Share

Bab. 6

”Sedikit apa?”

”Sedikit perempuan yang menghabiskan lebih dari satu malam bersamaku.”

”Jangan harap aku merasa tersanjung mendengarnya.”

”Tidak. Aku yakin perawan kulit putih seperti kau tidak bisa membayangkan hal yang lebih buruk selain dipeluk oleh seorang lelaki .”

”Kau sangat vulgar. Dan aku bukan perawan.”

”Kau sudah menikah?”

”belum.”

”Kalau begitu, kau hidup bersama dengan pacarmu?”

”Tidak.”

”Punya hubungan istimewa?”

”bukan urusanmu.” Azura lebih suka mati daripada menceritakan pada orang ini bahwa hanya pernah ada satu lelaki dalam hidupnya.

Itu pun tidak layak diingat­ingat, karena apa

yang dialaminya dulu sangat mengecewakan, dan ia melakukannya terutama sekadar untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

Di antara dirinya dan lelaki yang dulu menjalin hubungan dengannya hanya terjalin sedikit rasa suka, sedikit komunikasi, tanpa kehangatan atau kedekatan, bahkan tidak terlalu banyak gairah. Sesudahnya ia sangat kecewa, dan ia merasa pasangannya pun merasakan hal yang sama.

Ia tidak mau lagi mengambil risiko seperti itu, dan belakangan ini ia menganggap dirinya tidak terlalu tertarik pada seks. beberapa laki­laki yang pernah berkencan dengannya mencoba mengajaknya ke arah itu, namun tak ada yang bisa membangkitkan gairahnya.

Hubungan mereka hanya terbatas pada makan malam dan sesekali diakhiri dengan ciuman selamat malam.

Agar tidak terus membicarakan kehidupan cintanya, ia bertanya,

”Kau sendiri bagaimana? Sudah berapa kali

kau terlibat hubungan cinta.” Tapi rupanya lelaki itu sudah tertidur, atau mungkin ia sengaja tidak mengacuhkan Azura.

Yang jelas tidak ada jawaban yang terdengar.

Azura merapatkan diri lebih dekat ke sumber kehangatan itu. Sebuah geraman pelan, seperti erangan seekor kucing besar, memantul dalam rongga-­rongga pikirannya. Ia

bergerak sedikit, dan ketika benaknya mulai mencerna informasi yang masuk dari panca indranya, ia terbangun mendadak dengan mata terbelalak.

”Ya Tuhan!” serunya.

”Mestinya aku yang bilang begitu,” sahut Rodriguez.

Azura mendapati dirinya berbaring di atas tubuh Rodriguez.Rupanya dalam tidurnya ia membalikkan tubuh, hingga sekarang pipinya menempel di dada telanjang Rodriguez, di tempat kemejanya telah terbuka. Payudara

tertindih di perut lelaki itu dan pinggulnya…

”Astaga!” Ia kembali mendesah terperanjat mendapati pahanya menempel rapat di paha lelaki itu.

Dan lelaki itu jelas-­jelas menjadi bergairah karenanya. Dengan wajah merah padam Azura bangkit dan berpindah ke ujung kursi.

”Maaf,” katanya terbata­-bata sambil memalingkan wajah.

”Sama,” kata Rodriguez sambil membuka pintu dan menjatuhkan diri ke luar.

Lama ia hanya berdiri di samping mobil. Azura tidak berani bertanya apa sebabnya. Ia tahu.

Setelah beberapa saat, Rodriguez berjalan ke bagian depan mobil dan membuka kap mesin, mengotak­-atik sesuatu di dalamnya, lalu kembali ke mobil dan melongok ke dalam lewat pintu yang terbuka.

”Lepaskan bramu.” Azura sangat terperanjat

. ”Apa?”

”Kau sudah dengar. Lepaskan bra atau blusmu. Tapi cepatlah. Kita sudah kehilangan banyak waktu.” Saat itu sudah lewat subuh, dan Azura semakin tersipu­-sipu saat menyadari betapa nyenyaknya mereka

tidur semalam. Tapi kemarin memang sangat melelahkan dan…

”Kaulepaskan sendiri atau aku yang melepaskan?” Lelaki itu menyela pikiran Azura dengan kasar.

”berbaliklah.”

”Aah…” Rodriguez membalikkan tubuh.

Cepat­-cepat Azura membuka kemejanya, melepaskan branya, lalu kembali mengenakan kemeja dan mengancingkannya

cepat­-cepat.

”Ini.” Diulurkannya bra itu pada Rodriguez yang

mengambilnya tanpa mengatakan apa-­apa dan membawanya ke bagian depan mobil. Setelah beberapa menit bekerja keras sambil menyumpah­-nyumpah, ia membanting kap mesin itu hingga tertutup dan masuk

ke balik kemudi sambil menyeka tangan di kaki celananya.Sebagai penjelasan, ia cuma berkata,

”Mungkin bisa menolong untuk sementara.”

Tapi tidak cukup lama.

baru sekitar tiga puluh kilometer mobil mereka melaju, asap putih mulai mengepul

dari balik kap mesin, dan semakin menebal.

”Sebaiknya kau berhenti sebelum mobil ini meledak,” saran Azura dengan hati­-hati.

Mereka tidak berbicara sejak berangkat tadi. Azura bisa mengerti kalau seandainya, lelaki itu diam karena masih terguncang dengan posisi tidur mereka semalam.

Azura ingin sekali bisa memblokir berbagai pikiran tentang lelaki itu yang merasuki benaknya, misalnya

tentang betapa hangat, lembut, dan halus rasanya bulu dada lelaki itu ketika tertempel di bibirnya, dan bagaimana tangan lelaki itu membelai pinggulnya sebelum ia terbangun sepenuhnya. Dan betapa senangnya ia beberapa saat sebelum sepenuhnya terjaga dari tidurnya. Dengan ekspresi tak bisa ditebak Rodriguez kembali

menepikan mobil, lalu menhentikannya.

”bramu tidak banyak gunanya di mesin itu. Untuk menutupi puncak payudaramu supaya tidak kelihatan pun tidak bisa.”

Azura ternganga kaget, tapi Rodriguez keburu membuka pintu dan keluar.

”Ayo.”

”Ayo ke mana?”

”Ke kota terdekat.”

”Maksudmu kita mesti jalan kaki?” tanya Azura tak percaya.

Mereka berada di tempat terpencil, dikelilingi medan berat di semua sisi. Di kejauhan tampak siluet pegunungan yang tampak keunguan. Di antara tempat ini dan pegunungan sana hanya ada tanah tandus penuh batu karang, dengan sejalur jalan aspal yang kelabu.

”Sampai ada yang berhenti untuk memberi tumpangan pada kita,” sahut lelaki itu.

Lalu ia mulai melangkah. Azura terpaksa berlari-­lari kecil mengejarnya.

Ia tidak mau ditinggalkan sendirian di sini. Mungkin saja lelaki ini tidak akan kembali untuk menjemputnya, dan tampaknya baru berhari­hari kemudian akan ada mobil lain yang datang. Azura sudah merasa sangat

haus, apalagi setelah makan beberapa potong biskuit dari persediaan makanan yang dibawa Rodriguez.Rasanya mereka berjalan selama berjam­jam. Azura mesti berlari­lari kecil agar bisa menyamai langkah Rodriguez.

Matahari terik bersinar tanpa ampun di atas

kepala. Medan itu hanya cocok untuk binatang-­binatang dan makhluk­makhluk melata yang sesekali melintas di depan mereka.Akhirnya mereka mendengar suara sebuah kendaraan mendekat dari belakang. Keduanya menoleh. Sebuah truk pikap mendatangi mereka, tampaknya seperti sebuah sosok merah samar-­samar yang muncul dari antara gelombang panas yang bergetar.

Sebelum Rodriguez sempat melambai, sopir truk itu sudah menghentikan kendaraannya. Tiga orang lelaki Navaho bertubuh kekar duduk berimpitan di dalam truk. Setelah bercakap-

cakap sebentar dengan mereka, Rodriguez menarik Azura ke arah belakang truk.

”Apa mereka mengenalimu?”

”Mungkin.”

”Kau tidak takut mereka akan menyerahkanmu ke polisi?” Rodriguez menoleh.

Melihat sorot matanya yang dingin, Azura merasa ngeri. ”Tidak.”

”Oh, aku mengerti. Mereka sudah bersumpah untuk tutup mulut.”Lelaki itu sama sekali tidak menjawab.

Ia melayangkan pandangannya ke cakrawala di timur laut, arah yang akan mereka tuju.

Sepanjang sisa perjalanan ke kota kecil yang berdebu di depan, mereka berdiam diri dalam suasana tidak bersahabat. Angin panas menerpa wajah Azura dan

mengisap udara dari paru­-parunya.Ketika masih berada di tepi kota, Rodriguez mengetuk

bagian belakang truk itu dan si sopir berhenti di depan sebuah pompa bensin. Rodriguez melompat turun dan membantu Azura keluar.

”Terima kasih banyak,” katanya pada si sopir yang membalas dengan menyentuh tepi

topi koboinya, lalu kembali menjalankan truknya pergi.

”Sekarang apa?” tanya Azura dengan letih.

Ia sudah menduga bahwa orang­orang Navaho tadi akan menaruh simpati pada Rodriguez, tapi ia agak gembira membayangkan mereka akan berhenti di sebuah kota. Namun harapannya langsung padam begitu melihat kota tersebut. Jalanan­jalanannya kosong. Selain beberapa ekor ayam yang mematuk­matuk di tanah gersang di sebuah pekarangan di seberang jalan besar, tidak ada tanda­tanda kehidupan lainnya. Kota itu tampak tidak bersahabat, seperti halnya padang pasir yang mengelilingi nya.

Rodriguez melangkah ke arah bangunan dari seng, tempat pompa bensin berada. Azura memaksakan diri mengikutinya, melangkah dengan kaki terseret. belum pernah ia merasa ia merasa begitu tidak nyaman seperti ini dalam hidupnya. Keringat yang membasahi pakaian dan tubuhnya ketika mereka berjalan kaki tadi sudah kering dan meninggalkan bekas yang terasa asin dan gatal di kulitnya.

Ia kepanasan, lengket, dan terbakar

matahari. bibir pecah­pecah dan rambutnya kusut. begitu membaca tulisan yang dipasang di jendela pompa bensin yang kotor itu, Azura mengerang.

”Tidur siang?” serunya kecewa.

”Mereka tutup sampai pukul empat,” kata Rodriguez sambil menengadah ke arah matahari.

Azura menemukan sedikit tempat teduh di dekat tembok bangunan tersebut, dan ia bersandar di situ sambil memejamkan mata. Namun, matanya seketika terbuka lagi ketika mendengar suara kaca pecah. Rodriguez telah memecahkan kaca jendela di pintu dengan batu. Lalu dengan cepat ia membuka gerendel

pintu di dalam. Pintu itu berderit membuka dan ia masuk. Azura, yang tidak akan pernah dengan sengaja memecahkan kaca jendela, apalagi masuk tanpa diundang ke tempat milik orang lain, dengan terpaksa mengikuti

lelaki itu ke bagian dalam bangunan yang lebih sejuk. begitu matanya menyesuaikan diri dengan keremangan di dalam, ia melihat bahwa tempat ini bukan sekadar pompa bensin, tapi juga merupakan toko kecil. Rak­rak

kayu di situ berisi keripik kentang, makanan kalengan, tisu, dan bahan pembersih untuk rumah tangga.

Ada lemari kaca berdebu yang berisi benda­benda suvenir khas Arizona yang juga berdebu. Di atasnya ada kotak-­kotak berisi permen, rokok, dan permen karet. Di rak di belakangnya ada suku cadang mobil yang

kecil-­kecil. Rodriguez melangkah di lantai kayu yang lapuk dan menimbulkan suara berderit di bawah pijakan kakinya.

Ia menuju sebuah mesin penjual minuman dingin model kuno. Ia mengotak­atik kunci yang dibuat untuk mencegah pencurian dan mengambil dua botol Coke. Satu diberikannya pada Azura, dan satunya lagi diminum-

nya sendiri dengan haus.

”Aku ingin bayar untuk minumanku,” kata Azura yang memang bersifat jujur.

Rodriguez menurunkan botol itu dari mulut. ”Aku

juga minta kau membayari minumanku, berikut kaca jendela yang pecah itu, dan untuk slang air.” Azura meminum Coke dingin itu dan merasa itulah minuman paling enak yang pernah dinikmatinya.

”Slang air apa?” Rodriguez sedang memeriksa berbagai barang di rak.

”Untuk menggantikan yang rusak. Seperti ini,” katanya sambil mengangkat barang yang dimaksudnya dan menunjukkannya pada Azura.Dengan tangan satunya ia membuka laci­laci di belakang rak untuk memeriksa isinya. berbagai peralatan dari logam berdenting-­denting saat ia mengaduk­aduknya. Suara itu semakin menyadarkan Azura betapa

terpencilnya tempat ini.

Ia merasa asing, terpengaruh oleh perasaan sunyi yang melingkupi tempat itu. Rodriguez sendiri tidak terpengaruh. Ia mengambil semua peralatan yang dibutuhkannya. Ketika Azura hampir menyerah putus asa,

sekonyong-­konyong ia melihat sebuah telepon umum. Ia yakin Rodriguez tidak melihat telepon itu. Lelaki itu masih sibuk memeriksa laci­laci berisi peralatan dan tidak menoleh ke sudut tempat telepon itu terpasang di

tembok.

Telepon itu separuh tersembunyi oleh sebuah

rak berisi majalah yang sudah kedaluwarsa.

Kalau aku bisa membuat dia terus bicara, mungkin aku bisa menggunakan telepon itu tanpa sepengetahuannya, pikir Azura. Tapi di mana aku berada saat ini? Apa nama kota terpencil ini? Jalanan apa yang mereka lewati

tadi? Ia tidak melihat papan­papan petunjuk arah satu pun. Apa benar itu tadi jalan raya? Mungkin saja mereka sudah lewat perbatasan dan tidak lagi berada di Arizona.

”Sudah?” Azura terlompat kaget mendengar suara Rodriguez.

”Ya,” sahutnya sambil menyerahkan botol minumannya yang sudah kosong.

Pikirannya yang tadi bergerak lamban sekarang menjadi waspada, penuh dengan berbagai rencana untuk mengalihkan perhatian lelaki itu.

”berikan sedikit uang padaku,” kata Rodriguez, mengulurkan tangan.

Untuk menyenangkan lelaki itu, Azura cepat-­cepat membuat dompetnya dan mengambil selembar dua

puluh dolaran.

”Kurasa itu cukup.”Rodriguez melipat uang itu dan menyelipkannya di bawah asbak di meja penjualan.

”Di belakang ada toilet,” katanya.

”Perlu ke sana?” Azura memang perlu ke toilet, tapi ia sedang memikirkan rencananya.

bisa saja ia berbohong dan mengatakan ia tidak perlu ke toilet, lalu ia akan menawarkan

untuk menunggu lelaki itu di sini kalau Rodriguez hendak ke belakang. Tapi rasanya lelaki itu akan curiga.

Lebih baik ia mengiakan saja, supaya lelaki itu mengira ia tidak lagi berusaha melarikan diri.

”Ya, mau,” sahut Azura pelan.

Tanpa banyak cakap Rodriguez mengantarnya ke sudut bangunan itu, ke dua buah pintu bertanda toilet untuk pria dan wanita.

Azura merasa ngeri membayangkan apa yang ada di dalam sana saat Rodriguez membuka pintu toilet untuk wanita. bau yang menguar dari dalam toilet itu sangat keras, tapi Azura masuk juga ke dalam dan menyalakan lampu yang cahayanya tidak begitu terang.

Ternyata keadaan di dalam tidak seburuk yang dikiranya, meski tidak bagus juga. Sekarang ia baru merasa sangat perlu buang air kecil, meski toilet itu tidak nyaman. Setelah selesai, ia mencuci muka dan tangan di wastafel yang sudah berkarat. Air dari keran terasa dingin di wajah dan kulitnya yang kena terpaan angin dan matahari.

Tanpa mengeringkan kulitnya yang basah, Azura beranjak ke pintu, membukanya, dan mendorongnya. Tapi pintu itu tidak terbuka. Mulanya ia mengira salah mendorong pintu, jadi dicobanya menarik pintu itu ke arahnya, tapi tidak terbuka juga. Ia mendorong lagi

sekuat tenaga. Tidak bergerak. Rasa panik mulai menyelimutinya. Ia menghantam pintu itu dengan tubuhnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status