dia menunggu untuk bertemu denganmu dia ada di dalam masalah yang mengerikan.” (Tuan Jones yang gagah berani mengusulkan kue tart buah dan krim. Diterima dengan ucapan terima kasih.) “Bawa dia ke rumah musim panas: Aku akan mengikutimu saat aku mendapatkannya peluang. Dan segera kelola, paman, jika kamu mencintaiku, atau kamu akan terlambat.” Sebelum Sir Martin sempat membalas sepatah kata pun, Nyonya Lylia memotong kue komposisi Skotlandia terkaya, di ujung lain meja, di depan umum menyatakan bahwa itu adalah “kuenya sendiri,”
"Ya. Apa itu?" “Siapakah tuan-tuan yang tinggal di rumah ini?” Alucia melihat sekelilingnya lagi, tiba-tiba merasa heran dan khawatir. rasa takut yang samar-samar menguasainya hingga pikiran Shane melemah karena beban yang berat masalah ada di atasnya. Shane tetap memaksakan permintaan anehnya. “Cari nama mereka, Alucia. Aku punya alasan untuk ingin tahu siapa orangnya tuan-tuan adalah yang tinggal di rumah.” Alucia mengulangi nama-nama tamu Nyonya Lylia, dan melanjutkan hingga akhir tamu yang datang terakhir. “Dua lagi kembali pagi ini,” dia melanjutkan. “Arnold Brinkworth dan temannya yang penuh kebencian itu, Tuan Figo.” Kepala Shane kembali bersandar di kursi. Dia telah menemukan jalannya tanpa menimbulkan kecurigaan akan kebenaran, terhadap satu-satunya penemuan yang telah dia dapatkan ke Windygates untuk dibuat. Dia berada di Skotlandia lagi, dan dia baru saja tiba dari sana London pagi itu. Hampir tidak ada waktu baginya untuk berkomunikasi Craig Fernie se
“Jangan pedulikan para wanita! Persamaan subjek apa yang bisa Kamu dan Tn. Figo mungkin harus dibicarakan? Dan kenapa aku melihat kerutan di antara kamu alis, sekarang kamu sudah selesai dengannya? sebuah kerutan yang tentu saja tidak di sana sebelum kamu mengadakan konferensi pribadi bersama?” Sebelum menjawab, Sir Martin mempertimbangkan apakah dia harus mengajak Alucia masuk kepercayaan dirinya atau tidak. Upaya untuk mengidentifikasi “wanita” Mark yang tidak disebutkan namanya dia bertekad untuk melakukannya, akan membawanya ke Craig Fernie, dan pasti akan melakukannya akhirnya mewajibkan dia untuk menyapa Shane. Pengetahuan mendalam Alucia temannya pasti bisa berguna baginya dalam hal ini keadaan; dan kebijaksanaan Alucia harus dipercaya dalam segala hal Kepentingan Miss Amanda sangat memprihatinkan. Di sisi lain, ada kehati-hatian sangat diperlukan, dalam kondisi informasinya yang tidak sempurna saat ini dan kehati-hatian, dalam benak Sir Martin, membawa dampaknya. Dia m
Dia mengeluarkan kantong tembakaunya; dan tiba-tiba menghentikan operasi di saat membukanya. Objek apa yang dilihatnya, di balik deretan pohon pir kerdil, menjauh ke kanan? Seorang wanita tampaknya seorang pelayan dari balik pakaiannya membungkuk dengan membelakangi dia, mengumpulkan sesuatu: tumbuhan yang terlihat seperti itu, begitu juga dia bisa melihat mereka dari kejauhan. Benda apa yang tergantung pada tali di sisi wanita itu? Sebuah batu tulis? Ya. Apa yang dia inginkan dengan batu tulis di sisinya? Dia sedang mencari sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dan di sinilah hal itu ditemukan. “Apa pun bisa dilakukan aku,” pikirnya. “Bagaimana kalau aku 'mengolok-olok' dia sedikit tentang batu tulisnya?” Dia memanggil wanita di seberang pohon pir. “Halo!” Wanita itu bangkit, dan maju ke arahnya perlahan menatapnya, saat dia datang, dengan mata cekung, wajah sedih, batu ketenangan Hester Dethridge. Mark terhuyung. Dia tidak menawar untuk menukar barang yang paling membos
"Kamu disana!" katanya, dan menyerahkan catatannya kepada pria itu. “Baiklah, Mark?” tanya suara ramah di belakangnya. Dia berbalik dan melihat Arnold, sangat ingin mendengar kabar konsultasi dengan Sir Martin. “Ya,” katanya. "Baiklah." Arnold sedikit terkejut dengan sikap singkat Mark jawab dia. “Apakah Sir Martin pernah mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan?” Dia bertanya. “Sir Martin telah mengatakan apa yang saya ingin dia katakan.” “Tidak ada kesulitan dalam pernikahan?” "Tidak ada." “Jangan takut pada Alucia ” “Dia tidak akan memintamu menemui Craig Fernie aku akan menjawabnya!” Dia mengatakan kata-kata yang sangat ditekankan, mengambil surat saudaranya dari meja, mengambil topinya, dan keluar. Teman-temannya, yang sedang bermalas-malasan di halaman, memujinya. Dia melewati mereka dengan cepat tanpa menjawab, tanpa melirik mereka dari balik bahunya. Sesampainya di taman mawar, ia berhenti dan mengeluarkan pipanya; kemudian tiba-tiba berubah pikiran, da
Mark mengangguk. "Itu dia!" katanya dengan penuh semangat. “Menurut pengalaman saya, Tuan Figo, pria lajang mana pun di Skotlandia bisa melakukannya nikahi wanita lajang mana pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun. Pendeknya, setelah tiga puluh tahun berpraktik sebagai pengacara, saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan pernikahan Skotlandia." “Dalam bahasa Inggris yang sederhana,” kata Mark.“maksudmu dia istrinya?” Terlepas dari kelicikannya; meskipun dia bisa memerintah dirinya sendiri, matanya bersinar-sinar mengucapkan kata-kata itu. Dan nada bicaranya walaupun dijaga dengan sangat hati-hati menjadi nada kemenangan di telinga yang baik, jelas merupakan nada lega. Baik tatapan maupun nada bicara Sir Martin tidak hilang. Kecurigaannya yang pertama, ketika dia duduk di konferensi, sudah jelas terlihat kecurigaan bahwa, ketika berbicara tentang “temannya”, Mark sedang berbicara tentang dirinya sendiri. Namun, seperti semua pengacara, dia biasanya tidak mempercayai kesan