Share

Bab 3 : Melahirkan

Terjebak Bersama Wanita Gila

Bab 3 : Melahirkan

Pagi ini, seperti biasa, kupacu sepeda motor menuju pasar. Sebenarnya ia sudah tak bisa disebut pagi, sebab sudah pukul 09.30. Kong Ahlaw pasti bakal memecatku kalau datang ke konter jam segini, tapi mau bagaimana lagi. Kebanyakan minum membuat mataku susah terbuka setiap pagi.

Saat hendak berbelok di tikungan, terlihat seseorang sedang duduk di pinggir jalan yang banyak ditumbuhi rumput ilalang. Kuhentikan sepeda motor dan memperjelas penglihatan, barangkali pengaruh mabuk tadi malam belum hilang. Seorang wanita hamil sedang merintih kesakitan sambil memegangi perutnya. Ah, jangan-jangan itu Minah yang mau melahirkan. Pikiranku langsung tertuju pada wanita hamil itu.

Segera kuhampiri dia dan berteriak dengan panik, "Minah, lo kenapa?"

"Aduh, sakit ... tolong!" rintihnya sambil berusaha tersenyum, napasnya terlihat turun naik.

"Apanya yang sakit? Lo udah mau melahirkan, hah?!

"Mau eek, mau eek, mau eek ... sakit, hahaa ... sakit .... " teriaknya sambil diselingi tawa.

Kulihat darah mengalir dari betisnya, ah ... tak salah lagi, Minah pasti mau melahirkan. Dasar gila, masa dia bilang mau eek!

Kulambai sebuah taxi dan membopong Minah ke dalamnya. Aku harus segera mengantar Minah ke rumah sakit. Tak tega jika harus membiarkannya melahirkan seorang diri di antara semak-semak itu, dengan konsekuensi bakal jadi pengangguran lagi sepertinya aku ini. Tak apalah, ini demi kemanusiaan.

Beberapa menit kemudian, kami telah tiba di rumah sakit bersalin. Segera kupanggil perawat untuk menolong Minah. Selagi ia ditangani di ruang bersalin, aku disuruh mengisi administrasinya dahulu.

"Dia itu orang gila yang gue temukan mau lahiran di pinggir jalan," sangkalku kala petugas bagian administrasi mengira aku suami dari Minah.

"Oh, begitu. Apa dia sudah tidak punya keluarga?"

"Ada sih, cuma neneknya udah tua gitu."

"Jadi, siapa yang akan bertanggung jawab atas pasien ini?"

Aku menggaruk kepala bingung, uang di dompetku hanya ada seratus ribu. Kalau aku yang bertanggung jawab, otomatis aku yang harus membayar biaya rumah sakitnya. Aduh, bagaimana ini?

"Pak, tanda tangan di sini ya!" ujar perawat itu lagi tanpa menunggu jawaban pertanyaannya tadi.

Ah, menolong Minah bikin pusing kepala saja. Oke, segera kububuhi tanda tangan kertas itu, biarlah nanti akan kupikirkan lagi cara membayar biaya persalinannya.

Satu jam kemudian, Minah sudah berhasil melahirkan bayinya secara normal dan selamat. Dasar orang gila, orang waras aja lahiran banyak yang ceasar. Ini Si Minah, melahirkan malah sambil tertawa dan hanya setengah jam langsung melompat deh anaknya.

"Selamat, Pak, bayinya cewek." Seorang bidan menyalamiku sambil menggendong bayi Minah.

Astaga, lagi-lagi aku dikira suami dari wanita gila itu. Kuhembuskan napas dengan kasar, lalu tersenyum masam.

Salah seorang perawat memanggilku ke ruang bayi dan menyuruh meng'adzani bayi itu.

Aku hanya melengos sambil kasak-kusuk, soalnya aku lupa bacaan adzan. Aduh, bagaimana ini?

"Ayo, Pak, silahkan!" perawat itu menyuruhku mendekat pada bayi Minah.

Kutarik napas panjang lalu mengeluarkan ponsel, mencari bacaan adzan dan membacanya. Tapi, bawaan lidah seorang pecandu minuman keras, membaca tulisan latin pun aku tak bisa. Terpaksa, MP3 yang kusetel untuk mengadzankan bayi Minah.

Baru saja aku melangkah keluar dari ruang  bayi, ponsel pun berdering. Sebuah panggilan masuk dari Kong Ahlaw, bos tempatku bekerja sebagai karyawan di sebuah konter ponsel.

"Heh, lu orang gua pecat! Jangan pernah datang ke toko lagi," cerocosnya dengan logat khas Tionghoa.

"Maafin gue, Kong .... " jawabku bingung.

"Gua menyesal telah memperkerjakan pemuda tukang mabok kayak lu orang. Lu gua pecat!" Telepon langsung diputus begitu saja.

Kutarik napas panjang dan berjalan lunglai menuju ruang rawat Minah. Pikiran makin kusut saja, bagaimana caraku membayar biaya bersalin Minah? Aduh, aku ini memang tidak berbakat jadi orang baik. Apa aku kabur saja, ya? Haha, gitu aja kok repot. Otak jahatku mulai menguasai.

Wajah Minah sudah terlihat bersih, ia kini berpenampilan seperti pasien waras lainnya.

"Lapar ... minta kue," rengeknya sambil menggaruk kepala, rambutnya yang sudah tersisir rapi menjadi berantakan lagi.

"Tenang, Bu!" seorang perawat mencoba menenang dia.

Melihatnya meronta hingga mencoba melepas infus di tangannya membuat hatiku geram. Kedua perawat sampai kewalahan menghadapinya.

"Woy, Minah, diam gak lo!" bentakku sambil menunjuknya yang sudah berlari menuju pintu. "Mau balik ke tempat tidur gak lo? Lo tuh baru abis melahirkan!"

Minah terlihat ketakutan dan langsung berbalik ke tempat tidurnya, lalu berbaring.

"Aku lapar .... " rengeknya lagi.

"Oke, entar gue belikan makanan tapi lo jangan ke mana-mana!" ancamku dengan menunjukkan wajah garang.

"Yoppy ... Yoppy, benar, ya? Asikk kue .... " Minah bertepuk tangan.

Hah, dia tahu dari mana namaku? Dasar Minah hancur, semenjak iba denganmu kehidupanku jadi ikutan hancur.

*********

Aku kembali ke ruangan Minah dengan membawa berbagai macam kue dan buah-buahan. Uang seratus ribuku ludes sudah, malam ini sepertinya aku akan puasa minum.

"Gak mau, pergi sana!" teriak Minah dan menolak bayi yang disodorkan perawat padanya.

"Ada apa ini, Sus?" tanyaku sambil meletakan semua belanjaan.

"Ini, Pak, istri anda menolak menyusui si kecil," jawab sang perawat

Astaga, kok masih disangka istriku wanita gila ini? Kuusap wajah dengan kasar. Kuambil bayi itu dan menyodorkannya pada Minah.

"Mau kue gak lo? Susui dulu dia!" perintahku.

Minah menatapku dan menerima bayi itu tanpa perlawanan lagi. Perawat membantu Minah memberikan ASInya.

"Kalo tuh bayi udah selesai mimik, baru gue kasih ini ama lo .... " Kuiming-imingi dia dengan hamburger.

Minah terlihat menelan ludah dan semakin bersemangat memberikan ASInya.

******

Keesokan harinya, Minah sudah diperbolehkan pulang. Aku makin pusing memikirkan biaya rumah sakit. Aku terpaksa menjual ponsel demi menebus Minah dan anaknya. Sumpah, ini kebaikan pertama dalam hidupku. Jadi orang baik itu berat, aku gak sanggup. Sesudah ini aku tak akan mau mengurusi orang gila itu lagi.

Dengan menggunakan mobil ambulans, Kuantar Minah dan bayinya pulang ke rumah neneknya. Masalah selesai, walau para ibu-ibu tukang gosip menggosipkan kalau akulah ayah dari anak Minah. Aku tak peduli, yang penting setelah jadi pengangguran begini aku masih tetap dapat minum, walau harus ngutang di warung.

Sebulan berlalu, keadaanku semakin hancur saja. Semua barang elektronik peninggalan bapak sudah hampir habis kujual untuk biaya hidup juga biaya membeli minuman favoritku.

Dengan setengah teler, aku berjalan menuju rumah. Mabuk di siang hari itu gak enak, panas soalnya. Hahaa ....

"Oweee ... oweee .... " Terdengar suara tangisan bayi dari semak belukar dekat kandang sapi Pak Ahmat.

Kumelekan mata yang terasa berkunang-kunang. Namun, langkah kaki ini malah membawaku ke kandang sapi itu. Terlihat seorang bayi sedang menangis diantara semak belukar, sedangkan di dalam kandang sapi, Minah sedang digerayangi Handi, anaknya kepala desa.

"Woy, lo mau apakan Si Minah!" hardikku sambil menggendong bayi itu, walau dengan kaki yang tak bisa diajak berdiri tegak.

Handi terkejut melihatku, ia tak jadi membuka baju Minah.

"Mau pergi, atau gue teriak? Biar lo dihajar orang sekampung!" ancamku.

"Sial lo! Bilang aja kalo lo yang mau menikmati Si minah?" Handi menatapku bengis.

"Woy, tolongg ... Minah mau diperkosa!" teriakku nyaring.

Handi langsung berlari meninggalkan kandang sapi itu, aku pun tersenyum puas. Minah yang menangis, karena mungkin kecewa gagal digarap. Dasar wanita gila ganjen! Kutarik tangannya untuk bangun.

"Heh, wanita gila, kenapa sih masih saja suka berkeliaran? Bawa-bawa anak juga, mending ke rumah gue aja, kita mabuk sama-sama!" ujarku geram sambil menarik tangannya menuju rumahku.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status