Share

Bab. 8

Rodriguez ingin cepat­cepat kembali. Matanya yang tajam melayang dan menyimpan denah keseluruhan wilayah itu. Ia tahu bahwa ia tinggal menempuh beberapa kilometer lagi. Paling banyak lima kilo meter. Ditekannya pedal gas mobil tersebut. Untunglah kendaraan itu bereaksi. Mobil itu bisa

berfungsi kembali dengan baik. Tidak sukar mengganti slang­slangnya. Yang sulit adalah berlari sepanjang jalan untuk mencapai mobil itu tadi, dengan membawa peralatan berat di saku, berikut segalon air untuk menggantikan yang merembes keluar. Rodriguez sudah biasa

berlari, bahkan dalam udara terik pertengahan musim panas sekalipun. Tapi membawa tambahan beban berat memang merupakan tantangan.

Rodriguez bersukur mendapat kesempatan untuk berpikir, sementara mobilnya melaju. Angin panas menerpa pipi dan rambutnya. Ia lebih suka menikmati angin pada pasir dari jendela mobil yang dibuka, daripada kesejukan buatan dari AC. Hanya karena ada

perempuan itu ia mau menutup kaca jendela mobil.

Perempuan itu…

Ia merasa bersalah memikirkan perempuan itu terkurung di toilet yang panas dan kotor. Tapi mau bagaimana lagi? Membiarkan ia menelepon kantor sherif

terdekat? Mengajaknya pergi ke tempat mobil ini berada tadi? Perempuan itu tak akan sanggup, pasti akan menghambat perjalanannya, padahal Rodriguez hanya

punya sedikit waktu lagi. berapa lama sebelum polisi bisa mengejarnya? bisakah ia tiba di tempat tujuannya tepat pada waktunya? Mesti bisa.

Ia sudah tahu harga yang mesti dibayarnya karena melarikan diri dari penjara, tapi ia bersedia menanggungnya. Ia hanya menyesal, kenapa mesti ada orang-orang lain yang menjadi korban. Ia sama sekali tidak

senang telah menghantam pingsan petugas yang telah menganggapnya sebagai teman. Ia juga tidak senang membuat perempuan itu ketakutan. Perempuan itu merupakan perwujudan dari segala sesuatu yang dibencinya. Orang kulit putih pada umumnya, dan orang kulit putih kaya terutama. Tapi Rodriguez tetap menyesal telah terpaksa melibatkan perempuan itu.

Terpaksa?Dengan gerakan kesal ia menyalakan radio dan mengeraskan volumenya. Agar ia bisa mendengar berita,

pikirnya. Tapi sebenarnya ia berharap suara keras itu bisa melenyapkan berbagai bayangan tentang Azura. Kenapa ia membebani dirinya dengan tanggung jawab ini? Kenapa ia tidak membuat perempuan itu

pingsan saja, lalu meninggalkan rumahnya secepat mungkin, tanpa ribut­ribut, seperti saat ia datang? begitu perempuan itu tersadar dari pingsannya dan melapor pada polisi, ia pasti sudah mempunyai tambahan waktu untuk menghilangkan jejak lagi.

Tapi bodohnya ia justru tetap di situ dan menyandera perempuan kulit putih itu. Memang ia perlu mandi, tapi kalau terpaksa ia bisa menahan keinginan itu. Ia juga perlu tidur, tapi bukankah ia bisa mencari tempat

yang tidak begitu nyaman? bukannya malah memilih tempat tidur perempuan itu, dengan seprainya yang harum dan bantal-­bantalnya yang empuk. Dan setelah menikmati kemewahan demikian, kenapa ia tidak langsung pergi sebelum fajar, begitu terbangun? Perempuan itu pasti akan langsung menelepon polisi setelah terbangun, tapi itu mungkin baru berjam-jam kemudian.

Pada saat itu jejaknya sudah lenyap.

Namun ia malah berbaring memandangi kecantikan perempuan itu. Matanya tak puas­puas memandangi sosok pirang itu. Ia menarik napas dalam-­dalam, menghirup aroma tubuh perempuan itu, memuaskan pen-

ciumannya yang sudah lama tidak merasakan keharuman semacam itu.

Dan bodohnya ia lalu memutuskan untuk membawa perempuan itu bersamanya. Padahal ia tak pernah bermaksud menyakiti perempuan itu.Baiklah, lalu kenapa kau mengancam dia dengan pisau?

Sekadar berjaga-jaga saja.

Tapi apa kau perlu menyuruhnya telanjang?

Memang tidak perlu. Aku cuma ingin melihat tubuhnya saja. Omong kosong! Sungguh. Aku tidak berniat memaksanya. Lagi pula,

dia orang kulit putih. Aku sama sekali tidak suka perempuan kulit putih. Aku jelas tidak menginginkan mereka. Kau menginginkan yang satu ini. Aku sudah lama dipenjara, tahu! Perempuan mana pun tidak ada bedanya bagiku. Kau tidak mau bermain cinta dengannya?

Tidak. Kau pembohong besar.

Aku tidak merayunya dan tidak berminat untuk itu. Ia mengendalikan hasratnya sekuat tenaga. Ia hanya ingin perempuan itu berada di dekatnya. Itu saja. Untuk mengenyahkan suara-­suara hatinya itu, ia sengaja

membayangkan berbagai alasan yang bisa menimbulkan rasa tak suka pada sanderanya yang pirang itu. Perempuan itu kaya dan manja, itu sudah jelas. Ia memiliki pembawaan angkuh yang khas orang kulit

putih. Sikap ini sudah begitu dikenali oleh pria-­pria seperti Rodriguez sejak di bangku kuliah. Itulah fakta pertama yang dipelajarinya ketika ia meninggalkan perkampungan orang untuk masuk college.

Gadis-­gadis seperti Azura mungkin mau diajak menjalin hubungan sepintas, tapi mereka tidak akan mau serius dengan orang Sepertinya. Kalaupun mau berbuat lebih jauh,

itu sekadar untuk mendapat pengalaman seru yang bisa diceritakan pada sesama teman kuliah wanita, bahwa mereka pernah berhubungan dengan seorang Napi.

”Ah, masa?”

”benar.”

”Seberapa liarnya dia?” Keesokan harinya mereka akan bersikap pura-­pura tidak

kenal, dan di antara mereka kembali ada jarak.

Tapi perempuan kulit putih yang satu ini pemberani. Rodriguez mengakui hal itu. Sejak kemarin ia sama sekali tidak mengeluh ataupun menangis. Sikapnya kaku, apa pun yang mesti dijalaninya. Wajah Rodriguez yang muram melunak dan membentuk senyuman kecil ketika ia teringat cara perempuan itu menangani si polisi jalan raya. Kenapa ia melakukan itu?Rodriguez merasa berutang budi untuk satu hal itu.

Dan setelah apa yang terjadi semalam, ia tidak yakin bisa menahan diri lebih lama untuk tidak menyentuh perempuan itu. Saat­-saat yang mereka lewatkan bersama di bar Tumble weed benar-­benar merupakan surga

sekaligus neraka baginya. berkali­kali ia berharap ciuman-­ciuman yang mereka lakukan adalah ciuman sungguhan. Ia ingin menyelusupkan lidahnya di antara bibir perempuan itu dan merasakannya, ingin melepaskan pakaian perempuan itu dan menyentuhnya. Tadi pagi, sungguh nikmat rasanya ketika perempuan itu tidur bersandar padanya, napasnya pelan menyapu dada Rodriguez.

Sial! pikirnya, aku mesti menyingkirkannya.

Setibanya di pompa bensin itu nanti, ia akan mengisi tangki mobil sampai penuh, memeriksa keadaan perempuan itu, lalu pergi setelah meninggalkan pesan

kepada para pemilik tempat tersebut, tentang di mana perempuan itu berada. Kalau polisi sudah diberitahu, perempuan itu bisa mengatakan di mana Rodriguez sebelumnya berada, tapi ia tidak akan tahu arah selanjutnya yang diambil Rodriguez.

Atau setidaknya mereka tidak akan tahu persis. Tapi mereka sudah bisa memperkirakan tujuannya, dan akan mencari ke mana­-mana. Cuma masalah waktu.

Rodriguez cuma berharap ia bisa menyelesaikan rencananya sebelum kehabisan waktu.

Ia mempercepat laju mobilnya. Kota itu sudah tampak di depan. Setelah mengambil keputusan untuk meninggalkan perempuan itu, Rodriguez ingin cepat-cepat menyelesaikan urusannya di situ, lalu meneruskan perjalanan. Ia terpaksa mesti membawa mobil perempuan itu, tapi tidak apa. bagi perempuan semacam itu, mungkin tidak sulit untuk mendapatkan mobil lain.

Rodriguez berhenti di depan pompa bensin tersebut dan keluar untuk mengisi bensin. Sambil menunggu tangki penuh, ia menambahkan air ke radiator. Sambil

tetap memperhatikan literan bensin, ia masih sempat mencuci kaca depan mobil dan memeriksa ban­-bannya.

Untuk menghindari situasi berbahaya seperti di dekat penghalang jalan waktu itu, ia berniat Azura cepat-­cepat pergi, lama sebelum para pemilik pompa bensin itu kembali.

Akhirnya ia mengitari sudut bangunan itu, untuk menuju toilet. Ia mengetuk pintunya keras-­keras, di atas penghalang dari baja yang ditempatkannya di depan pintu. Karena tidak ada jawaban, ia berseru memanggil.

”Jawab aku. Aku tahu kau ada di dalam, Sikapmu kekanak­-kanakan.” Ia menunggu sambil memasang telinga di depan

pintu.

Setelah beberapa saat mendengarkan dengan saksama, ia tahu bahwa ruangan di balik pintu itu kosong. Rasa takut menjalari perutnya. Tanpa pikir panjang

disingkirkannya penghalang itu dan dibukanya pintu. Ia menyerbu masuk ke dalam, sambil berharap ini cuma jebakan, dan bahwa perempuan itu sedang bersiap­-siap

menyerangnya begitu saja. Tapi yang menunggunya di dalam hanyalah hawa

panas dan bau yang memuakkan. Namun dengan cepat ia mengerti apa yang terjadi, setelah melihat tong yang dibalikkan di bawah jendela yang terbuka. Mendadak

rasa takutnya berubah menjadi amarah.

Perempuan itu berhasil kabur. Rodriguez berbalik cepat dan keluar dari toilet, mengitari sudut bangunan dan menyerbu masuk ke ruang utama. Tapi tidak ada siapa pun di sana, dan tidak ada tanda-tanda bekas kehadiran perempuan itu atau orang lain di sana.

Kaca jendela yang pecah masih bertebaran di lantai. Uang dua puluh dolar itu masih terselip di bawah Asbak. Dan tidak ada tanda-­tanda bahwa telepon telah digunakan.

Dengan heran Rodriguez memasukkan kedua tangannya ke saku belakang celana. Ke mana perempuan itu pergi? Dan bagaimana caranya. Apa ada yang menjemputnya? Ia mondar­-mandir dengan gelisah. bukankah

perempuan itu mestinya sudah menelepon seseorang pada saat ini? Tidakkah mestinya polisi sudah menjadikan tempat ini sebagai markas mereka sambil menginterogasi perempuan itu dan mencari jejaknya? Tapi apa yang dilihatnya ini tidak masuk akal.

Ia kembali ke toilet.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status